• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Krisis Terhadap Perkembangan Jalan Tol di Indonesia

IV. GAMBARAN UMUM

4.4 Dampak Krisis Terhadap Perkembangan Jalan Tol di Indonesia

Permintaan jalan dengan standar yang tinggi semakin meningkat di beberapa Negara Asia seperti China, Indonesia, Malaysia, Filiphina, dan Thailand. Hal ini menggambarkan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan peningkatan jumlah serta kepemilikan kendaraan bermotor. Malaysia berhasil menjadi Negara pertama yang menyediakan jalan standar tinggi ini dengan membangun jalan tol pada tahun 1966. Namun diantara Negara-negara Asia tersebut, China memiliki jalan tol terpanjang sedangkan Indonesia masih tertinggal jauh.

Pada tahun 1997 krisis melanda Negara-negara di Asia termasuk kelima Negara tersebut. Krisis yang berawal dari Thailand ini mengakibatkan devaluasi

mata uang, peningkatan suku bunga, dan bergejolaknya perbankan domestic seperti terlihat pada Tabel 9. Hal ini berdampak pada tersendatnya pembangunan jalan tol di kelima Negara tersebut, kecuali China. Dampak krisis terhadap pembangunan jalan tol paling besar dialami oleh Indonesia.

Tabel 9. Indikator Keuangan dan Ekonomi Beberapa Negara Asia Tahun 1997-1998 Indikator China Indonesia Malaysia Filiphina Thailand Pertumbuhan ekspektasi GDP tahun 1998 (1997) 8.0% (8.8%) -13.7% (5.0%) (-4.8%) NA 1.0% (5.2%) -7.0% (-0.4%) Peningkatan Ekspektasi

Indeks Harga Konsumen (1998)

NA (+2.8%

1997) +80% +7-8% +10% +9.2%

Kredit macet NA 61% 33% 17% 48%

Devaluasi Mata Uang dari

Jan 1997-Jan 1998 0% -78% -43% -39% -51% Tingkat Bunga (1998/4) 1997/4 7.98% (10.08%) 70.68% (13.47%) 12.16% (9.25%) 13.00% (10.00%) 12.50% (10.50%) Volume Lalulintas Sedikit

perubahan

Berkurang

banyak Berkurang

Sedikit

perubahan Berkurang Derajat Dampak Terhadap

Program Jalan Tol

Tidak

signifikan Signifikan Sedang

Tidak

signifikan Sedang Sumber : World Bank, 1999

Saat krisis melanda, Indonesia memberhentikan semua pembangunan jalan tol dan menunda proyek pembangunan jalan tol yang telah direncanakan. Krisis menyebabkan nilai dolar terhadap rupiah menurun hingga 78%, yaitu dari Rp 2.500,00/dolar menjadi Rp 14.000,00/dolar pada awal 1998. Devaluasi rupiah ini mengakibatkan utang dari proyek jalan tol meningkat 6 sampai 7 kali. Selain itu krisis juga menyebabkan peningkatan suku bunga yang berdampak pada konsesi pengembangan jalan tol. Suku bunga Indonesi pada Januari 1997 sebesar 12% melonjak tinggi hingga 60-70% pada Agustus 1997

Perbankan Indonesia juga merasakan dampak krisis, akibatnya investor kesulitan untuk mendapatkan jaminan dari bank. Sehingga investor kesulitan untuk berinvestasi dan pembangunan jalan tol tersendat karena ketiadaan investor.

Krisis juga menyebabkan peningkatan sebesar 80% pada Indeks Harga Konsumen tanpa diikuti dengan peningkatan upah tenaga kerja. Akibatnya daya beli masyarakat menurun karena inflasi. Hal ini bisa berdampak pada penurunan pendapatan tol. Sehingga biaya operasional dan pemeliharaan jalan tol semakin besar karena tidak adanya pemasukan. Keuangan Jasa Marga selaku operator jalan tol sebagian besar dihabiskan untuk biaya operasional dan pemeliharaan. Sedangkan dana untuk proyek pembangunan sulit dipenuhi.

Harga bahan bakarpun ikut mengalami peningkatan dari harga sebelumnya Rp 700,00/liter menjadi Rp 1000,00/liter. Begitu juga dengan penjualan mobil yang berdampak pada penurunan volume lalulintas baik di jalan umum maupun jalan tol. PT. Astra Internasional selaku pabrik mobil terbesar di Indonesia memperkirakan penjualan mobil baru pada tahun 1998 turun hingga 88%. Dampaknya kembali terasa oleh PT. Jasa Marga selaku operator jalan tol yang mengalami penurunan pendapatan tol.

Saat itu berbagai cara dilakukan pemerintah untuk mengatasi dampak krisis terhadap perkembangan jalan tol di Indonesia. Agar proyek jalan tol yang telah direncanakan atau sedang dibangun tetap berjalan pemerintah menetapkan prioritas jalan tol yang tetap harus dibangun. Melalui Keputusan Presiden No 39 Tahun 1997 yang dikeluarkan pada tanggal 20 September 1997, pemerintah melakukan penangguhan atau pengkajian kembali proyek pemerintah, Badan Usaha Milik Negra, dan swasta yang berkaitan dengan pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara. Sebanyak 63 proyek pembangunan jalan tol diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu pembangunan dilanjutkan, dijadwal ulang, dan ditunda.

Sembilan proyek akhirnya dipilih untuk tetap dilanjutkan pembangunannya dengan bantuan pinjaman pemerintah. Sedangkan sebanyak 36 proyek ditunda dan sisanya dijadwal ulang.

4. 5 Hambatan Pembangunan Jalan Tol di Indonesia

Pembangunan jalan tol di Indonesia tidaklah mudah, selain faktor-faktor yang menentukan perkembangan jalan di Indonesai terdapat beberapa hambatan yang menyebabkan sulitnya perkembangan jalan tol di Indonesia, yaitu:

4.5.1 Pendanaan

Sejak awal pembangunan jalan tol, Indonesia sudah mengalami kesulitan dalam hal pendanaan pembangunan jalan tol. Tol Jagorawi yang merupakan tol pertama Indonesia pun tidak sepenuhnya dibiayai oleh kas negara melainkan dari utang luar negeri. Pada bab sebelumnya telah dibahas bahwa keterbatasan dana menjadi alasan pemerintah untuk mengUndang pihak swasta dalam pembangunan jalan tol.

4.5.2 Pengadaan Lahan

Lahan merupakan unsur terpenting dalam pembangunan jalan tol. Sekarang ini, lahan merupakan permasalahan utama dalam pembangunan jalan tol yang masih sulit untuk diatasi oleh pemerintah selaku pihak yang melakukan proses pengadaan lahan. Pengadaan lahan berdasarkan Keputusan Presiden No 36 Tahun 2005 merupakan kegiatan untuk mendapatkan tanah atau lahan dengan cara memberikan ganti rugi kepada pihak yang menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Ongkos pengadaan lahan

dikeluarkan oleh pemerintah dan/atau investor. Biaya pengadaan lahan yang dikeluarkan oleh pemerintah berasal dari Kementerian Keuangan yang sebelumnya telah berkonsultasi dengan Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Pengadaan lahan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan jalan dilakukan dengancara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Proses pelepasan hak tanah dilakukan dengan musyawarah untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi. Proses ini dilakukan oleh panitia yang ditunjuk oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Pusat dan perlu dilakukan penyuluhan terlebih dahulu mengenai fasilitas umum yang akan dibagun dan waktu pembangunannya.

Jika terjadi kesepakatan antara panitia dan pemilik tanah, bentuk ganti rugi yang diterima oleh pemilik lahan dapat uang, tanah, pemukiman kembali, gabungan uang, tanah, dan pemukiman kembali atau sesuai kesepakatan antara panitia dan pemilik lahan. Besarnya ganti rugi berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak atau ilai nyata atau sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak berjalan berdasarkan penilaian lembaga atau tim penilai harga tanah.

Namun jika tidak terjadi kesepakatan, seperti pemilik tanah tidak menerima ganti rugi yang ditawarkan maka pemiliki bisa mengadukannya kepada Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat yang akan megupayakan penyelesaian masalah dan mengukuhkan kesepakatan. Jika pemilik tetap tidak sepakat maka panitia akan melakukan pencabutan hak atas tanah dengan meminta persetujuan Presiden melalui Kepala Badan Pertanahan Nasional . Kemudian

keputusan ini akan ditandatangani oleh Menteri Keuangan, Instansi yang memerlukan tanah, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Permasalahan yang terjadi dalam pengadaan lahan di Indonesia adalah tidak tegasnya hukum yang mengatur permasalahan ini. Aturan pengadaan lahan tidak secara tegas menetapkan besarnya harga tanah yang akan diserahkan. Sehingga akan sulit tercapai kesepakatan antara panitia dan pemilik tanah karena harus melalui musyawarah yang mufakat. Jika demi kepentingan umum semestinya pemerintah memiliki kewenangan untuk mencabut hak kepemilikan tanah namun tetap sesuai denga aturan. Masalah terjadi ketika kesepakatan harga tanah sebelum pembangunan selalu berubah seiring akan dijalankannya pembangunan jalan tol. Hal ini karena pemilik maupun makelar tanah menilai adanya potensi karena kebutuhan pemerintah akan lahan untuk pembangunan sarana dan prasarana publik. Akibatnya ongkos pembebasan tanah membengkak, meningkatkan biaya pembangunan, serta tertundanya pembangunan jalan tol.

Selain itu mekanisme pembebasan lahan yang terlalu berbelit-belit membuat pembangunan jalan tol tertunda. Keadaan ini yang menyebabkan pihak swasta tidak mau terlibat dengan masalah pengadaan lahan bahkan berinvestasi karena tingkat resiko paling tinggi dalam pembangunan jalan tol ada pada proses pengadaan lahan. Sehingga pemerintah harus turun tangan dalam pengadaan lahan (Sunito, F, 2007).

4.5.3 Regulasi yang tidak konsisten

Tarif merupakan pendapatan bagi badan yang menjalankan operasional jalan tol. Jika jalan tol dibangun berdasarkan kerjasama antara pemerintah dan

swasta maka tarif tol bisa dijadikan sebagai keuntungan bagi hasil bagi kedua belah pihak. Penetapan tarif beserta kenaikannya diatur dalam Undang-Undang No 38 Tahun 2004 tentang jalan khususnya pasal 48 ayat 3, bahwa kenaikan tarif tol dilakukan setiap dua tahun sekali berdasarkan pengaruh laju inflasi. Kenaikan tarif ini ditetapkan oleh Peraturan Menteri Pekerjaan Umum.

Namun ternyata bagi para investor, pemerintah tidak konsisten dalam menjalankan regulasi yang mengatur tarif tol ini. Ternyata kenaikkan harga tol ini tidak selalu dilakukan pemerintah setiap dua tahun sekali, pemerintah selalu menunda kenaikan tarif tol jika saatnya tiba. Karena pemerintah mempertimbangkan keberatan masyarakat sebagai konsumen. Namun bagi investor kenaikan tarif merupakan kenaikan pendapatan dan salah satu alas an mengapa mereka ingin berinvestasi.

Jika penundaan terus terjadi maka akan merugikan operator jalan tol dan bisa menyebabkan berkurangnya ketertarikan swasta untuk berinvestasi. Namun jika kenaikan tarif terus dilakukan tentu hal ini akan membebani masyarakat pemakai jalan tol. Sebenarnya keberatan masyarakat mengenai kenaikan tarif didasarkan oleh belum sepadannya antara tarif tol dengan pelayanan jalan tol. Masyarakat berpendapat bahwa kondisi jalan tol yang mereka rasakan saat ini belum sepadan dengan kenaikan tarif yang seharusnya dilakukan setiap dua tahun sekali, misalnya adalah kemacetan yang masih terjadi di jalan tol dan mobil derek yang seharusnya gratis ternyata tidak. Sedangkan bagi operator, tanpa pendapatan yang memadai operator tidak bisa memperbaiki pelayanan kepada masyarakat.

Akibatnya ketika kenaikan tarif dilakukan, kenaikan melebihi laju inflasi yang terjadi. Seperti yang terjadi pada tahun 2010 ketika Jasa Marga hendak menaikkan tarif tol bandara dan tol Cikampek sebesar 12%. Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia sebagai pelindung konsumen bahwa laju inflasi tidak mencapai 12%. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) inflasi pada bulan Mei 2010 sebesar 0,29%. Sedangkan laju inflasi Januari-Mei 2010 sebesar 1,44% dan laju inflasi Mei 2010 terhadap Mei 2009 sebesar 4,16%.

Ketidakkonsistenan regulasi akan menyebabkan kerugian bagi kedua belah pihak, operator sebagai produsen dan pemakai jalan tol sebagai konsumen. Sehingga diperlukan regulasi yang bisa dijalankan dan menguntungkan kedua belah pihak. Operator bisa melakukan penaikkan tarif tol sesuai dengan kondisi dan konsumen bisa mendapatkan pelayanan yang baik sesuai dengan aturan Standar Pelayanan Minimal (SPM).

4.6 Kebijakan Pemerintah Dalam Rangka Mempercepat Pembangunan

Dokumen terkait