• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1.3. Dampak Kebijakan Pemerintah

Dalam suatu aktivitas ekonomi, adanya kebijakan dari pemerintah dapat memberikan suatu dampak yang positif maupun dampak negatif kepada para

pelaku ekonomi maupun kedalam sistem perekonomian tersebut. Adanya suatu penerapan kebijakan juga dapat mempengaruhi peningkatan ataupun penurunan produksi maupun produktivitas dari suatu aktivitas ekonomi. Dengan menggunakan Matriks Analisis Kebijakan kita dapat menghitung dampak berbagai kebijakan terhadap input, output, maupun input-output dari beberapa indikator hasil.

Pada dasarnya, dalam suatu kebijakan perdagangan luar negeri, pemerintah membuat suatu kebijakan adalah dengan tujuan untuk melindungi produsen dalam negeri. Apabila harga produk impor serupa lebih rendah harganya dibandingkan harga produk dalam negeri maka hal tersebut dapat melemahkan daya saing dari produk domestik terhadap produk impor. Preferensi masyarakat akan beralih ke produk-produk impor serupa yang harganya lebih murah dibandingkan dengan produk domestik. Akibatnya akan terjadi penurunan permintaan terhadap produk domestik sehingga akan menyebabkan terjadinya penurunan jumlah produksi. Akan tetapi, untuk permasalahan susu impor hal tersebut tidak berlaku.

Saat ini harga susu impor jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga susu domestik. Akan tetapi Industri Pengolahan Susu (IPS) cenderung lebih senang untuk mengimpor susu walaupun dengan harga yang relatif lebih mahal. Hal ini berimplikasi pada harga beli yang ditawarkan oleh IPS kepada para peternak menjadi lebih rendah (murah). Penetapan harga beli yang rendah oleh IPS akan menurunkan daya saing susu sapi lokal dengan produk susu impor. Kebijakan pemerintah seharusnya lebih memihak kepada produsen susu sapi

lokal, dalam hal ini peternak, guna meningkatkan daya saing produk dalam negeri. Dampak kebijakan pemerintah terhadap input, output dan input-output akan dijelaskan dalam subbab berikut ini.

5.1.3.1. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input

Kebijakan pemerintah terhadap harga input dari usahaternak yang dijalankan dapat berupa penetapan pajak ataupun subsidi. Bentuk kebijakan pemerintah seperti subsidi atau hambatan perdagangan (penetapan tarif ataupun non tarif) diterapkan dengan harapan agar produsen dapat memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan dapat melindungi produsen dalam negeri. Dampak kebijakan terhadap input dapat dijelaskan melalui nilai Transfer Input (IT), Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) dan Transfer Faktor (TF).

a. Transfer Input (IT)

Nilai transfer input merupakan selisih dari harga privat input tradable

dengan harga sosialnya. Transfer input (IT) yang bernilai positif menjelaskan bahwa adanya kebijakan subsidi negatif atau pajak pada unsur input tradable yang akan mengurangi tingkat keuntungan produsen atau dengan kata lain produsen tidak mendapatkan insentif dari kebijakan tersebut. Sebaliknya, jika transfer input bernilai negatif menunjukkan adanya kebijakan subsidi pada input akan mengakibatkan biaya yang dikeluarkan untuk input pada tingkat harga privat menjadi lebih rendah dibandingkan pada tingkat harga sosial. Hal tersebut menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pada input tradable akan menguntungkan produsen lokal.

Dalam penelitian ini, nilai transfer input pada ketiga skala usaha bernilai positif. Pada usahaternak skala kecil nilai transfer input sebesar 32,25, pada usahaternak skala menengah memiliki nilai transfer input sebesar 11,68, dan 71,99 untuk usahaternak skala besar. TI yang bernilai positif berarti bahwa kebijakan pemerintah pada input tradable merugikan produsen sebesar Rp, 32,25 per liter susu (usahaternak skala kecil), Rp. 11,68 per liter susu (usahaternak skala menengah), dan Rp. 71,99 per liter susu (usahaternak skala besar). Hal ini terjadi karena adanya pajak atas input tradable sehingga harga input tradable

yang diterima peternak pada harga privat menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan harga sosialnya tanpa adanya distorsi pasar (pajak). Oleh karena itu terdapat transfer pendapatan dari peternak kepada produsen input tradable sebesar Rp. 32,25 perliter susu (usahaternak skala kecil), Rp. 11,68 per liter susu (usahaternak skala menengah), dan Rp. 71,99 per liter susu (usahaternak skala besar).

Harga input tradable seperti pakan ternak, terutama konsentrat yang bahan bakunya sebagian besar diimpor dari luar negeri memiliki nilai yang lebih tinggi pada harga privat. Hal ini dikarenakan struktur pasar dari pengusaha pakan ternak yang cenderung oligopoli sehingga mereka dapat menentukan harga pakan lebih tinggi di tingkat privat dibandingkan dengan harga sosial. Selain itu, harga obat-obatan di tingkat harga privat juga memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga sosialnya. Hal ini terjadi karena adanya pencabutan kebijakan pemerintah mengenai subsidi obat-obatan sejak tahun 2000.

b. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI)

Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) merupakan rasio untuk mengukur transfer input tradable. NPCI menunjukkan seberapa besar perbedaan harga domestik dari input tradable dengan harga sosialnya. Nilai NPCI menunjukkan tingkat proteksi atau distorsi yang dibebankan pemerintah pada input tradable bila dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Nilai NPCI lebih besar dari satu (NPCI > 1) menjelaskan bahwa biaya input domestik lebih mahal daripada biaya input pada tingkat harga dunia. Hal ini menunjukkan adanya proteksi pada produsen input yang dapat menyebabkan kerugian bagi sektor yang menggunakan input tersebut karena biaya produksi menjadi lebih tinggi. Sebaliknya jika nilai NPCI kurang dari satu (NPCI < 1) menjelaskan bahwa biaya input domestik lebih rendah dibandingkan dengan biaya input pada tingkat harga dunia. Hal ini menunjukkan adanya subsidi oleh kebijakan yang ada, sehingga proses produksi pada usaha tani menggunakan input dalam negeri.

Berdasarkan hasil analisis, nilai NPCI pada ketiga skala usaha bernilai positif (NPCI>1) yaitu 1,24 untuk usahaternak skala kecil, untuk usahaternak skala menengah sebesar 1,09, dan 1,36 untuk usahaternak skala besar. NPCI yang bernilai positif tersebut berarti ada kebijakan proteksi terhadap produsen input, sedangkan para peternak sapi perah pada ketiga skala usaha tersebut dirugikan karena terjadi peningkatan biaya produksi dengan penggunaan input tersebut. Peternak pada skalausaha kecil, menengah dan besar harus membeli input

tradable (pakan konsentrat dan obat-obatan) dengan harga yang lebih mahal 24 persen, 9 persen dan 36 persen dari harga seharusnya. Sedangkan produsen input

tersebut diuntungkan sebesar kerugian yang diterima oleh peternak pada masing- masing skala usaha.

c. Transfer Faktor (FT)

Selain penggunakan input tradable, para peternak sapi perah juga menggunakan input non-tradable (faktor domestik) dalam pengusahaan ternak sapi perah. Seluruh komponen input yang dinakan dalam penelitian ini termasuk kedalam input non-tradable (faktor domestik). Penggunaan input non-tadable

(faktor domestik) meliputi pakan ternak (hijauan dan ampas tahu), tenaga kerja, sewa lahan, peralatan, tata niaga, dan input domestik lainnya. Transfer faktor disebabkan karena adanya perbedaan pada faktor domestik yang menyebabkan harga privat faktor domestik yang diterima peternak sapi perah di KUNAK, KPS Bogor berbeda dengan harga sosialnya.

Berdasarkan hasil Analisis Matriks Kebijakan menunjukkan bahwa nilai transfer faktor pada usahaternak sapi perah skala kecil bernilai positif, yaitu Rp. 267,92 per liter susu. Nilai ini menunjukkan bahwa harga input non-tradable yang dikeluarkan oleh pemeintah pada tingkat harga finansialnya lebih tinggi dibandingkan dengan harga input non-tradable pada tingkat harga sosialnya. Hal ini merugikan bagi peternak karen membayar input domestik lebih tinggi dibandingkan harga sosialnya, akan tetapi produsen input domestik akan mengalami keuntungan sebesar Rp. 267,92 per liter susu yang dihasilkan oleh peternak.

Pada usahaternak skala menengah dan sakal besar, nilai Transfer Faktor (TF) bernilai positif, yaitu Rp. 162,78 untuk usahaternak skala menengah dan Rp.

536,45 untuk usahaternak skala besar. Nilai TF yang positif menunjukkan bahwa peternak pada kedua skala usaha tersebut membayar input domestik lebih tinggi dibandingkan dengan harga sosialnya. Selain itu, produsen input domestik mendapatkan tambahan keuntungan sebesar Rp. 162,78 yang berasal dari usahaternak skala menengah dan Rp. 536,45 dari usahaternak skala besar untuk setiap satu liter susu yang dihasilkan.

Salah satu penyebab terjadinya transfer faktor pada usahaternak skala menengah dan skala besar adalah adanya kebijakan yang distorsif di pasar tenaga kerja. Penilaian harga bayangan dari upah yang diterima oleh para pekerja adalah 80 persen dari tingkat upah yang berlaku di pasar (Suryana, 1980). Hal ini dikarenakan tenaga kerja yang digunakan dalam membantu usahaternak adalah tenaga kerja tidak tetap dan pada umumnya adalah tenaga kerja tidak terdidik. Selain itu komponen pajak tidak diperhitungkan sebagai biaya pada analisis ekonomi, namun komponen tersebut tetap diperhitungkan pada analisis finansial. 5.1.3.2. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Output

Kebijakan pemerintah tidak hanya diterapkan dan berlaku pada harga input, namun berlaku pula untuk output yang dihasilkan dari pengusahaan ternak sapi perah. Dalam penelitian ini output yang dihasilkan adalah susu segar. Dampak kebijakan pemerintah terhadap output dapat dilihat dari nilai Transfer Output (OT) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO). Bentuk distorsi pemerintah dapat berupa subsidi atau kebijakan hambatan perdagangan berupa tarif dan pajak ekspor ataupun impor.

a. Transfer Output (OT)

Transfer output terjadi karena adanya divergensi pada harga output yang terjadi karena adanya perbedaan antara harga privat dengan harga sosialnya. Nilai TO positif menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah pada output menyebabkan harga output privat lebih besar dibandingkan dengan harga output pada harga bayangan. Hal ini menunjukkan adanya insentif dari konsumen kepada produsen dimana konsumen membayar harga lebih tinggi dari harga yang seharusnya dibayarkan. Nilai TO negatif bearti bahwa kebijakan pemerintah dan distorsi pasar menyebabkan harga output pada harga privat menjadi lebih rendah dibandingkan dengan harga bayangannya.

Hasil analisis pada tabel PAM, nilai OT adalah negatif pada ketiga usahaternak skala. Pada uasahaternak skala kecil, nilai OT sebesar Rp. 946,97 per liter susu, Rp. 941,97 per liter susu pada usahaternak skala menengah, dan Rp. 946,97 pada usahaternak skala besar. Niali OT yang negatif pada masing-masing skala usaha tersebut menu jukkan adanya divergensi dimana harga privat output susu segar yang dihasilkan oleh para peternak di KUNAK, KPS Bogor lebih rendah dibandingkan dengan harga sosialnya. Kondisi tersebut menjelaskan bahwa adanya kebijakan pemerintah terhadap output susu segar akan lebih menguntungkan konsumen karena konsumen membeli susu segar dengan harga yang lebih rendah dari harga yang seharusnya.

Konsumen mendapat transfer output sebesar Rp. 946,97 per liter susu dari usahaternak skala kecil, Rp. 941,97 per liter susu dari usahaternak skala menengah, dan Rp. 946,97 dari usahaternak skala besar sehingga konsumen (IPS)

dapat membeli susu dengan harga yang lebih rendah sebesar OT dari masing- masing peternak pada ketiga skala usaha dari harga yang seharusnya diterima peternak jika tidak ada intervensi pemerintah atau distorsi pasar. Kebijakan pemerintah berupa penetapan tarif impor sebesar lima persen, tidak berjalan efektif karena pada kenyataannya produsen susu dalam negeri (peternak) masih sulit bersaing dengan susu impor. Kecenderungan IPS untuk lebih suka membeli susu impor juga merupakan salah satu kendala bagi para peternak lokal untuk meningkatkan usahanya. Tarif impor sebesar lima persen masih dirasa rendah oleh para peternak karena belum dapat meningkatkan efisiensi usaha mereka.

Berdasarkan nilai TO, usahaternak sapi perah pada ketiga skala usaha mengalami kerugian yang berbeda-beda. Perbedaan besarnya kerugian ini tergantung dari besarnya harga jual susu yang diterima oleh peternak. Peternak pada skala usaha menengah mendapatkan harga jual susu yang lebih tinggi dibandingkan dengan peternak pada skala usaha kecil dan besar. Divergensi untuk penerimaan output yang bernilai negatif ini juga terjadi karena harga sosial susu diperhitungkan berdasarkan harga susu impor yang harganya lebih tinggi dibandingkan dengan harga susu dalam negeri dengan standar dan kualitas yang sama.

b. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO)

Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) dibuat untuk mengukur output transfer dimana besarnya nilai NPCO adalah rasio antara penerimaan yang dihitung berdasarkan harga finansial dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga bayangan. Nilai NPCO menunjukkan seberapa besar harga

output domestik (harga privat) berbeda dengan harga sosial (Pearson et al, 2005). Bila nilai NPCO lebih besar dari satu (NPCO > 1) berarti harga output di pasar domestik lebih tinggi dari harga impor (atau ekspor) atau berarti sistem mendapat suatu proteksi kebijakan. Sebaliknya jika nilai NPCO lebih kecil dari satu (NPCO < 1) berarti harga output di pasar domestik lebih rendah dari harga di pasar dunia. Berdasarkan hasil analisis, nilai NPCO yang didapatkan pada penelitian ini pada ketiga usahaternak skala adalah sama besar, yaitu 0,76. Nilai NPCO yang kurang dari satu tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah menetapkan tarif impor lima persen belum berjalan efektif karena menyebabkan harga yang diterima oleh para peternak, baik peternak dengan skala usaha kecil, menengah maupun skala besar lebih rendah dibandingkan dengan harga bayangannya. Produsen hanya menerima harga 76 persen dari harga yang seharusnya diterima peternak bila tidak ada distorsi pasar dan intervensi pemerintah pada pasar output. 5.1.3.3. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input-Output

Dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output dapat dijelaskan melalui indikator-indikator seperti nilai Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Transfer Bersih (NT), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP).

a. Koefisien Proteksi Efektif (EPC)

Koefisien Proteksi Efektif (EPC) merupakan indikator dari dampak keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem produksi usahaternak sapi perah di KUNAK, KPS Bogor. Nilai EPC menggambarkan sejauh mana kebijakan

pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik. Nilai EPC yang lebih besar dari satu (EPC>1) mengindikasikan bahwa kebijakan yang melindungi produsen domestik berjalan efektif, sedangkan nilai EPC kurang dari saru (EPC<1) menunjukkan kebijakan yang melindungi produsen domestik tidak berjalan efektif.

Berdasarkan hasil analisis, nilai EPC yang didapatkan dalam penelitian ini adalah 0,74 untuk usahaternak skala kecil, 0,75 untuk usahaternak skala menengah, dan 0,73 untuk usahaternak skala besar. Nilai EPC yang kurang dari satu pada ketiga usahaternak skala sapi perah di KUNAK, KPS Bogor menunjukkan bahwa kebijakan input-output tidak dapat berjalan efektif atau menghambat peternak lokal dalam hal pengusahaan menghasilkan susu sapi segar. Hal ini dikarenakan harga privat output yang diterima peternak lebih kecil dibandingkan dengan harga sosialnya, dan harga input non-tradable yang diterima peternak juga lebih mahal daripada harga bayangannya.

b. Transfer Bersih (NT)

Nilai Transfer bersih menunjukkan selisih antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial. Transfer bersih adalah penjumlahan dari transfer output, transfer input dan transfer faktor domestik. Apabila nilai NT lebih besar dari satu (NT > 1) berarti terjadi penambahan pada surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output. Sedangkan apabila nilai NT kurang dari satu (NT < 1) berarti terjadi pengurangan pada surplus produsen akibat dari adanya suatu kebijakan yang diterapkan pada input dan output.

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari Tabel 5.2, nilai NT bernilai negatif pada ketiga usahaternak skala. Nilai NT yang diperoleh pada msing-masing skala usaha adalah Rp. 1.250,14 per liter susu (usahaternak skala kecil), Rp. 1.116,43 per liter susu (usahaternak skala menengah) dan Rp. 1.555,41 per liter susu (pada usahaternak skala besar). Hal ini berarti bahwa terjadi pengurangan surplus produsen sebesar nilai NT pada masing-masing usahaternak skala yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang berlaku pada saat ini. Keuntungan yang diperoleh produsen pada kondisi adanya kebijakan pemerintah dan distorsi pasar pada saat ini lebih rendah Rp. 1.250,14 per liter susu (usahaternak skala kecil), Rp. 1.116,43 per liter susu (usahaternak skala menengah) dan Rp. 1.555,41 per liter susu (pada usahaternak skala besar) dibandingkan kerugian apabila tidak ada intervensi pemerintah.

c. Koefisien Keuntungan (PC)

Dampak dari seluruh transfer atas keuntungan privat dapat diukur dengan

Profitabilitas Coefficient (PC). PC sama dengan rasio antara keuntungan privat dan keuntungan sosial. Tabel 5.2 menunjukkan nilai PC yang dihasilkan dari masing-masing usaha ternak memiliki nilai kurang dari satu. Nilai PC sebesar 0,26 (usahaternak skala kecil ), 0,38 (usahaternak skala menengah), dan 0,03 (usahaternak skala besar) berarti bahwa keuntungan produsen dengan intervensi dan distorsi yang terjadi saat ini adalah 0, 26 kali dari keuntungan sosial pada usahaternak skala kecil, 0, 38 kali dari keuntungan sosial pada usahaternak skala menengah, dan 0,03 kali dari keuntungan sosial untuk usahaternak skala besar . Nilai PC tersebut juga menunjukkan bahwa produsen harus mengeluarkan dana

kepada konsumen (IPS) sebesar 74 persen pada usahaternak skala kecil, 62 persen pada usahaternak skala menengah dan 97 persen pada usahaternak skala besar, sehingga keuntungan yang diterima peternak lebih kecil daripada keuntungan sosialnya.

d. Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP)

Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) adalah rasio yang digunakan untuk mengukur seluruh dampak transfer yang merupakan perbandingan antara transfer bersih dengan nilai output pada tingkat harga dunia. SRP juga dapat menunjukkan pengaruh transfer terhadap perubahan pendapatan dari suatu sistem. Nilai SRP yang negatif (SRP<0) berarti terjadi besarnya pengeluaran produsen pada biaya produksi lebih besar dibandingkan biaya imbangannya akibat adanya kebijakan pemerintah tersebut. Nilai SRP yang positif (SRP>0) menunjukkan bahwa adanya kebijakan pemerintah menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi terhadap input lebih rendah dari biaya imbangan untuk berproduksi.

Berdasarkan hasil pada Tabel 5.2, nilai SRP yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bernilai negatif untuk masing-msing skala usaha. Nilai SRP sebesar 0,32 (usahaternak skala kecil), dan 0,28 (usahaternak skala menengah) dan 0,39 (usahaternak skala besar) menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini menyebabkan produsen susu mengeluarkan biaya produksi lebih besar 32 persen pada usahaternak skala kecil, 28 persen pada usahaternak skala menengah dan 39 persen pada usahaternak skala besar dari opportunity cost

keseluruhan negatif menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dan distorsi pasar yang terjadi saat ini merugikan produsen susu (peternak) di KUNAK, KPS Bogor. 5.2. Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas dilakukan untuk mensubtitusi kelemahan metode PAM yang hanya berlaku pada waktu yang relatif singkat dengan faktor-faktor yang sebenarnya sangat rentan untuk berubah. Dalam penelitian ini, analisis sensitivitas yang dilakukan bertujuan untuk melihat bagaimana daya saing usahaternak sapi perah dan dampak dari kebijakan pemerintah seperti peningkatan penerapan tarif impor. Selain itu analisis sensitivitas juga dilakukan ketika penerapan tarif impor dihapuskan menjadi nol persen.

Penelitian ini menggunakan dua sekenario analisis sensitivitas, yaitu: 1. Daya saing komoditi susu jika tarif impor turun sebesar 5 persen menjadi nol

persen

Analisis ini bertujuan untuk melihat bagaimana dampak dari penghapusan tarif impor susu terhadap daya saing komoditi susu segar yang dihasilkan oleh para peternak di KUNAK, KPS Bogor. Hipotesis dari analisis ini adalah adanya penurunan tingkat daya saing dan tingkat keuntungan yang diterima oleh para peternak akibat adanya penghapusan tarif impor susu. 2. Daya saing komoditi susu jika tarif impor ditetapkan sebesar 15 persen

Analisis ini bertujuan untuk melihat dampak perubahan daya saing komoditi susu yang dihasilkan oleh para peternak di KUNAK, KPS Bogor dari penerapan tarif impor lima persen menjadi 15 persen sesuai dengan pernyataan ketua GKSI. Penerapan tarif impor sebesar 15 persen cukup adil bagi para

peternak dan konsumen susu segar sehingga dapat meningkatkan posisi tawar menawar peternak lokal. Penerapan tarif impor sebesar 15 persen diharapkan dapat memberikan insentif bagi para peternak sehingga para peternak dapat mengembangkan usahanya.

Hasil analisis sensitivitas tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3. Indikator-indikator Matriks Analisis Kebijakan pada Kondisi Tarif Impor Nol Persen, 5 Persen, dan 15 Persen

Indikator Tarif Impor 0 Persen Tarif Impor 5 Persen Tarif Impor 15 Persen

A B C A B C A B C KP 285,62 374,04 -97,51 435,62 674,29 52,49 735,62 974,79 352,49 KS 1.488,41 1.593,37 1.410,55 1.685,76 1.790,72 1.607,90 2.080,46 2.185,41 2.002,59 PCR 0,89 0,85 1,04 0,85 0,77 0,98 0,76 0,69 0,88 DRC 0,59 0,56 0,60 0,56 0,53 0,57 0,50 0,48 0,52 TO -899,62 -1.044,87 -899,62 -946,97 -941,97 -946,97 -946,97 -941,97 -946,97 NPCO 0,76 0,72 0,76 0,76 0,76 0,76 0,76 0,76 0,76 TI 35,25 11,68 71,99 35,25 11,68 71,99 35,25 11,68 71,99 NPCI 1,24 1,09 1,36 1,24 1,09 1,36 1,24 1,09 1,36 TF 267,92 162,78 536,45 267,92 162,78 536,45 267,92 162,78 536,45 EPC 0,74 0,71 0,73 0,74 0,75 0,73 0,74 0,75 0,73 NT -1.202,79 -1.219,33 -1.508,06 -1.250,14 -1.116,43 -1.555,41 -1.250,14 -1.116,43 -1.555,41 PC 0,19 0,23 -0,07 0,26 0,38 0,03 0,35 0,45 0,18 SRP -0,81 -0,77 -1,07 -0,32 -0,28 -0,39 -0,60 -0,51 -0,78 Keterangan :

A : Usahaternak skala kecil B : Usahaternak skala menegah C : Usahaternak skala besar

Menurut hasil analisis sensitivitas, semakin tinggi penetapan tarif impor maka semakin tinggi pula daya saing usahaternak sapi perah. Penatapan tarif impor tersebut memberikan insentif yang lebih kepada para peternak sapi perah di KUNAK, KPS Bogor dan memacu para peternak untuk mengembangkan usahanya. Peningkatan daya saing ditandai dengan semakin meningkatnya nilai keuntungan privat dan keuntungan sosial yang diterima oleh peternak. Selain itu

daya saing secara kompetitif dan komparatif dari usahaternak sapi perah di KUNAK, KPS Bogor semakin meningkat, hal ini terlihat dari semakin kecilnya nilai DRC dan PCR.

5.2.1. Analisis Sensitivitas pada Kondisi Tarif Impor diturunkan Lima

Dokumen terkait