• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan alternatif terhadap produksi GKP, produksi PDT, keuntungan (profit) PG, PAD, pendapatan (profit) petani dan

7 SINTESA HASIL DAN KONSEP PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI GULA TEBU DI JAWA TIMUR

7.3 Kebijakan alternatif terhadap produksi GKP, produksi PDT, keuntungan (profit) PG, PAD, pendapatan (profit) petani dan

perekonomian wilayah Jawa Timur

Model pengembangan agroindustri gula tebu dengan menggunakan kebijakan RIGN yang digunakan untuk simulasi pada model kedua menunjukkan bahwa produksi GKP masih belum bisa mencapai target seperti yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam rangka mendukung swasembada gula nasional. Sehingga dibuat kebijakan alternatif dalam rangka meningkatkan produksi GKP Jatim.

Kebijakan alternatif dengan peningkatan luas areal, peningkatan produktivitas dan peningkatan rendemen secara simultas memiliki kinerja yang lebih baik dalam rangka meningkatkan produksi GKP. Peran yang paling besar dalam peningkatan produksi GKP adalah peningkatan rendemen. Kebijakan alternatif mampu meningkatkan produksi GKP sebesar 6,92%. Semakin tinggi kandungan rendemen yang ditunjukkan dengan persentase, menunjukkan bahwa kadar gula yang terdapat di dalam batang tebu semakin tinggi. Sesuai dengan penelitian nugrahapsari (2013) yang menyatakan bahwa pencapaian swasembada GKP melalui kebijakan alternatif peningkatan rendemen. Penelitian mengenai rendemen juga dilakukan oleh Asmara dan Hanani (2012) yang menyatakan bahwa peningkatan produksi gula dipengaruhi oleh produktivitas tebu dan rendemen gula. Trisnawati et al, (2012) menunjukkan bahwa rendemen dalam batang tebu juga mempengaruhi produksi gula. Meluncurkan roadmap panduan bagi stakeholders dalam meningkatkan produksi, bantuan mesin dan peralatan pabrik sehingga rendemen lebih baik (Wachid, 2015). Mengingat PG yang ada di Jawa Timur dibangun ketika jaman kolonial. Salah satu penyebab rendahnya rendemen tebu adalah mesin PG yang sudah tua, sehingga mengalami ketidak efisienan dalam memproduksi gula (Rohman, 2005; Susilohadi et al, 2012). Sistem PG yang efisien berkontribusi sebesar 30 persen terhadap peningkatan rendemen.

Peningkatan rendemen memiliki arti bahwa GKP yang dihasilkan juga mengalami peningkatan. Peningkatan GKP akan meningkatkan nilai output terhadap perekonomian wilayah. Kebijakan alternatif meningkatkan perekonomian

wilayah Jawa Timur sebesar 2,63%. Peningkatan yang lebih besar dibandingkan dengan simulasi model dengan menggunakan kebijakan RIGN. Peningkatan terhadap perekonomian wilayah yang berasal dari sektor perkebunan, yakni tebu diharapkan mampu meningkatkan sumbangan sektor perkebunan terhadap perekonomian wilayah yang menunjukkan penurunan selama 10 tahun terakhir. Mengingat sektor perkebunan khususnya tebu mempunyai kontribusi yang sangat penting melalui penyerapan TK yang tidak sedikit yaitu 2,18%, pendapatan TK sektor perkebunan tebu juga menyumbang sekitar 76,96% terhadap pendapatan di sektor perkebunan Jawa Timur dan tidak mudah untuk exit bagi petani tebu yang mengusahakan TR karena untuk menanam tebu (PC) dibutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Kebijakan alternatif melalui program kebijakan RIGN secara simultan juga terbukti mampu meningkatkan produksi GKP, pendapatan petani, keuntungan PG, PAD dan perekonomian wilayah. Produksi tebu mengalami peningkatan dengan skenario kebijakan alternatif (peningkatan luas real, produktivitas dan rendemen secara simultan). Peningkatan tersebut mampu meningkatkan nilai output yang dihasilkan yang berasal dari bahan baku tebu yakni gula dan PDT. Peningkatan terjadi pada GKP maupun pengembangan 5 jenis PDT. Penelitian Hartono (2012) menjelaskan bahwa produksi hablur dan produksi tebu dipengaruhi secara positif oleh luas perkebunan rakyat, perkebunan negara dan perkebunan swasta. Didukung oleh penelitian Malian et al (2004) yang menjelaskan bahwa dari aspek usaha tani tebu, peningkatan produktivitas dan rendemen tebu sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas gula dan pendapatan petani.

Program kunci yang diharapkan dapat memperkuat kelembagaan kemitraan adalah secara konsisten meningkatkan keberlanjutan program perkreditan dan bongkar keprasan (ratoon cane) (Suhada, 2012). Meningkatkan peran APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia) dalam proses lelang. Terbukti meningkatkan pendapatan petani tebu dan meningkatkan farmers share menjadi 87,37 persen (Syamsiyah dan Sulistyowati, 2012).

7.4Kebijakan dalam Industri Gula di Jawa Timur

Jawa Timur selain sebagai penghasil gula terbesar di Indonesia, juga memiliki luas areal tebu terluas dan sebagai penghasil tebu terbanyak. Sebesar 80 persen lebih penguasaan lahan di Jawa Timur diusahakan oleh TR. Hasil dari penelitian menunjukkan, pengembangan agroindustri gula tebu menjelaskan bahwa peningkatan luas areal, produktivitas dan rendemen secara simultan mampu meningkatkan produksi GKP. Perluasan areal lahan memiliki keterbatasan yakni dalam penggunaannya dengan perluasan pemukiman dan pengusahaan lahan untuk tanaman pertanian yang lain. Sehingga pemenuhan produksi GKP dapat dicapai dengan peningkatan rendemen. Rendemen merupakan salah satu variabel yang bisa diuapayakan untuk meningkatkan produksi GKP. Target GKP oleh pemerintah pusat yakni pencapaian GKP sebesar 1,65 juta ton. Jumlah GKP yang dihasilkan oleh Jawa Timur tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pada rumah tangga penduduk di Indonesia bagian timur. Kebijakan pendukung yang dikeluarkan pemerintah melalui Revitalisasi Industri Gula Nasional (RIGN) dan Roadmap industri gula yang

diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia no: 11/M-IND/PER/1/2010, dan mengenai Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Gula yang

diterbitkan untuk memenuhi target peningkatan GKP dalam rangka swasembada gula nasional dan pengembangan produk samping (PDT/PPGT) yang berasal dari tebu. Kebijakan dalam rangka meningkatkan rendemen yakni pemberian kredit melalui percepatan peningkatan daya saing melalui bongkar ratoon sehingga rendemen bisa meningkat, bantuan irigasi, bantuan peralatan mekanisasi, penyediaan pupuk yang murah dan subsidi atas bunga kredit. Mengingat biaya untuk bongkar ratoon membutuhkan biaya yang besar. Untuk mendukung rendemen yang tinggi, penentuan jumlah keprasan maksimal sehingga kadar gula atau rendemen tinggi perlu diperhatikan. Keprasannya adalah 4 kali kepras untuk menjaga kadar gula yang terkandung dalam tebu tinggi. Selain itu untuk meningkatkan rendemen, menerapkan pertanaman TR menggunakan sistem blok, yaitu pengaturan tanaman tebu dalam blok-blok kebun dengan luasan tertentu dalam kondisi umur yang sama dan varietas yang sama sehingga mudah untuk diawasi kemasakan tebu, penebangan tebu dapat dilakukan bersamaan, begitu pula dengan waktu keprasan. Sehingga kemasakan tebu dan jumlah keprasan dapat dipantau sesuai dengan aturan atau jumlah hari dan jumlah keprasan yang bisa meningkatkan kadar gula (rendemen) dalam tebu.

Kesesuaian data antara penawaran dan permintaan gula juga perlu mendapat perhatian. Data neraca gula nasional mengenai kebutuhan gula pada tiap-tiap daerah/wilayah antar instansi sering menunjukkan data yang berbeda. Perbedaan data bisa digunakan oleh orang-orang tertentu untuk mengambil keuntungan, karena harga gula impor lebih murah dibanding harga gula lokal. Sehingga mereka mengambil selisih dari perbedaan data tersebut untuk mengimpor gula dari luar dan mengambil keuntungan untuk kepentingan pribadi. Rendahnya harga gula impor dibanding harga gula dalam negeri karena gula di luar negeri sangat diproteksi oleh negaranya. Bahkan untuk pajak masuk gula impor di luar negeri dikenakan berlipat sesuai dengan berapa kali mengimpor gula. Tarif impor kedua dan ketiga dikenakan tarif masuk impor lebih tinggi dibanding saat mengimpor pertama kali.

Kebijakan tentang impor dilakukan melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 527/MPP/Kep/9/2004 yang mengatur bahwa impor GKP yang saat ini dilakukan oleh importir umum dialihkan kepada importir produsen. Tujuannya bahwa importir wajib menyangga harga gula petani pada level tertentu. Kuota impor secara ketat, dan diberlakukannya bea masuk agar gula lokal mampu bersaing terhadap harga gula impor yang memiliki harga sangat murah. Diharapkan impor GKP sesuai dengan kebutuhan, sehingga tidak terjadi rembesan dan membanjiri pasar untuk konsumsi rumah tangga. Supply sama dengan demand. Jika supply melebihi permintaan, maka akan banyak beredar gula yang menyebabkan harga gula lokal menjadi tertekan (karena harga gula impor lebih murah). Pada posisi seperti ini, maka petani menjadi pihak yang dirugikan. Seperti kasus pada 2014, gula petani sampai awal tahun masih banyak menumpuk di gudang. Sebaliknya, jika supply kurang dari permintaan yang ada hal itu menyebabkan gula langka dan harga gula menjadi mahal. Harga gula yang mahal akan merugikan konsumen. Untuk mengatasi permintaan gula yang tinggi (seperti saat ini) pemerintah biasanya memenuhi kekurangan gula dengan mengimpor

gula. Bagi petani, gula impor yang lebih murah dan daya saing produksi gula (GKP) petani yang lebih rendah karena biaya produksi GKP dalam negeri tinggi jika hal ini terus berlangsung maka petani tebu dan pabrik gula (PG) akan mengalami kerugian karena biaya produksi dan harga gula petani tidak kompetitif dibanding harga gula impor.

Sejarah menunjukkan bahwa pada tahun 2008 peroduktivitas gula mengalami peningkatan sebesar 6,11 ton/ha ini disebabkan pada tahun 2007 diterbitkan Permentan no. 57/Permen/KU.430/7/2007 mengenai Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) sebesar Rp.12.500.000,- dan Peraturan Menteri Perdagangan RI no.18/M-DAG/PER/4/2007 mengenai perubahan keempat atas Keputusan Menteri perindustrian dan Perdagangan no.527/MPP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula dimana GKP hanya bisa diimpor jika harga GKP ditingkat petani mencapai Rp.4.900 per Kg, sehingga mampu meningkatkan produktivitas gula nasional. Didukung dengan penelitian- penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya menunjukkan bahwa petani tebu rakyat akan meningkatkan kualitas tebu yang ditanam jika terdapat jaminan harga (sehingga produktivitas GKP pada tahun 2008 mengalami peningkatan). Harga talangan yang pernah berlaku dapat meningkatkan keinginan petani tebu melalui perbaikan kualitas tanaman maupun peningkatan areal tebu. Saat ini, konsep dana talangan sudah tidak diberlakukan lagi. Konsep mengenai dana talangan dalam bentuk lain bisa berupa yaitu pemerintah mampu menjamin bahwa harga lelang gula senantiasa berada diatas harga dasar gula (provenue). Konsep dana talangan pada intinya memberikan jaminan kepada petani tebu bahwa jika harga gula berada dibawah harga dasar, maka investor harus menalangi. Apabila harga berada di atas harga dasar, maka kelebihan harga tersebut dibagi antara investor dan petani tebu 60%:40%. Petani tebu mendapatkan kelebihan harga sebesar 60% dan investor sebesar 40%. Jaminan harga ini perlu diberikan mengingat berdasar data produktivitas tebu rakyat (TR) dari tahun 2009-2013 menunjukkan bahwa produktivitas tebu secara rata-rata TR lebih tinggi produktivitasnya dibandingkan TS. Peningkatan produktivitas menunjukkan bahwa petani tebu cukup responsif terhadap adanya perubahan harga yang terjadi. Peningkatan produktivitas terjadi pada tahun 2007 dan pada tahun 2012. Pada tahun 2007 peningkatan produktivitas gula yang dihasilkan disebabkan antara lain Keputusan menteri Perdagangan RI no. 527/MPP/Kep/9/2004 mengenai impor gula. Produktivitas gula pada tahun 2007 mengalami peningkatan sebesar 6,01 ton/ha. Pada tahun 2012, produktivitas gula di Jawa Timur sebesar 6,15 ton/ha. Peningkatan ini selain dibukanya areal tebu baru di Tuban, Lamongan dan Bangkalan, disebabkan juga adanya HPP yang ditetapkan pada tahun 2011 sebesar Rp.7000,- oleh Kementerian Perdagangan melalui Peraturan Menteri Perdagangan no. 11/M- DAG/PER/5/2011.

Harga gula internasional yang lebih murah (karena PG di luar negeri sangat efisien dan pemerintah negara setempat memproteksi dan mensubsidi industri gula dan petani tebu nya) maka, turunnya harga gula internasional akan menyebabkan daya saing industri gula Jawa Timur mengalami penurunan. Penurunan daya saing akan mengakibatkan peningkatan harga dasar gula. Jika hal ini berlangsung secara terus menerus, maka petani akan mengalami kerugian. Padahal petani merupakan pelaku inti pelaku usaha tebu yang mengusahakan lebih dari 80% tanaman tebu.

Pentingnya peran petani sebagai pelaku dalam pengusahaan tanaman tebu bukan saja petani yang mengusahakan tanaman tebu hingga hampir 90% areal tebu di Jawa Timur, keberlangsungan industri gula di Jawa timur bisa tetap berjalan dan produktivitas hablur juga mengalami peningkatan melalui tebu yang ditanam oleh petani sebagai pelaku mayoritas dalam pengusahaan tebu di Jawa Timur. Penelitian Yunitasari et al (2015) menyatakan bahwa petani tebu khususnya petani TR memiliki peran penting dalam pengusahaan tanaman tebu. Tingkat kesejahteraan petani TR perlu mendapat perhatian mengingat pentingnya peran petani TR dalam mengusahakan tanaman tebu sebagai bahan baku gula. Sedangkan data NTP perkebunan rakyat berturut-turut sebesar 95,66 persen tahun 2011, 96,62 persen tahun 2012, dan 94,02 persen tahun 2013 (Disbun Jawa Timur, 2015). Nilai Tukar Petani (NTP) perkebunan rakyat yang menjadi salah satu indikator tingkat kesejahteraan petani perkebunan menunjukkan angka di bawah 100. Rendahnya NTP dibawah level 100 mencerminkan bahwa komoditas tanaman tebu kurang menguntungkan, sehingga sulit mengharapkan petani untuk bergairah menanam tebu. Sehingga perlu meningkatkan kesejahteraan petani agar petani mempunyai keinginan untuk menanam tebu melalui kebijakan harga.

Kebijakan yang bisa diterapkan sebagai upaya tidak ada yang merasa dirugikan dari sisi petani maupun konsumen adalah melakukan efisiensi dari sisi PG. Jika PG di Jawa Timur efisien, maka harga gula lokal mampu bersaing dengan harga gula impor dari luar negeri. Efisiensi bisa dilakukan dengan mengembangkan PDT. Ampas, blotong dan tetes yang selama ini tidak diolah lebih lanjut, diharapkan dapat diolah lebih lanjut sehingga PG mendapatkan keuntungan (profit) dari pengembangan PDT. Terdapat transfer pricing dari satu produk ke produk yang lain. Keuntungan yang diperoleh dari pengembangan 5 jenis PDT yang bisa digunakan untuk membiayai kondisi permesinan di PG yang ada. Sehingga PG menjadi lebih efisien.

Lima jenis pengembangan PDT yang dikembangkan dalam model untuk keberlanjutannya perlu serangkaian kebijakan. Kebijakan yang dapat diterapkan sebagai upaya mendukung pengembangan PDT lebih lanjut:

1. Memberikan insentif kepada industri gula atau investor agar mau mengembangkan PDT yakni mempermudah perijinan dalam mengembangkan PDT.

2. Pemerintah menetapkan kebijakan mengenai pajak PDT agar lebih kompetitif, seperti: menunda pengenaan pajak daerah terhadap produk PDT misalnya, sampai 5 tahun kedepan atau sampai PDT tersebut menunjukkan kesinambungan, stabil dalam pemasarannya, dan menguntungkan bagi produsen PDT.

3. Pemerintah juga perlu mengadakan pembelian atas PDT yang dihasilkan secara berkesinambungan agar PDT produksinya konsisten bisa terus berlanjut.

4. Mempromosikan kepada investor mengenai peluang pengembangan turunan tebu.

5. Dalam rangka mendukung pengembangan turunan tebu (PDT) pemerintah/ pemerintah daerah mendesain kawasan pengembangan industri di mana kawasan tersebut merupakan kawasan yang terintegrasi dengan PG dan lahan TR sehingga dalam pengelolaan PDT dapat menghemat biaya transportasi dan ketersediaan bahan baku.