6.1.1. Rasionalisasi
Dari pembahasan sebelumnya, dapat ditarik suatu pemahaman tentang Kota Pusaka Indonesia, yaitu
Kota yang memiliki kekentalan sejarah yang
bernilai dan memiliki pusaka alam, budaya baik
ragawi dan tak-ragawi yang terajut secara utuh
sebagai aset pusaka dan/atau dapat berupa
kawasan pusaka sebagai bagian dari kota
tersebut yang hidup dan perlu berkembang serta
dikelola secara efektif.
UNESCO merupakan badan dunia yang telah membuat kriteria pusaka dunia, termasuk kota pusaka dunia. Kota yang memenuhi deskripsi sebagai kota pusaka dunia sebagaimana telah disebutkan oleh UNESCO merupakan kota yang penting dan istimewa sehingga melampaui batas-batas nasional dan memiliki nilai penting bagi umat manusia di masa kini maupun mendatang. Karena itu, perlu dicermati apakah kota tersebut merupakan Kota Pusaka Indonesia, atau bahkan dapat dinominasikan sebagai kota pusaka dunia.
Kriteria penilaian suatu objek pusaka dunia disebut Keunggulan Nilai Sejagat/KNS mengikuti dokumen Operational Guidelines, sedangkan
Kesimpulan
dan Rekomendasi
6
Mesjid Raya Al-Mashun, Medan Sumber Foto: BPPI
kriteria penilaian objek pusaka nasional disebut Keunggulan Nilai Nasional (KNN).
Untuk dapat disebut memiliki nilai sejagad yang unggul atau menonjol, suatu objek harus memenuhi syarat integritas dan/atau keotentikan dan haruslah memiliki sistem pelindungan dan pengelolaan untuk menjamin kelestariannya. Untuk itu, kota
pusaka harus memiliki masterplan pelestarian dan pengelolaan (conservation plan). Perencanaan yang berorientasi pada tindakan ini diperlukan untuk memperkuat keberadaan dokumen perencanaan yang ada, seperti dokumen RPJMD, RTRW atau RDTR.
Keunggulan Nilai Sejagat
(Outstanding Universal Value) Keunggulan Nilai Nasional
1. Merupakan mahakarya kecerdasan kreatif manusia
2. Menampilkan pertukaran nilai-nilai luhur manusia, dalam rentang waktu atau dalam lingkup budaya dunia, dalam arsitektur, teknologi, seni monumental, perencanaan kota atau rancangan lansekap; 3. Menyandang peran sebagai jejak yang unik atau istimewa dari suatu
tradisi budaya atau peradaban baik yang sudah lenyap maupun yang masih ada;
4. Menjadi contoh utama suatu tipe bangunan, gubahan arsitektur atau teknologi, atau lansekap yang menggambarkan babakan yang penting dalam sejarah manusia
5. Menjadi contoh utama permukiman, tata guna lahan atau tata guna lautan tradisional yang merupakan representasi budaya atau interaksi manusia dengan lingkungan khususnya jika situs tersebut terancam oleh perubahan yang permanen
6. Berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan gagasan, dengan
kepercayaan, dengan karya seni dan sastra yang memiliki nilai penting universal yang menonjol.
1. Menunjukkan evolusi panjang kesejarahan tumbuh kembang kota. yang terlihat dari tinggalan berbentuk struktur kota, bentang alam, wajah jalan, monumen, arsitektur, teknologi serta seni budaya yang istimewa 2. Menampilkan dan menjadi contoh ciri khas lokal maupun
percampuran antar budaya daerah/bangsa
3. Memiliki peran sebagai wadah perkembangan peradaban, tradisi, gerakan perjuangan bangsa, atau kejadian yang istimewa bagi negara
6.1.2. Kota Pusaka dalam Sistem Perencanaan Tata Ruang
Keberadaan Kota Pusaka tidak lepas dari konsep
historic urban landscapes (HUL). Penjelasannya
dapat dilihat dalam VIENNA MEMORANDUM on “World Heritage and Contemporary Architecture – Managing the Historic Urban Landscape” tahun 2005.
The historic urban landscape refers to ensembles of any group of buildings, structures and open spaces, in their natural and ecological context, including archaeological and paleontological sites, constituting human settlements in an urban environment over a relevant period of time, the cohesion and value of which are recognized from the archaeological, architectural, prehistoric, historic, scientific, aesthetic, socio-cultural or ecological point of view. This landscape has shaped modern society and has great value for our understanding of how we live today.
The historic urban landscape is embedded with current and past social expressions and developments that are place-based. It is composed of character-defining elements that include land uses and patterns, spatial organization, visual relationships, topography and soils, vegetation, and all elements of the technical infrastructure, including small scale objects and details of construction (curbs, paving, drain gutters, lights, etc.).
HUL dapat berupa seluruh bagian kota atau bagian tertentu saja. Dalam pengelolaan sebuah kota, HUL merupakan satu aspek yang perlu dikelola dengan benar dan harus signifikansinya perlu teridentifikasi dengan lengkap.
Dalam ketataruangan, kawasan tersebut dapat ditetapkan sebagai kawasan strategis.
Dokumen perencanaan dari kota/kabupaten yang bersangkutan perlu diperkuat lebih lanjut
6.1.3. Kota Pusaka Indonesia
Kondisi serta lingkup pengelolaan satu kota dan lainnya saat ini berbeda. Perbedaan ini dapat disebabkan keberadaan SDM serta kapasitasnya yang belum optimal dalam pengelolaan. Bisa disebabkan pengenalan yang masih awal atau justru pengabaian, yang terwujud dalam berbagai kebijakan pembangunan atau kesadaran masyarakat yang masih rendah. Hal ini yang hendak dipengaruhi, yaitu kapasitas pengelolaan suatu kota sehingga asset pusaka yang dimilikinya dapat dilestarikan dengan berkelanjutan.
Dari pengamatan terhadap beberapa kota, tidak ada kota yang secara utuh telah mengelola asset pusakanya berdasarkan aspek di atas. Namun demikian, dapat digambarkan bahwa:
- Sebuah kota yang memiliki cita-cita dalam mengelola asset pusakanya, setidaknya telah mengenal atau setidaknya mencoba untuk mengenali asset pusaka yang dimiliki, dan ditandai dengan adanya “daftar pusaka” atau “inventarisasi pusaka”, baik untuk pusaka alam maupun budayanya. Daftar pusaka ini disusun oleh SKPD bidang kebudayaan, biasanya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang didukung adanya lembaga pelestarian, seperti LSM atau perguruan tinggi yang aktif. Kebijakan di lingkup ini adalah perlindungan, biasanya diterbitkannya peraturan daerah terkait perlindungan pusaka. Selanjutnya, kota tersebut yang mengenali aset pusakanya telah melihat pula pentingnya aset tersebut sebagai bagian dari pembangunan kota.
Karena itu, mendorong kesadaran dan keterlibatan masyarakat dan memanfaatkan pula untuk mendorong tumbuhnya jati diri kota tersebut.
- Kota-kota yang lebih maju telah mengembangkan berbagai gagasan inovatif baik secara fisik maupun dengan pengadaan kegiatan budaya dalam pemanfaatan asset yang dimilikinya.
6.2 REKOMENDASI
1) Per Desember 2004, Indonesia terdiri dari 349 kabupaten/kabupaten administrasi dan 91 kota/kota administrasi yang tersebar di 33
provinsi. Dari jumlah tersebut, sekitar 48 kota/ kabupaten telah menjadi anggota Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) yang karena itu dapat dilihat sebagai kota pusaka. Sejauh ini, 18 kota/kabupaten (lihat lampiran) telah memiliki peraturan daerah tentang RTRW atau substansinya telah disetujui. Nuansa pusaka dalam RTRW Kota/kabupaten ini perlu untuk diperkuat melalui sebuah program pendampingan.
2) Perencanaan tata ruang sendiri merupakan dasar pengelolaan spasial sebuah wilayah, yang merupakan alat untuk menilai bagaimana sebuah kota/kabupaten mengenali kewilayahannya sebagai sebuah kota pusaka. Secara formal, dalam peraturan
perundangan-NAMA ANGGOTA JARINGAN KOTA PUSAKA INDONESIA & STATUS RTRW
No Lingkup Nama Wilayah Propinsi Status RTRW
1 Kota Ambon Maluku Persetujuan Substansi No.Hk.01.03-Dr/743 tanggal 9 April 2010
2 Kota Banda Aceh NAD Perda Nomor 4 tahun 2009
3 Kota Bengkulu Bengkulu BKPRN tanggal 9 November 2011
4 Kota Bukittinggi Sumatera Barat Perda Nomor 6 tahun 2010
5 Kota Bau-bau Sulawesi Tenggara Persetujuan Substansi No.Hk.01 03-Dr/247 tanggal 24 Mei 2011
6 Kota Blitar Jawa Timur Perda Nomor 9 tahun 2011
7 Kota Banjarmasin Kalimantan Selatan Persetujuan Substansi No.Hk.01.03-Dr/258 tanggal 31 Mei 2011
8 Kota Bontang Kalimantan Timur
Persetujuan Substansi No.Hk.01 03-Dr/154 tanggal 30 Maret 2011
9 Kota Bogor Jawa Barat Perda Nomor 8 tahun 2011
10 Kabupaten Bangka Barat
Kepulauan Bangka Belitung
Persetujuan Substansi No.HK.01 03-Dr/204 tanggal 29 April 2011
11 Kabupaten Bangli Bali Persetujuan Substansi No.HK.01 03-Dr/298 tanggal 7 Juli 2011
12 Kabupaten Buleleng Bali
Persetujuan Substansi No.HK.01 03-Dr/1007 tgl 30 Desember 2011
undangan menyebutkan adanya kawasan strategis, dimana kawasan strategis nasional social budaya merupakan pusaka dunia, seperti Kawasan Borobudur dan Prambanan. Konsep kawasan strategis ini perlu dikembangkan lebih lanjut untuk juga dapat mencakup pengelolaan dan pelestarian kota pusaka.
3) Rencana tata ruang saat ini bukanlah bertipe
comprehensive planning, melainkan collaborative planning yang di dalam prosesnya melibatkan
berbagai stakeholder, baik pemerintah sendiri, swasta maupun masyarakat. Ketiga elemen ini masih perlu diperinci lebih jauh, sebagai contoh, bidang apa saja di pemerintahan yang dapat terlibat dan kegiatan apa saja yang sudah atau akan dikerjakan sehingga bisa menghasilkan
sinergi antar sector yang berkaitan. Karena itu, dalam jangka panjang perlu upaya untuk melibatkan berbagai stakeholder melalui kesepakatan pengelolaan dan pelestarian kota pusaka yang berbasis pada tata ruang.
4) Kajian ini masih merupakan awal, untuk menunjukkan gambaran kondisi pelestarian dan pengelolaan dengan sampel 9 kota yang merupakan anggota JKPI. Tetap diperlukan suatu kajian yang lebih mendalam. Meski demikian, kajian ini menjadi awal untuk program yang lebih sistematis. Diharapkan melalui kajian ini, dapat dirumuskan suatu Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka untuk mencapai Kota Pusaka Indonesia,
13 Kabupaten Brebes Jawa Tengah Perda Nomor 2 Tahun 2011 14 Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah
Persetujuan Substansi No.Hk.01.03-Dr/148 tanggal 30 Maret 2011
15 Kabupaten Banyumas Jawa Tengah Perda Nomor 10 tahun 2011
16 Kabupaten Batang Jawa Tengah Perda Nomor 7 tahun 2011
17 Kota Cirebon Jawa Barat
Persetujuan substansi No.Hk.01.03-Dr/641 tanggal 25 November 2011
18 Kabupaten Cilacap Jawa Tengah Perda Nomor 9 tahun 2011
19 Kota Denpasar Bali Perda Nomor 27 tahun 2012
20 Kabupaten Gianyar Bali
Persetujuan Substansi No.HK 01.03-Dr/370 tanggal 23 agustus 2011
21 Kota Jakarta Barat DKI Jakarta
(DKI Jakarta) Persetujuan substansi No.Hk.01 03-Mn/103 tanggal 22 Maret 2011
22 Kota Jakarta Utara DKI Jakarta
(DKI Jakarta) Persetujuan substansi No.Hk.01 03-Mn/103 tanggal 22 Maret 2011
23 Kota Jakarta Pusat DKI Jakarta
(DKI Jakarta) Persetujuan substansi No.Hk.01 03-Mn/103 tanggal 22 Maret 2011
24 Kota Lubuk Linggau Sumatera Selatan BKPRN tanggal 16 November 2011
25 Kota Langsa NAD Perbaikan Daerah setelah BKPRD
26 Kabupaten
Kepulauan
Seribu DKI Jakarta
(DKI Jakarta) Persetujuan substansi No.Hk.01 03-Mn/103 tanggal 22 Maret 2011
27 Kabupaten Karangasem Bali
Persetujuan Substansi No.HK 01 03-Dr/522 tanggal 18 Oktober 2011
28 Kota Medan Sumatera Utara Perda Nomor 13 tahun 2011
29 Kota Madiun Jawa Timur Perda Nomor 6 tahun 2011
30 Kota Malang Jawa Timur Perda Nomor 4 tahun 2011
31 Kota Palembang Sumatera Selatan
Persetujuan Substansi No.Hk.01.03-Dr/70 tanggal 12 Januari 2012
32 Kota Pangkal Pinang
Kepulauan Bangka Belitung
Perda Nomor 11 tahun 2011
33 Kota Pekalongan Jawa Tengah Perda Nomor 30 tahun 2011
34 Kota Padang Sumatera Barat
Persetujuan Substansi No.Hk.01.03-Dr/56 tanggal 19 Januari 2011
35 Kota Palopo Sulawesi Selatan BKPRN tanggal 15 Februari 2012
37 Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah Perda Nomor 5 Tahun 2011
38 Kota Sawahlunto Sumatera Barat
Persetujuan Substansi No.Hk.01.03-Dr/626 tanggal 22 November 2011
39 Kota Semarang Jawa Tengah Perda Nomor 14 tahun 2011
40 Kota Surakarta Jawa Tengah
Persetujuan substansi No.Hk.01.03-Dr/526 tanggal 20 Oktober 2011
41 Kota Sibolga Sumatera Utara BKPRN tanggal 28 Desember 2011
42 Kota Salatiga Jawa Tengah Perda Nomor 4 tahun 2011
43 Kota Surabaya Jawa Timur Perbaikan Daerah setelah BKPRD
44 Kota Singkawang Kalimantan Barat
Persetujuan Substansi No.Hk.01.03-Dr/92 tanggal 25 Januari 2012
45 Kota Ternate Maluku Utara BKPRN tanggal 21 Desember 2011
46 Kota Tegal Jawa Tengah Perda Nomor 4 tahun 2012, 30 Januari 2012
47 Kabupaten Tegal Jawa Tengah
Persetujuan Substansi No.Hk.01.03-Dr/580 tanggal 2 November 2011
48 Kota Yogyakarta Jawa Tengah Perda Nomor 2 tahun 2010
Kapel Santo Leo Padang, Sumatera Barat Sumber Foto: BPPI
Lampiran 1
Piagam dan Rekomendasi Terkait Kota Pusaka
Bila menyimak berbagai piagam atau rekomendasi di tingkat internasional tentang pelestarian pusaka, tampak adanya perkembangan konsep kota pusaka serta lingkup pelestariannya. Perhatian internasional terhadap pelestarian kota pusaka telah ada sejak tahun 1962 dan setelah itu, setidaknya ada 18 piagam atau rekomendasi, sebagai berikut:
- Rekomendasi tentang Pengamanan Keindahan dan Karakter Lanskap dan Situs (The Recommendation concerning the
Safeguarding of the Beauty and Character of
Landscapes and Sites), diadopsi oleh Sidang
Umum UNESCO pada Desember 1962. Rekomendasi ini menekankan pentingnya ilmiah dan estetika lanskap budaya dan alam. Ke dalam instrumen ini, prinsip umum dipadukan bahwa ’lanskap’ merupakan pusaka yang memiliki pengaruh utama bagi kondisi hidup masyarakat. Rekomendasi tahun 1962 ini merupakan dokumen penetapan standar pertama yang memperkenalkan istilah lanskap perkotaan. Gagasannya bahwa lanskap ini pantas mendapatkan sarana perlindungan yang sama seperti lingkungan alam, meskipun rekomendasi ini mengganggap pelestarian lanskap adalah soal kebijakan publik. Referensi satu-satunya untuk pembangunan perkotaan terkait dengan rencana umum dan perencanaan di lingkup regional, tingkat pedesaan dan perkotaan. Pendekatan ini simbolik dari kebijakan perencanaan umum waktu itu, yang melihat ’lanskap’ sebagai objek yang statis. Dan dengan demikian diharapkan dapat dilindungi
seolah-olah sebagai sebuah monumen yang seharusnya mendapatkan ”perlindungan khusus” (pasal 5).
- Piagam Internasional untuk Konservasi dan Restorasi Monumen/ Piagam Venice (The
International Charter for the Conservation and Restoration of Monuments/Venice
Charter) diterbitkan pada tahun 1964 pada
Kongres Internasional Arsitek dan Teknisi Monumen bersejarah yang kedua (The
Second International Congress of Architects and Technicians of Historic Monuments), sebagai
revisi dari Piagam Athena 1931 (the 1931
Athens Charter). Piagam Venice diadopsi sebagai
teks prinsip doktrinal dari Dewan Internasional Monumen dan Situs atau the International
Council on Monuments and Sites (ICOMOS)
ketika didirikan pada tahun berikutnya, pada tahun 1965. Piagam ini terus disebut sebagai dokumen dasar untuk filosofi pelestarian di lingkup internasional dan praktek hingga hari ini. Ini memperluas konsep monumen bersejarah untuk memasukkan lingkup perkotaan dan pedesaan mereka, menekankan pentingnya keaslian yang didasarkan pada bukti dokumenter dan bahan asli, kembali mengulangi dukungan untuk penggunaan material modern dan teknik, dan bersikeras bahwa komponen yang diganti harus diintegrasikan secara harmonis, tetapi ”akan berbeda dari komposisi arsitektur dan... membawa cap kontemporer.” Piagam Venesia itu kembali ditegaskan dalam Deklarasi Pécs 2004 (the 2004 Pécs Declaration). - Rekomendasi tentang Pelestarian Budaya
Terancam Properti oleh Publik atau Pekerjaan swasta (The Recommendation
concerning the Preservation of Cultural Property Endangered by Public or Private
Works), yang diadopsi oleh Konferensi Umum
UNESCO pada bulan November 1968, terkait dengan kekhawatiran yang muncul dari pembangunan masyarakat Aswan di seluruh wilayah mereka, terlepas dari apakah itu ditempatkan di Daftar Pusaka Dunia. Implikasi komitmen ini diperluas dalam Rekomendasi UNESCO di Tingkat Nasional, yang diadopsi pada tahun 1972 secara bersamaan.
- Rekomendasi mengenai Perlindungan, di Tingkat Nasional, Pusaka Kebudayaan dan Alam The Recommendation Concerning
the Protection, at National Level, of the
Cultural and Natural Heritage), diadopsi
pada saat yang sama dengan Konvensi Warisan Dunia (the World Heritage Convention), secara efektif merupakan dokumen internasional pertama yang menetapkan hubungan antara perlindungan dan peningkatan monumen dan kelompok bangunan, dan kebutuhan penduduk daerah bersejarah di sebuah kota. Ini diperluas hingga pentingnya menyediakan pusaka budaya dan alam dengan fungsi yang aktif pada saat ini untuk memfasilitasi pemeliharaannya ke masa depan. Selanjutnya, dalam pasal 5, mengingatkan bahwa ”pusaka budaya atau alam terdiri tidak hanya suatu karya yang memiliki nilai intrinsik yang besar, tetapi juga item yang lebih sederhana, yang dengan berlalunya waktu, memperoleh nilai budaya atau alam”. Mengenai isu yang mempengaruhi rencana rehabilitasi bangunan bersejarah, Rekomendasi 1972 menekankan pentingnya menghubungkan rehabilitasi kepada konteks urban sekitarnya dan konsultasi dengan otoritas
lokal dan wakil-wakil dari penduduk daerah tersebut, sehingga dapat memperkenalkan proses-proses partisipatif dalam pengelolaan proses pembangunan perkotaan.
- Piagam Eropa tentang Pusaka Arsitektur (The European Charter of the Architectural
Heritage) diundangkan pada tahun 1975
atas inisiatif Dewan Eropa yang memberikan perhatian khusus untuk arsitektur setempat. Pasal 1 Piagam itu mengarahkan perhatian pada ”kelompok-kelompok bangunan kecil di kota lama dan desa yang berkarakteristik di dalam lingkungan alam atau buatan manusia”. Dalam pasal 6, diperingatkan tentang perencanaan perkotaan yang keliru yang ”dapat merusak ketika pemerintah terlalu mudah menyerah terhadap tekanan ekonomi dan tuntutan lalu lintas kendaraan bermotor.” Dalam rangka memenuhi tantangan tersebut, ia memperkenalkan konsep pelestarian yang terpadu dalam kelengkapan Deklarasi Amsterdam (Declaration of Amsterdam), diadopsi dalam kerangka Piagam, dengan penekanan khusus pada ancaman terhadap pusaka perkotaan dan mengingat bahwa ”pembangunan daerah pinggiran perkotaan dapat berorientasi sedemikian rupa untuk mengurangi tekanan pada lingkungan yang lebih tua.”
- Tahun berikutnya, pada tahun 1976, Vancouver (Kanada) menjadi tuan rumah Konferensi PBB tentang Pemukiman Manusia (the United
Nations Conference on Human Settlements),
yang disebut HABITAT. Konferensi Ini diselenggarakan sebagai hasil Konferensi Stockholm dan muncul dari keprihatinan
mengenai urbanisasi dan ancaman terhadap lingkungan oleh aktivitas manusia. Hal ini menyebabkan pemahaman yang meningkat tentang kota dan komunitas mereka, dengan pengakuan atas kebutuhan untuk mencapai keberlanjutan untuk menjaga keseimbangan urban-rural yang saling mendukung, dipromosikan melalui pedoman yang spesifik termasuk dalam Deklarasi Vancouver tentang Pemukiman Manusia (the Vancouver
Declaration on Human Settlements).
- Pada tahun yang sama, pada bulan November 1976, Konferensi Umum UNESCO diadopsi di Nairobi (Kenya) dengan Rekomendasi tentang Pengamanan dan Peran Kontemporer Kawasan Bersejarah (the Recommendation concerning
the Safeguarding and Contemporary Role
of Historic Areas), dalam menanggapi
keprihatinan tentang perencanaan kota modern dan dampak pada pusat-pusat kota tua dan desa-desa tradisional. Rekomendasi ini menegaskan pentingnya kawasan bersejarah, peran mereka dalam mendefinisikan keragaman budaya dan identitas masyarakat yang individual, dan kebutuhan untuk mengintegrasikan mereka secara harmonis ke dalam ”kehidupan masyarakat kontemporer [sebagai] faktor dasar dalam perencanaankota dan pengembangan lahan.” Dokumen ini mencatat adanya ketidakhadiran yang sering di tingkat nasional mengenai ketentuan legislatif yang terkait pusaka arsitektur dengan konteks perencanaan, mencela gangguan sosial dan kerugian ekonomi akibat spekulasi dan perusakan kawasan bersejarah dan tradisional, dan mendesak ”kebijakan komprehensif dan energik untuk perlindungan, renovasi dan revitalisasi [mereka]
yang ”terpisahkan dengan lingkungan sekitar mereka. Dalam Rekomendasi ini, fokus melekat pada kelangsungan aktivitas manusia di kawasan bersejarah – meskipun mungkin sederhana, termasuk pola hidup dan kerajinan tradisional -,pada pijakan yang sama dengan perlindungan bangunan, menetapkan petak ukuran, pola jalan dan organisasi spasial secara keseluruhan. Rekomendasi ini mendesak perhatian khusus dan kontrol terhadap skala dan desain bangunan baru dan menetapkan bahwa analisis konteks urban harus mendahului setiap konstruksi baru untuk mencapai keserasian ketinggian, volume, bentuk, proporsi, warna dan bahan.
- Piagam untuk Pelestarian Kota Bersejarah dan Kawasan Perkotaan (The Charter for the
Conservation of Historic Towns and Urban
Areas) atau Piagam Washington, diadopsi pada
tahun 1987 oleh Majelis Umum ICOMOS, didahului oleh rancangan Piagam Eger (the
draft Eger Charter) dan melengkapi Piagam
Venesia 1964 (the 1931 Athens Charter). Ini mengakui peran lingkungan dan kota-kota bersejarah sebagai perwujudan dari budaya perkotaan tradisional, dan mengurai pelestarian sebagai ”langkah-langkah yang diperlukan untuk perlindungan, pelestarian [mereka], dan restorasi [...], serta pembangunan dan adaptasi yang harmonis untuk kehidupan kontemporer”. Piagam Washington menyebutkan pula bahwa pelestarian perkotaan harus tidak terpisahkan dengan pembangunan sosial ekonomi dan kebijakan perencanaan di semua tingkat. Ini menekankan sifat multi-disiplin pelestarian perkotaan, menekankan pentingnya partisipasi aktif oleh penduduk-yang dianggap sebagai
perbaikan perumahan sebagai tujuan utama. Ini meringkas kualitas penting yang harus dipertahankan, antara lain tata letak dan blok perkotaan; hubungan antara bangunan dan ruang hijau dan terbuka; hubungan antara kawasan bersejarah atau kota dan sekitarnya serta lingkungan baik buatan manusia dan alam; keragaman berfungsi sebagai akumulasi dari waktu ke waktu, dan eksterior dan penampilan interior bangunan - dari skala, melalui gaya dan bahan, warna dan dekorasi. Piagam Washington mendukung pengenalan unsur-unsur (arsitektur) kontemporer sebagai kontribusi potensial untuk pengayaan suatu kawasan bersejarah, subjek yang menjadi bagian dalam keselarasan dan menghormati tata letak ruang yang ada dalam hal skala dan ukuran persil.
- Pada tahun yang sama tahun 1987, ICOMOS Brasil mengadopsi Piagam tentang Pelestarian dan Revitalisasi Kawasan Pusat Kota yang Bersejarah (The Charter about the Preservation
and Revitalization of Historic Centres) atau
Piagam Itaipava, yang memiliki relevansi khusus dalam konteks ini sebagaimana dijelaskan bahwa ”kota dalam totalitasnya [sebagai] suatu entitas sejarah”, karena itu terkait dengan situs perkotaan yang bersejarah untuk lingkungan alami dan terbangun yang lebih luas dan pengalaman hidup sehari-hari penghuninya. Ini menekankan nilai-nilai sosial-budaya dari kawasan pusat kota bersejarah dan menyatakan bahwa ”tujuan utama pelestarian adalah pemeliharaan dan peningkatan pola referensi yang diperlukan untuk ekspresi dan konsolidasi kewarganegaraan [...] yang [...] berkontribusi untuk meningkatkan kualitas hidup.” Piagam
ini juga menekankan pentingnya penduduk dan kegiatan tradisional di situs perkotaan bersejarah, revitalisasi harus dilihat sebagai proses terus menerus dan permanen, dan nilai sosial properti perkotaan harus mengungguli nilai pasarnya.
- Pada Konferensi Eropa tentang Kota dan Kota Kecil yang Berkelanjutan, pada tahun 1994 di Aalborg (Swedia), Piagam Kota dan Kota Kecil Eropa menuju Keberlanjutan (The Charter of European Cities and Towns
towards Sustainability) atau Piagam Aalborg
diadopsi. Piagam ini menegaskan peran abadi kota sebagai pusat kehidupan sosial, pemacu ekonomi, dan penjaga budaya, pusaka dan tradisi, serta industri, kerajinan, pendidikan perdagangan, dan pemerintah. Piagam ini mengakui hubungan antara gaya hidup kaum