• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buku - Kotapusaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Buku - Kotapusaka"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

Bentuk kepedulian dan rencana aksi nyata Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang bersama dengan mitra Badan Pelestarian Pusaka Indonesia dalam program Pelestarian adalah bentuk penghargaan kita pada sejarah dan sebagai aset untuk masa depan bangsa Indonesia. Aset pusaka, pengelolaan, peran pemerintah daerah, stakeholder dan partisipasi lembaga pelestari serta masyarakat lokal dalam suatu tatanan ruang adalah unsur penting dalam mengembangkan suatu sistem pelestarian Kota Pusaka Indonesia yang berkelanjutan dan diharapkan dapat menambah khasanah keragaman Kota Pusaka Dunia. Mari wujudkan Kota Pusaka Indonesia yang lestari.

Kota Pusaka

Kota Pusaka

Saatnya Kita Peduli!

Kota Pusaka

Kota Pusaka

Sekretariat P3KP: SUD Forum Lantai 8

Jl. Pattimura No. 20 Keb. Baru - Jakarta Selatan 12110 Tel/Fax: 021-7231611, 021-7243431

www.penataanruang.net

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG

Langkah Indonesia Membuka Mata Dunia

La

ngka

h Ind

(2)
(3)

Kota Pusaka

Langkah Indonesia Membuka Mata Dunia

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

(4)

Pengantar

Imam S. Ernawi

I

ndonesia merupakan negara yang memiliki potensi warisan budaya yang kaya dan beragam. Potensi ini terwujud dalam bentuk kesenian, adat istiadat, bahasa, situs, arsitektur dan kawasan bersejarah. Kekayaan dan keragaman warisan budaya inilah yang telah memberikan kontribusi kepada kota-kota di Indonesia, sehingga masyarakat kota-kota dengan proses budayanya, telah membentuk karakter, keunikan, dan citra budaya yang khas melekat pada setiap kota serta memberikan peran signifikan dalam pembentukan identitas kota

Undang-undang No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang menegaskan pentingnya kota-kota memperhatikan nilai parsial budaya yang berkembang di masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang.Hal ini mengandung makna bahwa tema budaya menjadi salah satu faktor determinan dalam pengelolaan kawasan disamping tema-tema lainnya, seperti lingkungan, sumber daya alam dan teknologi, ekonomi dan pertahanan keamanan.

Pelestarian dan pengelolaan kota-kota pusaka sangat bergantung dengan potensi pusaka yang terdapat didalamnya.Kota-kota atau kawasan pusaka dengan nilai peninggalan budaya yang kuat perlu lebih komprehensif penanganannya,sehingga tidak terfragmentasi secara sektoral. Untuk itu, pendekatan pengelolaan kawasan pusaka harus berbasis pada kebijakan spasial penataan ruang daerah setempat yang solid dan konsisten, tercermin antara lain dari

Direktur Jenderal Penataan Ruang

Kementerian Pekerjaan Umum

(5)

urban leadership serta kebijakan program dan anggaran

yang responsif. Integrasi antar sektor yang mengambil

locus pada kawasan pusaka dengan aset-asetnya harus

diselenggarakan dalam kerangka mewujudkan kota pusaka sebagai identitas utama, sekaligus mendorong berbagai potensi ekonomi yang mengikutinya.

Keragaman visi jangka panjang kota-kota pusaka seyogyanya tertuang pada kebijakan penataan ruang secara hirarkis dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detail Tata Ruang(RDTR), hingga elaborasi panduan tata bangunan dan lingkungan melalui Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan(RTBL). Kebijakan tersebut dapat menjadi arahan dasar dalam pelestarian dan pengelolaan kawasan pusaka secara terintegrasi dengan elemen kota sekitar sebagai sebuah entitas perkotaan yang utuh. Diperlukan kelembagaan yang adaptif untuk mewujudkan kualitas tata ruang berbasis pelestarian pusaka dan budaya kota yang berkelanjutan.

Pada tahun 2011 yang lalu, Kementerian Pekerjaan Umum c.q Ditjen Penataan Ruang bekerjasama dengan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) telah memetakan 9 (sembilan) kota pusaka sebagai laboratorium untuk mengenal beberapa karakter kota/ kawasan pusaka di Indonesia. Kesembilan kota pusaka tersebut dapat dibagi menjadi beberapa tipologi kota pusaka, sebagai berikut: (1) Bukittinggi adalah kota sedang di perbukitan/dataran tinggi, (2) Sawahlunto merupakan kota kecil peninggalan pertambangan, (3) Baubau adalah kota kecil dengan 1000 Benteng dan Pelabuhan tradisional, (4) Yogyakarta merupakan kota besar pada dataran rendah yang sudah berkembang pesat, (5) Banjarmasin merupakan kota besar dengan tipologi kota tepian air (waterfront city), (6) Ternate merupakan kota pesisir pantai dengan karakter

kepulauan, (7) Malang merupakan kota besar ex-pusat pemerintahan kolonial, (8) Banda Aceh merupakan kota sedang dengan pusaka religius yang kental, dan (9) Ambon merupakan kota sedang dengan karakter pesisir dan pelabuhan yang kuat.

Keragaman tipologi kota pusaka yang dimiliki oleh Indonesia membuktikan bahwa potensi kearifan lokal yang telah mengental dapat menjadi dasar terwujudnya Kota Pusaka Indonesia, sekaligus sebagai cikal bakal menuju Kota Pusaka Dunia (World Heritage City). Bagi kota-kota yang memiliki peninggalan kebudayaan yang kuat dan telah terjaga dengan baik diharapkan dapat terus meningkatkan integrasinya dengan lingkungan binaan perkotaan agar kota pusaka dapat meningkat kualitasnya secara simultan, sedangkan untuk kota-kota lainnya perlu terus didorong untuk meningkatkan pengelolaan kawasan pusakanya sesuai dengan arahan rencana tata ruangnya.

Akhirnya, kami berharap buku “Kota Pusaka: Langkah Indonesia Membuka Mata Dunia” benar-benar dapat menjadi media belajar bagi semua pihak yang menaruh perhatian besar dalam pengelolaan dan pelestarian Kota Pusaka, sekaligus membangun motivasi dan inspirasi baruyang menjadi titik tolak dalam perumusan langkah tindak lanjut yang terukur, terjangkau, dan lebih sistematis menuju Kota Pusaka Dunia di tanah air yang berkelanjutan.

Direktur Jenderal Penataan Ruang

(6)

Sambutan

I Gede Ardika

Ketua Dewan Pimpinan BPPI

Salam lestari!

Buku ringkasan eksekutif “Kota Pusaka, Langkah Indonesia Membuka Mata Dunia” merupakan sebuah upaya strategis untuk mengantarkan para pemangku kepentingan untuk melaksanakan kegiatan pelestarian aset pusaka di daerahnya masing-masing serta pengelolaan untuk pemanfaatan bagi kesejahteraan masyarakatnya, yang pada akhirnya mengantarkannya untuk mendapatkan pengakuan di tingkat nasional dan dunia.

Menarik sekali mencermati hasil kajian dari survey dan pengumpulan data dalam penajaman kriteria kota pusaka dan penilaian kapasitas manajemen kota pusaka pada beberapa kota yang telah dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum cq. Direktorat Jenderal Penataan Ruang bersama-sama Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) pada akhir tahun 2011. Kajian yang akhirnya mengerucut pada pendefinisian kota pusaka Indonesia adalah “kota yang memiliki kekentalan

sejarah yang bernilai dan memiliki pusaka alam, budaya baik ragawi dan tak-ragawi serta rajutan berbagai pusaka tersebut secara utuh sebagai aset pusaka dalam wilayah/kota atau bagian dari wilayah/kota, yang hidup, berkembang, dan dikelola secara efektif.”

Pemahaman ini berangkat dari kriteria yang terlebih dahulu disusun oleh UNESCO mengenai kota pusaka dunia. Kota

(7)

yang memenuhi deskripsi sebagai kota pusaka dunia merupakan kota yang penting dan istimewa sehingga melampaui batas-batas nasional dan memiliki nilai penting bagi umat manusia di masa kini maupun mendatang. Hasil kajian juga menunjukkan bahwa sebuah perencanaan tata ruang tidak mudah mengakomodasi kompleksnya aspek sosial budaya dan bahkan belum sepenuhnya RTRW Kota mendapatkan perhatian lintas sektoral yang terpadu dalam implementasi pelestarian dan pengelolaan pusaka di masing-masing kota. Dengan mempertimbangkan hal tersebut di atas, Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) mendukung sepenuhnya program dari Kementerian Pekerjaan umum cq. Direktorat Jenderal Penataan Ruang yang akan memberikan perhatian kepada Kota Pusaka melalui Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP), guna mengawal implementasi Undang Undang Penataan Ruang.

Hal ini menjadikan P3KP strategis di samping mempersiapkan pelaksanaan pelestarian dan

pengelolaan Kota Pusaka dalam kaidah penataan ruang khususnya, maka sekaligus juga membantu penyadaran kepedulian dan apresiasi terhadap aset pusaka dan menghindarkannya dari penghancuran. Program ini akan mendorong perumusan kebijakan-kebijakan yang diperlukan untuk mewujudkan komitmen dan sinergi dukungan lintas sektoral, pemerintah daerah dan masyarakat setempat, dalam meningkatkan kualitas ruang serta kualitas hidup masyarakat dalam aktualisasi Kota Pusaka Indonesia, atau bahkan dapat dinominasikan sebagai Kota Pusaka Dunia.

Terima kasih kami ucapkan kepada pihak-pihak yang telah memberikan masukan sehingga tersusunnya buku ringkasan eksekutif ini.

Ketua Dewan Pimpinan BPPI

(8)
(9)

DAftAr ISI

Pendahuluan 9

Dasar Kebijakan

17

Kajian Pustaka

43

Studi Profil Kota Pusaka

59

Kota Pusaka, Kriteria dan Pengelolaannya

95

Kesimpulan dan Rekomendasi

113

Lampiran

121

Daftar Pustaka

144

Tim Penyusun

146

(10)

Pendahuluan

(11)
(12)

TANTANGAN KOTA PUSAKA

P

ada dasarnya Penataan Ruang adalah suatu alat untuk mengatur alokasi ruang, manusia, dan kegiatannya. Ruang tidak hanya berisi benda-benda mati seperti rumah, pasar, kantor, industri, jalan, jembatan, saluran, taman dll. Ruang berisi manusia dan kegiatan didalamnya yang meliputi seluruh upayanya memelihara dan meningkatkan kualitas kehidupannya.

Ruang harus memungkinkan manusia untuk hidup dan meningkatkan kualitas kehidupannya, mencari nafkah, membina keluarganya, mengembangkan masyarakat yang harmonis, mengembangkan kepribadian dan jatidirinya. Ruang kota/desa mencerminkan kepribadian dan jatidiri masyarakatnya, dan sebaliknya, ruang kota juga dapat membentuk kepribadian dan jatidiri warganya.

Ruang kota/desa perlu dibangun dan dipelihara menyesuaikan pada karakter, sejarah, dan budaya warganya, agar terbangun sambung rasa serta keharmonisan yang membahagiakan. Kota yang harmonis dan berkarakter tidak hanya membahagiakan warganya, tetapi juga dinikmati oleh semua pengunjung dan pendatang karena mereka dapat menemukan kejelasan alur yang dianut.

Sayang sekali nilai-nilai kehidupan, faktor estetika, etika, “jiwa”, serta harmoni dalam penataan ruang sering dilupakan dan diabaikan. Yang lebih mendapat perhatian adalah perhitungan fisik, kekuatan, dan efisiensi yang lebih terukur. Karakter dan jatidiri ruang kurang digarap dengan sungguh-sungguh, padahal ruang itu mencerminkan dan juga membentuk karakter manusianya.

Peninggalan sejarah berupa ruang, bangunan, kehidupan, tradisi dan sejarah dari masa lalu mengandung banyak pelajaran, inspirasi yang dapat dimanfaatkan kedepan. Peninggalan itu juga mengandung banyak collective memory yang menyatukan kita, yang memberi suasana akrab, kenangan lama dan semangat bersama untuk membangun dan memelihara.

Peninggalan lama itu merupakan bukti sejarah yang dapat langsung dilihat, dirasakan, dan dinikmati, yang membantu generasi berikutnya untuk memahami pengalaman dan perjuangan generasi sebelumnya dalam menjawab tantangan zamannya. Begitu banyak pelajaran yang dapat diserap, yang sayangnya sering diabaikan dan tidak dimanfaatkan.

Suatu kota tanpa ingatan ke belakang, tanpa

collective memory, tanpa kesadaran sejarah adalah

seperti orang hilang ingatan, orang yang tidak punya referensi, tidak tahu dari mana mau kemana. Sebaliknya suatu kota yang punya banyak peninggalan dan referensi akan berdiri mantab, percaya diri, dan dapat dengan mudah dikenali, diapresiasi, dan dicintai.

Kawasan lama atau kawasan bersejarah suatu kota atau desa perlu dilestarikan. Penataan Ruang harus dapat melindungi kekayaan sejarah itu, yang merupakan aset tak tergantikan yang tak ternilai. Keseluruhan kota atau desa harus merupakan kesatuan yang harmonis yang mencerminkan kepribadian dan jatidirinya.

Ini tidak berarti bahwa kota atau desa itu tidak boleh berubah dan berkembang. Pelestarian adalah perubahan yang terkendali. Ia adalah bagian dari

(13)

Kawasan Pusaka yang Diharapkan dapat Dikelola dengan Baik Sumber Foto: CHC - BPPI

(14)

perubahan menanggapi tantangan zamannya, tanpa kehilangan aset dan nilai yang berharga yang harus dilestarikan. Bagaimana membuat pertahanan dalam perubahan itu adalah “seni” tata ruang yang harus dikembangkan.

Orang yang sadar dan berkepribadian tidak akan mau larut begitu saya dalam perubahan masal. Ia akan bertahan menjaga agar karakternya tetap eksis dalam perubahan yang melanda dunia. Suatu kota atau desa yang berkarakter harus menjaga agar karakter yang berasal dari sejarah dan budayanya dapat terus lestari ditengah perubahan masal itu.

Kelestarian ini yang membuat suatu kota tampil jelas ditengah keseragaman yang mewabah. Konsistensi ini yang membuat suatu kota atau desa dihormati dan dihargai, yang membuat warganya nyaman dan tenteram di dalam harmoni ruangnya, dan membuat tamu dan pendatang menikmati suguhan yang berkualitas dan punya karakter.

Indonesia terkenal dengan sejarah dan budayanya. Kota dan desa di Indonesia banyak yang mempunyai cirri khas yang merupakan cerminan dari budaya warganya yang tidak terdapat di daerah atau di negara lain. Kekayaan lingkungan yang berbasis budaya ini tidak boleh dibiarkan rusak dan hilang. Ia harus tetap dipelihara untuk disampaikan kepada generasi selanjutnya, dan merupakan sumbangan bagi dunia.

KOTA PUSAKA INDONESIA

MENJAWAB TANTANGAN

Tak disangkal bahwa wilayah Indonesia yang luas ini merupakan kekayaan akumulasi kota atau kawasan bersejarah. Penelitian Werner Rutz tahun

1987 menyebutkan bahwa kota-kota besar dan kecil yang ada di Indonesia memiliki akar sejarah yang dihasilkan dari berbagai situasi dan pengaruh budaya serta kehadiran penguasa yang berbeda. Ini dipertegas dengan berbagai studi tentang bentuk kota (urban morphology) di Indonesia yang banyak difokuskan pada pembangunan perkotaan dan kadang dalam konteks konservasi kota. Objek studi adalah kota-kota besar di Jawa, seperti Jakarta (Santoso 2011) Bandung (Siregar 1990), Semarang (Widodo 1988; Zahnd 2008), Lasem (Pratiwo 2010) dan Yogyakarta (Ikaputra 1993; Adishakti 1997, Zahnd 2008) atau di Sumatera, seperti Padang (Alvarez 2002) dan Bukittingi (Wongso 2001). Belum lagi berbagai penelitian tentang lansekap atau budaya setempat.

Sebagai contoh, dalam penelitiannya terhadap morfologi kota Yogyakarta, Adishakti (1997) menyimpulkan pusaka ruang perkotaan (urban

space heritage). Setting ruang di dalam bentuk

tatanan obyek-obyek di suatu lingkungan sesungguhnya merupakan suatu keunikan, yang berbeda dengan lingkungan yang lain. Elemen dari tiap obyek tersebut seperti fasad bangunan maupun teduh dan rimbunnya pepohonan saling terkait dalam menciptakan pelingkup atau ruang tertentu. Hal inilah yang dirasakan siapapun yang berada di ruang tersebut dan mendorong adanya kegiatan yang spesifik pula di ruang tersebut.

Hal tersebut menjelaskan komponen apa saja yang merupakan potensi sebuah kota pusaka. Bangunan bersejarah, kerajinan serta kesenian bersanding harmonis dengan pohon dan satwa setempat dalam bentang geografisnya. Surakarta adalah contoh kota yang telah mengupayakan pemanfaatan potensinya dipandu slogan ”Solo Past is Solo Future”. Ngarsapura sebagai kawasan kerajinan

(15)

Kawasan Wisata Batik Kauman Solo Sumber Foto: CHC - BPPI

(16)

dan Galebo sebagai kawasan kuliner menunjukkan peran pemerintah untuk memperkuat potensi lokal yang ada, bukan sekadar memasukkan elemen kota baru seperti mall atau ”night park”. Saat bersamaan, kawasan kerajinan batik yang merupakan bukti hadirnya wirausahawan setempat pun menggeliat dan menghidupkan kawasan lama, yaitu Kawasan Kauman dan Laweyan.

Begitu pula dengan kota tambang Sawahlunto yang kembali bergairah sebagai kota wisata budaya. Penting pula menyebut Kota Yogyakarta yang bangkit setelah gempa tahun 2006 dengan tetap mengusung jati diri sebagai kota budaya serta Kota Surabaya yang pelan-pelan menempatkan diri sebagai kota metropolitan yang mengedepankan kelestarian budaya serta alamnya. Pengalaman mereka menunjukkan adanya upaya inovatif, seperti mengikutkan aspek ekonomi. Bukankah ekonomi tidak harus bertentangan dengan pelestarian.

Kota-kota yang telah disebutkan tadi berbagi cerita adanya kepemimpinan serta visi yang baik. Dalam jangka panjang, harus dapat dipastikan hal yang baik dalam satu atau dua periode kepala daerah menjadi satu rangkaian peristiwa menuju perubahan yang terbaik. Di sinilah perencanaan memegang peranan yang penting. Tentunya bukan sekadar perencanan yang baik di atas kertas, tetapi yang akan direalisasikan dengan dukungan warga daerahnya. Sanggahan adalah kekayaan dan dukungan adalah modal. Semata-mata, karena perencanaan tersebut merupakan wujud dari cita-cita bersama.

Di seluruh dunia, sejak tahun 1970an telah ada sekitar 200 kota yang dinobatkan sebagai pusaka dunia. Negara tetangga di ASEAN seperti Malaysia, Vietnam dan Filipina telah memiliki kota pusaka dunianya. Menjadi pusaka dunia

tentunya bukan sekadar gelar kebanggaan, tetapi juga komitmen untuk mengelola pusaka secara berkelanjutan yang antara lain diwujudkan melalui perencanaan tata ruangnya. Mengelola berarti pula dapat memanfaatkannya untuk kesejahteraan warga.

Di Indonesia, sekitar 48 kota telah menghimpun diri dalam sebuah organisasi bernama Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI). Komitmen telah dibangun untuk melestarikan pusaka alam dan budaya bangsa melalui pengelolaan kota. Untuk kota-kota inilah, dukungan wajib diberikan.

ISI BUKU

Buku ini berfokus pada kajian tentang pelestarian dan pengelolaan kota pusaka, yang dapat menjadi acuan bagi penyusunan panduan pelaksanaan Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP). Kajian ini bersifat deskriptif, untuk memberi gambaran konsep kota pusaka yang ada, baik menurut piagam atau konvensi yang telah disusun oleh badan dunia UNESCO dan institusi mitranya maupun secara teoritis menurut berbagai buku teks.

Selanjutnya, gambaran mengenai kota pusaka Indonesia serta tata kelolanya, yaitu aspek-aspek yang melekat dalam suatu sistem pengelolaan yang utuh. Kota yang dikaji dipilih dari anggota JKPI, yang mewakili karakteristik seperti sejarah atau geografisnya

Tersusunnya naskah kajian tentang Pelestarian dan Pengelolaan Kota Pusaka ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penyusunan panduan pelaksanaan Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP).

Susunan buku ini terdiri dari Bab 1, yaitu Pendahuluan yang berisi latar belakang, maksud dan

(17)

tujuan kajian ini serta metodologi yang digunakan. Disusul Bab 2 dan Bab 3 tentang Tinjauan Kebijakan dan Pustaka yang terkait pengelolaan kota pusaka. Bagian ini berisi kebijakan yang terkait perlindungan dan pengembangan pusaka kota, baik pada lingkup nasional maupun internasional dan definisi tentang kota pusaka dunia menurut UNESCO, serta operasionalisasinya.

Pada Bab 4 dapat dilihat Gambaran Kota Pusaka Indonesia. Isi adalah hasil pengamatan atas 9 kota dari anggota JKPI, yang memiliki karakter pusaka yang kuat dan pengalaman dalam mengelola

pusakanya. Bab 5 berisi Pembahasan, yakni aksi-aksi yang perlu dilakukan untuk mewujudkan pengelolaan kota pusaka yang baik. Disebutkan pula praktik yang telah terjadi pada 9 kota yang diamati.

Pada bagian akhir, berisi kesimpulan serta rekomendasi untuk memperkuat pengelolaan kota-kota pusaka melalui suatu program lintas sektoral yang sistematis. Program ini (direncanakan P3KP) dalam jangka panjang bertujuan untuk mencapai Kota Pusaka Indonesia bahkan Kota Pusaka Dunia.

Bangunan Bekas Penjara, Bukittinggi Sumber Foto: BPPI

(18)
(19)

Kebanyakan kota di Indonesia merupakan kota bersejarah (historic city) yang usianya telah ratusan tahun (Lihat Lampiran 3). Dilihat dari aspek lain, kota di Indonesia memiliki keunikan, seperti keunikan geografis maupun sosial-budayanya. Berbagai peninggalan tersebut telah dikenali kualitasnya dan dianggap sebagai aset. Untuk itu dilakukan upaya untuk perlindungan dan pengembangan lebih lanjut yang dipandu dengan kebijakan berikut:

2.1. UNDANG-UNDANG RI NO.

26 TAHUN 2007 TENTANG

PENATAAN RUANG

UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang merupakan pembaruan UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang.

1) Bab I Ketentuan Umum Pasal 1

5. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

6. Penyelenggaraan penataan ruang adalah

kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang.

11. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

12. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

13. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.

14. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.

15. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.

Dasar Kebijakan

2

(20)

21. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.

22. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.

28. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.

29. Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.

30. Kawasan strategis kabupaten/kota adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. 2) Bab III Klasifikasi Penataan Ruang

Pasal 5

(5) Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan strategis nasional,

penataan ruang kawasan strategis provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.

Pasal 6

(1) Penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan:

a. kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap bencana;

b. potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan.

3) Bab IV Tugas dan Wewenang Pasal 7

(1) Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah dan pemerintah daerah

4) Bab VIII Hak, Kewajiban, dan Peran Maysarakat

Pasal 65

(1) Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat.

(2) Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat

(21)

(1) dilakukan, antara lain, melalui: a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang;

b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan

c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.

2.2. UNDANG-UNDANG REPUBLIK

INDONESIA NOMOR 28

TAHUN 2002 TENTANG

BANGUNAN GEDUNG

1) Bab I Ketentuan Umum Pasal 1

1. Bangunan Gedung, Bangunan gedung dapat diartikan sebagai wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.

2) Bab III Fungsi Bangunan Gedung, Pasal 5; 1. Fungsi bangunan gedung meliputi

fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan budaya, serta fungsi khusus. 3) Bab IV Persyaratan Bangunan Gedung,

Bagian Ketiga Persyaratan Tata Bangunan, Paragraf 3 Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung, Pasal 14;

1. Persyaratan arsitektur bangunan gedung meliputi persyaratan penampilan

bangunan gedung, tata ruang dalam, keseimbangan, keserasian, dan

keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya, serta pertimbangan

adanya keseimbangan antara nilai-nilai sosial budaya setempat terhadap

penerapan berbagai perkembangan arsitektur dan rekayasa.

2. Persyaratan penampilan bangunan gedung harus memperhatikan bentuk dan

2.3. UNDANG-UNDANG RI NO. 11

TAHUN 2010 TENTANG CAGAR

BUDAYA

UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya merupakan pembaruan UU No. 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya.

1) Bab I Ketentuan Umum

1. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

2. Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak,

(22)

berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.

3. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.

4. Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia.

5. Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.

6. Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.

21. Pengelolaan adalah upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. 22. Pelestarian adalah upaya dinamis untuk

mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya.

2) Bab III Kriteria Cagar Budaya Pasal 5

Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya

Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria:

a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;

b. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;

c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/ atau kebudayaan; dan

d. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Pasal 10

Satuan ruang geografis dapat ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya apabila: a. mengandung dua Situs Cagar Budaya

atau lebih yang letaknya berdekatan; b. berupa lanskap budaya hasil bentukan

manusia berusia sedikitnya 50 tahun; c. memiliki pola yang memperlihatkan

fungsi ruang pada masa lalu berusia sedikitnya 50 tahun;

d. memperlihatkan pengaruh manusia masa lalu pada proses pemanfaatan ruang berskala luas;

e. memperlihatkan bukti pembentukan lanskap budaya; dan

(23)

f. memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti kegiatan manusia atau endapan fosil.

3) Bab VIII Tugas dan Wewenang Pasal 95

(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mempunyai tugas melakukan Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Cagar Budaya.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah, sesuai dengan tingkatannya pemerintah dan/atau pemerintah daerah memiliki tugas,

a. mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, serta

meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab akan hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan Cagar Budaya; b. mengembangkan dan

menerapkan kebijakan yang dapat menjamin terlindunginya dan termanfaatkannya Cagar Budaya; c. menyelenggarakan penelitian dan

pengembangan Cagar Budaya; d. menyediakan informasi Cagar

Budaya untuk masyarakat;

e. menyelenggarakan promosi Cagar Budaya;

f. memfasilitasi setiap orang dalam melaksanakan pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya;

g. menyelenggarakan penanggulangan bencana dalam keadaan darurat untuk benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan yang telah

dinyatakan sebagai Cagar Budaya serta memberikan dukungan terhadap daerah yang mengalami bencana

h. melakukan pengawasan,

pemantauan, dan evaluasi terhadap pelestarian warisan budaya; dan i. mengalokasikan dana bagi

kepentingan pelestarian Cagar Budaya.

Pasal 97:

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pengelolaan KCB.

(2) Pengelolaan kawasan dilakukan tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat terhadap Cagar Budaya dan kehidupan sosial.

(3) Pengelolaan KCB dilakukan oleh badan pengelola yang dibentuk oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/ atau masyarakat hukum adat.

(4) Badan Pengelola dapat terdiri atas unsur Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat.

2.4. PP RI NO. 26 TAHUN 2008

TENTANG RENCANA TATA

RUANG WILAYAH NASIONAL

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

(24)
(25)

Macam-macam Kerajinan Sumber Foto: BPPI

(26)

(1) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang selanjutnya disebut RTRWN adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah negara.

(2) Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

(3) Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.

(4) Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

(5) Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.

(6) Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.

(7) Wilayah nasional adalah seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi berdasarkan peraturan perundang-undangan. (8) Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya.

(9) Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi

kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Pasal 1

(17) Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia. (27) Peraturan zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang.

(28) Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (29) Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang penataan ruang. (30) Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

(31) Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan

(27)

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 3

RTRWN menjadi pedoman untuk:

a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional;

b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional;

c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional; d. pewujudan keterpaduan, keterkaitan, dan

keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, serta keserasian antarsektor; e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk

investasi;

f. penataan ruang kawasan strategis nasional; dan

g. penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota.

Pasal 4

Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah nasional meliputi kebijakan dan strategi pengembangan struktur ruang dan pola ruang. Pasal 7

(1) Kebijakan pengembangan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi:

a. pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan

b. pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup.

(2) Strategi untuk pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup meliputi:

a. menetapkan kawasan lindung di ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi;

b. mewujudkan kawasan berfungsi lindung dalam satu wilayah pulau dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluhpersen) dari luas pulau tersebut sesuai dengan kondisi ekosistemnya; dan

c. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun akibat pengembangan kegiatan budi daya, dalam rangka mewujudkan dan memelihara keseimbangan ekosistem wilayah.

(3) Strategi untuk pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup meliputi:

a. menyelenggarakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup;

b. melindungi kemampuan lingkungan hidup dari tekanan perubahan dan/ atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;

(28)

c. melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang dibuang kedalamnya; d. mencegah terjadinya tindakan yang

dapat secara langsung atau tidak langsung menimbulkan perubahan sifat fisik lingkungan yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan;

e. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana untuk menjamin kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;

f. mengelola sumber daya alam tak terbarukan untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumber daya alam yang terbarukan untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya; dan

g. mengembangkan kegiatan budidaya yang mempunyai daya adaptasi bencana di kawasan rawan bencana.

Pasal 9

(1) Kebijakan pengembangan kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c meliputi:

a. pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup untuk mempertahankan dan meningkatkan

keseimbangan ekosistem, melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan

dan meningkatkan fungsi perlindungan kawasan, melestarikankeunikan bentang alam, dan melestarikan warisan budaya nasional;

b. peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara;

c. pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan dalam pengembangan perekonomian nasional yang produktif, efisien, dan mampu bersaing dalam perekonomian internasional;

d. pemanfaatan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; e. pelestarian dan peningkatan sosial dan

budaya bangsa;

f. pelestarian dan peningkatan nilai kawasan lindung yang ditetapkan sebagai warisan dunia, cagar biosfer, dan ramsar; dan

g. pengembangan kawasan tertinggal untuk mengurangi kesenjangan tingkat perkembangan antarkawasan.

(2) Strategi untuk pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup meliputi:

a. menetapkan kawasan strategis nasional berfungsi lindung;

b. mencegah pemanfaatan ruang di kawasan strategis nasional yang berpotensi mengurangi fungsi lindung kawasan;

c. membatasi pemanfaatan ruang di sekitar kawasan strategis nasional yang berpotensi mengurangi fungsi lindung kawasan;

(29)

d. membatasi pengembangan prasarana dan sarana di dalam dan di sekitar kawasan strategis nasional yang dapat memicu perkembangan kegiatan budi daya;

e. mengembangkan kegiatan budi daya tidak terbangun di sekitar kawasan strategis nasional yang berfungsi sebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan lindung dengan kawasan budi daya terbangun; dan

f. merehabilitasi fungsi lindung kawasan yang menurun akibat dampak pemanfaatan ruang yang berkembang di dalam dan di sekitar kawasan strategis nasional.

(3) Strategi untuk peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara meliputi:

a. menetapkan kawasan strategis nasional dengan fungsi khusus pertahanan dan keamanan;

b. mengembangkan kegiatan budi daya secara selektif di dalam dan di sekitar kawasan strategis nasional untuk menjaga fungsi pertahanan dan keamanan; dan

c. mengembangkan kawasan lindung dan/ atau kawasan budi daya tidak terbangun di sekitar kawasan strategis nasional sebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan strategis nasional dengan kawasan budi daya terbangun.

(4) Strategi untuk pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan dalam pengembangan perekonomian nasional meliputi:

a. mengembangkan pusat pertumbuhan berbasis potensi sumber daya alam dan kegiatan budi daya unggulan sebagai penggerak utama pengembangan wilayah; b. menciptakan iklim investasi yang kondusif; c. mengelola pemanfaatan sumber daya alam

agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung kawasan;

d. mengelola dampak negatif kegiatan budi daya agar tidak menurunkan kualitas lingkungan hidup dan efisiensi kawasan; e. mengintensifkan promosi peluang investasi;

dan

f. meningkatkan pelayanan prasarana dan sarana penunjang kegiatan ekonomi.

(5) Strategi untuk pemanfaatan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi secara optimal meliputi:

a. mengembangkan kegiatan penunjang dan/ atau kegiatan turunan dari pemanfaatan sumber daya dan/atau teknologi tinggi;

b. meningkatkan keterkaitan kegiatan pemanfaatan sumber daya dan/atau teknologi tinggi dengan kegiatan penunjang dan/atau turunannya; dan

c. mencegah dampak negatif pemanfaatan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi terhadap fungsi lingkungan hidup, dan keselamatan masyarakat.

(6) Strategi untuk pelestarian dan peningkatan sosial dan budaya bangsa meliputi:

a. meningkatkan kecintaan masyarakat akan nilai budaya yang mencerminkan jati diri bangsa yang berbudi luhur;

(30)
(31)

b. mengembangkan penerapan nilai budaya bangsa dalam kehidupan masyarakat; dan c. melestarikan situs warisan budaya bangsa. (7) Strategi untuk pelestarian dan peningkatan nilai kawasan yang ditetapkan sebagai warisan dunia meliputi:

a. melestarikan keaslian fisik serta mempertahankan keseimbangan ekosistemnya;

b. meningkatkan kepariwisataan nasional; c. mengembangkan ilmu pengetahuan dan

teknologi; dan

d. melestarikan keberlanjutan lingkungan hidup.

(8) Strategi untuk pengembangan kawasan tertinggal meliputi:

a. memanfaatkan sumber daya alam secara optimal danberkelanjutan;

b. membuka akses dan meningkatkan aksesibilitas antara kawasan tertinggal dan pusat pertumbuhan wilayah;

c. mengembangkan prasarana dan sarana penunjang kegiatan ekonomi masyarakat; d. meningkatkan akses masyarakat ke sumber

pembiayaan; dan

e. meningkatkan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia dalam pengelolaan kegiatan ekonomi.

Dalam PP ini juga membahas secara rinci tentang Kawasan Lindung Nasional mulai dari pasal 51-62.

2.5. PP RI NO. 15 TAHUN

2010 TENTANG

PENYELENGGARAAN

PENATAAN RUANG

2.5.1. Bab II Pengaturan Penataan Ruang Pasal 4

(1) Pengaturan penataan ruang oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi penyusunan dan penetapan:

b. rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional yang ditetapkan dengan peraturan presiden;

(32)

(2) Pengaturan penataan ruang oleh pemerintah daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi penyusunan dan penetapan: a. rencana tata ruang wilayah provinsi,

rencana tata ruang kawasan strategis provinsi, dan arahan peraturan zonasi sistem provinsi yang ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi; dan

b. ketentuan tentang perizinan, penetapan bentuk dan besaran insentif dan disinsentif, sanksi administratif, serta petunjuk pelaksanaan pedoman bidang penataan ruang yang ditetapkan dengan peraturan gubernur.

(3) Pengaturan penataan ruang oleh pemerintah daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi penyusunan dan penetapan: a. rencana tata ruang wilayah

kabupaten/kota, rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota, rencana detail tata ruang kabupaten/ kota termasuk peraturan zonasi yang ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota; dan

b. ketentuan tentang perizinan, bentuk dan besaran insentif dan disinsentif, serta sanksi administratif, yang ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota.

Pasal 5

(1) Selain penyusunan dan penetapan peraturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dapat menetapkan peraturan lain di bidang penataan ruang sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.

(2) Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota mendorong peran masyarakat dalam penyusunan dan penetapan standar dan kriteria teknis sebagai operasionalisasi peraturan perundang-undangan dan pedoman penataan ruang.

2.5.2. Bab IV Pelaksanaan Perencanaan Tata Ruang

Pasal 19

(1) Pelaksanaan perencanaan tata ruang meliputi prosedur penyusunan rencana tata ruang dan prosedur penetapan rencana tata ruang.

(2) Pelaksanaan perencanaan tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. prosedur penyusunan dan penetapan rencana umum tata ruang; dan b. prosedur penyusunan dan

(33)

Pasal 20

Prosedur penyusunan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) meliputi:

a. proses penyusunan rencana tata ruang;

b. pelibatan peran masyarakat dalam perumusan konsepsi rencana tata ruang;

c. pembahasan rancangan rencana tata ruang oleh pemangku kepentingan. Pasal 21

(1) Proses penyusunan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a dilakukan melalui tahapan: a. persiapan penyusunan rencana tata

ruang;

b. pengumpulan data;

c. pengolahan dan analisis data; d. perumusan konsepsi rencana tata

ruang; dan

e. penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan tentang rencana tata ruang.

(2) Proses penyusunan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menghasilkan dokumen rancangan rencana tata ruang dalam bentuk rancangan peraturan perundang-undangan tentang rencana tata ruang beserta lampirannya.

Pasal 45

Penataan ruang kawasan strategis dilakukan untuk mengembangkan, melestarikan,

melindungi dan/atau mengoordinasikan keterpaduan pembangunan nilai strategis kawasan dalam mendukung penataan ruang wilayah.

Pasal 46

Kawasan strategis terdiri atas kawasan yang mempunyai nilai strategis yang meliputi: a. kawasan strategis dari sudut kepentingan

pertahanan dan keamanan;

b. kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi;

c. kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial dan budaya;

d. kawasan strategis dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam dan/ atau teknologi tinggi; dan

e. kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.

Pasal 49

Kriteria kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial dan budaya merupakan: a. tempat pelestarian dan pengembangan

adat istiadat atau budaya;

b. prioritas peningkatan kualitas sosial dan budaya;

c. aset yang harus dilindungi dan dilestarikan;

d. tempat perlindungan peninggalan budaya;

e. tempat yang memberikan perlindungan terhadap keanekaragaman budaya;

f. tempat yang memiliki potensi kerawanan terhadap konflik sosial.

(34)

Pasal 51

Kriteria kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup meliputi:

a. tempat perlindungan keanekaragaman hayati;

b. kawasan lindung yang ditetapkan bagi perlindungan ekosistem, flora, dan/ atau fauna yang hampir punah atau diperkirakan akan punah yang harus dilindungi dan/atau dilestarikan;

c. kawasan yang memberikan perlindungan keseimbangan tata guna air yang setiap tahun berpeluang menimbulkan kerugian;

d. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap keseimbangan iklim makro;

e. kawasan yang menuntut prioritas tinggi peningkatan kualitas lingkungan hidup; f. kawasan rawan bencana alam; atau g. kawasan yang sangat menentukan dalam

perubahan rona alam dan mempunyai dampak luas terhadap kelangsungan kehidupan.

Pasal 52

(1) Kriteria nilai strategis untuk kawasan strategis nasional, kawasan strategis provinsi, kawasan strategis kabupaten/ kota ditentukan berdasarkan aspek eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dalam penanganan kawasan.

(2) Kawasan strategis nasional dapat ditetapkan sebagai kawasan strategis provinsi dan/atau kawasan strategis kabupaten/kota.

(3) Kawasan strategis provinsi dapat ditetapkan sebagai kawasan strategis kabupaten/kota.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria nilai strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.

2.5.3. Bab V Pelaksanaan Pemanfaatan Ruang Pasal 94

(1) Pelaksanaan pemanfaatan ruang merupakan pelaksanaan pembangunan sektoral dan pengembangan wilayah, baik yang dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah maupun oleh masyarakat, harus mengacu pada rencana tata ruang.

(2) Pelaksanaan pemanfaatan ruang dilakukan melalui:

a. penyusunan dan sinkronisasi program pemanfaatan ruang;

b. pembiayaan program pemanfaatan ruang; dan

c. pelaksanaan program pemanfaatan ruang.

Pasal 123

(1) Penyusunan program pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional menghasilkan program pengembangan kawasan strategis nasional.

(2) Program pengembangan kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud

(35)

rencana pembangunan jangka panjang nasional, rencana pembangunan jangka menengah nasional, dan rencana kerja tahunan Pemerintah.

Pasal 127

(1) Penyusunan program pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi menghasilkan program pengembangan kawasan strategis provinsi.

(2) Program pengembangan kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari rencana pembangunan jangka panjang provinsi, rencana pembangunan jangka menengah provinsi, dan rencana kerja tahunan pemerintah daerah provinsi. Pasal 131

(1) Penyusunan program pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten menghasilkan program pengembangan kawasan strategis kabupaten.

(2) Program pengembangan kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari rencana pembangunan jangka panjang kabupaten, rencana pembangunan jangka menengah kabupaten, dan rencana kerja tahunan pemerintah daerah kabupaten.

Pasal 135

(1) Penyusunan program pemanfaatan ruang kawasan strategis kota menghasilkan program pengembangan kawasan strategis kota.

(2) Program pengembangan kawasan strategis kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari rencana pembangunan jangka panjang daerah kota, rencana pembangunan jangka menengah daerah kota, dan rencana kerja tahunan pemerintah daerah kota.

2.5.4. Bab VI Pelaksanaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Pasal 148

Pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:

a. pengaturan zonasi; b. perizinan;

c. pemberian insentif dan disinsentif; dan d. pengenaan sanksi.

Jalan Braga Bandung Sumber Foto: BPPI

(36)

2.6. PERMEN PU NO. 16/PRT/M/2009

TENTANG PEDOMAN

PENYUSUNAN RENCANA

TATA RUANG WILAYAH

KABUPATEN DAN PERMEN PU

NO. 17/PRT/M/2009 TENTANG

PEDOMAN PENYUSUNAN

RENCANA TATA RUANG

WILAYAH KOTA

Muatan RTRW Kab/Kota

RTRW kab/kota memuat tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah kab/kota (penataan kota); rencana struktur ruang wilayah kab/kota; rencana pola ruang wilayah kab/kota; penetapan kawasan strategis kab/kota; arahan pemanfaatan ruang wilayah kab/kota; dan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kab/kota.

2.6.1. Tujuan, Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Kab/Kota

Tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah kab/kota (penataan kota) merupakan terjemahan dari visi dan misi pengembangan wilayah kab/kota dalam pelaksanaan pembangunan untuk mencapai kondisi ideal tata ruang kota yang diharapkan. 2.6.2. Rencana Struktur Ruang Wilayah Kab/

Kota

Rencana struktur ruang wilayah kab/kota merupakan kerangka sistem pusat-pusat

pelayanan kegiatan kab/kota yang berhierarki dan satu sama lain dihubungkan oleh sistem jaringan prasarana wilayah kab/kota.

2.6.3. Rencana Pola Ruang Wilayah Kab/ Kota

Rencana pola ruang wilayah kab/kota merupakan rencana distribusi peruntukan ruang dalam wilayah kota yang meliputi rencana peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan rencana peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.

2.6.4. Penetapan Kawasan Strategis Wilayah Kab/Kota

Kawasan strategis kota merupakan bagian wilayah kab/kota yang penataan ruangnya diprioritaskan, karena mempunyai pengaruh

Kedudukan RTRW Kota dalam Sistem Penataan Ruang dan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

RTRW Nasional

RTRW Provinsi

RTR Pulau RTR Kawasan Strategis Nasional

RTR Kawasan Strategis Provinsi

RTRW Kota

RTRW Kabupaten

RDTR Kota RTR Kawasan Strategis Kota

RDTR Kabupaten RTR Kawasan Strategis

Kabupaten

Rencana Umum Rencana Rinci

RPJP Nasional RPJM Nasional RPJP Propinsi RPJM Propinsi RPJP Kabupaten/Kota RPJM Kabupaten/Kota

(37)

Proses dan Prosedur Umum Penyusunan RTRW Kab/Kota

sangat penting dalam lingkup kab/kota di bidang ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan.

2.6.5. Arahan Pemanfaatan Ruang Wilayah Kab/Kota

Arahan pemanfaatan ruang wilayah kab/ kota merupakan upaya perwujudan rencana tata ruang yang dijabarkan ke dalam indikasi program utama penataan/pengembangan kab/kota dalam jangka waktu perencanaan 5 (lima) tahunan sampai akhir tahun perencanaan 20 (dua puluh) tahun.

2.6.6. Ketentuan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Kab/Kota

Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kab/kota adalah ketentuan yang diperuntukkan sebagai alat penertiban penataan ruang, meliputi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan pemberian insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi dalam rangka perwujudan RTRW kab/kota.

(38)

2.7. PERATURAN PEMERINTAH

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 63 TAHUN 2002

TENTANG HUTAN KOTA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA

BAB I

KETENTUAN UMUM

Bagian Kesatu Batasan Pengertian

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1) Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

2) Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang.

3) Wilayah perkotaan merupakan pusat-pusat permukiman yang berperan di dalam suatu wilayah pengembangan dan atau wilayah nasional sebagai simpul jasa atau suatu bentuk ciri kehidupan kota.

4) Kota adalah wilayah perkotaan yang berstatus daerah otonom.

5) Tanah negara adalah tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.

6) Tanah hak adalah tanah yang dibebani hak atas tanah.

Bagian Kedua Tujuan dan Fungsi

Pasal 2

Tujuan penyelenggaraan hutan kota adalah untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya.

Pasal 3 Fungsi hutan kota adalah untuk :

a. memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika;

b. meresapkan air;

c. menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota; dan

d. mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.

BAB II

PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA

Bagian Kesatu Umum

Pasal 4

(1) Untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 di setiap wilayah perkotaan ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota.

(39)

(2) Penyelenggaraan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : a. penunjukan; b. pembangunan; c. penetapan; dan d. pengelolaan. Bagian Kedua Penunjukan Pasal 5

(1) Penunjukan hutan kota terdiri dari : a. penunjukan lokasi hutan kota; dan b. penunjukan luas hutan kota.

(2) Penunjukan lokasi dan luas hutan kota dilakukan oleh Walikota atau Bupati berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan.

(3) Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, penunjukan lokasi dan luas hutan kota dilakukan oleh Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Pasal 6

Lokasi hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 merupakan bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan.

Pasal 14

(1) Penentuan Tipe hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sesuai dengan fungsi yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan atau Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. (2) Tipe hutan kota sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) terdiri dari :

a. tipe kawasan permukiman;

b. tipe kawasan industri; c. tipe rekreasi;

d. tipe pelestarian plasma nutfah; e. tipe perlindungan; dan

f. tipe pengamanan. Pasal 15

(1) Penentuan bentuk hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 disesuaikan dengan karakteristik lahan.

(2) Bentuk hutan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :

a. jalur;

b. mengelompok; dan c. menyebar.

Berikut adalah kebijakan pemerintah lainnya yang mengatur tentang kawasan ruang terbuka hijau, lingkungan hidup dan warisan budaya tak benda, sbb:

1 Peraturan menteri pekerjaan umum nomor05/prt/m/2008 tentang pedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan 2 Peraturan lingkungan hidup nomor 27

tahun 2009 tentang pedoman pelaksanaan KLHS kebijakan terkait warisan budaya tak benda

3 Peraturan presiden republik indonesia nomor 78/2007 tentang pengesahan konvensi perlindungan warisan budaya tak benda

(40)

2.8. TABEL KONVENSI

INTERNASIONAL

Piagam dan Rekomendasi tentang Pengelolaan dan Pelestarian Kota Pusaka

Bila menyimak berbagai piagam atau rekomendasi di tingkat internasional tentang pelestarian pusaka, tampak adanya perkembangan konsep kota pusaka serta lingkup pelestariannya. Piagam atau rekomendasi pelestarian kota pusaka yang telah ada sejak tahun 1962, antara lain:

1. The Athens Charter (1931)

2. The Recommendation concerning the Safeguarding of the Beauty and Character of Landscapes and Sites (1962)

3. The International Charter for the Conservation and Restoration of Monuments atau Venice Charter (1964)

4. The Recommendation concerning the Preservation of Cultural Property Endangered by Public or Private Works (1968)

Relief candi Borobudur Sumber Foto: BPPI

(41)

5. The Recommendation Concerning the Protection, at National Level, of the Cultural and Natural Heritage (1972)

6. The European Charter of the Architectural Heritage (1975)

7. The Declaration of Amsterdam (1975) 8. The Vancouver Declaration on Human

Settlements (1976)

9. The Recommendation concerning the Safeguarding and Contemporary Role of Historic Areas (1976)

10. The Charter for the Conservation of Historic Towns and Urban Areas atau Washington Charter (1987)

11. The Charter about the Preservation and Revitalization of Historic Centres atau Charter of Itaipava (1987)

12. The Charter of European Cities and Towns towards Sustainability atau Aalborg Charter (1994)

13. The Nara Document on Authenticity (1994)

14. The Charter on the Built Vernacular Heritage (1999)

15. The International Charter on Cultural Tourism: Managing Tourism at Places of Heritage Significance (1999)

16. The Charter for Places of Cultural Significance – revisi Burra Charter (1999) 17. The European Landscape Convention

(2000)

18. The Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage (2003)

19. The Xi’an Declaration on the Conservation of the Setting of Heritage Structures, Sites and Areas (2005)

20. The Quebec Declaration on the Preservation of the Spirit of Place (2008)

Berikut ini beberapa di antaranya yang banyak mempengaruhi pengelolaan dan pelestarian kota pusaka:

Sumber: Oers (2010) mengutip presentasi Jade Tabet (2006)

Tari Persembahan, Sumatera Barat Sumber Foto: BPPI

(42)

1968 1976 1987 2005

Recommendation Concerning the Preservation of Cultural Property Endangered by Public or Private Works

Nairobi Recommendation Concerning the Safeguarding and Contemporary Role of Historic Areas

Washington Charter for the Conservation of Historic Towns and Urban Areas

Vienna Memorandum on World Heritage and Contemporary Architecture – Managing the Historic Urban Landscape

DEFINISI

a) Tak Bergerak: Situs arkeologis, historis

dan ilmiah termasuk kelompok bangunan tradisional, kawasan bersejarah di kawasan terbangun perkotaan atau pedesaan maupun struktur etnologis b) Bergerak: (tidak relevan)

Kawasan bersejarah dan arsitektural: kelompok bangunan, struktur dan ruang terbuka baik pada lingkup perkotaan atau pedesaan, kohesi dan nilai yang diakui dari aspek arkeologis, arsitektural, prasejarah, sejarah, estetika atau sosial-budaya.

Lingkungan: Lingkup alam atau buatan manusia yang mempengaruhi cara yang statis atau dinamis bagaimana suatu kawasan dirasakan atau yang langsung terkait dalam hubungan ruang atau sosial, ekonomi atau budaya.

Kawasan perkotaan bersejarah, besar dan kecil, termasuk kota, kota kecil dan pusat kota bersejarah atau kawasan beserta lingkungan alam dan buatan manusia.

Lansekap perkotaan bersejarah melampaui pengertian tentang pusat kota yang bersejarah, kesatuan, lingkungan untuk menyertakan konteks wilayah dan lansekap yang lebih luas.

Terdiri dari elemen berkarakter: guna dan pola lahan, organisasi spasial, relasi visual, topografi dan tanah, vegetasi dan seluruh elemen teknis infrastruktur.

PRINSIP UMUM

a) Pelestarian seluruh situs atau struktur/bangunan dari efek pekerjaan swasta atau umum b) Penyelamatan suatu properti jika suatu kawasan akan diubah, termasuk

pelestarian maupun relokasi

a) Kawasan bersejarah dan lingkungan sekitarnya dinilai secara utuh sebagai satu kesatuan yang koheren, yaitu adanya keseimbangan dan sifat spesifik yang tergantung pada bagian-bagian kawasan tersebut. b) Elemen yang perlu

dipertahankan termasuk kegiatan manusia, bangunan, organisasi spasial dan sekitarnya

a) Konservasi harus menjadi bagian integral dari kebijakan pembangunan ekonomi dan sosial yang serta perencanaan perkotaan dan regional yang koheren. b) Kualitas yang harus dipertahankan termasuk pola tata ruang perkotaan, hubungan antara bangunan dan ruang terbuka, penampilan bangunan yang formal, hubungan dengan lingkungan sekitarnya dan fungsi.

a) Perubahan terus menerus diakui sebagai bagian

dari tradisi kota: tanggapan terhadap dinamika pembangunan harus memfasilitasi perubahan dan pertumbuhan dengan tetap menghormati townscape yang diwariskan dan lansekapnya, begitu juga otentisitas dan integritas kota bersejarah .

b) Meningkatkan kualitas hidup dan efisiensi produksi untuk

membantu memperkuat identitas dan kohesi sosial.

ANCAMAN

a) Ekspansi perkotaan dan proyek peremajaan yang dapat menghapus struktur atau bangunan yang berada di sekitar monumen yang telah terdaftar. b) Modifikasi individu bangunan yang gegabah

c) Bendungan, jalan raya, jembatan, pembersihan dan peninggian tanah, pertambangan, penggalian,

a) Kawasan yang baru dikembangkan yang dapat merusak lingkungan dan karakter kawasan bersejarah yang berdampingan b) Pengrusakan kawasan bersejarah yang disebabkan oleh infrastruktur, polusi dan kerusakan lingkungan

c) Spekulasi yang berkompromi dengan kepentingan masyarakat

a) Degradasi dan kehancuran fisik yang disebabkan oleh pembangunan kota yang disebabkan industrialisasi. b) Lalu Lintas dan parkir yang tidak terkontrol, pembangunan jalan raya di dalam kota bersejarah sejarah, bencana alam, polusi dan getaran.

Perubahan dan pertumbuhan sosial-ekonomi yang

tidak menghormati keaslian dan integritas kota bersejarah serta townscape dan lansekap yang mereka warisi.

(43)

KEBIJAKAN YANG DIUSULKAN DAN STRATEGI YANG DIREKOMENDASIKAN

a) Menetapkan dan memelihara tindakan legislatif yang diperlukan untuk menjamin perlindungan atau

penyelamatan properti budaya yang terancam punah b) Memastikan anggaran publik yang memadai untuk perlindungan atau penyelamatan c) Mendorong pelestarian melalui tarif pajak, hibah, pinjaman, dll, yang menguntungkan

d) Mempercayakan tanggung jawab pelestarian kepada badan-badan yang resmi di tingkat nasional dan lokal. e) Memberikan saran kepada penduduk dan mengembangkan program pendidikan

a) Menyiapkan survei detil untuk kawasan bersejarah dan lingkungannya termasuk data arsitektur, sosial, ekonomi, budaya dan teknis.

b) Menetapkan rencana yang tepat dan dokumen yang mendefinisikan daerah dan objek yang akan dilindungi, standar yang harus diamati, kondisi yang mendorong konstruksi baru, dll ..

c) Membuat prioritas untuk alokasi dana-dana negara

d) Perlindungan dan pemulihan harus disertai dengan revitalisasi kebijakan sosial dan ekonomi untuk menghindari adanya hambatan dari tatanan sosial

a) Rencana konservasi harus mencakup semua faktor yang relevan termasuk sejarah, arsitektur, sosiologi dan ekonomi dan harus memastikan hubungan yang harmonis antara kawasan bersejarah dan kota secara keseluruhan. b) Fungsi dan kegiatan yang baru harus kompatibel dengan karakter kawasan bersejarah. c) Program pendidikan dan pelatihan khusus harus ditetapkan.

a) Proses perencanaan pada lansekap perkotaan yang bersejarah membutuhkan perhitungan peluang dan risiko yang menyeluruh untuk menjamin pembangunan yang seimbang.

b) Arsitektur kontemporer harus menjadi pelengkap nilai-nilai lansekap perkotaan bersejarah dan tidak boleh berkompromi dengan sifat kesejarahan kota tersebut.

c) Pembangunan ekonomi harus terikat dengan tujuan pelestarian pusaka jangka panjang.

Tenun Ikat Tradisional Flores, Nusa Tenggara Timur Sumber Foto: BPPI

(44)
(45)

3.1. KONSEP

PUSAKA

3.1.1. Pusaka Dunia

Konsep Pusaka Dunia atau World Heritage diperkenalkan oleh salah satu badan dunia PBB, yaitu United Nations Educational, Scientific and

Cultural Organization (UNESCO) pada saat

Sidang Umum sesi yang ke-17 di Paris, 17 Oktober – 21 November 1972. Latar belakangnya adalah keprihatinan akan pusaka budaya dan alam yang semakin terancaman kerusakan. Penyebabnya tidak hanya kerusakan alam, tetapi perubahan kondisi sosial dan ekonomi, yang memperburuk situasi bahkan berbagai fenomena kerusakan yang makin buruk. Lahirlah kemudian CONVENTION

CONCERNING THE PROTECTION OF THE WORLD CULTURAL AND NATURAL HERITAGE.

3

Kajian Pustaka

Menurut Konvensi ini, pusaka adalah Aset yang menunjukkan evolusi kehidupan manusia dan permukiman dari waktu ke waktu, dipengaruhi hambatan dan potensi fisik dari lingkungan alam mereka dan ditunjukkan melalui kekuatan sosial, ekonomi dan budaya, baik eksternal maupun internal.

Pusaka Dunia didefinisikan sebagai

Budaya dan/atau alam yang penting dan istimewa sehingga melampaui batas-batas nasional dan memiliki nilai penting bagi umat manusia di masa kini maupun mendatang.

Pada awalnya, pusaka dibedakan menjadi pusaka budaya dan alam.

Permainan Angklung Anak-anak, Jawa Barat Sumber Foto: BPPI

(46)

1) Pusaka Budaya, terdiri dari monumen, kelompok bangunan dan situs

Monumen : Monumen, yang berupa karya arsitektur, sculpture dan lukisan monumental, elemen struktur dari suatu

objek arkeologis, prasasti, gua hunian dan gabungannya yang memiliki nilai universal yang unggul dari segi sejarah, seni dan ilmu pengetahuan.

Kelompok bangunan : Kelompok bangunan, yang berupa sejumlah bangunan baik yang terpisah maupun terhubung yang karena

nilai arsitektural, homogenitasnya atau tempatnya di bentang alam memiliki nilai universal yang unggul dari segi sejarah, seni, dan ilmu pengetahuan.

Situs : Situs, yang berupa karya manusia atau gabungan antara karya manusia dan alam memiliki keunggulan nilai

universal yang unggul dari segi sejarah, seni, etnologis atau antropologis.

2) Pusaka Alam, yaitu bentukan alam, pembentukan geologis dan fisiografis dan situs alam.

Bentukan alam : Bentukan fisik atau biologis atau sekelompok bentukan, yang memiliki nilai sejagad dari aspek estetik atau

ilmiahnya Pembentukan geologis dan

fisiografis

: Bentukan geologis atau fisiografis dan kawasan yang telah diidentifikasi dengan persis yang menyusun

habitat dari spesies terancam baik hewan atau tanaman dengan nilai sejagad dari aspek ilmiah atau pelestarian

Situs alam : Situs alam atau kawasan alami yang telah diidentifikasi dengan persis yang memiliki nilai sejagad dari

aspek ilmiah, pelestarian atau keindahan alam

Klaim bahwa sebuah objek merupakan pusaka dunia perlu didukung dengan adanya riset yang komprehensif terhadap area yang dilindungi serta subjeknya sendiri. Keberadaan riset ini yang mendukung statement of significance atau pernyataan pentingnya sebuah objek.

Untuk memberi kriteria pada pusaka dunia, disusunlah Operational Guidelines for the

Implementation of the World Heritage

Convention. Panduan ini secara rutin diperbarui dan yang terbaru dikeluarkan pada tahun 2011.

Kriteria penilaian suatu objek pusaka dunia disebut Outstanding Universal Value atau Nilai Sejagat yang Unggul (= Keunggulan Nilai Sejagat/ KNS). Ada sepuluh aspek, yaitu:

(i) Merupakan mahakarya kecerdasan kreatif manusia

(ii) Menampilkan pertukaran nilai-nilai luhur manusia, dalam rentang waktu atau dalam lingkup budaya dunia, dalam arsitektur, teknologi, seni monumental, perencanaan kota atau rancangan lansekap;

(iii) Menyandang peran sebagai jejak yang unik atau istimewa dari suatu tradisi budaya atau peradaban baik yang sudah lenyap maupun yang masih ada;

(iv) Menjadi contoh utama suatu tipe bangunan, gubahan arsitektur atau teknologi, atau lansekap yang menggambarkan babakan

Gambar

Gambar 1: Fort de Kock
Gambar 2: Beragam Pusaka di Bukittinggi
Gambar 4: Ragam Kesenian di Bukittinggi
Gambar 6: Visualisasi  Bentang Alam Sawahlunto
+7

Referensi

Dokumen terkait

hamparan lahan yang berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, yang dimaksud dengan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati

Menurut Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang

Menurut Undang-Undang Kehutanan No.41 tahun 1999 tentang kehutanan menyatakan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang dimaksud dengan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan

Sedangkan menurut UU 41 Tahun 1999 hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didomonasi pepohonan dalam

Menurut UU no 41 tahun 1999 tentang kehutanan, yang disebut dengan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang

hamparan lahan yang berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI