• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2. Dominasi Elit dalam Pengembangan Pariwisata Perdesaan

Desa Pekraman Pinge dapat dipahami sebagai sebuah ruang sosial yang terdiri dari beragam ranah yang eksis di dalamnya, termasuk ranah pariwisata. Konsepsi tentang ruang sosial dan ranah dalam konteks ini, berangkat dari pemikiran Bourdieu dalam Fashri, 2014, yang mendefinisikan ruang sosial sebagai keseluruhan konsepsi tentang dunia sosial. Konsepsi ini memandang realitas sosial sebagai suatu topologi (ruang) yang di dalamnya terdiri dari

beragam ranah yang memiliki keterkaitan dan berhubungan satu dengan yang lainnya. Ranah adalah hubungan yang terstruktur dan mengatur posisi individu maupun kelompok dalam ruang sosial. Setiap ranah menuntut individu maupun kelompok untuk memiliki modal atau sumber daya agar dapat bertahan hidup dalam relasi sosial atau bermasyarakat. Dengan kata lain, modal dapat menentukan posisi dan status individu atau kelompok dalam masyarakat. Sehingga modal dapat dikatakan sebagai suatu kekuatan yang spesifik yang beroperasi di dalam ranah. Representasi dan eksistensi individu maupun kelompok dalam relasi sosial terbangun dari adanya praktek pertukaran antar modal.

Munculnya ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge, ditandai dengan penetapan desa adat tersebut sebagai desa wisata pada tahun 2004 oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan. Akan tetapi selama 7 (tujuh) tahun semenjak ditetapkannya status tersebut, dapat dikatakan belum terdapat aktivitas pariwisata yang berarti. Baru pada tahun 2011, sejumlah wisatawan mulai berkunjung ke Desa Wisata Pinge. Fenomena kunjungan wisatawan tersebut dimaknai sebagai awal kebangkitan Desa Wisata Pinge. Beberapa warga atau krama masyarakat Desa Pakraman Pinge mulai bergerak dengan melakukan penataan ruang desa, memfungsikan beberapa rumah warga masyarakat sebagai homestay, memberdayakan kaum perempuan melalui Kelompok Kuliner Merta Dewi, dan menentukan jalur-jalur jelajah desa atau trekking. Sampai saat ini terdapat 5 (lima) rumah yang juga difungsikan sebagai homestay atau tempat tinggal sementara wisatawan selama di Desa Wisata Pinge. Jumlah keseluruhan kamar yang tersedia sebanyak 20 buah, yang masing-masing kamar diperuntukan bagi 2 (dua) wisatawan. Yang menarik adalah dari kelima homestay yang diusahakan masyarakat lokal, hanya 1 (satu) rumah saja yang selama ini menjadi tempat menginap wisatawan. Rumah tersebut dimiliki oleh keluarga besar Anak Agung Ketut Suradana (Pak Agung). Selain sebagai pemilik homestay, Pak Agung saat ini juga menjabat sebagai Bendesa (ketua) Adat Desa Pakraman Pinge, sehingga sesuai dengan kesepakatan, bendesa adat secara otomatis mempunyai posisi menentukan dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge.

Setidaknya ada 2 (dua) penjelasan tentang mengapa hanya rumah Pak Agung yang dipilih wisatawan sebagai tempat menginap selama di Desa Wisata Pinge. Pertama, jika dibandingkan dengan keempat homestay lainnya, rumah Pak Agung memiliki tata letak bangunan dan desain yang lebih memenuhi prinsip-prinsip arsitektur Bali. Bangunan dan desain tersebut akan memberikan pengalaman eksotis yang sangat kuat dan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang mengunjungi Desa Wisata Pinge. Kedua, dari sisi pelayanan yang diberikan. Dengan latar belakang pekerjaan Pak Agung sebelumnya sebagai salah satu manajer hotel berbintang 5 (lima), tentu saja memiliki kapasitas dalam memberikan pelayanan berkualitas terhadap wisatawan yang menginap. Kedua penjelasan tersebut mengarahkan kepada salah satu kompenen penting dalam pariwisata, yaitu kepercayaan (trust). Kepercayaan yang dibangun tidak hanya dengan wisatawan melainkan juga dengan agen perjalanan wisata yang selama ini terlibat dalam menciptakan kunjungan ke Desa Wisata Pinge.

Terlihat adanya eksklusivitas dalam aktivitas pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Beberapa indikator yang menjustifikasi eksklusivitas pariwisata diantaranya :

1. Hanya ada satu homestay sampai saat ini yang dipercaya oleh wisatawan, biro dan agen perjalanan wisata.

2. Pemilik homestay tersebut merupakan tokoh adat yang juga mempunyai posisi strategis dalam pengembangan pariwisata perdesaan.

3. Karena sebagai tokoh adat dan pariwisata, maka dengan kapasitas tersebut menjadi sumber data dan informasi (rujukan).

Ketiga indikator tersebut mengarah kepada konsep tentang elit, yang memiliki peran sentral dalam pengembangan Desa Wisata Pinge. Hal ini bisa dipahami jika konsep tentang elit yang mendominasi dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge digunakan sebagai basis analisis. Yang dimaksud elit dalam konteks ini adalah individu atau kelompok yang memiliki kapasitas untuk menjalin relasi dengan agen eksternal yang terkait dengan pariwisata, dan kemudian mendapatkan manfaat dari hubungan tersebut.

Kevakuman aktivitas pariwisata di Desa Pakraman Pinge selama 7 (tujuh) tahun relatif berkembang ketika individu atau kelompok sesuai batasan mengenai elit sebelumnya, mulai terlibat dalam aktivitas pariwisata. Mereka yang memiliki kapasitas tersebut pada umumnya adalah para pensiunan, baik di birokrasi pemerintah ataupun pegawai swasta. Sesuai dengan latar belakang profesinya tersebut, para pensiunan memiliki banyak pengalaman dan kemampuan dalam berinteraksi dengan berbagai kalangan dan juga kepentingan.

Sebagian besar pola mata pencaharian masyarakat di Desa Pakraman Pinge adalah sebagai petani. Akan tetapi, profesi ini lebih banyak digeluti oleh generasi tua. Sedangkan generasi mudanya dalam beberapa dekade tahun terakhir mulai meninggalkan pekerjaan berbasis agraris tersebut. Kebanyakan masyarakat lokal berusia produktif mencari peruntungan di wilayah perkotaan, mengisi kesempatan pekerjaan di sektor formal atau informal. Ketika para kaum urban Desa Pakraman Pinge ini telah memasuki usia pensiun, sesuai dengan adat dan kebiasaan di Bali, umumnya akan pulang kembali ke desa asalnya. Para pensiunan dengan segala pengalaman yang diperoleh selama merantau, akan berpeluang menduduki posisi sebagai elit dalam berbagai ranah di Desa Pakraman Pinge, termasuk juga dalam ranah pariwisata.

Kapasitas inilah yang digunakan untuk mengambil peran dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terjadinya kevakuman aktivitas desa wisata semenjak ditetapkannya sampai tahun 2011 disebabkan oleh belum adanya kemampuan masyarakat lokal non elit dalam menyelenggarakan pariwisata. Ini diperkuat dengan adanya fakta bahwa ketika para elit mulai berinisiatif membangun produk pariwisata, yaitu homestay, kuliner khas, dan jalur jelajah desa, wisatawan mulai berkunjung secara reguler ke Desa Wisata Pinge. Di sisi lain, para elit juga terlibat dalam pembentukan kelembagaan pariwisata di Desa Pakraman Pinge, baik kelompok sadar wisata (pokdarwis) maupun badan pengelola desa wisata. Tampak dari komposisi kepengurusannya, para elit ini menduduki berbagai posisi strategis, yaitu dalam pengambilan keputusan. Ketika individu atau kelompok berposisi dalam pengambilan keputusan, maka kesempatan untuk memperoleh manfaat akan semakin besar.

Perjalanan para elit hingga mencapai posisi strategis dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge ditempuh dengan memaksimalkan habitus yang dimiliki dan mengakumuluasi beragam jenis modal yang tersedia dalam ranah, sehingga memproduksi praktek sosial spesifik yang mendukung posisi mereka sebagai elit. Praktek sosial yang terjadi dalam pariwisata di Desa Pakraman Pinge berupa memanfaatkan rumah sebagai homestay, pembentukan lembaga pengelola pariwisata, menarik bantuan dan bekerjasama dengan pihak eksternal untuk pengembangan pariwisata, serta berdiskusi formal maupun informal bertema pariwisata. Dengan memiliki habitus yang relatif kaya dan kepemilikan modal yang relatif lengkap, menjadikan posisi para elit berada dalam poros strategis dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Dengan demikian individu atau kelompok lain (non elit) cenderung untuk mendekat kepada salah satu elit untuk dapat melengkapi modal, sehingga dapat berpartisipasi dalam aktivitas pariwisata.

Dengan mengelaborasi batasan tentang elit pariwisata di Desa Pakraman Pinge dan temuan empiris lainnya, maka dapat dikemukakan bahwa terdapat 2 (dua) tipologi elit dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Kedua tipologi elit tersebut adalah elit inklusif dan elit eksklusif. Karakteristik masing-masing elit dapat diamati dalam tabel 5.1. berikut :

Tabel 5.1. Tipologi Elit Pariwisata di Desa Pakraman Pinge

Elit Inklusif Elit Eksklusif

Partisipatif Dominatif

Visioner Pragmatis

Pariwisata skala kecil Pariwisata skala besar Legitimatif Non-legitimatif Sumber : Analisis, 2014

5.2.1. Elit inklusif

Elit jenis ini memiliki sifat dan karakter yang khas, yang bisa diamati dari praktek yang dilakukannya ketika melakukan aktivitas dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Dengan habitus khas, ditopang oleh kelengkapan modal

yang dimilikinya, menjadi magnet tersendiri bagi individu atau kelompok lainnya untuk bergabung mengikuti elit ini. Tentu saja, relasi yang terjadi cenderung bersifat dominatif. Hal tersebut dapat dipahami ketika elit memiliki kapasitas dalam menyelenggarakan aktivitas pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Akan tetapi ada perbedaan gaya elit ini dalam menjalin relasi dengan kelompok non elitis. Pada elit dengan tipe inklusif memiliki strategi khas dalam menjaga posisi sosialnya. Strategi tersebut dapat diamati dengan melihat praktek relasi yang dikreasi dengan kalangan non elit. Hasil wawancara dan pengamatan menunjukkan adanya ciri-ciri tertentu yang bisa dikaitkan dengan jenis elit inklusif ini :

1. Partisipatif

Elit ini memiliki kemampuan mengorganisir khalayak untuk ikut terlibat dalam pengambilan keputusan dalam kegiatan pariwisata. Tentu saja, batasan partisipatif dalam konteks ini bukanlah keterlibatan secara penuh, dikarenakan kalangan non elit belum memiliki kapasitas yang setara dengan para elit, dalam artian memiliki wacana dan kemampuan menjalin relasi dengan agen eksternal secara memadai. Elit jenis ini selain memiliki keinginan untuk melibatkan masyarakat lokal, juga memiliki kemampuan untuk memberi keteladanan sikap dan perilaku. Dapat dikatakan relasi yang terjadi khas agraris, yaitu patron-client. Elit (patron) memposisikan diri sebagai tempat bertanya dan memberikan arahan kepada para non elit (client). Dalam konteks pariwisata di Desa Pakraman Pinge, elit inklusif mengajak masyarakat lokal untuk terlibat dalam pengembangan desa wisata dan juga sebagai pengurus dalam Badan Pengelola Desa Wisata Pinge. Di titik inilah ciri partisipatif dapat disematkan.

2. Visioner

Elit inklusif memiliki visi tentang pariwisata yang dikreasi di Desa Pakraman Pinge dengan skala kecil. Dalam artian target pasarnya adalah wisatawan berkualitas dan fasilitas yang dibangun tidak bertentangan dengan adat dan budaya lokal, serta membangun interaksi yang intensif antara wisatawan dengan masyarakat lokal.

3. Legitimatif

Elit inklusif memiliki basis legitimasi yang relatif kuat di ruang sosial Desa Pakraman Pinge. Hal ini ditunjukkan dalam proses pemilihan bendesa adat. Walaupun elit ini tidak mencalonkan diri dalam pemilihan, dan hanya memposisikan diri sebagai panitia pemilihan, pada akhirnya justru masyarakat menghendaki elit ini untuk menjadi Bendesa Adat Desa Pakraman Pinge. Fenomena ini mengindikasikan adanya dukungan yang kuat dari masyarakat terhadap elit inklusif.

5.2.2. Elit eksklusif

Elit jenis ini memiliki habitus yang khas berdasarkan rekam jejak yang dilalui untuk sampai pada posisinya saat ini. Elit eksklusif berlatar belakang sebagai mantan birokrasi di pemerintahan, dan pernah menjabat di lingkaran strategis pemerintah daerah, baik level kabupaten maupun provinsi. Birokratisme menjadi salah satu karakter khas yang dapat diterakan, membawa kepada ciri-ciri dari elit jenis ini, yaitu :

1. Dominatif

Birokratisme menjadi paham yang melekat pada elit ini, sehingga memiliki sifat untuk mendominasi dalam konteks penyelenggaraan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Hal ini ditunjukkan dengan memonopoli jaringan relasi yang dimilikinya dengan pihak luar, terutama dalam konteks pencarian bantuan atau hibah dari pemerintah maupun swasta untuk membangun produk Desa Wisata Pinge. Masyarakat lokal relatif tidak mengetahui proses bantuan tersebut dan hanya menyaksikan ketika pembangunan tersebut berlangsung.

2. Pragmatis

Ketidaktransparanan dalam proses pengambilan keputusan, dan cenderung bertindak sendiri, menjadikan elit jenis ini bercirikan pragmatis. Selama jaringan sosial dimilikinya mampu mendatangkan keuntungan untuk mempertahankan posisi dominatifnya, maka jaringan tersebut akan dipertahankan. Ketidakpedulian terhadap pelibatan masyarakat lokal dalam

pariwisata di Desa Pakraman Pinge, menjadikan elit ekslusif terjebak dalam tuduhan pragmatis. Selain itu, visi elit jenis ini tentang pariwisata cenderung berskala besar, artinya produk pariwisata yang dikembangkan disesuaikan dengan keinginan pasar atau wisatawan.

3. Non-legitimatif

Dengan karakter seperti yang telah disebutkan di atas, elit jenis ini memiliki basis legitimasi relatif lemah. Hal ini juga ditunjukkan dalam konteks pemilihan bendesa adat. Ketika elit ini ikut mencalonkan diri sebagai bendesa adat, akhirnya mengalami kekalahan dan seperti telah disebutkan sebelumnya, yang terpilih justru individu (elit inklusif) yang tidak mencalonkan diri.

BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA

Dokumen terkait