• Tidak ada hasil yang ditemukan

Marketing influences

3.4. Dampak Citra Destinasi

Citra yang dipegang oleh wisatawan merupakan suatu cara yang diorganisasikan dari stimuli yang berbeda-beda, diterima setiap hari, dan membantu wisatawan tersebut untuk memahami dunia tempat kita hidup (Gartner, 1996). Citra destinasi dibentuk oleh tiga komponen yang berbeda namun bersifat hirarki, yaitu: kognitif, afektif, dan konatif. Kognitif adalah komponen fakta, dan berisi informasi yang kita ketahui/yakini adalah betul adanya. Komponen afektif berhubungan dengan motif dan penentu bagaimana kita menilai suatu obyek yang sedang kita pertimbangkan. Sedangkan komponen konatif analog dengan perilaku (behaviour) dan menjadi penting ketika kita memutuskan untuk membeli sesuatu atau memilih suatu tempat tujuan wisata.

Stimuli yang dapat mempengaruhi citra adalah : bahan tertulis untuk promosi (brosur perjalanan, poster), media (koran, majalah, televisi, buku, film), serta pendapat orang lain (keluarga, teman, agen perjalanan). Selain itu, kunjungan secara langsung ke tempat tujuan wisata juga berfungsi dalam pembentukan citra yang lebih lanjut, yaitu, merubah citra yang sebelumnya sudah ada pada pengunjung tempat tujuan wisata (Ross, 1998).

Keputusan untuk menuju suatu destinasi merupakan fungsi dari dua faktor, yaitu: niat pembelian dan pengaruh lingkungan dan/atau perbedaan individual (Engel et al., 1995).

Selanjutnya, perilaku proses–keputusan tidak berhenti begitu wisatawan memutuskan memilih sebuah destinasi. Wisatawan akan melakukan evaluasi pasca pembelian yang bentuknya adalah membandingkan kinerja destinasi berdasarkan harapan yang dia inginkan.

Hasil evaluasi pasca pembelian adalah kepuasan atau ketidakpuasan. Dengan demikian kepuasan dapat didefinisikan sebagai evaluasi pasca konsumsi bahwa suatu alternatif destinasi yang dipilih setidaknya memenuhi/melebihi harapan (Engel et al., 1995). Munculnya kepuasan/ketidakpuasan selanjutnya akan mempengaruhi perilaku wisatawan. Wisatawan yang puas akan mengembangkan sikap mendukung destinasi. Sebaliknya, yang tidak puas akan mengembangkan sikap tidak mendukung destinasi (Zeithaml dan Bitner, 1996). Adanya kepuasan akan mengukuhkan loyalitas wisatawan. Sebaliknya, ketidakpuasan kan memunculkan: keluhan, komunikasi lisan yang negatif, dan upaya untuk menuntut ganti rugi. Dengan demikian ketidakpuasan adalah hasil dari harapan yang diteguhkan secara negatif (Engel et al., 1995).

Hasil studi yang dilakukan Cronin dan Taylor (1992) membuktikan bahwa kepuasan pelanggan mempunyai efek yang signifikan pada purchase intentions. Peneliti lainnya juga mengidentifikasi bahwa kepuasan pelanggan mempunyai pengaruh positif terhadap “beharioral intention” (Barsky, 1992; Fornell et al., 1996).

Oleh karena itu, citra yang positif perlu dikembangkan oleh setiap perusahaan/organisasi dalam hal ini destinasi wisata, sebab citra positif berarti membantu wisatawan melihat keistimewaan produk perusahaan dan mengembangkan hubungan yang mampu membuat wisatawan merasa diistimewakan dan dihargai sebagai seorang pribadi (Macaulay dan Cook, 1996: 13). Citra perusahaan yang positif dapat digunakan oleh wisatawan sebagai a surrogate cue in their decision-making processes (Naumann dan Giel, 1995). Misalnya, wisatawan mungkin tidak mampu mengevaluasi atribut produk dan

service. Tetapi wisatawan dapat mengevaluasi citra suatu perusahaan dan mentransfer citra tersebut terhadap produk tertentu. Sebab citra adalah realitas yang diandalkan oleh wisatawan sewaktu membuat pilihan (Engel et al., 1995: 256, jilid 2). Selain itu, citra destinasi yang positif dapat meningkatkan atau menutupi kekurangan pelayanan (Grönroos, 1990). Sebaliknya, citra negatif akan memperburuk pelayanan yang dirasakan. Hal tersebut disebabkan citra yang positif

akan menjadi buffer terhadap pelayanan yang buruk (Zeithaml dan Bitner, 1996).

Karakteristik yang melekat pada produk pariwisata menyebabkan wisatawan tidak memiliki kesempatan untuk melakukan tes awal terhadap suatu destinasi. Evaluasi terhadap atribut destinasi merupakan fungsi dari citra tempat tujuan wisata itu sendiri. Citra destinasi merupakan manifestasi dari harapan wisatawan, sehingga citra mampu mempengaruhi persepsi wisatawan. Termasuk di dalamnya mempengaruhi kepuasan wisatawan. Citra positif dari tempat tujuan wisata akan menjadi penyangga terhadap kekurangan destinasi dan sebaliknya. Citra positif suatu destinasi memainkan peran penting dalam pengembangan wisata destinasi wisata tersebut. Jadi, citra destinasi harus dikelola secara baik, serius, dan profesional. 3.5. Destination Branding

Destination brand sering juga dikatakan sebagai merek suatu tempat. Merek daerah didefinisikan sebagai aktivitas pemasaran untuk mempromosikan citra positif suatu daerah tujuan wisata demi mempengaruhi keputusan konsumen untuk mengunjunginya (Blain et al., 2005). Merek daerah tujuan ini sering dihubungkan dengan strategi

positioning dalam industri pariwisata. Merek daerah tujuan wisata dapat mencakup lingkup lokal, regional, nasional maupun internasional.

Destination brand juga merupakan beberapa kegiatan wisata yang berlangsung di sebuah destinasi wisata tertentu, yang bertujuan

membentuk pilar dari setiap pemodelan yang dilakukan untuk sistem pariwisata (Pike 2004). Destinasi wisata tersebut dilihat sebagai daerah wisata yang mampu mencakup semua konsumsi barang dan jasa dari turis selama dia tinggal (Terzibasoglu 2004; WTO 2007).

Destination branding ini merupakan bentuk transfer sebuah merek destinasi (destination brand) dari destinasi wisata yang unik dan kompetitif yang mengungkapkan realitas destinasi wisata tersebut dan menyampaikannya untuk membentuk prepektif untuk wisatawan.

Organisasi pemasaran destinasi wisata dan perusahaan dalam hal ini pemerintah di bidang pariwisata dan pengelola destinasi wisata berperan penting dan harus terlibat dalam pembangunan dan layanan pemasaran destinasi wisata (Grängsjö 2003). Inilah sebabnya mengapa konsep destinasi wisata harus fokus pada pelanggan dan produsen. Keberhasilan pemasaran wisata adalah tidak hanya tergantung pada faktor-faktor yang disebut push (kekuatan permintaan pasar) tetapi juga pada faktor penarik (faktor supply-side), yang memiliki dampak besar pada keberhasilan merek tertentu dari destinasi wisata

(http://fama2.us.es).

Gambar 2.3 Persepsi dari Destination Branding

Destination Branding dan pengalaman yang

ditawarkan dibentuk oleh:

Daya tarik Fasilitas publik

Aksesibilitas Sumber daya manusia

Destination branding didefinisikan sebagai: pemilihan elemen campuran secara konsisten untuk mengidentifikasi dan membedakan melalui membangun citra positif (Cai Liping 2002), yaitu bagaimana konsumen melihat destinasi wisata dalam pikiran mereka. Destination branding tidak hanya menyampaikan kesan yang tidak terlupakan sebagai pengalaman yang unik terkait dengan destinasi wisata tersebut, melainkan juga berfungsi untuk mengkonsolidasikan dan memperkuat ingatan menyenangkan kenangan pengalaman pada destinasi wisata (Goeldner, Ritchie, dan Mac-Intosh 2000; Kaplanidou dan Vogt 2003).

Keinginan untuk menjadikan destinasi wisata dapat dikenali merupakan sebuah tantangan pemasaran (Kotler, Bowen, dan Makens 2006). Untuk pemasar, branding mungkin senjata pemasaran yang paling kuat yang tersedia, untuk pemasar sebuah destinasi wisata dihadapkan oleh wisatawan yang semakin mencari pemenuhan gaya hidup dan pengalaman daripada mengakui diferensiasi dalam elemen-elemen yang lebih nyata dari produk wisata yang diberikan, seperti akomodasi dan atraksi (Morgan, Pritchard, dan Kebanggaan 2004). Sebuah merek destinasi (brand destination) yang sukses perlu menyampaikan harapan, atau janji, dari pengalaman perjalanan yang tak terlupakan yang khas terkait dengan destinasi wisata tersebut (Ritchie dan Crouch 2003; Blain, Levy, dan Ritchie 2005; Knapp dan Sherwin 2005). Secara umum, merek destinasi dimaksud untuk membangun

koneksi positif antara tempat/daerah dengan orang yang tinggal maupun yang mengunjunginya.

Dokumen terkait