• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

A. Dampak Pariwisata Perdesaan Terhadap Masyarakat Lokal

Dampak pariwisata terhadap masyarakat di wilayah perdesaan akan berbeda-beda tergantung dari jumlah dan jenis wisatawan yang berkunjung, pengorganisasian produk pariwisata, integrasi pariwisata dalam pengembangan masyarakat perdesaan, dan tahapan dalam siklus hidup destinasi pariwisata perdesaan (Briedenham and Wickens, 2004; Barke, 2004). Kajian-kajian tersebut juga menyebutkan bahwa selain ketrampilan, koordinasi dan kontrol masyarakat lokal akan sangat menentukan dampak pariwisata perdesaan.

Pengembangan Desa Pakraman Pinge sebagai desa wisata sejatinya telah dimulai dari tahun 2004, berdasarkan Surat Keputusan Bupati Tabanan No. 337 Tahun 2004. Namun adanya penetapan tersebut, tidak diimbangi dengan rangkaian program pengembangan baik oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan maupun masyarakat Desa Pakraman Pinge sendiri. Kondisi ini mengakibatkan Desa Wisata Pinge sebagai salah satu produk atau destinasi pariwisata perdesaan tidak mendapatkan respon berarti dari pasar (wisatawan) dan juga para pelaku pariwisata. Keadaan ini kemudian berubah ketika di tahun 2011 wisatawan datang mengunjungi Desa Pakraman Pinge. Desa wisata kembali mendapatkan perhatian pengembangan terutama dari masyarakat. Masyarakat lokal mulai mengadakan

penataan desa, memfungsikan beberapa tempat tinggal masyarakat sebagai

homestay, memberdayakan kaum perempuan melalui Kelompok Kuliner Merta

Dewi, dan menentukan jalur-jalur jelajah desa atau trekking. Selanjutnya pada tahun 2012 dibentuk Badan Pengelola Desa Wisata Pinge sesuai dengan keputusan adat Desa Pakraman Pinge No. 01 Tahun 2012. Badan ini diberikan mandat untuk mengelola perkembangan desa wisata. Berbagai program pengembangan ini mampu menarik kunjungan wisatawan terutama yang berasal dari Eropa (Prancis dan Jerman). Pada tahun 2012, Desa Wisata Pinge tercatat telah dikunjungi 749 wisatawan. Dari jumlah kunjungan tersebut, hampir 25% merupakan pengunjung yang menginap di homestay yang dikelola oleh masyarakat lokal (over night visitor), sedangkan sisanya dapat diklasifikasikan ke dalam pengunjung sehari (one day visitor). Pergerakan kunjungan wisatawan ke Desa Pakraman Pinge ini membawa optimisme masyarakat lokal untuk semakin fokus mengembangkan pariwisata di wilayahnya. Hal ini diwujudkan dengan kegiatan launching dan familiarization tour Desa Wisata Pinge bagi beberapa biro perjalanan wisata, pemerintah provinsi dan kabupaten, akademisi, dan pihak lain yang terkait dengan pengembangan desa wisata pada tanggal 30 Januari 2013.

Seiring dengan tren perkembangan positif tersebut, masyarakat lokal Desa Pakraman Pinge telah mendapat beberapa manfaat dari keberadaan pariwisata di wilayahnya. Adapun beberapa manfaat tersebut diantaranya :

1. Kunjungan wisatawan terutama yang menginap dapat memberikan penghasilan tambahan (additional income) khususnya bagi masyarakat lokal pemilik homestay dan anggota Kelompok Kuliner Merta Dewi. Berdasarkan kesepakatan adat atau perarem, penghasilan yang diterima dari kunjungan wisatawan tersebut dikontribusikan untuk operasionalisasi Badan Pengelola Desa Wisata Pinge sebesar 10%. Komposisi yang sama juga diterima oleh Desa Pakraman Pinge sebagai pemilik sumber daya atau padruwen desa yang dikembangkan sebagai produk desa wisata. Adapun druwe desa yang dimaksud seperti tanah, pura, kuburan atau setra, sawah dan tegalan, serta institusi yang berada di wewidangan atau wilayah Desa Pakraman Pinge.

2. Selain itu, wisatawan yang berkunjung tidak jarang juga melakukan kegiatan sosial ekonomi secara sukarela (volunteer) melalui donasi barang maupun uang, kerja sosial (ngayah), dan antusias terlibat dalam rutinitas kehidupan masyarakat lokal. Aktivitas ini tentu dapat menciptakan dan meningkatkan harga diri dan kebanggaan (pride) masyarakat lokal terhadap identitasnya. 3. Revitalisasi budaya dan lingkungan desa serta tempat tinggal masyarakat

lokal. Wisatawan yang mengunjungi Desa Wisata Pinge sangat tertarik dan mengapresiasi budaya, tata ruang desa dan arsitektur rumah tradisional Bali yang masih tetap dipertahankan selama ini oleh masyarakat lokal. Adanya ketertarikan dan apresiasi wisatawan ini mendorong masyarakat untuk melestarikan budaya dan menata ruangnya seoptimal mungkin berbasiskan adat dan budaya lokal. Penataan ruang Desa Pakraman Pinge juga telah diatur dalam peraturan adat (awig-awig) yang menegaskan bahwa masyarakat lokal tidak diperbolehkan mengadakan perubahan fungsi ruang untuk tujuan apapun. Keberadaan awig-awig tersebut mempunyai makna penting dalam pengembangan pariwisata perdesaan karena secara langsung dapat menjamin keberlanjutan produk Desa Wisata Pinge.

4. Kepariwisataan Desa Pakraman Pinge mampu menarik bantuan dari berbagai institusi baik pemerintah maupun swasta. Beberapa bantuan yang sudah terealisasi berasal dari Pemerintah Provinsi Bali, Pemerintah Kabupaten Tabanan, Bank Indonesia, Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali, Badan Pengembangan Pariwisata Indonesia (BPPI), Bali Community Based Tourism Association (Bali CoBTA), Universitas Udayana, Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bali, dan beberapa biro dan agen perjalanan wisata.

Namun berbagai manfaat pariwisata tersebut belum sepenuhnya dinikmati oleh sebagian besar masyarakat lokal. Keadaan ini tercipta karena sampai saat ini ketergantungan masyarakat lokal terhadap elit desa relatif masih kuat. Peran sentral elit desa dalam pengembangan pariwisata perdesaan berdampak pada terpolarisasinya berbagai manfaat Desa Wisata Pinge. Dengan kata lain, elit desa telah memonopoli manfaat pariwisata perdesaan di Desa Pakraman Pinge akibat dominasinya dalam pengembangan destinasi pariwisata perdesaan.

B. Dominasi Elit dalam Pengembangan Pariwisata Perdesaan

Desa Pekraman Pinge dapat dipahami sebagai sebuah ruang sosial yang terdiri dari beragam ranah yang eksis di dalamnya, termasuk ranah pariwisata. Konsepsi tentang ruang sosial dan ranah dalam konteks ini, berangkat dari pemikiran Bourdieu dalam Fashri, 2014, yang mendefinisikan ruang sosial sebagai keseluruhan konsepsi tentang dunia sosial. Konsepsi ini memandang realitas sosial sebagai suatu topologi (ruang) yang di dalamnya terdiri dari beragam ranah yang memiliki keterkaitan dan berhubungan satu dengan yang lainnya. Ranah adalah hubungan yang terstruktur dan mengatur posisi individu maupun kelompok dalam ruang sosial. Setiap ranah menuntut individu maupun kelompok untuk memiliki modal atau sumber daya agar dapat bertahan dalam hidup bermasyarakat atau relasi sosial. Dengan kata lain, modal dapat menentukan posisi dan status individu atau kelompok dalam masyarakat. Sehingga modal dapat dikatakan sebagai suatu kekuatan yang spesifik yang beroperasi di dalam ranah. Representasi dan eksistensi individu maupun kelompok dalam relasi sosial terbangun dari adanya praktek pertukaran antar modal.

Munculnya ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge, ditandai dengan penetapan desa adat tersebut sebagai desa wisata pada tahun 2004 oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan. Akan tetapi selama 7 (tujuh) tahun semenjak ditetapkannya status tersebut, dapat dikatakan belum terdapat aktivitas pariwisata yang berarti. Baru pada tahun 2011, sejumlah wisatawan mulai berkunjung ke Desa Wisata Pinge. Fenomena kunjungan wisatawan tersebut dimaknai sebagai awal kebangkitan Desa Wisata Pinge. Beberapa warga atau krama masyarakat Desa Pakraman Pinge mulai bergerak dengan melakukan penataan ruang desa, memfungsikan beberapa rumah warga masyarakat sebagai homestay, memberdayakan kaum perempuan melalui Kelompok Kuliner Merta Dewi, dan menentukan jalur-jalur jelajah desa atau trekking. Sampai saat ini terdapat 5 (lima) rumah yang juga difungsikan sebagai homestay atau tempat tinggal sementara wisatawan selama di Desa Wisata Pinge. Jumlah keseluruhan kamar yang tersedia sebanyak 20, yang masing-masing kamar diperuntukan bagi 2 (dua) wisatawan.

Yang menarik adalah dari kelima homestay yang diusahakan masyarakat lokal, hanya 1 (satu) rumah saja yang selama ini menjadi tempat menginap wisatawan. Rumah tersebut dimiliki oleh keluarga besar Anak Agung Suradana (Pak Agung). Selain sebagai pemilik homestay, Pak Agung saat ini juga menjabat sebagai Bendesa Adat Desa Pakraman Pinge, sehingga sesuai dengan kesepakatan, bendesa adat secara otomatis mempunyai posisi dalam dalam struktur organisasi Badan Pengelola Desa Wisata Pinge.

Setidaknya ada 2 (dua) penjelasan tentang mengapa hanya rumah Pak Agung yang dipilih wisatawan sebagai tempat menginap selama di Desa Wisata Pinge. Pertama, jika dibandingkan dengan keempat homestay lainnya, rumah Pak Agung memiliki tata letak bangunan dan desain yang masih memenuhi prinsip-prinsip arsitektur Bali. Bangunan dan desain tersebut akan memberikan pengalaman eksotis yang sangat kuat dan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang mengunjungi Desa Wisata Pinge. Kedua, dari sisi pelayanan yang diberikan. Dengan latar belakang pekerjaan Pak Agung sebelumnya sebagai salah satu manajer hotel berbintang 5 (lima), tentu saja memiliki kapasitas dalam memberikan pelayanan berkualitas terhadap wisatawan yang menginap. Kedua penjelasan tersebut mengarahkan kepada salah satu kompenen penting dalam pariwisata, yaitu kepercayaan (trust). Kepercayaan yang dibangun tidak hanya dengan wisatawan melainkan juga dengan biro dan agen perjalanan wisata yang selama ini terlibat dalam menarik kunjungan ke Desa Wisata Pinge.

Terlihat adanya eksklusivitas dalam aktivitas pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Beberapa indikator yang menjustifikasi eksklusivitas pariwisata :

1. Hanya ada satu homestay sampai saat ini yang dipercaya oleh wisatawan, biro dan agen perjalanan wisata.

2. Pemilik homestay tersebut merupakan tokoh adat yang juga mempunyai posisi strategis dalam Badan Pengelola Desa Wisata Pinge.

3. Karena sebagai tokoh adat dan pariwisata, maka dengan kapasitas tersebut menjadi sumber data dan informasi pariwisata.

Ketiga indikator tersebut mengarah kepada konsep tentang elit, yang memiliki peran sentral dalam pengembangan Desa Wisata Pinge. Hal ini bisa dipahami jika

konsep tentang elit yang mendominasi dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge digunakan sebagai basis analisis. Yang dimaksud elit dalam konteks ini adalah individu atau kelompok yang memiliki kapasitas untuk menjalin relasi dengan agen eksternal yang terkait dengan pariwisata, dan kemudian mendapatkan manfaat dari hubungan tersebut.

Kevakuman aktivitas pariwisata di Desa Pakraman Pinge selama 7 (tujuh) tahun relatif berkembang ketika individu atau kelompok sesuai batasan mengenai elit sebelumnya, mulai terlibat dalam aktivitas pariwisata. Mereka yang memiliki kapasitas tersebut pada umumnya adalah para pensiunan, baik di birokrasi pemerintah ataupun pegawai swasta. Sesuai dengan latar belakang profesinya tersebut, para pensiunan memiliki banyak pengalaman dan kemampuan dalam berinteraksi dengan berbagai kalangan dan juga kepentingan.

Sebagian besar pola mata pencaharian masyarakat di Desa Pakraman Pinge adalah sebagai petani. Akan tetapi, profesi ini lebih banyak digeluti oleh generasi tua. Sedangkan generasi mudanya dalam beberapa dekade tahun terakhir mulai meninggalkan pekerjaan berbasis agraris tersebut. Kebanyakan masyarakat lokal berusia produktif mencari peruntungan di wilayah perkotaan, mengisi kesempatan pekerjaan di sektor formal atau informal terutama di sektor pariwisata. Ketika para kaum urban Desa Pakraman Pinge ini telah memasuki usia pensiun, sesuai dengan adat dan kebiasaan di Bali, umumnya akan pulang kembali ke desa asalnya. Para pensiunan dengan segala pengalaman yang diperoleh selama merantau, akan berpeluang menduduki posisi sebagai elit dalam berbagai ranah di Desa Pakraman Pinge, termasuk juga dalam ranah pariwisata.

Kapasitas inilah yang digunakan untuk mengambil peran dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terjadinya kevakuman aktivitas desa wisata semenjak ditetapkannya sampai tahun 2011 disebabkan oleh belum adanya kemampuan masyarakat lokal non elit dalam menyelenggarakan pariwisata. Ini diperkuat dengan adanya fakta bahwa ketika para elit mulai berinisiatif membangun produk pariwisata, yaitu homestay, kuliner khas Pinge, dan jalur jelajah desa, wisatawan mulai berkunjung ke Desa Wisata Pinge. Di sisi lain, para elit juga terlibat dalam pembentukan kelembagaan

pariwisata di Desa Pakraman Pinge, baik kelompok sadar wisata maupun badan pengelola desa wisata. Tampak dari komposisi kepengurusannya, para elit ini menduduki berbagai posisi strategis, yaitu dalam pengambilan keputusan. Ketika individu atau kelompok berposisi dalam pengambilan keputusan maka kesempatan untuk memperoleh manfaat yang muncul akan semakin besar.

Perjalanan para elit hingga mencapai posisi strategis dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge ditempuh dengan memaksimalkan habitus yang dimiliki dan mengakumuluasi beragam jenis modal yang tersedia dalam ranah, sehingga memproduksi praktek sosial spesifik yang mendukung posisi mereka sebagai elit. Praktek sosial yang terjadi dalam pariwisata di Desa Pakraman Pinge berupa memanfaatkan rumah sebagai homestay, pembentukan lembaga pengelola pariwisata, menarik bantuan dan bekerjasama dengan pihak eksternal untuk pengembangan pariwisata, serta berdiskusi formal maupun informal bertema pariwisata. Dengan memiliki habitus yang relatif kaya dan kepemilikan modal yang relatif lengkap, menjadikan posisi para elit berada dalam poros strategis dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Dengan demikian individu atau kelompok lain cenderung untuk mendekat kepada salah satu elit untuk dapat melengkapi modal, sehingga dapat berpartisipasi dalam aktivitas pariwisata. Dengan mengelaborasi batasan tentang elit pariwisata di Desa Pakraman Pinge dan temuan empiris lainnya, maka dapat dikemukakan bahwa terdapat 2 (dua) tipologi elit dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Kedua tipologi elit tersebut adalah elit inklusif dan elit eksklusif. Karakteristik masing-masing elit dapat diamati dalam tabel berikut :

Tabel Tipologi Elit Pariwisata di Desa Pakraman Pinge

Elit Inklusif Elit Eksklusif

Partisipatif Dominatif

Visioner Pragmatis

Pariwisata skala kecil Pariwisata skala besar Legitimatif Non-legitimatif Sumber : Analisis, 2014

1. Elit Inklusif

Elit jenis ini memiliki sifat dan karakter yang khas, yang bisa diamati dari praktek yang dilakukannya ketika melakukan aktivitas dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Dengan habitus khas, ditopang oleh kelengkapan modal yang dimilikinya, menjadi magnet tersendiri bagi individu atau kelompok lainnya untuk merapat. Tentu saja, relasi yang terjadi cenderung bersifat dominatif. Hal ini dapat dipahami ketika elit memiliki kapasitas dalam menyelenggarakan aktivitas pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Akan tetapi ada perbedaan gaya elit ini dalam menjalin relasi dengan kelompok non elitis. Pada elit dengan tipe inklusif memiliki strategi khas dalam menjaga posisi sosialnya. Strategi tersebut dapat diamati dengan melihat praktek relasi yang dikreasi dengan kalangan non elit. Hasil wawancara dan pengamatan menunjukkan adanya ciri-ciri tertentu yang bisa dikaitkan dengan elit jenis ini :

a. Partisipatif

Elit ini memiliki kemampuan mengorganisir khalayak untuk ikut terlibat dalam pengambilan keputusan dalam kegiatan pariwisata. Tentu saja, batasan partisipatif dalam konteks ini bukanlah keterlibatan secara penuh, dikarenakan kalangan non elit belum memiliki kapasitas yang setara dengan para elit, dalam artian memiliki wacana dan kemampuan menjalin relasi dengan agen eksternal secara memadai. Elit jenis ini selain memiliki keinginan untuk melibatkan masyarakat lokal, juga memiliki kemampuan untuk memberi keteladanan sikap dan perilaku. Dapat dikatakan relasi yang terjadi khas agraris, yaitu patron-client. Elit (patron) memposisikan diri sebagai tempat bertanya dan memberi “perlindungan” kepada para non elit (client). Dalam konteks pariwisata, elit inklusif mengajak masyarakat lokal untuk terlibat di Badan Pengelola Desa Wisata Pinge sebagai pengurus. Di titik inilah ciri partisipatif dapat disematkan.

b. Visioner

Elit inklusif memiliki visi tentang pariwisata yang dikreasi di Desa Pakraman Pinge dengan skala kecil. Dalam artian target pasarnya adalah wisatawan berkualitas dan fasilitas yang dibangun tidak bertentangan dengan adat dan

budaya lokal, serta membangun interaksi yang intensif antara wisatawan dengan masyarakat lokal.

c. Legitimatif

Elit inklusif memiliki basis legitimasi yang relatif kuat di ruang sosial Desa Pakraman Pinge. Hal ini ditunjukkan dalam proses pemilihan bendesa adat. Walaupun elit ini tidak mencalonkan diri dalam pemilihan, dan hanya memposisikan diri sebagai panitia pemilihan, pada akhirnya justru masyarakat menghendaki elit ini untuk menjadi Bendesa Adat Desa Pakraman Pinge. Fenomena ini mengindikasikan adanya dukungan yang kuat dari masyarakat terhadap elit inklusif.

2. Elit Eksklusif

Elit jenis ini memiliki habitus yang khas berdasarkan rekam jejak yang dilalui untuk sampai pada posisinya saat ini. Elit eksklusif berlatar belakang sebagai mantan birokrasi di pemerintahan, dan pernah menjabat di lingkaran strategis pemerintah daerah, baik level kabupaten maupun provinsi. Birokratisme menjadi salah satu karakter khas yang dapat diterakan, membawa kepada ciri-ciri dari elit jenis ini, yaitu :

a. Dominatif

Birokratisme menjadi paham yang melekat pada elit ini, sehingga memiliki sifat untuk mendominasi dalam konteks penyelenggaraan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Hal ini ditunjukkan dengan memonopoli jaringan relasi yang dimilikinya dengan pihak luar, terutama dalam konteks pencarian bantuan atau hibah dari pemerintah maupun swasta untuk membangun produk Desa Wisata Pinge. Masyarakat lokal relatif tidak mengetahui proses bantuan tersebut dan hanya menyaksikan ketika pembangunan tersebut berlangsung.

b. Pragmatis

Ketidaktransparanan dalam proses pengambilan keputusan, dan cenderung bertindak sendiri, menjadikan elit jenis ini bercirikan pragmatis. Selama jaringan sosial dimilikinya mampu mendatangkan keuntungan untuk

mempertahankan posisi dominatifnya, maka jaringan tersebut akan dipertahankan. Ketidakpedulian terhadap pelibatan masyarakat lokal dalam pariwisata di Desa Pakraman Pinge, menjadikan elit ekslusif terjebak dalam tuduhan pragmatis. Selain itu, visi elit jenis ini tentang pariwisata cenderung berskala besar, artinya produk pariwisata yang dikembangkan disesuaikan dengan keinginan pasar atau wisatawan.

c. Non-legitimatif

Dengan karakter seperti yang telah disebutkan di atas, elit jenis ini memiliki basis legitimasi relatif lemah. Hal ini juga ditunjukkan dalam konteks pemilihan bendesa adat. Ketika elit ini ikut mencalonkan diri sebagai bendesa adat, akhirnya mengalami kekalahan dan seperti telah disebutkan sebelumnya, yang terpilih justru individu yang tidak mencalonkan diri.

Kesimpulan

Meskipun Desa Pakraman Pinge telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan sebagai desa wisata semenjak tahun 2004, akan tetapi pengembangan pariwisatanya baru mendapatkan perhatian mulai tahun 2011. Adanya kevakuman selama kurang lebih 7 (tujuh) tahun disebabkan oleh ketidaksiapan masyarakat lokal untuk menindaklanjuti penetapan tersebut dan ketergantungan masyarakat lokal terhadap program pemerintah. Kondisi ini mulai mengalami perubahan ketika terdapat inisiatif warga masyarakat lokal yang sebelumnya memiliki latar belakang pekerjaan birokrasi dan pariwisata untuk membangun produk desa wisata. Komponen produk desa wisata yang diinisiasi diantaranya homestay, fasilitas makanan dan minuman, penataan jalur jelajah desa, pembentukan kelembagaan pengelola desa wisata, dan yang terakhir pada tahun 2013 adalah launching dan familiarization tour Desa Wisata Pinge. Dengan demikian kepariwisataan di Desa Pakraman Pinge tergolong masih baru berkembang dan dapat dikatakan berada dalam tahap embriotik. Dalam tahapan ini dampak yang ditimbulkan, baik positif maupun negatif masih dapat diterima masyarakat lokal karena adanya eforia terhadap pengembangan pariwisata.

Faktanya manfaat yang muncul dari keberadaan desa wisata cukup beragam. Mulai dari adanya penghasilan alternatif, kebanggaan terhadap identitas lokal, revitalisasi budaya dan lingkungan, kesempatan berorganisasi, serta jaringan kerjasama dengan berbagai kalangan dan kepentingan. Namun berbagai manfaat tersebut belum sepenuhnya dinikmati oleh sebagian besar masyarakat lokal. Kembali lagi disebutkan bahwa gelombang eforia telah mendorong toleransi terhadap minimnya manfaat yang diterima masyarakat lokal tersebut. Selama ini berbagai manfaat yang dibangkitkan dari desa wisata terkonsentrasi kepada warga masyarakat yang berinisiatif mengembangkan produk pariwisata. Dengan pengalaman dan modal yang relatif kaya dan lengkap telah menjadikan inisiator tersebut sebagai elit dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Konsep elit yang dimaksud dalam konteks ini adalah individu atu kelompok yang memiliki kapasitas dan mampu menjalin relasi dengan agen eksternal yang terkait dengan pengembangan pariwisata, dan kemudian mendapatkan segala manfaat dari pengembangan tersebut.

Berdasarkan batasan tentang elit tersebut, di Desa Pakraman Pinge teridentifikasi 2 (dua) tipologi elit, yaitu elit inklusif dan elit eksklusif. Elit inklusif memiliki karakteristik partisipatif, visioner, berorientasi pada pengembangan pariwisata skala kecil, dan legitimatif. Sedangkan elit eksklusif bercirikan dominatif, pragmatis, orientasi pengembangan pariwisata skala besar, dan non-legitimatif. Perbedaan karakteristik elit ini tentunya akan memberikan dampak yang berbeda pula dalam pengembangan Desa Wisata Pinge. Adanya dualisme elit dalam kepariwisataan Desa Pakraman Pinge dapat menciptakan renggangnya kohesivitas sosial dan menyimpan potensi konflik. Apalagi kelembagaan yang ada saat ini belum mampu mengakomodasi kepentingan yang berbeda ini, sehingga tidak ada kanalisasi secara sistematis untuk menampung perbedaan pendapat secara produktif. Dengan situasi ini, berbagai manfaat yang ditimbulkan dari pariwisata di Desa Pakraman Pinge akan semakin menjauh dari jangkauan masyarakat lokal.

Daftar Pustaka

Barke, Michael, 2004, Rural tourism in Spain, International Journal of Tourism Research, 6: 137-149

Briedenhann, J. & Wickens, E., 2004, Rural Tourism-Meeting the Challenges of

the New South Africa, International Journal of Tourism Research, 6:

189-203

Campbell, 1999, Ecotourism in Rural Developing Communities, Annals of Tourism Research, 26: 534-553

Davidson, Rob and Maitland, Robert, 1997, Tourism Destinations, Hodder & Stoughton, London

Dogra, Ravinder and Gupta, Anil, 2012, Barriers to Community Participation in

Tourism Development: Empirical Evidence from a Rural Destination,

South Asian Journal of Tourism and Heritage, 5: 131-142

Fashri, Fauzi. 2104. Pierre Bourdieu; Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyakarta: Jalasutra

Garrod, B., Wilson, J.C., and Bruce, D.B., 2001, Planning for Marine Ecotourism

in the EU Atlantic Area: Good Practice Guidelines, Project Report,

University of the West of England, Bristol

Jenkins, C. L., 1982, The Effects Of Scale In Tourism Projects In Developing

Countries, Annals of Tourism Research, 9: 229-249

Lane, B., 1994. What is rural tourism?, Journal of Sustainable Tourism, 2: 7-21 Leslie, David, 2012, Responsible Tourism; Concepts, Theory and Practice, CABI,

UK

Mowforth, Martin and Munt, Ian, 1998, Tourism and Sustainability; New Tourism

in the Third World, Routledge, New York

Murphy, Peter E., 1985, Tourism A Community Approach, Methuen, New York Page, S. J. & Getz, D. (Eds.), 1997, The business of rural tourism: international

perspectives, International Thomson Business Press, London, Boston.

Pike, Steven, 2004, Destination Marketing Organisations, Elsevier, UK

Dokumen terkait