• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBERDAYAAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS (GEPENG) MELALUI USAHA KEGIATAN EKONOMI PRODUKTIF (UEP) DI LEMBAGA SOSIAL HAFARA, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMBERDAYAAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS (GEPENG) MELALUI USAHA KEGIATAN EKONOMI PRODUKTIF (UEP) DI LEMBAGA SOSIAL HAFARA, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA."

Copied!
193
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBERDAYAAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS (GEPENG) MELALUI USAHA EKONOMI PRODUKTIF (UEP)

DI LEMBAGA SOSIAL HAFARA BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Rina Rohmaniyati

11102241027

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH JURUSAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)

ii

PERSETUJUAN

Skripsi yang berjudul “Pemberdayaan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng)

Melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara, Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta” yang disusun oleh Rina Rohmaniyati, NIM 11102241027 ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diujikan.

Yogyakarta, 26 November 2015 Pembimbing,

(3)
(4)
(5)

v MOTTO

1. Selalu ada kesempatan untuk memperbaiki diri dan hidup menjadi lebih baik

dengan niat, usaha, dan keyakinan (Penulis)

2. Rahasia kesuksesan adalah selalu bersyukur atas segala yang Anda miliki, sekecil apapun itu, dan tidak membenci hidup atas hasil yang belum pernah

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan untuk:

1. Kedua orang tua, Ayah dan Ibu tercinta yang telah senantiasa memberikan kasih sayang, doa restu, dukungan, dan pengorbanan dalam penyusunan karya ini.

2. Almamaterku Universitas Negeri Yogyakarta yag telah memberikan ilmu pengetahuan, wawasan, dan pengalaman.

(7)

vii

PEMBERDAYAAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS (GEPENG) MELALUI USAHA KEGIATAN EKONOMI PRODUKTIF (UEP) DI LEMBAGA SOSIAL HAFARA, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA

YOGYAKARTA Oleh Rina Rohmaniyati NIM 11102241027

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan: (1) Gelandangan dan pengemis (Gepeng) yang menjadi warga binaan Lembaga Sosial Hafara; (2) Pelaksanaan kegiatan dalam program Usaha Ekonomi Produktif (UEP); (3) Hasil pelaksanaan program Usaha Ekonomi Produktif; (4) Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan program Usaha Ekonomi Produktif; dan (5) Dampak pelaksanaan program Usaha Ekonomi Produktif bagi warga binaan Gepeng dan Lembaga Sosial Hafara, Bantul, DaerahIstimewa Yogyakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Subyek dalam penelitian ini adalah pimpinan lembaga, pengurus lembaga, dan warga binaan Gepeng dewasa yang tinggal dan bertugas mengelola dan mengolah kegiatan dalam program Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik yang digunakan untuk menganalisis data adalah display data, reduksi data, dan penarikan kesimpulan. Triangulasi menggunakan triangulasi sumber untuk menjelaskan keabsahan data dari berbagai narasumber dalam mencari informasi yang dibutuhkan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Warga binaan Gepeng di Lembaga Sosial Hafara berasal dari jalanan yang diperoleh melalui razia dan terdiri dari gelandangan, eks psikotik, pengamen, dan pengemis; (2) Usaha Ekonomi Produktif (UEP) merupakan program pemberdayaan bagi Gepeng yang bertujuan untuk melatih kemandirian, kegiatan program ini adalah pertanian, perikanan, dan usaha warung; (3) Hasil kegiatan program UEP adalah hasil warung, perikanan berupa ikan lele, dan pertanian berupa buah-buahan, sayuran, dan tanaman obat yang diperjualbelikan dan dikonsumsi. Pada kegiatan ini Gepeng mendapatkan bagi hasil dari keuntungan penjualan; (4) Faktor pendukung pelaksanaan program yaitu: ketersediaan lahan yang subur, sarana prasarana, memiliki sumber daya manusia, memiliki jaringan kerjasama yang luas dalam bidang pelatihan hingga pengelolaan. Faktor penghambatnya yaitu: kondisi alam, kurangnya modal untuk mengembangkan usaha, kondisi psikologis Gepeng, dan kurangnya pendidikan Gepeng; (5) Dampak secara sosial dan ekonomi pelaksanaan Usaha Ekonomi Produktif bagi lembaga yaitu mampu menggerakan organisasi dan mencukupi kebutuhan pokok seluruh warga binaan. Bagi warga binaan Gepeng selain mendapat ketrampilan, hasil keuntungan dapat mereka tabung dan memiliki rasa sosial untuk membantu mengentaskan orang jalanan lainnya.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi yang berjudul “Pemerdayaan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) Melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara,

Bantul,Daerah istimewa Yogyakarta” guna memperoleh gelar sarjana pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Penyusunan Tugas Akhir Skripsi ini dapat

terseesaikan berkat kerjasama, bimbingan, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang terlah memberikan fasilitas dan

sarana prasarana yang memudahkan penulis untuk studi di kampus tercinta ini. 2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah

memberikan fasilitas dan kemudahan sehingga studi saya berjalan lancar. 3. Ketua Jurusan Pendidikan Luar Sekolah yang telah memberikan kelancaran

dalam penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Prof. Dr. Yoyon Suryono, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi.

5. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah memberikan ilmu pengetahuannya.

6. Keluarga besar Lembaga Sosial Hafara atas izin dan kerjasama dalam kegiatan

(9)

ix

7. Ibu Fatonah tercinta yang telah memberikan kasih sayang, doa, dukungan dan

segala jerih payah demi penyusunan skripsi ini.

8. Kakak-kakakku dan saudara-saudaraku antara lain; Ella Syafputri P, Ika

Widyati, Afifudin Zuhri, M. Ridlwan, Haniroh, Muniroh, dan semuanya yang selalu memberikan dukungan baik secara materil maupun non materil.

9. Keluarga besar PKBM Ingin Wasis yang telah memberikan ilmu pengetahuan

dan pengalaman langsung di luar sekolah.

10.Sahabat-sahabatku yang terbaik yaitu Septi, Nuansa, Irma, Intan, Ferry, Dewi,

Afifah dan Mbak Ummi yang telah memberikan masukan, motivasi, dan persahabatannya.

11.Teman-teman Jurusan Pendidikan Luar Sekolah angkatan 2011, terimakasih

telah berbagi pengalaman dan cerita semasa kuliah.

12.Semua Pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah

membantu saya dalam menyelesaikan studi dan skripsi ini.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, semoga tugas akhir skripsi ini

dapat berguna dan bermanfaat sebagaimana mestinya.

Yogyakarta, 26 November 2015

(10)

x

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 10

C. Pembatasan Masalah ... 11

D. Rumusan Masalah... 11

E. Tujuan Penelitian ... 12

F. Manfaat Penelitian ... 13

BAB II KAJIAN TEORI ... 15

A. Kajian Teori ... 15

1. Kajian tentang Pemberdayaan ... 15

a. Pengertian Pemberdayaan ... 15

b. Proses Pemberdayaan ... 19

c. Strategi dan Tahap-tahap Pemberdayaan ... 21

2. Pengertian Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) ... 24

(11)

xi

b. Usaha Penanggulangan Gepeng ... 28

3. Kajian tentang Pendidikan Luar Sekolah dan Pemberdayaan Gepeng ... 29 4. Kajian tentang Usaha Ekonomi Produktif ... 32

a. Pengertian Usaha Ekonomi Produktif (UEP) ... 32

b. Faktor-Faktor Produksi dalam UEP ... 37

5. Kajian tentang Lembaga Sosial ... 39

a. Pengertian Lembaga Sosial ... 39

b. Ciri-ciri Lembaga Sosial ... 41

c. Fungsi dan Komponen Lembaga Sosial ... 44

B. Penelitian yang Relevan ... 46

C. Kerangka Berpikir ... 47

D. Pertanyaan Penelitian ... 50

BAB III METODE PENELITIAN ... 52

A. Pendekatan Penelitian ... 52

B. Setting Penelitian (Waktu dan Tempat Penelitian) ... 53

C. Subyek Penelitian ... 53

D. Teknik Pengumpulan Data ... 54

E. Instrumen Penelitian ... 58

F. Teknik Analisis Data ... 59

G. Keabsahan Data ... 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 62

A. Diskripsi Lembaga Penelitian ... 62

1. Lembaga Sosial Hafara ... 62

2. Tujuan, Visi, dan Misi Lembaga ... 63

3. Sasaran dan Program-Program Lembaga ... 63

4. Sumber Dana Lembaga ... 64

B. Data Hasil Penelitian ... 65

1. Warga Binaan di Lembaga Sosial Hafara ... 65

(12)

xii

a. Kegiatan Budi Daya Ikan dalam Usaha Ekonomi Produktif ... 74

b. Kegiatan Pertanian dalam Usaha Ekonomi Produktif ... 79

c. Kegiatan Usaha Warung dalam Usaha Ekonomi Produktif ... 85

3. Keberhasilan Program Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara ... 86

4. Dampak Program Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara ... 90

5. Faktor Pendukung dan Penghambat Program Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara ... 93 C. Pembahasan ... 96

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 115

A. Kesimpulan ... 115

B. Saran ... 117

DAFTAR PUSTAKA ... 118

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Siklus Pemberdayaan Hogan ... 21

Gambar 2. Skema Kerangka Berpikir ... 49

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Teknik pengumpulan data ... 57

Tabel 2. Daftar peralatan dan perlengkapan perikanan ... 77

Tabel 3. Daftar peralatan dan perlengkapan pertanian ... 82

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pedoman Observasi ... 122

Lampiran 2. Pedoman Dokumentasi ... 123

Lampiran 3. Pedoman Wawancara ... 124

Lampiran 4. Catatan Lapangan ... 129

Lampiran 5. Analisis Data... 138

Lampiran 6. Hasil Dokumentasi Foto ... 150

Lampiran 7. Profil Lembaga ... 157

Lampiran 8. Stuktur Kepengurusan ... 168

Lampiran 9. Sarana Prasarana Lembaga ... 169

Lampiran 10. Hasil Pembudidayaan Ikan Lele ... 171

Lampiran 11. Data Warga Binaan ... 172

(16)

1 BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara berkembang yang mengalami

permasalahan sosial di lingkungan masyarakatnya. Permasalahan sosial tersebut ditimbulkan karena ledakan penduduk di Indonesia yang

mengakibatkan jumlah penduduk sangat tinggi. Menurut data sensus penduduk yang diperoleh Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 mencapai 237.641.326 jiwa atau sekitar 237,6 juta jiwa.

Jumlah penduduk di Indonesia yang banyak ini memunculkan berbagai permasalahan sosial diantaranya adalah kemiskinan.

“Kemiskinan pada hakikatnya menunjuk pada situasi kesengsaraan dan ketidakberdayaan yang dialami seseorang baik akibat ketidakmampuannya memenuhi kebutuhan hidup, maupun akibat ketidakmampuan negara atau masyarakat memberikan perlindungan sosial kepada warganya” (Suharto, 2009: 16).

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,59 juta jiwa atau sekitar 11,22% dari jumlah keseluruhan penduduk di Indonesia. Penduduk miskin di

Indonesia dapat digolongkan menjadi rakyat miskin karena sesuai dengan sembilan kriteria kemiskinan berdasarkan studi SMERU, Suharto (2009:16)

(17)

2

gelandangan, pengemis); 4) rendahnya kualitas sumber daya manusia (buta

huruf, rendahnyapendidikan dan ketrampilan) dan terbatasnya sumber daya alam; 5) rentan terhadap goncangan individual dan massal; 6) kurangnya

lapangan kerja dan matapencahariaan yang memadai dan berkesinambungan; 7) ketiadaan akses kebutuhan hidup dasar (pendidikan, kesehatan); 8) ketiadaan jaminan masa depan; 9) ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial

masyarakat.

Kemiskinan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor

yang saling berkaitan satu sama lain. Faktor penyebab kemiskinan tersebut antara lain memiliki keterbatasan baik secara fisik maupun mental, pendidikan yang rendah, tidak mempunyai ketrampilan untuk berusaha, dan

kurang tersedianya lapangan kerja. Berdasarkan faktor tersebut, dapat dikatakan bahwa permasalahan kemiskinan yang terjadi di Indonesia erat kaitannya dengan masalah ketenagakerjaan, yaitu pengangguran.

Badan Pusat Statistik (BPS), menyebutkan bahwa jumlah pengangguran di Indonesia pada bulan Februari 2014 mencapai 7,2 juta orang. Data ini

menunjukkan bahwa masih banyak penduduk di Indonesia yang tidak bekerja/menganggur. Salah satu penyebab pengangguran adalah kemiskinan, karena penduduk miskin tidak mampu mendapatkan pelayanan kesehatan,

pendidikan dan ketrampilan secara maksimal sebagai modal mendapatkan pekerjaan, serta sebaliknya, kemiskinan terjadi karena penduduknya tidak

(18)

3

masalah sosial lainnya, yaitu munculnya gelandangan dan pengemis atau

biasa disebut Gepeng.

Fenomena pengemis dan gelandangan merupakan salah satu akibat

yang ditimbulkan oleh keadaan kemiskinan penduduk di Indonesia. Masyarakat yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya pada akhirnya memilih jalan pintas dengan cara mencari belas kasihan dari orang

lain. Gelandangan sendiri menurut Peraturan Kepala Kepolisian (Perkap) Negara Republik Indonesia No 14 Tahun 2007 tentang Penanganan

Gelandang dan Pengemis pada Pasal 1 ayat (1) merupakan orang yang tidak mempunyai tempat tinggal layak, pekerjaan tetap, dan hidup berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain yang tidak sepantasnya menurut

aturan dan norma kehidupan masyarakat, sedangkan pengemis dijelaskan pada ayat (2) sebagai orang yang mencari penghasilan dengan meminta-minta di tempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mendapat belas

kasihan orang lain. Selain itu, menurut Dimas D. Irawan (2013: 5) pengemis dapat dikelompokkan menjadi dua macam tipe yaitu pengemis miskin materi

dan pengemis miskin mental. Pengemis miskin materi adalah pengemis yang tidak memiliki uang atau harta, sedangkan pengemis miskin mental yaitu pengemis yang masih memiliki harta namun mental yang lemah

mendorongnya untuk mengemis. Ada beberapa fakor yang menyebabkan kegiatan mengemis dilakukan yaitu karena malas berusaha, cacat fisik,

(19)

4

Gelandangan dan pengemis atau yang biasa disebut Gepeng ini mudah

dijumpai di Indonesia salah satunya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pertumbuhan Gepeng di DIY sangatlah pesat seiring dengan

pertumbuhan jumlah penduduk di DIY. Gelandangan dan pengemis (Gepeng) dapat dijumpai di setiap sudut kota di DIY. Mereka identik dengan pakaian compang-camping, kotor, dekil, dan tidak terurus. Gelandangan dan

pengemis (Gepeng) yang ada di DIY mayoritas berasal dari luar daerah. Gelandangan dan pengemis memilih provinsi DIY sebagai tempat mengadu

nasib karena biaya hidup di DIY lebih murah, selain itu para Gepeng menghindari peraturan tentang pelanggaran terhadap gelandangan dan pengemis di daerah lain yang kala itu belum ditetapkan pemerintah DIY.

Berdasarkan data dari Dinas Sosial DIY yang dilansir

oleh

orang yang terdiri atas 161 gelandangan, 191 pengemis, dan 296 gelandangan

psikotik. Pertumbuhan gelandangan dan pengemis di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang begitu pesat ini mendorong pemerintah untuk

melakukan penanggulangan terhadap masalah ini yaitu dengan mengeluarkan dan mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.

Peraturan daerah ini merupakan langkah awal upaya pemerintah menyukseskan target DIY bebas dari gelandangan dan pengemis pada tahun

(20)

5

Selama ini keberadaan gelandangan dan pengemis (Gepeng) merugikan

masyarakat dan negara. Negara dirugikan karena sumber daya manusia yang semula diharapkan dapat mandiri, produktif, dan mampu membangun negara

menjadi gelandagan dan pengemis yang menggantungkan hidupnya kepada orang lain, tidak mempunyai kehidupan yang layak, dan tidak dapat mencukupi kebutuhan secara mandiri, serta kehidupannya bebas yang tidak

mematuhi norma-norma. Hal ini tidak sejalan dengan cita-cita nasional karena mereka menjadi beban Negara. Gepeng termasuk dalam golongan

fakir miskin yang mana sesuai dengan UUD 1945 pasal 34 ayat 1 berhak mendapakan perlindungan negara. Pemerintah mempunyai kewajiban dan bertanggungjawab untuk menyelesaikan permasalahan gelandangan dan

pengemis supaya mereka dapat hidup dengan layak bersama masyarakat lainnya.

Gelandangan dan pengemis mayoritas tidak mempunyai identitas yang

jelas, tidak memiliki kartu pengenal dan bahkan mereka memiliki banyak “topeng” ketika berada di jalanan. Hal ini menyebabkan susahnya melakukan

pendataan kependudukan. Gelandangan dan pengemis juga mempunyai pola hidup yang bebas, mereka tidak terikat oleh aturan yang ada di mayarakat, mereka membuat aturan mereka sendiri bahkan cenderung menghiraukan

nilai-nilai dan norma-norma yang ada di masyarakat. Kehidupan gelandangan dan pengemis yang bebas membuat mereka betah berada di jalanan, mereka

(21)

6

dan norma, contohnya melakukan hubungan seks bebas dan suka memungut

barang milik orang lain.

Keberadaan mereka diperburuk dengan terbentuknya keluarga gepeng,

dimana gepeng ini dapat menjadi sebuah komunitas yang semua anggota keluarganya berprofesi sebagai gelandangan maupun pengemis. Selain itu, praktik penggelandangan dan pengemisan seperti gelandangan dengan

pakaian compang-camping, kotor mengais-ais sampah untuk mencari makan, tidur sembarangan di emperan toko, jalan bahkan teras rumah orang, adapula

pengemis yang meminta-minta padahal sebenarnya dia merupakan golongan orang mampu dan ada juga pengemis yang meminta belas kasihan dengan cara memaksa dapat mengganggu kenyamanan, ketertiban dan keamanan di

lingkungan masyarakat, dan apabila tidak ditangani akan mengganggu stabilitas nasional.

Keberadaan gelandangan dan pengemis bukanlah tanpa alasan,

keberadaan mereka disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor ekonomi, psikologis, pendidikan, sosial budaya, bahkan agama. Gelandangan dan

pengemis merupakan bagian dari masyarakatyang tersaing. Gelandangan dan pengemis merupakan masyarakat yang tidak berdaya, mereka tidak mampu mencukupi kebutuhan pokok, kurang memiliki kepedulian terhadap

kesehatan, ketidakpedulian terhadap nilai-nilai dan norma, serta mereka masih memiliki mindset ‘tangan dibawah lebih baik’ yaitu senang meminta

(22)

7

masyarakat untuk mengentaskan permasalahan gelandangan dan pengemis

ini. Gelandangan dan pengemis membutuhkan bantuan, bukan bantuan uang atau barang yang langsung dikonsumsi tetapi lebih kepada bantuan perbaikan

mental, pendidikan, dan pelatihan supaya mereka dapat hidup dengan layak dan mampu mengangkat derajat harkat dan martabatnya sebagai manusia.

Gepeng memerlukan perbaikan mental khususnya jenis gelandangan

psikotik yang mana kejiwaannya terganggu. Perbaikan bagi gelandangan dan pengemis yang sehat secara fisik dan kejiwaannya dapat dilakukan dengan

cara brainwashing untuk membuka pemikiran dan merubah pola pikir Gepeng yang semula “tangan di bawah” menjadi “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”, sehingga mereka dapat menghentikan pencarian

nafkah melalui kegiatan menggelandang dan mengemis lalu berganti dengan cara bekerja sesuai nilai-nilai dan norma.Perbaikan mental saja tidaklah cukup untuk membantu gelandangan agar dapat hidup dengan baik dan layak.

Perbaikan mental harus disertai dengan pemberian pendidikan dan pelatihan. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia dan bersifat sepanjang

hayat. Pendidikan dapat dilaksanakan oleh siapa saja, dimana saja, dankapan saja. Pendidikan merupakan hak asasi seluruh umat manusia tak terkecuali bagi gelandangan dan pengemis. Hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945

pasal 31 ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pendidikan bagi gelandangan dapat ditempuh

(23)

8

pemerintahan. Pendidikan dan pelatihan bagi gelandangan dan pengemis

(Gepeng) sangatlah diperlukan karena dengan memperoleh pendidikan dan pelatihan, mereka dapat memperoleh pengetahuan dan ketrampilan yang

sesuai dengan kebutuhan yang dapat dijadikan modal untuk bekerja secara layak sehingga mereka mampu meningkatkan kualitas hidupnya.

Penanganan gelandangan dan pengemis tersebut sejalan dengan upaya

preventif, represif, dan rehabilitatif yang tercantum dalam Peraturan Daerah provinsi DIY pasal 8 ayat (1-3) mengenai penanggulangan gelandangan dan

pengemis. Upaya-upaya tersebut ditempuh melalui pelatihan ketrampilan, magang dan perluasan kesempatan kerja; peningkatan derajat kesehatan; fasilitasi tempat tinggal; peningkatan pendidikan; penyuluhan dan edukasi

masyarakat; pemberian informasi melalui baliho di tempat umum; bimbingan sosial; dan bantuan sosial. Pemerintah, dalam hal ini Dinas Sosial DIY bekerjasama dengan Lembaga Sosial yang ada berusaha untuk melaksanakan

upaya-upaya tersebut dalam menanggulangi gelandangan dan pengemis. Salah satu Lembaga Sosial di DIY yang bergerak dalam upaya

menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis adalah Lembaga Sosial Hafara. Lembaga Sosial Hafara pada awalnya terletak di Dusun Gonjen, Rt. 05 Rw. 17, kini lembaga tersebut berlokasi di Brajan, Tamantirto,

Kasihan Bantul. Lembaga Sosial yang mempunyai kepanjangan Hadza Min Fadli Rabbi (Kemurahan Hati Tuhan) bergerak pada pelayanan terpadu

(24)

9

ini seluruhnya berasal dari jalanan, antara lain; pengamen, pengemis,

gelandanga, eks psikotik, dan eks pecandu obat-obatan, serta anak jalanan. Lembaga Sosial Hafara saat ini memiliki 39 warga binaan, yang terdiri atas; 6

orang gelandangan dewasa, 9 orang anak jalanan, dan 24 orang eks psikotik dan eks narkoba. Sebagai upaya menanggulangi permasalahan gelandagan dan pengemis, Lembaga Sosial Hafara mempunyai berbagai pelayanan yang

sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.

Pelayanan tersebut antara lain rumah singgah, bimbingan sosial, bimbingan belajar dan ketrampilan.

Lembaga Sosial Hafara mempunyai permasalahan dalam upaya

menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis. Permasalahan yang dihadapi lembaga antara lain; gelandangan dan pengemis (gelandangan dan pengemis) baru sulit untuk beradaptasi, kurangnya kesadaran dan motivasi

untuk belajar, serta gelandangan dan pengemis masih beranggapan bahwa kehidupan di jalan lebih menguntungkan dari pada di lembaga. Salah satu

upaya menyelesaikan permasalahan tersebut, Lembaga Sosial Hafara melibatkan mereka dalam kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP).

Usaha Ekonomi Produktif (UEP) merupakan program pemberdayaan

gelandangan dan pengemis melalui kegiatan usaha yang produktif. Program ini dimaksudkan untuk mengkikis asumsi gelandangan dan pengemis yang

(25)

10

lahan atau pekarangan disekitar lembaga sekitar ±1000 m2 sebagai lahan

produktif untuk kegiatan dibidang perikanan dan perikanan. Selain pertanian dan pertanian, ada pula usaha warung yang dikelola sendiri oleh warga

binaan. Gelandangan dan pengemis berpartisipasi aktif mengelola kegiatan tersebut dengan dibekali pengetahuan dan ketrampilan cara bercocok tanam dan berternak ikan. Tanaman unggulan di Lembaga Sosial Hafara adalah

papaya, sedangkan untuk perikannanya adalah Ikan Lele. Hasil pertanian dan perikanan tersebut kemudian diperjualbelikan warga binaan di pasar, kepada

pengepul bahkan pada lembaga sendiri serta adapula yang di konsumsi oleh seluruh warga binaan. Hasil penjualan tersebut kemudian dibagi dua, bagi hasil untuk warga binaan Gepeng yang mengelola dan untuk kas lembaga.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka peneliti mengambil judul penelitian “Pemberdayaan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) Melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial

Hafara, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut:

1. Penanggulangan gelandangan dan pengemis (Gepeng) di DIY masih

belum optimal, hal ini terbukti dengan jumlah gepeng di DIY yang mencapai 648 orang yang terdiri atas 161 gelandangan, 191 pengemis, dan

(26)

11

2. Keberadaan gelandangan dan pengemis mengganggu ketertiban,

kenyamanan, dan keamanan masyarakat karena kehidupan mereka yang bebas dan tidak mengindahkan norma-norma di dalam masyarakat.

3. Gelandangan dan pengemis tidak mandiri, tidak produktif, dan selalu meminta belas kasihan orang lain.

4. Masih terdapat kesulitan dalam menyadarkan dan mengajak gelandangan

maupun pengemis untuk belajar, mendapatkan bimbingan dan pelatihan di Lembaga Sosial Hafara karena sulitnya beradaptasi.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi di atas, penelitian ini dibatasi pada pemberdayaan gelandangan dan pengemis (Gepeng) melalui Usaha Ekonomi

Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada pembatasan masalah yang telah disampaikan, maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi gelandangan dan pengemis (Gepeng) di Lembaga Sosial Hafara?

2. Bagaimana pelaksanaan kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di

Lembaga Sosial Hafara?

3. Apa hasil Usaha Ekonomi Produktif (UEP) bagi gelandangan dan

(27)

12

4. Apa dampak pemberdayaan gelandangan dan pengemis melalui Usaha

Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara?

5. Apa faktor penghambat dan pendukung pemberdayaan gelandangan dan

pengemis melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui tentang kondisi gelandangan dan pengemis yang ada di Lembaga Sosial Hafara.

2. Mendiskripsikan proses pelaksanaan pemberdayaan gelandangan dan

pengemis melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara.

3. Mengetahui keberhasilan program Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara.

4. Mengetahui dampak pemberdayaan gelandangan dan pengemis melalui

Usaha Ekonomi Produktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara

5. Mengetahui faktor penghambat dan pendukung pemberdayaan

(28)

13 F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan atau informasi mengenai

pemberdayaan masyarakat. Selain itu juga dapat membantu dalam kajian-kajian penelitian mengenai gelandangan dan pengemis, serta untuk menambah kepustakan penelitian agar dapat menjadi sumber penelitian berikutnya.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti

Peneliti dapat memahami dan membantu menambah ilmu pengetahuan, wawasan menegenai pemberdayaan gelandangan dan pengemis yang dilaksanakan di Lembaga Sosial Hafara. Selain itu juga peneliti dapat

mengimplementasikan ilmu dan mendapat pengalaman melalui kegiatan selama penelitian.

b. Bagi Lembaga Sosial Hafara

Penelitian ini dapat berkonstribusi dalam mengembangkan program pemberdayaan gelandangan dan pengemis melalui Usaha Ekonomi

Produktif yang telah berjalan. Penelitian ini juga dapat membantu mengidentifikasi kelemahan dan kelebihan sehingga dapat memberi masukan yang membangun bagi kegiatan Usaha Ekonomi Produktif di

(29)

14 c. Bagi Praktisi Pendidikan

1) Penelitian ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan mengenai pemberdayaan bagi gelandangan dan pengemis melalui

kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP)

2) Penelitian ini dapat memberikan konstribusi dalam pengembangan ilmu pendidikan luar sekolah terkait dengan pemberdayaan

masyarakat.

3) Penelitian ini dapat menjadi referensi atau bahan kajian bagi

(30)

15 BAB II KAJIAN TEORI

A. Kajian Teori

1. Kajian tentang Pemberdayaan

a. Pengertian Pemberdayaan

Pemberdayaan identik dengan ketidakpunyaan apa-apa, tidak bisa

apapun, atau tidak berdaya. Pemberdayaan menurut Sulistiyani (2004: 77) secara estimologis berasal dari kata “daya” yang berarti kekuatan, kekuasaan dan kemampuan, yaitu sebagai suatu proses menuju berdaya atau proses

untuk memperoleh kekuasaan/kekuatan/kemampuan. Pemberdayaan juga dapat berarti sebuah proses pemberian daya atau kekuatan kepada pihak yang

tidak bisa apa-apa (Marzuki, 2010: 88). Sedangkan dalam bahasa Inggris, pemberdayaan disebut empowerment dan memberdayakan disebut empower. Menurut Merriam Webster dan Oxford English Dictionary dalam Guntur (2009: 3), ada dua pengertian empower yaitu:

1) to give power or authority, artinya memberikan kekuatan atau otoritas kepada pihak yang belum atau kurang berdaya

2) to give ability to or enable , artinya memberikan kemampuan atau keberdayaan sebagai wujud kekuatan/daya untuk hidup mandiri.

(31)

16

tindakan dan pengambilan keputusan dimana dalam proses pembangunan

dapat diartikan sebagai penguasaan atau kontrol terhadap sumber daya, pengelolaannya, hasil, dan manfaat yang diperoleh.

Selain pengertian di atas, beberapa ahli juga memberikan pengertian pemberdayaan sebagai berikut.

1) A.M.W. Pranarka dan Vidhyadika Moelyarto

Konsep pemberdayaan merupakan bagian dari upaya membangun eksistensi pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, pemerintah, negara, dan tata dunia dalam suatu kerangka proses aktualisasi kemanusiaan yang adil dan beradab (Guntur, 2009: 169).

2) Hulme dan Turner

Pemberdayaan merupakan pendorong terjadinya proses perubahan sosial yang memungkinkan orang-orang pinggiran yang tidak berdaya memberikan pengaruh yang lebih besar di arena politik secara lokal dan nasional (Guntur, 2009: 169).

3) Sumodiningrat

Pemberdayaan adalah suatu pemberian energi bagi yang belum atau kurang berdaya agar yang bersangkutan mampu bergerak secara mandiri (Sulistiyani, 2004: 78).

4) Winarni

Inti dari pemberdayaan adalah meliputi tiga hal yaitu pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya (empowering), dan terciptanya kemandirian (Sulistiyani, 2004: 79).

5) Payne

Pemberdayaan membantu klien (orang yang tak berdaya) mendapatkan kekuatan/daya dalam mengambil keputusan dan tindakan mengenai hidup mereka sendiri termasuk mengurangi hambatan sosial maupun personal, untuk itu mereka melakukan peningkatan daya dan kepercayaan diri untuk menggunakan daya yang telah mereka miliki (Adi, 2008:78).

6) Sharlow

(32)

17 7) Biestek

Pemberdayaan sama halnya dengan prinsip “Self-Determination” yang dalam bidang pendidikan ilmu kesejahteraan sosial diartikan sebagai prinsip yang mendorong klien untuk menentukan sendiri apa yang harus mereka lakukan dalam usaha untuk mengatasi permasalahan yang ia hadapi sehingga klien mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh dalam membentuk masa depannya (Adi, 2008:78).

Pemberian daya dilakukan oleh pihak yang berdaya atau yang memiliki kemampuan/kekuasaan kepada pihak yang lemah. Menurut Edi Suharto

(2010: 58-60) pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Pemberdayaan sebagai tujuan lebih merujuk pada hasil yang dicapai oleh sebuah perubahan sosial. Pemberdayaan mengarah pada pemberian kekuatan atau kemampuan

kepada kelompok lemah agar mampu;

a) Memenuhi kebutuhan dasar. Kelompok lemah memiliki kebebasan, yaitu bebas mengemukakan pendapat, bebas dari kelaparan, kebodohan, dan kesakitan.

b) Menjangkau sumber-sumber produktif yang dapat meningkatkan pendapatan dan memperoleh barang-barang atau jasa yang diperlukannya.

c) Berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempegaruhi.

Ife (Suharto, 2010: 59) juga menambahkan bahwa pemberdayaan memuat

dua pengertian kunci yaitu kelompok lemah dan kekuasaan atas hal-hal sebagai berikut.

1) Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup, yaitu kemampuan membuat keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal, dan pekerjaan

2) Pendefinisian kebutuhan, yaitu kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan keinginannya.

(33)

18

4) Lembaga-lembaga, yaitu kemampuan menjangkau, menggunakan, mempengaruhi, pranata-pranata masyarakat, seperti lembaga sosial, pendidikan, kesehatan.

5) Sumber-sumber, yaitu kemampuan memobilisasi smber-sumber formal, informal, dan kemasyarakatan.

6) Aktivitas ekonomi, yaitu kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi, dan pertukaran barang serta jasa. 7) Repoduksi, yaitu kemampuan yang berkaitan dengan proses

kelahiran,perawatan anak, pendidikan, dan sosialisasi.

Pemberdayaan mempunyai banyak pandangan (multiple interpretation)

untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Isbandi R. Adi (2008:79) menuturkan bahwa intrepertasi satu dengan yang lainnya belum tentu sama

karena pemberdayaan itu bervariasi seperti pemberdayaan yaitu pemberdayaan ekonomi, pemberdayaan sosial budaya, pemberdayaan lingkungan, pemberdayaan kesehatan, dan sebagainya. Varian pemberdayaan

terbentuk berdasarkan tujuan pembangunan masing-masing tempat. Meskipun demikian, berbagai macam bentuk pemberdayaan yang bervariasi tersebut dapat dipadukan dan saling melengkapi untuk menciptakan suatu

kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat diwujudkan dengan menyinergikan berbagai upaya pemberdayaan masyarakat yang dilakukan dengan melibatkan

lembaga-lembaga yang ada baik lembaga pemerintah (GOs) maupun non pemerintah (NGOs) selain itu juga dapat menyinergikan pemberdayaan berdasarkan bidang yang berbeda.

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas, maka pemberdayaan dapat diartikan suatu pemberian daya atau kekuatan melalui

(34)

19

pemberian bantuan pihak lain (lembaga GO maupun NGOs) agar

mendapatkan pengetahuan, mampu memperbaiki sikap, dan menambah ketrampilan yang dapat digunakan dalam membantu mengambil keputusan

dan tindakan terkait hidupnya sehingga mereka mampu hidup secara mandiri dan mampu meraih masa depan sesuai yang mereka inginkan.

b. Proses Pemberdayaan

Pemberdayaan juga dapat diartikan sebagai proses. Menurut Edi Suharto (2010: 59) Pemberdayaan sebagai proses adalah serangkaian kegiatan

yang dilakukan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk pihak yang mengalami permasalahan kemiskinan. Pemberdayaan merupakan bagian dari pendidikan yang di

dalamnya terdapat proses satau tahapan yang sisitematis. Tujuan proses pengembangan dan pemberdayaan manusia menurut Suyono dalam Marzuki (2010: 88) adalah:

“Proses pengembangan manusia agar memiliki kapasitas penuh, memiliki pilihan-pilihan yang lebih luas dan kesempatan yang lebih besar sehingga mereka dapat mencapai kehidupan yang lebih bermartabat dan lebih makmur”.

Menurut Sulistiyani (2004: 77) proses pemberdayaan dilakukan dengan

pemberian knowledge, attitude, practice (KAP). Knowledge berarti menguasai ilmu pengetahuan, attitude yaitu mewujudkan sikap-perilaku

(35)

20

Keberadaan pemberdayaan sendiri dibagi menjadi dua yaitu

pemberdayaan masyarakat sebagai program dan sebagai suatu proses. Menurut Isbandi (2008: 84), pemberdayaan sebagai program lebih mengarah

seperti proyek karena dilihat dari tahapan-tahapannya, kegiatan yang dilakukan hanya untuk mencapai tujuan berdasarkan jangka waktu tertentu. Pemberdayaan sebagai program seringkali berhenti setelah waktu yang

ditentukan telah terpenuhi. Sedangkan pemberdayaan sebagai proses merupakan suatu kegiatan pemberdayaan yang berkesinambungan dan

berkelanjutan sepanjang hidup (on going process) individu maupun masyarakat baik yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintah (GO) maupun lembaga non pemerintah (NGOs). Proses pemberdayaan ini tidak

hanya terpaku pada suatu program tetapi kegiatan terus berlanjut sejalan dengan kemauan untuk mengubah dan memberdayakan diri. Hogan dalam Isbandi R. Adi (2008: 85) mengungkapkan bahwa proses pemberdayaan yang

(36)

21

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pemberdayaan dibagi menjadi dua yaitu pemberdayaan sebagai program dan sebagai proses. Pemberdayaan dilakukan secara sistematis sesuai

tahapan-tahapan yang telah ditentukan untuk memberikan pengetahuan, perbaikan sikap, dan ketrampilan bagi individu maupun kelompok masyarakat tuna daya

agar menjadi berdaya.

c. Strategi dan Tahap-tahap Pemberdayaan

Pemberdayaan bertujuan untuk mewujudkan suatu individu dan atau

masyarakat yang mandiri, menurut Parsons et.al (Suharto, 2010: 66) dalam prosesnya pemberdayaan memiliki tiga araz atau matra pemberdayaan

(empowerment setting) yang dapat digunakan yaitu sebagai berikut. Menghadirkan

(37)

22

1) Araz Mikro atau pendekatan berpusat pada tugas (task centered approach),

yakni pemberdayaan yang dilakukan melalui bimbingan, konseling yang tujuan utamanya membimbing dan melatih pihak lemah dalam

menjalankan tugas-tugas kehidupannya.

2) Araz Mezzo, yakni pemberdayaan menggunakan kelompok sebagai media intervensi seperti pendidikan, pelatihan, dinamika kelompok yang

bertujuan meningkatkan kesadaran, pengetahuan, dan ketrampilan serta sikap agar mampu memecahkan permasalahan yang dihadapi

3) Araz Makro atau Strategi Sistem Besar (large-system strategy), yakni pemberdayaan yang sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas.

Selain strategi, dalam mencapai tujuan pemberdayaan ada beberapa tahap yang harus dilalui sebagai berikut (Sulistiyani, 2004: 77).

a) Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku sadar dan peduli.

Tahap ini ditujukan untuk menumbuhkan perasaan membutuhkan peningkatan kapasitas diri. Tahap ini pula merupakan tahap persiapan di

mana pihak/aktor pemberdayan berusaha menciptakan pra kondisi agar dapat menfasilitasi berlangsungnya proses pemberdayaan yang efektif. Penyadaran ini akan lebih membuka keinginan dan kesadaran individu maupun

(38)

23

lebih baik (adanya kesadaran untuk belajar dan terbuka merasa membutuhkan

pengetahuan dan ketrampilan untuk memperbaiki kondisi)

b) Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan dan

kecakapan – ketrampilan.

Tahap ini mengupayakan agar tuna daya mendapatkan wawasan dan ketrampilan dasar agar mereka dapat berperan dalam pembangunan. Jika

tahap pertama terkondisi dengan baik, tahap kedua ini juga akan berjalan dengan baik. Pada tahap ini masyarakat menjalani proses belajar tentang

pengetahuan dan kecakapan/ketrampilan yang relevan atau sesuai dengan tuntutan kebutuhan. Tahap ini akan menstimulasi terjadinya keterbukaan wawasan dan menguasai kecakapan ketrampilan dasar yang mereka

butuhkan. Masyarakat pada tahap ini hanya dapat memberikan peran partisipatif pada tingkat yang lebih rendah yaitu sekedar menjadi pengikut atau objek pembangunan saja, belum mampu menjadi subyek pembangunan.

c) Tahap pengembangan kemampuan intelektual, kecakapan – ketrampilan yang membentuk inisiatif dan kemampuan inovatif.

Tahap ini adalah tahap pengayaan atau peningkatan intelektual dan kecakapan ketrampilan yang diperlukan agar dapat membentuk kemampuan mandiri. Kemandirian tersebut akan ditandai oleh kemampuan masyarakat dalam

membentuk inisiatif, melahirkan kreasi-kreasi, dan melakukan inovasi-inovasi di dalam lingkungannya. Apabila masyarakat telah mencapai tahap ini

(39)

24

didudukkan sebagai subyek pembangunan atau pemeran utama. Pemerintah

tinggal menjadi fasilitator saja.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam

proses pemberdayaan memerlukan strategi yang dibagi menjadi tiga yaitu araz mikro, mezzo, dan makro. Selain itu, juga harus melalui tahap-tahap pemberdayaan yang dibagi menjadi tiga tahapan yang saling mempengaruhi

dan berkesinambungan. Tiga tahap tersebut dimulai dari penyadaran, kemudian dilanjutkan tahap transformasi kemampuan, dan diakhiri oleh

peningkatan kemampuan intelektual. Ketiga tahap pemberdayaan tersebut pada akhirnya dilaksanakan untuk satu tujuan yaitu memberdayakan masyarakat agar mampu menjalani dan mencukupi kebutuhan hidupnya

secara mandiri.

2. Pengertian Gelandangan dan Pengemis (Gepeng)

Gepeng merupakan singkatan dari pengemis dan gelandangan. Menurut

Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 1980 tentang penanganan gelandangan dan pengemis pada pasal 1 ayat (2) maupun menurut Perda DIY Nomor 1

tahun 2014 tentang penanganan gelandangan dan pengemis pasal 1 ayat (5) menyebutkan bahwa pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan cara meminta-minta di depan umum dengan berbagi cara

dan mengharapkan belas kasihan orang lain. Menurut Dimas D. Irawan (2013: 5) dalam bukunya Pengemis Undercover membagi pengemis menjadi

(40)

25

Pengemis yang miskin materi melakukan kegiatan mengemis karena memiliki

keterbatasan seperti cacat dan tidak mempunyai harta benda untuk mencukupi kebutuhannya. Sedangkan pengemis miskin mental adalah pengemis yang

dimungkinkan masih memiliki harta benda tetapi mereka malas untuk bekerja dan memilih jalan pintas yang instan untuk mendapatkan uang.

Gelandangan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun

1980 pasal 1 ayat (2) dan Perda DIY Nomor 1 tahun 2014 pasal 1 ayat (2 dan 3) menyatakan bahwa gelandangan adalah orang-orang yang hidupnya dalam

keadaan yang tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak di dalam masyarakat setempat, serta mereka tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tidak tetap di wilayah tertentu, serta mengembara di tempat

yag umum. Gelandangan juga terbagi menjadi dua jenis yaitu gelandangan dan gelandangan psikotik. Gelandangan biasa seperti yang telah disebutkan pengertiannya di atas yaitu orang yang hidupnya mengembara, tidak

mempunyai tempat tinggal (tunawisma) dan tidak mempunyai pekerjaan tetap. Mereka cenderung hidup tidak sesuai dengan nilai-nilai dan

norma-norma yang berlaku di masyarakat tempat mereka berada. Gelandangan psikotik tidak jauh berbeda dengan gelandang pada umumnya, perbedaannya terletak pada kondisi kejiwaan yang dimiliki. Menurut Tursilarini (2008)

gelandangan psikotik adalah seseorang yang mengalami gangguan yang berat dan komplit baik secara fisik, mental, sosial dan psikologis. Gelandangan

(41)

26

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Gepeng

merupakan singkatan dari gelandagan dan pengemis, keduanya merupakan orang-orang yang hidup tidak layak yaitu tidak sesuai dengan nilai-nilai dan

norma-norma yang berlaku di masyarakat. Gelandangan memiliki hidup berpindah-pindah, tidak punya tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap. Berbeda dengan gelandangan, pengemis masih memiliki tempat tinggal tetapi

pendapatan yang mereka dapat dengan cara meminta-minta belas kasihan orang lain di tempat umum. Gelandangan dan pengemis sama-sama terbagi

menjadi dua jenis atau tipe. Gelandangan dibagi menjadi gelandangan biasa dan gelandangan psikotik, sedangkan pengemis dibagi menjadi pengemis

miskin materi dan pengemis miskin mental.

a. Faktor Penyebab Timbulnya Gepeng

Keberadaan Gepeng (gelandangan dan pengemis) ditimbulkan oleh

beberapa faktor yang mempengaruhinya. Menurut Dimas (2013: 7-22), faktor yang mempengaruhi munculnya kegiatan mengemis antara lain; korban perantauan dengan modal nekad, malas berusaha, memiliki cacat fisik

(disabilitas fisik), mahalnya biaya pendidikan, kurangnya lapang kerja, tradisi turun menurun, paham lebih memilih mengemis daripada menganggur,

ketidakberdayaan, terlilit masalah ekonomi, dan ketidakmampuan mencukupi kebutuhan pokok yang mahal harganya.

Menurut Twikromo (1999: 2) kehidupan gelandangan dipandang

(42)

27

memaksa mereka menjadi gelandangan untuk bertahan hidup. Ada beberapa

faktor eksternal dan internal yang menyebabkan semakin bertambahnya gelandangan. Menurut Widiyanto (1986: 121) Faktor internal (dalam)

meliputi; sifat malas atau tidak mau bekerja, lemahnya mental, cacat secara fisik dan atau secara mental, sedangkan faktor eksternal (luar) terdiri dari beberapa faktor sebagai berikut;

1) Faktor ekonomi, meliputi; kurangnya lapangan kerja, kemiskinan, pendapatan rendah sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup.

2) Faktor sosial karena adanya arus urbanisasi, ketidakmampuan bersaing di daerah perantauan serta kurangnya partisipasi masyarakat dalam usaha kesejahteraan sosial.

3) Faktor pendidikan yaitu rendahnya pedidikan yang mengakibatkan kurangnya ilmu pengetahuan dan ketrampilan.

4) Faktor psikologis yaitu mengalami gangguan psikologis karena kejadian

masa lalu dan keadaan disekitarnya.

5) Faktor kultural; pasrah terhadap nasib dan adat istiadat yang menghambat

mental

6) Faktor agama; kurangnya bimbingan keagamaan yang mengakibatkan hilangnya rasa kemanusiaan dan ketuhanan sehingga mereka tidak mau

berusaha, cepat putus asa dalam menghadapi cobaan.

7) Faktor lingkungan; kehidupan bebas tanpa aturan di lingkungan

(43)

28

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan

gelandangan dan pengemis (Gepeng) disebabkan karena berbagai faktor yang mempengaruhi mulai dari faktor dari dalam(internal) dan dari luar (eksternal)

dalam bidang ekonomi, sosial budaya, pendidikan, psikologis.

b. Usaha Penanggulangan Gepeng

Guinnes (Twikromo, 1999: 3) menyebutkan bahwa gelandangan

dianggap sebagai seseorang licik, tidak dapat dipercaya, menggangu ketertiban, sampah masyarakat, dan tidak mempunyai rasa kesusilaan hanya

karena mereka tidak mempunyai tempat tinggal dan sarana hidup yang tetap. Pandangan negatif ini memunculkan usaha penanggulangan baik gelandangan maupun pengemis. Usaha penanggulangan gelandangan dan pengemis

(Gepeng) sudah diatur dalam peraturan perundangan, baik melalui peraturan pemerintah maupun peraturan daerah. Penanggulangan ini bertujuan agar tidak terjadi lagi kegiatan pengegelandangan dan pengemisan, mencegah

semakin maraknya gelandangan dan pengemis, dan memasyarakatkan kembali mereka menjadi anggota masyarakat serta memberdayakan mereka

supaya dapat hidup dengan layak sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Penanggulangan gelandangan dan pengemis diatur dalam peraturan pemerintah nomor 31 tahun 1980. Sedangkan dalam peraturan daerah seperti

di Daerah Istimewa Yogyakarta diatur dalam Perda Nomor 1 tahun 2014. Penanggulangan gelandangan dan pengemis pada intinya dibagi menjadi tiga

(44)

29 1) Usaha preventif

Usaha ini meliputi; penyuluhan, bimbingan, latihan, pemberian bantuan, pengawasan, dan pembinaan lanjutan.

2) Usaha represif

Usaha ini dilakukan untuk menghilangkan pergelandangan dan pengemisan serta mencegah perluasannya di masyarakat. Usaha ini

meliputi; razia, penampungan sementara untuk diseleksi dan pelimpahan. 3) Usaha rehabilitatif

Usaha ini bertujuan agar gelandangan dan pengemis memiliki kembali kemampuan untuk hidup secara layak sesuai harkat dan martabat manusia. Usaha ini meliputi; penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan,

pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali ke masyarakat, pengawasan, dan pembinaan lanjutan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa

penanggulangan gelandangan dan pengemis pada intinya dapat dilakukan dengan tiga bentuk usaha yang dilakukan secara terorganisir yang diatur oleh

peraturan perundang-undangan yaitu melalui usaha preventif, represif, dan rehabilitasi, termasuk di dalamnya adalah kegiatan pemberdayaan.

3. Kajian tentang Pendidikan Luar Sekolah dan Pemberdayaan Gepeng

Gelandangan dan pengemis (Gepeng) merupakan salah satu golongan atau kelompok lemah yang tidak berdaya. Ketidakberdayaan Gepeng ini

(45)

30

faktor eksternal seperti kurangnya lapangan kerja, dan adanya pandangan

negatif dari masyarakat mengenai kehidupan Gepeng, sehingga Gepeng tidak dapat dipercaya dan dipandang sebelah mata kehadirannya.

Menurut Edi Suharto (2010: 60) kelompok lemah dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok sebagai berikut.

a. Kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender, maupun etnis.

b. Kelompok lemah khusus, seperti manula, anak-anak, remaja, penyandang cacat, dan masyarakat terasing.

c. Kelompok lemah secara personal yaitu mereka yang mengalami masalah pribadi atau keluarga.

Berdasarkan pengkategorian tersebut, Gepeng jelas sekali merupakan kelompok lemah karena secara struktural berada di kelas paling rendah, secara khusus Gepeng adalah kelompok yang diasingkan oleh masyarakat,

mereka mengalami diskriminasi karena perilaku mereka yang tidak umum sesuai nilai dan norma yang berlaku. Masyarakat menganggap tingkah laku

mereka meyimpang karena tidak bekerja semestinya, meminta-minta, berpenampilan compang-camping, dan tidak mempunyai tempat tinggal, serta ada pula yang cacat secara mental dan/atau fisik. Oleh sebab itu, Gepeng

sebagai kelompok lemah perlu untuk diberdayakan melalui usaha-usaha baik preventif, represif, dan rehabilitatif.

Usaha-usaha pemberdayaan Gepeng di atas dapat dilaksanakan melalui program-program pendidikan luar sekolah. Pendidikan luar sekolah atau biasa disebut pendidikan nonformal merupakan pendidikan yang kegiatannya

(46)

31

atau peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya (Sudjana,

2001: 22). Program pendidikan luar sekolah dapat membantu pemberdayaan Gepeng karena program-program pemberdayaannya bersifat nonformal,

memiliki tujuan, terorganisir, diselengarakan di lingkungan lembaga, dan untuk melayani kebutuhan belajar khusus para Gepeng tersebut.

Menurut Djuju Sudjana (2001: 220-222) Pendidikan Luar Sekolah

memiliki komponen, proses, dan tujuan. Komponen yaitu input (masukan) yaitu lingkungan, sarana, dan warga belajar atau peserta didik. Warga belajar

atau peserta didik dalam program pendidikan luar sekolah dimulai dari anak usia dini hingga dewasa. Proses pembelajaran dalam kegiatannya menggunakan pendekatan yang bervariasi seperti pendagogi (anak) dan

andragogi (dewasa), dilaksanakan secara fleksibel yaitu waktu dan tempat sesuai dengan keinginan warga belajar. Sedangkan tujuan pendidikan dibagi dua yaitu output (keluaran) dan impact (dampak). Tujuan kegiatan sesuai

dengan kebutuhan dan kepentingan individu atau komunitas. Hal ini juga menunjukkan bahwa pendidikan luar sekolah berasaskan pendidikan

sepanjang hayat (life long education) yang mampu mencakup semua kalangan tidak terkecuali Gepeng itu sendiri. Penerapan asas pendidikan sepanjang hayat dalam mengembangkan pendidikan luar sekolah memiliki tujuan

sebagai berikut.

1) Memanfaatkan hasil program kegiatan untuk meningkatkan taraf hidup warga belajar atau peserta didik seperti pendapatan, kesehatan, pekerjaan, pembelajaran orang lain, dan keikutsertaan dalam pembangunan.

(47)

32

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa

Gepeng termasuk dalam kelompok lemah yang tidak berdaya sehingga perlu untuk diberdayakan. Pemberdayaan Gepeng ini dapat diselenggarakan dengan

pendidikan luar sekolah yaitu melalui program-program yang bersifat nonformal. Pelaksanaan kegiatan dalam program tersebut disesuaikan dengan komponen, proses, dan tujuan pemberdayaan Gepeng yang ingin dicapai.

4. Kajian tentang Usaha Ekonomi Produktif

a. Pengertian Usaha Ekonomi Produktif

Usaha ekonomi produktif terdiri dari merupakan suatu kegiatan yang melibatkan dua unsur utama yaitu ekonomi dan produktivitas. Berikut pengertian masing – masing unsur.

1) Pengertian Ekonomi

Istilah “ekonomi” berasal dari bahasa Yunani oikonomia yang terdiri dari dua suku kata yaitu oikos dan nomos. Oikos berarti segala sesuatu

yang berhubungan dengan pengelolaan ladang, sedangkan nomos berarti peraturan atau undang-undang (Haryanto, 2011:15). Berdasarkan istilah

tersebut dapat diartikan bahwa ekonomi adalah suatu kegiatan pengelolaan ladang yang diatur oleh aturan perundang-udangan.

Menurut Michael Parkin (2008: 02), inti dari pengertian ekonomi

(48)

33

menangani kelangkaan dan sebagai perangsang yang mempengaruhi dan

menerima pilihan-pilihan tersebut.

“Economics is the social sciene that studies the choices that individuals, business, government, and entire societies make as they cope with scarcity and the intentives that influence and reconcile those choices”.

Michael Parkin juga membagi subyek ekonomi menjadi dua bagian utama yaitu; mikro ekonomi (microeconomic) dan makro ekonomi (macro economic). Mikro ekonomi adalah studi tentang pilihan-pilihan yang

dibuat oleh individu maupun perusahaan, sebagai cara agar pilihan yang diambil dapat berinteraksi di pasar dan mempengaruhi

pemerintahan/politik. Makro ekonomi adalah studi tentang performa atau kinerja ekonomi nasional dan ekonomi global. Aktivitas ekonomi meliputi

kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi. Aktivitas atau kegiatan ekonomi akan menghasilkan barang dan jasa yang mampu mencukupi kebutuhan dan untuk memuaskan keinginan manusia.

Ekonomi mempengaruhi pembangunan. Menurut, Budiman Arief (1995: 8-11) pembangunan yang berhasil ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan, yakni tidak adanya

kerusakan sosial dan kerusakan alam yang diakibatkan oleh produktivitas kegiatan ekonomi tersebut. Ilmu ekonomi sendiri dibagi menjadi beberapa

cabang yaitu sebagai berikut.

(49)

34

berbagai sumber daya baik material maupun manusia supaya dapat

menyejahterakan masyarakat.

b) Ekonomi politik, adalah ilmu ekonomi yang membahas hubungan

politik dan ekonomi, dengan tekanan pada peran kekuasaan dalam pengambilan keputusan ekonomi.

c) Ekonomi pembangunan, merupakan ilmu ekonomi yang membahas

mengenai perubahan struktural dan institusional yang cepat, baik disektor pemerintahan maupun swasta dan meliputi seluruh masyarakat

supaya hasil-hasil pembangunan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien (Todaro dalam Arief Budiman, 1995).

Pembangunan memiliki pembagian kerja atau tahapan-tahapan

dalam pencapaiannya. Arief Budiman (1995: 25-36) menyebutkan beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut.

1. W.W. Rostow

Menurut Rostow, pembangunan merupakan proses yang bergerak seperti garis lurus, dari masyarakat keterbelakang menjadi masyarakat

maju. Ada 5 (lima) tahap dalam proses pembangunan sebagai berikut. a. Masyarakat tradisional, ciri-cirinya: masih percaya kekuatan di luar

kekuasaan manusia,tunduk pada alam, produksi terbatas, masyarakat

bersifat statis (kemajuan lambat), produksi dipakai konsumsi, dan tidak ada investasi.

(50)

35

masyarakat tradisional mulai mengembangkan ide pembaharuan yang

dianggap baik, adanya usaha meningkatkan tabungan yang kemudian digunakan untuk melakukan investasi pada sektor produktif yang

menguntungkan.

c. Lepas landas, ciri-cirinya: tersingkirnya hambatan-hambatan yang menghalangi proses pertumbuhan ekonomi, tabungan dan investasi

yang efektif meningkat dari 5% menjadi 10% dari pendapatan nasional atau lebih, berkembangnya industri baru, muncul teknik baru

dalam pertanian, dan pertanian menjadi usaha komersial bukan sekedar untuk dikonsumsi.

d. Bergerak ke kedewasaan, ciri-cirinya: industri berkembang dengan

pesat, produksi yang hasilkan bukan hanya barang konsumsi tetapi juga barang modal.

e. Jaman konsumsi masal yang tinggi,ciri-cirinya: investasi untuk

meningkatkan produksi bukan tujuan utama, surplus ekonomi dialokasikan untuk kesejahteraan sosial dan dana sosial, pembangunan

sudah menjadi proses berkesinambungan yang menopang kemajuan secara terus menerus.

2. Alex Inkeles dan David H. Smith.

Menurut Alex Inkeles dan David H. Smith, pembangunan bukan sekedar pemasok modal dan teknologi tetapi juga membutuhkan manusia

(51)

36

keterbukaan terhadap pengalaman dan ide baru, berorientasi pada masa

sekarang dan masa depan, punya kesanggupan merencanakan, percaya bahwa manusia bisa menguasai alam. Manusia modern dapat dicapai oleh

manusia melalui; pemberian lingkungan yang tepat, pemberian pendidikan, dan pengalaman kerja di tempat modern, serta pengenalan terhadap media massa.

Berdasarkan dengan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ekonomi adalah suatu kegiatan yang meliputi produksi, distribusi, dan

konsumsi yang dilakukan oleh individu, perusahaan, pemerintah maupun masyarakat melalui pengambilan keputusan atas pilihan-pilihan yang mampu menyelesaikan masalah kelangkaan dan memberikan rangsangan

yang mempengaruhi tindakan lainnya. Ekonomi merupakan suatu ilmu sosial yang dibagi menjadi dua yaitu mikro ekonomi dan makro ekonomi, serta merupakan bagian pokok yang mempengaruhi pembangunan suatu

masyarakat dan negara.

2) Pengertian Produktivitas

Menurut ensiklopedi Amerika dalam Alma (2013: 85) Produktivitas dalam ekonomi dapat diartikan sebagai suatu term untuk mendiskripsikan sebaik mana atau se-efisiensi mana sebuah sumber daya ekonomi

digunakan dalam proses produksi. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Malayu S.P Hasibuan ( 2007: 128) bahwa:

(52)

37

Sedangkan menurut Ravianto (1986: 35) produktivitas selain sebagai

campuran produksi dan aktivitas pemanfaatan faktor-faktor produksi dan sebagai ukuran efisiensi dan nilai daya produksi, produktivitas juga

diartikan sebagai sikap mental dan keyakinan untuk memperbaiki diri dengan cara berusaha menyesuaikan aktivitas ekonomi secara terus menerus terhadap kondisi yang berubah.

Produktivitas mempengaruhi pola pikir individu maupun masyarakat. Individu atau masyarakat yang mampu meningkatkan produktivitasnya

akan membentuk pola pikir positif dan karater produktif. Menurut Rhenald Khasali, dkk (2010: 25) karakter produktif ini ditunjukkan dengan melakukan usaha mencari cara baru untuk meningkatkan kegunaan sumber

daya produktif atau faktor-faktor produksi yang terbatas atau langka secara efektif dan efisien.

Berdasarkan pengertian unsur-unsur tersebut, maka usaha ekonomi

produktif dapat diartikan sebagai suatu aktivitas ekonomi yang dilakukan dengan penuh keyakinan dan secara terus menerus melalui berbagai cara

untuk meningkatkan pemanfaatan nilai-nilai dari faktor-faktor produksi (sumber daya produktif) secara efektif dan efisien sehingga dapat menghasilkan barang dan/atau jasa yang dapat digunakan untuk mencukupi

kebutuhan hidup.

b. Faktor-faktor Produksi dalam Usaha Ekonomi Produktif

(53)

38

disebut faktor-faktor produksi. Michael Parkin (2008: 3-4) membagi faktor

produksi menjadi 4 katagori yaitu sebagai berikut.

1) Land atau tanah

Tanah menggambarkan sumber daya alam (SDA). Sumber daya alam dibagi menjadi beberapa tipe seperti sumber daya alam yang dapat diperbaharui dan tidak dapat diperbaharui, sumber daya alam yang cepat

habis maupun yang dapat daur ulang. 2) Labor atau tenaga kerja

Faktor produksi ini disebut juga dengan sumber daya manusia (SDM). Kualitas sumber daya ini tergantung pada modal yang manusia miliki baik secara psikologis dan mental maupun dilihat dari kepemilikan pengetahuan

dan ketrampilan yang didapatkan melalui pendidikan, magang, dan pengalaman bekerja.

3) Capital atau modal

Modal disini bukanlah uang tetapi merupakan peralatam, perlengkapan, sarana prasarana (gedung, bangunan) yang digunakan untuk memproduksi

barang dan jasa.

4) Entrepreneurship atau kewirausahaan

Kewirausahaan merupakan hasil dari pengorganisasian tiga faktor produksi lainnya yaitu SDA, SDM, dan modal. Wirausaha ini memunculkan ide-ide atau gagasan baru tentang apa yang diproduksi dan bagaimana cara

(54)

39

membuat keputusan, dimana resiko keputusan yang diambil mampu

dipikulnya.

Berdasarkaan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa usaha

ekonomi produktif memerlukan atau tidak lepas dari sumber daya produktif yang disebut juga faktor-faktor produksi dalam menjalankan kegiatannya. Adapun faktor produksi tersebut antara lain sumber daya alam (land),

manusia (labor), modal (capital), dan kewirausahaan (entrepreneurship).

5. Kajian tentang Lembaga Sosial

a. Pengertian Lembaga Sosial

Secara umum, lembaga dilahirkan dari suatu perbuatan (usage) yang menjadi kebiasaan (folkways), kebiasaan tersebut kemudian berkembang

menjadi sebuah tata kelakuan (mores), dan bila dalam perkembangannya tata kelakuan ini tumbuh sempurna dengan disertai norma-norma dan saksi akan menjadi suatu adat istiadat (customs). Secara sosiologis, lembaga diartikan

sebagai suatu format yang mantab, stabil, terstruktur dan mapan. Lembaga juga merupakan suatu jaringan sarana hidup yang berisi peranan yang

menjalankan fungsi masyarakat secara terus menerus dan berulang-ulang. Selain itu, lembaga adalah wujud kristalisasi dari aksi-aksi dan kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman hidup yang menunjuk pada pola perilaku yang

mapan, sebagian kalangan mengartikan sebagai kumpulan cara berbuat untuk mengatur stabilitas hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat. Lembaga

(55)

40

organisasi adalah kesatuan sosial yang memiliki wewenang untuk mengambil

keputusan keluarga, perusahaan, kantor-kantor yang menjalankan fungsi pengendalian terhadap berbagai sumber daya. Meskipun demikian, lembaga

mencakup segala aturan perilaku manusia dalam hubungan sosial dengan tidak meninggalkan unsur-unsur dalam organisasi (Anwar dan Adang, 2013:198).

Anwar dan Adang (2013:198) memaparkan pengertian lembaga sosial menurut para ahli sebagai berikut.

1) Alvin L. Bertarand

Lembaga atau institusi sosial pada hakikatnya adalah kumpulan dari norma-norma sosial yang telah diciptakan untuk dapat melaksanakan fungsi masyarakat.

2) P.J. Bouman

Lembaga adalah bentuk –bentuk perbuatan dalam kelompok yang dilestarikan oleh kultur dan transfer-kultur.

3) Soedjito Sosrodiharjo

a) Lembaga sosial adalah pranata yang mengatur hubungan antar manusia di dalam bermasyarakat dan menangani kepentingan-kepentingan tertentu.

b) Lembaga sosial adalah wadah atau organisasi untuk memberikan kekuatan kepada pranata-pranata tersebut.

4) Koentjoroningrat

Pranata sosial berisi sistem tata kelakuan dan tata hubungan yang berpusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-komplek kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Jadi lembaga sosial adalah suatu sistem tata kelakuan yang berhubungan dengan aktivitas-aktivitas bersama untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat.

5) Soerjono Soekanto

(56)

41

6) Robert Mac Iver dan Charles H. Page

Lembaga sosial sebagai lembaga kemasyarakatan yang mempunyai tatacara atau prosedur yang diciptakan untuk mengatur hubungan antara manusia yang berkelompok dalam suatu kelompok kemasyarakatan yang dinamakan asosiasi.

7) Leopold van Weisel dan Howard Becker

Lembaga kemasyarakatan sebagai suatu jaringan dari proses-proses hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan-hubungan tersebut, serta pola-polanya sesuai dengan kepentingan manusia dan kelompoknya. Berdasarkan pengertian menurut para ahli di atas dapat disimpulkan

bahwa lembaga sosial disebut juga sebagai institusi sosial atau lembaga kemasyarakatan yang terbentuk melalui proses interaksi antara manusia dengan manusia lain maupun kelompok yang berkembang menjadi suatu

hubungan yang memiliki pola-pola, tata cara, dan sistem tata kelakuan yang tetap, terstruktur, dan mapan dimana di dalamnya terdapat nilai-nilai dan

norma-norma yang disepakati bersama yang digunakan untuk menjalankan peranan dan fungsi lembaga yaitu mencukupi kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat.

b. Ciri-Ciri Lembaga Sosial

Ciri-ciri umum lembaga sosial atau lembaga kemasyarakatan dipaparkan secara rinci oleh beberapa ahli. Menurut Selo Soemardjan dan

Soelaiman Soemardi (dalam Anwar dan Adang, 2013) ciri-ciri lembaga kemasyarakatan adalah sebagai berikut.

(57)

42

2) Mempunyai tingkat kekekalan tertentu, yaitu telah teruji dan berupa

himpunan norma-norma pencapaian kebutuhan pokok yang harus dipertahankan.

3) Mempunyai tujuan tertentu.

4) Mempunyai peralatan untuk mencapai tujuan, misalnya gedung, peralatan dan perlengkapan kegiatan.

5) Mempunyai alat untuk memotivasi atau memacu semangat, seperti slogan, lambang, dan semboyan.

6) Mempunyai tradisi atau tata tertib sendiri yang spesifik.

Sedangkan menurut Gilin dan Gilin (Soerjono Soekanto dalam Anwar, 2013) ciri-ciri umum lembaga sosial adalah sebagai berikut.

a) Lembaga kemasyarakatan adalah suatu organisasi yang berasal dari pola-pola pemikiran dan perikelakuan yang terwujud melalui aktivitas-aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya. Lembaga kemasyarakatan terdiri dari

unsur-unsur keudayaan lain yang secara langsung maupun tidak langsung tergabung dalam suatu unit yang fungsional.

b) Semua lembaga kemasyarakatan mempunyai tingkat kekekalan tertntu. Sistem-sistem kepercayaan dan aneka macam tindakan tertentu baru menjadi bagian lembaga setelah melewati waktu yang relatif lama.

Lembaga kemasyarakatan juga biasanya berumur lama karena pada umumnya orang menganggapnya sebagai himpunan norma-norma terkait

(58)

43

c) Lembaga sosial mempunyai tujuan atau beberapa tujuan tertentu. Tujuan

suatu lembaga adalah suatu tujuan yang harus dicapai oleh golongan masyaakat tertentu dan golongan masyarakat yang bersangkutan akan

berpegang teguh padanya.

d) Lembaga mayarakat mempunyai alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan dan bentuk serta

penggunaan alat-alat ini biasanya berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya.

e) Lembaga sosial memiliki lambang-lambang khas yang mencirikan lembaga tersebut serta secara simbolis menggambarkan tujuan dan fungsi lembaga yang bersangkutan.

f) Suatu lembaga kemasyarakatan mempunyai suatu tradisi yang tertulis maupun tidak tertulis yang merumuskan tujuannya, dan tata tertib yang berlaku. Tradisi tersebut merupakan dasar pekerjaan bagi lembaga untuk

memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat.

Berdasarkan ciri-ciri tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri

lembaga sosial adalah mempunyai aktivitas atau hasil sebagai wujud pola pemikiran organisasi, mempunyai tujuan yang ingin dicapai, mempunyai tingkat kekekalan tertentu, memiliki alat atau sarana prasarana untuk

(59)

44 c. Fungsi dan Komponen Lembaga Sosial

Lembaga sosial dibentuk untuk mengendalikan manusia agar tidak melanggar nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku di dalam

masyarakat. Ada beberapa macam fungsi lembaga sosial Menurut Anwar dan Adang (2013: 204) sebagai berikut.

1) Fungsi lembaga sosial bagi individu (secara individual)

a) Mengatur diri manusia agar bersih dari sifat atau perasaan iri, dengki, benci, dan hal-hal yang menyangkut kesucian hati nurani.

b) Mengatur perilaku masyarakat agar tercipta keselarasan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum, manusia diharapkan dapat berbuat sopan dan santun terhapap orang lain agar tercipta suatu

kedamaian dan kerukunan.

Berdasarkan fungsi individual di atas dapat dikatakan bahwa lembaga sosial tidak saja bertujuan untuk menciptakan suatu ketertiban sosial tetapi

juga menciptakan suatu keselarasan antara ketertiban dan jaminan keamanan bagi masyarakat.

2) Fungsi pokok dalam kehidupan masyarakat

a) Sebagai pedoman untuk masyarakat tentang cara bersikap dan berperilaku dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya.

(60)

45

c) Sebagai pedoman untuk masyarakat dalam usaha memelihara

ketertiban dan untuk memberantas segala perilaku anggota masyarakat yang menyimpang (self control).

3) Fungsi lembaga sosial sebagai pedoman

a) Pedoman untuk mengatur kebutuhan kehidupan yang bersifat kekerabatan.

b) Pedoman untuk mengatur setiap mata pencahariaan.

c) Pedoman untuk mengatur kebutuhan akan kesehatan atau

keselamatan.

Sedangkan menurut Soerjono Soekanto (dalam Anwar dan Andang) lembaga kemasyarakatan mempunyai beberapa fungsi, yaitu sebagai berikut.

1. Memberi pedoman kepada masyarakat terkait tentang tingkah laku, cara bersikap dalam menghadapi masalah dalam masyarakat terutama mengenai pemenuhan kebutuhan.

2. Menjaga keutuhan dari masyarakat.

3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem

pengendalian sosial yaitu sistem pengawasan dari masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.

Dilihat dari beberapa ciri-ciri lembaga sosial yang telah diuraikan di

atas, dapat disimpulkan bahwa lembaga sosial mempunyai fungsi sebagai pedoman, baik pedoman untuk masyarakat dalam usaha menjaga kehidupan

Gambar

Gambar 1. Siklus pemberdayaan Hogan (dalam Isbandi R Adi, 2008)
Gambar 2. Skema Kerangka Berpikir
Tabel 1. Teknik Pengumpulan Data
Tabel 1.  Daftar Alat dan Perlengkapan Perikanan
+3

Referensi

Dokumen terkait