• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Data Hasil Penelitian

4. Dampak Program Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga

melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP) a. Produk yang dihasilkan dalam kegiatan UEP b. Bagi hasil yang

diperoleh: 1) Warga binaan Gepeng 2) Lembaga Pimpinan, Pengurus, dan Warga binaan Gepeng Wawancara Dokumentasi 4 Dampak program pemberdayaan melalui Usaha Ekonomi Produktif

Dampak secara ekonomi dan sosial bagi warga binaan Gepeng yang tinggal di Lembaga Pimpinan, Pengurus, dan Warga binaan Gepeng Wawancara Observasi 5 Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) 1) Faktor pendukung 2) Faktor penghambat Pimpinan, Pengurus, dan Warga binaan Gepeng Wawancara E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan bagian penting dalam penelitian kualitatif karena mempunyai peranan dalam keseluruhan proses penelitian. Instrumen penelitian dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Menurut Moleong (2012: 168) peneliti merupakan perencana, pelaksana pengumpul data, penganalisis, dan penafsir data serta pelapor hasil penelitin itu sendiri.

Peneliti sebagai instrumen penelitian yang dalam proses penelitian terutama dalam pengumpulan data agar mendapatkan data yang sah dan dapat dipercaya dibantu oleh pedoman-pedoman yaitu pedoman observasi, pedoman wawancara, dan pedoman dokumentasi. Peneliti merancang dan menyusun

59

sendiri pedoman-pedoman ini agar dalam proses pengumpulan data peneliti tidak menyimpang dari permasalahan yang akan diteliti. Selain itu, peneliti juga bertugas untuk mencatat data dari setiap proses pelaksanaan pengumpulan data. Pencatatan data di lapangan saat observasi, wawancara, dan dokumnetasi dilakukan agar peneliti tidak kehilangan data. Pedoman dan pencatatan ini akan membantu peneliti dalam mengumpulkan data dan menganalisnya sehingga sesuai dengan keadaan sebenarnya di lapangan.

F. Teknik Analisis Data

Menurut Bogdan dalam Sugiyono (2013: 334) analisis data merupakan proses mencari, menyusun data secara sistematis yang berasal dari hasil wawancara, observasi, dokumentasi, catatan lapangan, dan bahan-bahan lainya agar dapat dengan mudah dipahami dan hasil penelitiannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik analisis data model Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2013: 337-345) yaitu analisis data dilakukan selama di lapangan dimana secara interaktif dan dan berlangsung secara terus menerus hingga datanya jenuh. Proses analisis data tersebut dilakukan setelah peneliti mengumpulkan data berdasarkan fokus penelitian dan permasalahan yang ingin diteliti yaitu mengenai pemberdayaan gelandangan dan pengemis Gepeng melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara. Data tersebut diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi. Berikut ini langkah-langkah dalam menganalisa data tersebut.

60 1. Reduksi data

Pada tahap ini, peneliti mereduksi data yang dihasil di lapangan dengan cara merangkum, mengambil hal-hal pokok, dan lebih menfokuskan pada hal-hal penting terkait dengan pemberdayaan gelandangan dan pengemis melalui Usaha Ekonomi Produktif di Lembaga Sosial Hafara.

2. Display data (penyajian data)

Tahap ini dilakukan setelah data hasil wawancara, observasi dan dokumentasi selesai direduksi. Pada penelitian ini, data hasil pengumpulan tentang pemberdayaan gelandangan dan pengemis melalui Usaha Ekonomi Produktif di Lembaga Sosial Hafara yang telah direduksi tersebut kemudian data tersebut disajikan dalam bentuk teks naratif.

3. Kesimpulan dan verifikasi

Pada tahap ini, peneliti melakukan pengujian kebenaran terhadap permasalahan yang diteliti berdasarkan bukti-bukti dan hasil pengumpulan data yang ada di lapangan yang telah disajikan secara singkat dan jelas. Kemudian berdasarkan uji kebenaran dengan bukti yang kuat tersebut peneliti akan menarik kesimpulan yang dapat dipercaya.

G. Keabsahan Data

Keabsahan data dapat ditetapkan menggunakan teknik pemeriksaan. Salah satu teknik pemeriksaan adalah triangulasi. Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain (Moleong, 2012: 330). Pada penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi

61

sumber untuk menentukan keabsahan data yang diperoleh. Patton dalam Moleong (2012: 330) menjelaskan bahwa trianggulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda-beda. Triangulasi sumber yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Peneliti membandingkan data hasil observasi dengan data hasil wawancara pihak-pihak (pemimpin, pengurus, dan warga binaan Gepeng) terkait dalam kegiatan Usaha Ekonomi Produktif di Lembaga Sosial Hafara. 2. Membandingkan apa yang dikatakan oleh pihak terkait tersebut.

3. Membandingkan situasi atau keadaan lapangan (penelitian) dengan pandangan pihak-pihak terkait di Lembaga Sosial Hafara.

4. Membandingkan data baik dari hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi yang berkaitan dengan penelitian.

Triangulasi ini bertujuan untuk memeriksa kembali data yang telah terkumpul dengan cara membandingkan informasi-informasi dari berbagai waktu dan alat-lat pengumpul data sehingga keabsahan data hasil penelitian dapat dipercaya.

62 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lembaga Penelitian 1. Lembaga Sosial Hafara

Lembaga Sosial Hafara pada awalnya terletak di Dusun Gonjen, Rt. 05 Rw. 17, akan tetapi pada tahun 2010 lembaga berpindah di Brajan, Tamantirto, Kasihan Bantul. Lembaga Sosial Hafara yang kini menempati tanah kas desa seluas ± 4.000 m2 ini merupakan bentuk hasil deklarasi tanggal 17 November 2005 di TKIT AL-Hamdulillah, Kasian, Batul. Tokoh-tokoh yang berperan dalam deklarasi dan pendirian lembaga sosial ini adalah Cak Nun, Anang Imamuddin, Uthu Munjung Jermia Taedini, Ir. Maskun Baharuddin Nur, Sunawi, Chabib Wibowo dan Etty Sugiyarty. Nama ’Hafara’ sendiri dicetuskan oleh MH. Ainun Najib, yang mempunyai kepanjangan Hadza Min Fadli Rabbi yaitu kemurahan hati Tuhan. Pemberian nama tersebut ditujukan agar organisasi ini selalu mendapat kemurahan dari Tuhan dan diberi kemudahan dalam perjuangannya mengentaskan orang jalanan.

Lembaga Sosial Hafara pada mulanya merupakan sebuah komunitas jalanan yang dibentuk sebagai usaha untuk membantu menyelesaikan permasalahan orang-orang jalananan agar dapat kembali ke masyarakat melalui kegiatan pemberdayaan. Komunitas jalanan ini kemudian berkembang menjadi sebuah lembaga sosial yang disahkan berdasarakan.

63

Surat Keputusan (SK) Menkumham RI No. AHU-0012046.AH.01.04. Tahun 2015 dan juga bedasarkan SK BKPM D.I. Yogyakarta No. 222/05/GR.I/2015. Berdasarkan surat keputusan tersebut, Lembaga Sosial Hafara berubah nama menjadi ”Anugerah Tuhan Hafara”.

2. Tujuan, Visi dan Misi Lembaga Hafara

Lembaga Sosial Hafara memiliki tujuan pengentasan Penyandang Masalah Keejahteraan Sosial (PMKS) dan mempunyai visi serta misi sebagai berikut.

a.Visi

Terwujudnya Kemandirian bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).

b.Misi

1) Menjalankan organisasi dan manajemen secara baik dan benar. 2) Melindungi hak-hak warga binaan.

3) Memberdayakan kemampuan dan ketrampilan warga binaan. 4) Mengentaskan derajat ekonomi warga binaan.

3. Sasaran dan Program-Program Lembaga Sosial Hafara

Lembaga Sosial Hafara mengadakan berbagai program kegiatan pemberdayaan secara non formal dan informal sebagai bentuk kepedulian kepada masyarakat bagi anggotanya yang terdiri atas gelandangan, anak jalanan, pengamen, pengemis, dan eks pecandu narkoba. Program kegiatan di Lembaga Sosial Hafara adalah sebagai berikut.

64 a. Rumah singgah

b. Panti sosial pondok dhuafa

c. Rehabilitasi mantan pecandu narkoba d. Usaha Ekonomi Produktif (UEP)

e. Program pemberdayaan masyarakat lainnya, seperti: 1) Pendampingan sosial masyarakat dibidang kesehatan. 2) Kegiatan belajar mengajar ”Tunas Mandiri”.

3) Pemberdayaan masyarakat informal. 4) Pembinaan lansia.

4. Sumber Dana Lembaga Sosial Hafara

Sumber dana awal Lembaga Sosial Hafara sebelum mendapatkan legalitasnya secara hukum adalah dari hasil kegiatan merongsok, memulung, dan mengamen. Hal ini dinyatakan oleh ”Ch” selaku pimpinan lembaga sebagai berikut.

” Organisasi itu dulu kita belum ada bantuan dari pemerintah, belum ada dari masyarakat, belum ada awal berdirinya itu. Nah, awal-awal berdirinya itu kita orang jalanan itu sudah biasa bekerja ngamen, ngrongsok. Bagi saya itu sebuah pekerjaan, kita ngrongsok bareng-bareng, ngumpulin barang bekas, dijual ada sisa keuntungan. Dari keuntungan itulah nanti kita gunakan untuk operasional. Keuntungan-keuntungan lain juga digunakan untuk operasional.”

Setelah mendapatkan legalitas hukum, Lembaga Sosial Hafara kemudian melakukan komunikasi kepada pemerintah dan masyarakat baik secara langsung, menggunakan proposal maupun melalui media sosial. Melalui audiensi tersebut, sumber dana lembaga berkembang. Lembaga mulai

65

mendapatkan dana dari pemerintah, donatur, dan zakat atau sedekah dari masyarakat. Selain itu, hasil dari Usaha Ekonomi Produktif (UEP) yang diselenggarakan lembaga juga membantu pembiayaan operasional lembaga. Hal ini sesuai dengan pernyataan ”Ds” selaku sekertaris lembaga yaitu:

“Kalau pertama kali berdiri itu dari uang pribadi pimpinan kita sama istri dan kakaknya. Tetapi kan lama-kelamaan kita audiensi-audiensi ke pemerintah kita dapat legalitas surat izin juga terus dari situlah kita bikin blogspot, ada facebook, dan macam-macam itu. Akhirnya, banyak orang yang tahu dan akhirnya mendonasikan. Hasil dari UEP juga membantu menambah uang operasional, kan dari itu uangnya dapat disilangkan untuk membeli kebutuhan pokok, buat bayar SPP anak sekolah juga.”

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sumber dana lembaga diperoleh dari beberapa sumber antara lain; dana pribadi pengelola, pemerintah, masyarakat, dan usaha warga binaan itu sendiri.

B. Data Hasil Penelitian

1. Warga Binaan di Lembaga Sosial Hafara

Warga binaan di Lembaga Sosial Hafara terdiri dari Gepeng, eks gangguan jiwa (psikotik), dan anak jalanan. Warga binaan tersebut merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) yang hidup di jalanan. Hal ini diungkapkan oleh ”Yn” selaku mantan Gepeng yang mengatakan,“Saya dulu bareng-bareng sama Pak Chabib, kita dulu di Malioboro mbak”.

Warga binaan di Lembaga Sosial Hafara merupakan hasil penjaringan yang dilakukan baik oleh tim dari lembaga itu sendiri, razia dari pemerintah, maupun masyarakat yang menemukan orang terlantar. Usia warga binaan di

66

Lembaga Sosial Hafara bervarisasi mulai dari lansia, remaja, dewasa, hingga anak-anak. Hal ini sesuai dengan pernyataan ”Ch” yang menyatakan bahwa:

“Kalau penghuni di sini WNI yang jelas, kalau basic mereka itu basic-nya jalan. Jadi ada yang proses penjangkauan. Itu tim kita melakukan ee muter-muter melihat titik-titik mana yang rawan tentang orang jalanan. Ada yang dari pemerintah yang melakukan kegiatan razia, trus ada juga dari masyarakat yang menemukan anak terlantar. Warga binaan ada yang lansia, remaja, anak-anak. Ada anak jalanan, gelandangan, pengemis, eks gangguan jiwa.”

Pernyataan tersebut diperkuat oleh ”Ds” sebagai berikut.

”Warga binaan didapat dari hasil penjaringan tim di jalanan sih mbak, dan ada yang dititipkan sama pemerintah juga seperti dari dinas sosial. Ya mbak, ada anak-anak jalanan, eks psikotik, Gepeng, dan eks pecandu narkoba”

Selain melalui hasil wawancara, keadaan gelandangan, pengamen, dan pengemis (Gepeng) sebelum menjadi warga binaan lembaga juga digambarkan melalui hasil pengumpulan dokumentasi. Hal ini dicantumkan dalam profil sejarah berdirinya Lembaga Sosial Hafara sebagai berikut.

”Asumsi pertama yang muncul dalam benak masyarakat ketika disodorkan istilah jalanan biasanya adalah jorok, nakal, semrawut, kumuh dan asumsi-asumsi negative lainnya. Bisa jadi salah, bisa jadi benar. Asumsi yang terbangun dalam benak masyarakat memang terkadang terbangun atas dasar realita yang ada. Namun, se”liar-liar”nya komunitas jalanan, kami meyakini bahwa mereka juga manusia, binatang liar saja masih bisa dijinakkan, apalagi manusia yang masih memiliki hati nurani (Profil Lembaga Sosial Hafara, 2015).

Hasil dokumentasi juga menunjukkan bahwa Lembaga Sosial Hafara menampung 39 warga binaan yang terdiri atas 6 orang mantan (eks) Gepeng

67

dewasa, 9 orang anak-anak, dan 24 eks gangguan jiwa atau psikotik (Data warga binaan, Profil Lembaga Sosial Hafara, 2015) .

Hasil observasi juga menggambarkan bahwa warga binaan ada yang memiliki tempat tinggal, ada pula yang tidak memilikinya. Bagi eks gangguan jiwa mereka tinggal di lembaga, sedangkan warga binaan yaitu anak-anak dan eks Gepeng dewasa yang masih memiliki tempat tinggal ada yang menetap dan ada pula yang tinggal di luar lembaga. Tempat tinggal warga binaan di lembaga ini dibuktikan dengan adanya bilik-bilik kamar yang dibangun menjadi sebuah panti bagi eks Gepeng dan rumah singgah bagi eks anak jalanan. Lembaga Sosial Hafara menyediakan fasilitas tempat tinggal tersebut mulai dari kamar tidur, kamar mandi, dan dapur umum. Hal ini sesuai dengan pernyataan ”Ds” sebagai berikut.

“Kalau fasilitas dan sarana prasarana yang pasti kan kalau untuk warga binaan dewasa kan ada kamar, terus tempat masak juga ada, yang pasti tuh kaya fasilitas yang didapat itu ada kasur, lemari, meja, pokoknya perabotan rumah tangga kita kasih. Kalau untuk perabotan dapur untuk bersama-sama tapi di tiap kamar ada dispenser itu mbak.”

Eks gelandangan psikotik (gangguan jiwa) yang menjadi binaan di Lembaga Sosial Hafara terdiri atas segala usia, mulai dari remaja hingga lansia. Kondisi fisik mereka juga beragam, ada yang sehat secara fisik, ada pula yang memiliki disabilitas fisik yaitu tidak mampu berjalan. Berdasarkan hasil observasi, penyebab gangguan jiwa yang dialami oleh eks psikotik tersebut berbeda-beda, ada yang disebabkan karena faktor bawaan (genetik), depresi, dan ada pula yang disebabkan karena penelantaran yang dilakukan

68

oleh anggota keluarga sendiri. Selama tinggal dan dibina di lembaga, eks psikotik menjalani kegiatan rutin dalam bidang keagamaan dan pemberian motivasi, selainitu mereka mendapatkan terapi-terapi tertentu sesuai dengan kelasnya masing-masing. Eks psikotik dibagi menjadi kelas 0, kelas 1, kelas 2, dan kelas 3. Hal ini berdasarkan pernyataan “Yn” sebagai berikut.

“Sekarang itu kan temen-temen psikotik ada kelas-kelasnya. Kelas 0,1, 2, 3. Kalau kelas 3 itusudah aktivitas, terapinya terapi kerja, kelas 2 juga terapinya bikin batako, kalau kelas 0 masih pendampingan khusus, mereka perlu terapi individu.”

Setelah dapat disembuhkan, selanjutnya eks psikotik tersebut dikembalikan kepada pihak keluarga, sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki keluarga, mereka tetap tinggal di lembaga.

Gepeng dewasa yang menjadi warga binaan di Lembaga Sosial Hafara kini menjadi mantan (eks) Gepeng. Mayoritas dari eks Gepeng dewasa merupakan anggota komunitas yang telah bergabung sejak Lembaga Sosial Hafara didirikan, bahkan diantara mereka juga ada yang telah menjalin kehidupan berkeluarga. Eks Gepeng ini dahulu berada di jalanan karena faktor ekonomi yang lemah, dan karena putus sekolah. Hal ini dinyatakan oleh “Wn” bahwa:

“Saya di sini, pokmen umur saya 12 tahun, sekarang 22 tahun. Dulu aku kelas 4 SD sudah keluar, aku ga sekolah to, trus tetanggaku ada di sini dulu kan di Gonjen sana, terus aku diajak ikut pelatihan gitu, ya lama-lama di sini. Karena udah ga sekolah, yuk orang tua juga ga mampu juga to.”

69

Selama di lembaga, mereka mendapat pembinaan dan pelatihan, kemudian mereka menjadi bagian dari operasional lembaga. Eks Gepeng tersebut membantu penyelenggaraan program-program lembaga seperti mengasuh dan mendampingi eks psikotik dan anak jalanan. Hal ini dikemukan oleh “Yn” yang mengatakan, “Saya ya ngurus semua, mengatur pendamping, job-job nya apa, kegiatan hari ini apa semua”. Pernyataan ini juga serupa dengan yang diungkapkan oleh “Wn” bahwa,“Kadang mandiin psikotik, kadang sok lihat kondisinya anak-anak, nanti bantuin yang masak, sembarang lah, mbak”. Selain “Yn” dan “Wn”, “At” juga menyatakan hal yang serupa yaitu, “Selain masak, ngurusin anak-anak, dan UEP”.

Eks Gepeng dewasa masih memiliki tempat tinggal asal seperti di Klaten dan Bantul, akan tetapi mereka memilih untuk tetap tinggal di lembaga. Meskipun demikian dalam jangka waktu tertentu mereka pulang ke kampong halaman kemudian kembali lagi ke lembaga. Ada dari mereka yang memutuskan tinggal dan menetap di Lembaga Sosial Hafara karena panggilan jiwa ingin membantu teman-teman orang jalanan yang dibina lembaga agar dapat kembali ke masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh “Yn”, selaku eks Gepeng dewasa yang kini mengabdikan diri di lembaga tersebut.

“Saya ngurusin 24 jam di sini, dulunya saya di jalan di Malioboro. Saya ada rumah, di Klaten. Saya aslinya Klaten. Satu (1) bulan sekali saya pulang bersama istri dan anak.Ya terus di sini, memperjuangkan teman-teman kita. Teman-teman-teman yang di jalanan, ngurusin jenazah terlantar. Kalau jadi pekerja sosial itu panggilan, pilihan kita. Pengabdian-lah, yang dulunya kita tidak berguna sekarang berguna bagi orang lain.”

70

Sedangkan anak-anak tinggal di rumah singgah Hafara, mereka mayoritas berasal dari keluarga kurang mampu. Anak-anak tersebut mendapatkan pendidikan formal, ada yang bersekolah di jenjang TK, SD, dan SMP. Selain bersekolah di sekolah formal, mereka juga mendapatkan bimbingan belajar secara nonformal di dalam lembaga. Anak-anak yang tinggal di rumah singgah mayoritas masih memiliki orang tua, beberapa dari mereka pada waktu tertentu ada yang pulang bersama orang tuanya kemudian di kembalikan kembali ke rumah singgah.

Berdasarkan hasil pengumpulan data tersebut dapat disimpulkan bahwa warga binaan di Lembaga Sosial Hafara umumnya berasal dari jalanan dan terdiri atas eks gangguan jiwa, gelandangan, pengamen, dan pengemis. Warga binaan tersebut terdiri dari anak-anak hingga lansia. Warga binaan tersebut diperoleh dari hasil penjangkauan dan razia yang dilakukan oleh tim dari lembaga, pemerintah, maupun masyarakat. Ketika masih berada di jalanan mereka mendapat kesan negatif dari masyarakat seperti dianggap jorok, nakal, semrawut, dan kumuh. Keadaan warga binaan beragam ada yang sehat secara fisik, ada yang memiliki disabilitas, dan ada pula yang lemah secara mental. Warga binaan seperti eks psikotik dan anak-anak mengikuti rangkaian kegiatan yang diselenggarakan oleh lembaga, sedangkan bagi eks Gepeng selain mengikuti kegiatan juga ikut serta dalam membantu penyelenggaraan kegiatan bagi anak-anak dan eks psikotik.

71

2. Pelaksanaan Program Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara

Usaha Ekonomi Produktif (UEP) merupakan salah satu program pemberdayaan di Lembaga Sosial Hafara. Kegiatan dalam program Usaha Ekonomi Produktif ini memanfaatkan sumber daya alam yang ada, yaitu lahan seluas ± 1.000 m2 untuk bercocok tanam dan budidaya ikan. Program ini bertujuan untuk melatih kemandirian warga binaan khususnya bagi eks Gepeng dewasa agar dapat memenuhi kebutuhannya. Kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) melibatkan seluruh warga binaan khususnya warga binaan dewasa yaitu eks gelandangan dan pengemis (Gepeng). Hal ini sesuai dengan pernyataan ”Ch” sebagai berikut.

“Luas tanah untuk UEP ini ada 1.000-an. Ini bukan punya kita, ini punyanya desa itu luasnya sekitar 4.000 m2. Melibatkan semua warga kecuali yang ga bisa jalan. Tujuannya biar penghuni disini ada pekerjaan, jadi bisa mandiri ga turun ke jalan lagi.”

Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan ”Ds” yang menyebutkan bahwa:

”Program kegiatan yang dewasa (warga binaan dewasa) cuma UEP aja sih mbak. UEP itu di sini itu Usaha Ekonomi Produktif, itu yang pasti kegiatan warga binaan bisa mandiri, punya lapangan kerja sendiri. Kalau di jalan mereka kan harus mengemis dan mengamen, kalau di sini kita ajari untuk mandiri dan berwirausaha sendiri. Jadi kalau kita dapat bantuan modal kan mereka dapat menggunakan dengan baik, kan mereka sudah mendapatkan pelatihan juga.”

Kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) yang dilakukan oleh warga binaan meliputi; bidang perikanan, pertanian, dan sampah, dan usaha warung. Hal ini sesuai dengan peryataan ”Ch” selaku pimpinan lembaga yang

72

menyatakan,“perikanan, sampah, warung juga ada” dalam kegiatan program Usaha Ekonomi Produktif (UEP). Pernyataan tersebut serupa dengan yang diungkapkan ”Yn” selaku warga binaan yang mengelola UEP yaitu, ”Ada perikanan, menangani eks gangguan jiwa itu, dan pertanian sama teman-teman eks ganguan jiwa”. Kedua pernyataan tersebut juga dinyatakan oleh ”Ds” bahwa:

“Kalau dari tahun 2008 itu kaya’ ada pelatihan tapi pertama belum langsung ikan tapi kaya’ usaha toko. Jadinya kita kasih modal ke orang-orang uang dan untuk membesarkan warung itu. Keuntungannya untuk mereka sendiri. sejak tahun 2008 kita usaha toko, yang kedua jual beli barang bekas jadi masih ada warga binaan yang masih mulung gitu nanti jual di tempat kita gitu, terus kita ngasih uang ke mereka agar mereka bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari juga. Terus berlanjut, tahun 2011 itu ada program dari pemerintah lagi untuk budidaya ikan. Nah, dari tahun 2011 sampai sekarang kita fokuskan ke budidaya ikan. Kalau kemarin sih dari tahun 2015 itu ada ikan sama pertanian.”

Hasil observasi juga memperkuat ketiga pernyataan di atas karena berdasarkan observasi yang dilakukan, diketahui bahwa Lembaga Sosial Hafara memanfaatkan lahan di sekitar bangunan panti seluas ±1.000 m2 untuk membangun sarana perikanan dan pertanian. Lembaga membagun rumah singgah dan panti. Di sekitar bangunan tersebut dibangun kolam ikan yang jumlahnya sekitar 25 kolam. Kolam yang digunakan ada 10 kolam yaitu 7 kolam untuk kolam ikan lele dan 3 kolam untuk ikan nila. Lahan kosong lainnya digunakan untuk lahan pertanian. Jenis tanaman yang ditanam oleh warga binaan adalah sayur-sayuran, buah-buahan, dan tanaman obat. Kegiatan Usaha Ekonomi Prduktif (UEP) lainnya adalah warung, hal ini

73

dibuktikan dengan adanya warung kecil yang digunakan warga binaan untuk berjualan.

Warga binaan di Lembaga Sosial Hafara pada awalnya melakukan kegiatan-kegiatan Usaha Ekonomi Produktif seperti perikanan dan pertanian dengan belajar sendiri secara otodidak. Seiring dengan berkembangnya lembaga, warga binaan mendapatkan pembinaan dan pelatihan dari berberbagai pihak baik dari pemerintah, perorangan, maupun instansi lainnya.