• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

C. Hasil Penelitian

7. Dampak Pernikahan

a. Perasaan dan Pikiran Negatif Diri

Jika dilihat secara menyeluruh, pernikahan memberikan banyak dampak negatif bagi diri kedua subjek di dalam pernikahan ini. Subjek I mengaku merasa terpaksa, tidak bahagia, putus asa dan terkekang. Selain itu, pernikahan ini membuat subjek I berpikir bahwa dirinya tidak berarti dan hubungannya dengan suami adalah sesuatu yang sia-sia. Ia sudah

berusaha untuk bertahan, akan tetapi masih selalu ada konflik yang muncul di antara subjek I dan suaminya yang membuat segalanya menjadi semakin berat.

“Aku kayaknya semakin ngerasa.. aduh kayaknya hubungan ini kayak sia-sia gitu lho. Kayak sia-siaaa banget. Aku udah berusaha untuk mencoba bisa bersama gitu, tapi ternyata ada aja konflik- konflik apa.” (Subjek I, Line 236-239)

Pernikahan dengan suami juga membuat subjek I mengalami banyak ketakutan, misalnya ketakutan bahwa jati dirinya terbongkar, perselingkuhannya ketahuan dan kehilangan anak-anaknya.

“Karena dia selalu pakai anak-anak sebagai senjata ini juga makanya aku lebih hati-hatiiii banget biar rahasiaku nggak kebongkar. Takutnya nanti gara-gara ini anak-anakku malah diambil, jadi pisah aku sama anak-anak. Takut aku. Kalau mau cerai gitu juga aku harus pintar-pintar cari celah, jangan sampai bikin orang lain curiga.” (Subjek I, Line 603-611)

Tidak berbeda jauh dari subjek I, pernikahan membuat subjek II merasa tertekan, lelah, muak, dan jenuh karena ia harus berpura-pura bahagia dan baik-baik saja berhadapan setiap hari dengan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman.

“Karena apa.. ya aku emang aku nggak nyaman kan.. Pada dasarnya nggak nyaman.. Jadi ya gimana sih kalau nggak nyaman melakukan sesuatu tapi kamu harus melakukan itu gitu.. Dan itu

setiap hari.. Dan kita harus serumah segala macem.. Jadi bener- bener tertekan banget gitu..” (Subjek II, Line 317-322) Kalau.. sebenernya ngerasanya capek sih.. capek banget gitu.. Maksudnya kayak.. di depan.. di depan semua orang.. di depan keluarga terutama kamu harus.. kayak berusaha untuk nunjukin kalau aku bahagia.. aku baik-baik aja.. aku nggak ada masalah kayak gitu.. capek.. capek untuk bersikap kayak gitu tuh capek banget.. .. Apalagi kalau emang kamu bener-bener nggak nyaman gitu.. Rasanya tuh bener-bener jenuh.. muak.. pengen pergi gitu..“ (Subjek II, Line 378-387)

b. Perasaan Terhadap Orang Lain

Bagi kedua subjek, pernikahan memunculkan perasaan kasihan terhadap orang lain. Pada subjek I, perasaan tersebut ditujukan pada kedua anaknya dan suami. Ia merasa kasihan dengan anak-anak karena terus- terusan bertengkar dengan suami. Pertengkaran tersebut seringkali membuat anak menjadi bertanya-tanya. Di sisi lain, subjek I juga merasa kasihan dengan suami karena terus-terusan ia bohongi.

“Aku yang nggak senang itu kalau dia mau berantem depan anak- anak enjoy masih. Nah aku nggak suka. Kalau berantem jangan depan anak-anak kan kasian anak-anaknya.” (Subjek I, Line 797- 800)

“… kita juga nutupin dia juga dibohongin kan kasian ya.” (Subjek I, Line 245-246)

Berbeda dengan subjek I, subjek II merasa kasihan dan tidak tega pada orang-orang yang pernah atau akan menjadi pacar perempuannya. Ia mengatakan bahwa orang-orang tersebut pasti merasa sangat cemburu, sakit hati dan tertekan. Kondisinya yang telah menikah tentu terasa sangat tidak adil bagi pacar subjek II.

“Aku juga merasa nggak adil gitu. Kasian juga kan dia nya. Mungkin kalau aku ada di posisi dia juga pasti bakal sakit hati banget gitu. Aku sama suamiku tiap hari.. ya meskipun aku juga tertekan tapi tiap hari gitu kan ya siapa sih yang nggak cemburu kayak gitu.” (Subjek II, Line 503-509)

c. Konflik Intrapersonal

Kedua subjek memiliki konflik intrapersonal yang berbeda satu sama lain. Subjek I memiliki beberapa konflik di dalam dirinya. Yang pertama, subjek I cenderung mengalami konflik diri terkait hubungan seksual yang dijalani dengan suaminya. Ia merasa harus melakukan hubungan seksual dengan suaminya karena hal tersebut merupakan kewajibannya sebagai seorang istri. Akan tetapi, di sisi lain, hubungan seksual tersebut memunculkan perasaan bersalah terhadap pacar perempuannya.

“Makanya kadang.. kan kita udah ngejalanin hubungan sama cewek gitu.. trus pas.. berhubungan intim sama suami mikirnya ngerasa bersalah.. aduh aku kok malah kayak gini. Aku ngecewain

dia nih.. kadang ada perasaan kayak gitu.” (Subjek I, Line 910- 914)

Konflik yang kedua adalah subjek I merasa bahwa ia tidak bisa mengatakan hal yang sejujurnya pada suaminya karena kejujuran itu akan berdampak buruk padanya, misalnya mengenai orientasi seksual dan perselingkuhannya. Meskipun demikian, ia merasa kasihan karena suami terus menerus ia bohongi. Subjek I juga merasakan konflik batin ketika ia menjauhkan anak-anak dari ayah mereka saat sedang bertengkar. Hal ini dikarenakan ia merasa bersalah pada anak-anaknya tersebut.

“Pas pergi awal-awal Reynan masuk TK itu iya nangis. Kadang “ayah.. ayah..” Kalau sudah ayah..ayah.. gini kadang ngerasa bersalah sih.” (Subjek I, Line 716-718)

Hal yang berbeda dirasakan oleh subjek II. Konflik yang dirasakan subjek II muncul karena adanya keinginan meninggalkan kehidupan saat ini dan bercerai dari suami supaya bisa bebas menjadi diri sendiri dan mulai membahagiakan diri sendiri. Sayangnya, keinginan tersebut bertentangan dengan rasa tanggung jawabnya terhadap kedua anaknya.

“Rasanya tuh pengen.. bener-bener pengen.. pergi gitu.. ninggalin semua-semuanya terus pengen ngebahagiain diri sendiri.. gitu- gitu.. pengennya sih gitu.. cuman ya gimana nggak bisa gitu juga karena sekarang aku sudah punya anak.. aku punya tanggung jawab di situ..” (Subjek II, Line 388-393)

Selain itu, keinginan itu juga diikuti oleh perasaan tidak yakin bahwa setelahnya ia bisa bebas dari paksaan orangtua. Menurut subjek II, di usianya yang sudah dewasa, orangtua memang seharusnya tidak lagi ikut campur dalam kehidupan anaknya. Akan tetapi, ia tidak yakin bahwa hal itu bisa dilakukan oleh kedua orangtuanya.

“Misal aku cerai sekarang gitu.. e.. apa iya aku terus bisa bebas dari orangtua gitu. Ya emang harusnya sih dengan umur aku kayak gini tuh harusnya orangtua tuh nggak ik.. nggak seharusnya ikut campur gitu dengan.. dengan.. e apa namanya.. dengan apa yang aku jalanin gitu. Aku udah dewasa.. aku udah punya hak untuk menjalankan apapun yang aku mau.. seharusnya kayak gitu.. nggak ada ikut campur. Tapi kan ya namanya orangtua ya teteplah orangtua gitu. Kita nggak tau mes.. misalnya pun aku bisa cerai sekarang.. lah entar trus dinikahin gitu sama yang lain dengan alasan macem-macem ya sama aja bohong kan.” (Subjek II, Line 624-637)

d. Relasi Sosial

Kedua subjek mengatakan bahwa pernikahan membuat mereka memiliki beberapa sikap negatif terhadap orang di sekitar. Subjek I mengaku menjadi pribadi yang lebih egois setelah menikah.

“Kadang kelihatan lebih egoisnya.. karena kan memang semua itu nggak sesuai sama hati ya.. Itu kan kayak keterpaksaan.. Jadi ada aja di mata itu yang salah..” (Subjek I, Line 208-210)

Sementara itu, subjek II merasa menjadi pribadi yang lebih cuek, jutek dan tidak peduli pada orang lain selain orang-orang yang dia sayang. Subjek II mengatakan bahwa dirinya yang sekarang sangat berbeda dengan dirinya yang dulu. Pernikahan dan perlakuan yang tidak adil dari orang- orang sekitar membuatnya merasa tidak perlu berbaik hati pada mereka.

“Aku ngerasa kayak aku lebih cuek aja sih.. lebih jutek kali ya ke orang-orang gitu. Kayak ke orangtua.. ke suami apalagi gitu.. ya ke banyak orang lah. Rasanya tuh lebih cuek aja. Padahal aku sih ngerasanya sebelumnya aku nggak kayak gini gitu, cuman.. kayak aku jadi ngerasa.. kok orang-orang dan keadaan tuh nggak adil tuh loh ke aku. Ya ngapain juga aku harus peduli sama orang kan. Kecuali ya sama orang-orang yang emang aku sayang. Misalnya kayak mantanku yang terakhir itu.. trus ama anak-anak. Jelas beda lah jadinya.” (Subjek II, Line 583-594)

Dalam hal relasi sosial, pernikahan juga membuat subjek II menjadi tidak memiliki teman bercerita seperti sebelumnya. Sebelum menikah, subjek II bisa selalu berlari ke komunitas LGBT untuk meminta bantuan atau sekedar berkeluh kesah mengenai orientasi homoseksualnya. Akan tetapi, sekarang ia tidak lagi dekat dengan teman-teman komunitas karena merasa takut, tidak diterima, selalu dijudge dan tidak dimengerti ketika bercerita kepada mereka. Bagi teman-teman komunitas, menuruti paksaan orangtua untuk menikah adalah pilihannya sendiri. Oleh sebab itu, ia harus menanggung semua risiko yang menyertainya. Hal ini bertolak

belakang dengan keyakinan subjek II. Menurut subjek II, situasi yang ia hadapi tidak sesederhana yang dibayangkan teman-temannya.

“Sebelum aku nikah kayak gitu tuh aku masih.. aku punya masalah apapun gitu aku bisa lari ke temen-temen komunitas gitu.. temen komu.. temen komunitas tuh yang tau gitu tau posisiku gimana.. tau aku tuh siapa.. gitu gitu.. aku at least aku punya tempat untuk cerita dan punya dukungan kayak gitu. Tapi kalau dengan posisi sekarang gitu aku masih jadi rad.. jadi.. takut gitu loh kalau mau cerita ke orang.. Soalnya aku udah nggak.. aku udah merasa nggak diterima gitu dari awal. Pasti mereka tuh yang bilang.. kayak.. aku udah dijudge duluan gitu loh dari awal. Maksudnya kadang bilang aku menikah terpaksa kayak gitu dan bukan pe.. bukan itu keinginan ku kayak gitu tuh mereka malah yang, lah apa namanya kalau memang bukan keinginanmu kenapa akhirnya nrima untuk mau menikah. Kenapa kamu nggak menolak.. Gitu gitu.. padahal kan itu nggak sesimple itu gitu loh masalahnya. Dan.. makanya aku ngerasa.. wah aku udah dijudge duluan nih sebelum aku ini.. jadi agak males sih.” (Subjek II, Line 560-580)

e. Relasi Homoseksual

Kedua subjek mengatakan bahwa pernikahan membuat relasi homoseksual menjadi terhalang. Subjek I bercerita bahwa ia harus sembunyi-sembunyi dan pintar-pintar mencari alasan supaya bisa menemui pacar perempuannya.

“..kayak terganggu aja sih hubungan kita dengan sesama cewek e pas.. karena adanya suami. Lebih nggak bebas.. lebih terkekang.. Kalau mau kemana-mana kan mesti harus laporan dulu..” (Subjek I, Line 444-449)

Hal yang sedikit berbeda diutarakan subjek II. Subjek II mengatakan bahwa pernikahan membuatnya terpaksa putus dengan pacar perempuannya. Hal ini dikarenakan pacarnya tersebut merasa cemburu dan tidak tahan dengan kondisinya yang sudah menikah apalagi memiliki anak yang masih kecil.

“Awal-awal tuh sempet sih punya pacar gitu tapi akhirnya ya putus karena ya dia cemburu.. nggak tahan gitu dengan kondisi ku yang istilahnya udah menikah dan emang nggak adil kan posisinya gitu..” (Subjek II, Line 497-500)

Setelah putus dengan pacarnya, subjek II merasa harus mempertimbangkan banyak hal apabila ingin menjalin relasi baru dengan orang di luar pernikahan. Relasi ini akan sangat sulit bagi baik subjek II maupun kekasihnya. Selain itu, apabila relasi di luar pernikahan ketahuan, ia akan diceraikan dan berisiko kehilangan anak-anaknya, mengingat LGBT belum begitu diterima di Indonesia.

“Misalnya sempet ketahuan gitu aku lesbian terus diceraiin gitu.. bisa-bisa juga hak as.. hak asuh anak juga jatuh ke apa namanya ke suami aku jadinya kan.. karena posisi di Indonesia kan LGBT tau sendiri belum bisa diterima kan.” (Subjek II, Line 525-529)

Dokumen terkait