• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik Dengan Suami

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

C. Hasil Penelitian

5. Konflik Dengan Suami

Hal-hal kecil dan sepele bisa memicu konflik di antara kedua subjek dan suami. Ketidaknyamanan dan perasaan malas yang terbaca juga sering menjadi penyebab pertengkaran.

“Berantem itu ya karena hal-hal kecil sih.” (Subjek I, Line 160)

“Kadang ya karena kita nggak nyaman itu kebaca ama dia. Trus kadang ya omongan kita kurang berkenan di hati di ya kayak kayak gitu itu masih.” (Subjek I, Line 142-145)

“Ya banyak sih.. Kadang.. apa ya.. hal-hal kecil yang nggak penting kayak gitu tuh yang bisa bikin berantem.. adu mulut.. trus bantah- bantahan gitu.. karena aku juga.. apa ya.. mungkin karena aku nggak nyaman.. nggak nyaman sendiri sih di relasi itu jadi kayak.. aku tuh males gitu untuk ngalah.. Jadi ya.. kadang hal kecil aja gitu bisa.. suka bisa bikin berantem..” (Subjek II, Line 156-163)

Selain itu, subjek I sering bertengkar dengan suami karena keinginan bercerai yang ditolak dan karena perbedaan cara mendidik (mengasuh) anak. Suami yang suka bertengkar di depan anak-anak juga menjadi konflik tersendiri. Subjek I dan suami yang seharusnya sudah akur bisa menjadi bertengkar kembali karena hal ini. Subjek I sudah berusaha memperingatkan untuk tidak lagi melakukan hal tersebut, akan tetap suami masih terus mengulanginya.

“Kadang karena masalah anak-anak yang e maunya aku tuh anak- anak kayak gitu.. dia nggak kayak gitu.. Trus juga kalau.. e ngomel dia suka depan anak, aku suka marah.. ya pokoknya kayak kayak gitu.” (Subjek I, Line 160-164)

Di sisi lain, subjek II pernah bertengkar dengan suami karena suami melakukan hubungan seksual terhadap subjek II saat dirinya tidak sadarkan diri (tidur). Hal ini membuat subjek merasa sangat marah, tidak terima dan sakit hati karena suami memperlakukannya seperti barang. Apalagi hal tersebut membuatnya hamil dan hal ini berarti telah melanggar kesepakatan yang telah dibuat bersama, yaitu tidak memiliki anak kedua sampai subjek II dan suami sama-sama siap. Karena belum merasa siap dan merasa tidak terima akan kenyataan bahwa dirinya hamil anak kedua tanpa sepengetahuannya, subjek II-pun melakukan banyak cara untuk menggugurkan kandungannya, misalnya dengan meloncat-loncat dan makan sembarangan. Keinginannya tersebut tercapai karena tak lama kemudian ia mengalami pendarahan. Hal ini membuat suami marah besar terhadap subjek II dan konflik barupun muncul di antara mereka.

Saat sedang bertengkar dengan suami, kedua subjek hanya akan adu mulut dan saling membantah satu sama lain, kemudian diam-diaman. Tidak ada kekerasan fisik yang muncul saat kedua subjek berkonflik dengan suami.

“Iya.. saling ngomel gitu trus nanti kalau capek akhirnya ya diem- dieman, jutek-jutekan satu sama lain (Subjek I, Line 166-167). Alhamdulillah nggak pernah main tangan sih dia nya. Jadi ya cuma

sebatas marah-marahan.. bentak-bentakan gitu..(Subjek I, Line 169- 171)”

“Kita sama-sama keras trus biasanya yang apa.. nggak ada yang mau ngalah trus bantah-bantahan kayak gitu.. tapi yaudah diem- dieman..(Subjek II, Line 174-176) kalau main fisik gitu sih dia nggak.. dia nggak pernah ngelakuin itu sih sampe detik ini..” (Subjek II, Line 167-169)

Meskipun demikian, subjek I mengatakan bahwa saat sedang bertengkar dengan suami, subjek dan suami akan saling memperebutkan anak. Subjek berusaha membawa anak-anak bersembunyi di kamar karena jika tidak suami akan menggunakan anak-anak sebagai “senjata” untuk membuat subjek mengalah. Salah satu contohnya adalah ketika suami membawa salah satu anak mereka ke luar kota saat mereka sedang bertengkar.

Subjek I mengatakan bahwa suami seringkali akhirnya mengalah. Biasanya, subjek I cenderung tidak mau mengalah dan tetap kekuh pada pendapatnya sendiri saat sedang berkonflik dengan suami. Akan tetapi, pada saat tertentu, ia harus melakukannya demi anak-anak.

“Aku kalau berantem ama suami itu nggak pernah yang namanya aku negur duluan nggak pernah. Aku masih kekeuh sama hati aku sendiri. Nggak bakal aku negur duluan. (Subjek I, Line 151-154) Tapi kadang aku terpaksa buat ngalah dari suami ku. Soalnya suami tuh seringkali kalau berantem pakai senjatanya itu anak-anak.. Dia tau kalau aku lekat banget sama anakku.. Gampang luluh.. (Subjek I, Line 585-588)

Jadi kan terpaksa aku yang ngalah, walaupun aku ngerasa nggak salah, sekeras-kerasnya aku kalau sudah soal anak aku pasti nurunin ego.” (Subjek I, Line 595-597)

Berbeda dengan subjek I, saat terjadi konflik di antara subjek II dan suaminya, tidak ada satupun di antara mereka yang mau mengalah dan meminta maaf duluan. Meskipun demikian lama kelamaan keadaan akan membaik dengan sendirinya, dimulai dari suami yang berpura-pura tidak terjadi apa-apa (pertengkaran) di antara mereka.

“Mau berantem-berantem kayak gimanapun, dia duluan yang lama- lama berusaha kayak.. nggak ngalah minta maaf gitu tapi pura-pura baik-baik aja lah.. pura-pura nggak habis berantem, nggak ada apa- apa.. (Subjek II, Line 808-813) Lama-lama baik sendiri sih kayak gitu” (Subjek II, Line 176-177)

Meskipun ada cukup banyak konflik di pernikahan, kedua suami sama- sama berusaha mempertahanakan pernikahan mereka dan tidak ingin pernikahan tersebut berakhir. Subjek II mengatakan bahwa suami tidak ingin bercerai karena tidak mau dipandang sebagai lelaki yang gagal mempertahankan rumah tangganya sendiri. Selain itu, hal ini juga dikarenakan suami menyadari bahwa perceraian akan berdampak bagi banyak orang, terutama anak-anak.

“Dia pernah bilang sama aku kalau dia nggak mau sampai kita cerai, mau usahain gimanapun caranya kita bisa bertahan gitu. Dia nggak mau dibilang cowok gagal yang nggak bisa jagain rumah tangganya

sendiri.. Ya kek-kek gitu lah.. Mungkin itu sih yang bikin dia bertahan.. Lebih ke ego nya dia, takut dipandang jelek. (Subjek II, Line 793-799) Karena anak-anak juga sih menurutku. Karena kan dia juga sadar kalau perceraian tuh pasti berdampak pada banyak orang. Nggak cuma antara aku dan dia doang. Ya anak-anak terutama karena kan mereka yang paling dekat dari kita berdua.” (Subjek II, Line 801-805)

Dokumen terkait