• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.3 Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

2.1.3.2 Dana Perimbangan

Konsekuensi pemberlakuan sistem otonomi daerah adalah dibentuk pula perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam melaksanakan kewenangan daerah, pemerintah pusat memberikan bantuan kepada daerah dalam bentuk transfer. Transfer pemerintah pusat didefinisikan sebagai pengalihan dari pendapatan fiskal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yang berperan penting dalam menentukan tingkat disparitas sosial sehingga dalam jangka panjang dapat mengembangkan perekonomian negara.

Sebelum masa otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dilaksanakan, secara umum terdapat tiga jenis transfer pemerintah pusat kepada daerah. Transfer tersebut diwujudkan dalam bentuk Subsidi Daerah Otonomi (SDO), bantuan Inpres dan Daftar Isian Proyek (DIP). SDO bertujuan untuk mendukung anggaran rutin pemerintah daerah guna menciptakan perimbangan keuangan antar tingkat pemerintahan. Sebagian besar SDO digunakan untuk membiayai gaji pegawai pemerintah di daerah, sebagian kecil lainnya untuk keperluan selain subsidi untuk

pembiayaan pelatihan pegawai pemerintah. SDO dikategorikan sebagai transfer pusat yang bersifat khusus, karena daerah tidak memiliki kewenangan dalam menetapkan penggunaan SDO, namun sudah ditetapkan oleh pemerintah.

Bantuan inpres bertujuan untuk memberikan bantuan pembangunan daerah, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus yang diberikan atas Instruksi Presiden. Dasar pemberian bantuan adalah adanya penyerahan sebagian urusan kepada daerah dan terbatasnya kemampuan keuangan pemerintah daerah untuk membiayai urusan-urusan tersebut. Selain itu, tujuannya adalah untuk mencapai pemerataan, terutama dalam hal kesempatan kerja, partisipasi dalam pembangunan, distribusi hasil-hasil pembangunan. Sementara, daftar isian proyek (DIP) merupakan subsidi dan bantuan yang dapat dikategorikan sebagai bantuan antartingkat pemerintahan, karena menjadi bagian dari anggaran pemerintah daerah.

Setelah berlaku otonomi daerah dan diberlakukannya desentralisasi fiskal ketiga transfer di atas dihilangkan, sebagai gantinya pemerintah pusat memberikan transfer kepada pemerintah daerah dalam bentuk dana perimbangan, yang ditujukan untuk memberikan kepastian sumber pendanaan bagi APBD dan untuk memperkecil kesenjangan kapasitas fiskal antardaerah.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33/2004, dana perimbangan didefinisikan sebagai dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Apabila APBN besar, maka dana yang dialokasikan ke daerah juga akan besar, dan sebaliknya. Perolehan dana perimbangan ini tidak memerlukan usulan dari pemerintah daerah, karena sudah ada formula yang pasti dengan dasar undang-undang, berapa besar alokasi yang akan diterima suatu daerah. Begitu juga dengan pengelolaannya sepenuhnya menjadi urusan daerah dalam APBD. Alasan perlunya transfer dana dari pusat ke daerah adalah:

1. Untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal vertikal

Pemerintah pusat menguasai sebagian besar penerimaan-penerimaan (pajak) utama, pemerintah daerah hanya berwenang memungut pajak-pajak yang

berbasis lokal, mobilitas rendah dengan besaran penerimaan yang relatif signifikan.

2. Untuk mengatasi ketimpangan fiskal horisontal.

Kemampuan daerah dalam menghimpun pendapatan sangat bervariasi, tergantung pada kondisi daerah bersangkutan yang memiliki kekayaan sumber daya alam atau tidak, ataupun daerah dengan intensitas kegiatan ekonomi yang tinggi atau rendah, yang semuanya berimplikasi pada besarnya basis pajak di daerah-daerah bersangkutan.

3. Adanya kewajiban untuk menjaga standar pelayanan publik minimum di setiap daerah.

Peran distribusi sektor publik akan lebih efektif dan cocok jika dijalankan pemerintah pusat. Daerah-daerah dengan sumber daya yang sedikit memerlukan subsidi agar dapat mencapai standar pelayanan publik minimum.

4. Mengatasi permasalahan yang timbul akibat menyebar atau melimpahnya efek pelayanan publik (interjurisdictional spill-over effects).

Beberapa jenis pelayanan publik di satu wilayah mempunyai “efek menyebar” ke wilayah-wilayah lainya, manfaatnya tidak dapat dibatasi hanya untuk masyarakat daerah tertentu saja. Seperti jalan penghubung antar daerah, tanpa adanya imbalan dari pembuatan jalan tersebut pemerintah daerah enggan untuk berinvestasi di sini, maka pemerintah pusat perlu memberikan semacam insentif agar pelayanan publik tetap dapat terpenuhi di daerah.

5. Stabilisasi.

Transfer dilakukan oleh pemerintah jika perekonomian lesu, maka untuk mencapai stabilisasi diberikan transfer.

Dana perimbangan dari pemerintah pusat ini terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DAU dan DBH mempunyai sifat bantuan umum (block grant) dan DAK mempunyai sifat bantuan khusus (specific grant).

Dana bagi hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan ke daerah, di mana besarnya sesuai dengan kontribusi daerah

terhadap penerimaan negara dari sumber daya alam (SDA) yang dimiliki daerah. Tujuan Penganggaran DBH adalah untuk menjaga keadilan atau keseimbangan vertikal atas kontribusi yang telah disumbangkan daerah kepada Negara, daerah akan memperoleh bagian yang sesuai dengan besarnya kontribusi terhadap penerimaan negara.

Dana Bagi Hasil merupakan dana perimbangan yang strategis bagi daerah-daerah yang memiliki sumber‐sumber penerimaan pusat di daerahnya, meliputi penerimaan pajak pusat yaitu pajak penghasilan perseorangan (PPh perseorangan), pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), dan penerimaan dari sumber daya alam (Minyak Bumi, Gas Alam, Pertambangan Umum, Kehutanan dan Perikanan). Secara garis besar DBH dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) DBH yang bersumber dari perpajakan, dan (2) DBH yang bersumber dari SDA. Penerimaan Dana Bagi Hasil ditentukan pemerintah pusat dalam Undang-Undang Nomor 33/2004, dimana proporsi pembagiannya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Proporsi Pembagian Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak.

Jenis Proporsi Pembagian (%) Pusat Daerah Bagi hasil untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 10 90

Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) Pajak Penghasilan (PPh) 20 80 80 20 Iuran Hak Penguasaan Hutan (IHPP)

Dana Reboisasi Pertambangan umum 20 60 20 80 40 80

Pertambangan minyak bumi 84.5 15.5

Pertambangan gas bumi Pertambangan panas bumi Perikanan 69.5 20 20 30.5 80 80 Sumber: Undang-Undang No.33/2004

Dana alokasi umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan ke daerah dengan tujuan untuk meminimumkan ketimpangan fiskal antardaerah, sekaligus memeratakan kemampuan keuangan antardaerah (equalization grant), untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 55/2005 tentang Dana Perimbangan, DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari penerimaan dalam negeri (PDN) yang ditetapkan dalam APBN. Besarnya DAU yang akan dibagikan kepada semua provinsi adalah 10% dari total DAU, sementara untuk semua kabupaten/kota dibagikan sebesar 90% dari total DAU.

Kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan dengan menggunakan pendekatan, kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan oleh kebutuhan daerah (fiscal needs) dan potensi daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU digunakan untuk menutup celah/gap yang terjadi karena kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah yang ada.

Formula DAU yang digunakan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan adalah pendekatan konsep alokasi dasar (AD) dan celah fiskal (fiscal gap). Celah fiskal (fiscal gap) yaitu selisih antara kebutuhan fiskal (fiscal needs) dikurangi dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity) daerah, dan alokasi dasar (AD) berupa jumlah gaji pegawai negeri sipil (PNS) daerah. Besaran alokasi dasar dihitung berdasarkan realisasi gaji pegawai negeri sipil daerah tahun sebelumnya (t-1) yang meliputi gaji pokok dan tunjangan-tunjangan yang melekat sesuai dengan peraturan penggajian PNS yang berlaku.

DAU = Alokasi Dasar (AD) + Celah Fiskal (CF)………..………..(2.1) keterangan:

AD = Gaji PNS Daerah

CF = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal

Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan daerah untuk menjalankan fungsi pelayanan dasar publik, terutama pelayanan kesehatan, pendidikan dan infrastruktur. Komponen variabel kebutuhan fiskal (fiscal needs) yang digunakan untuk pendekatan perhitungan kebutuhan daerah terdiri dari: jumlah penduduk,

luas wilayah (mulai 2007 termasuk wilayah laut), indeks pembangunan manusia (IPM), indeks kemahalan konstruksi (IKK), dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita. Komponen variabel kapasitas fiskal (fiscal capacity) merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan DBH. Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar.

DAU dikategorikan sebagai transfer tak bersyarat (unconditional grant), sehingga penggunaan DAU dan penerimaan umum lainnya dalam APBD ditetapkan oleh daerah, dengan tetap berada dalam kerangka pencapaian tujuan pemberian otonomi kepada daerah yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Salah satu tolok ukur keberhasilan DAU adalah tercapainya pemerataan total penerimaan daerah per kapita yang sebaik-baiknya.

Dana alokasi khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan ke daerah tertentu untuk membantu membiayai kebutuhan khusus daerah, khususnya untuk mendukung kegiatan yang menjadi prioritas nasional. Pemberian DAK diharapkan dapat mendorong percepatan pembangunan daerah. Dana ini digunakan khusus untuk membiayai investasi pengadaan dan peningkatan, serta perbaikan prasarana dan sarana fisik dengan umur ekonomis yang panjang. Adapun yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah:

1. Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum. Misalnya kebutuhan di kawasan transmigrasi, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer dan saluran drainase primer.

2. Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional, antara lain proyek yang dibiayai oleh donor, pembiayaan reboisasi daerah, dan proyek- proyek kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.

Konsep DAK mencakup alokasi dana untuk kegiatan penghijauan dan reboisasi yang sumber pembiayaannya ditetapkan sebesar 40% dari penerimaan Dana Reboisasi (DR) dalam APBN yang diberikan kepada Daerah penghasil dan

60% untuk pemerintah pusat. Pengalokasian DAK-DR tersebut dimaksudkan untuk melibatkan Pemerintah Daerah penghasil DR dalam kegiatan penghijauan dan reboisasi kawasan hutan di daerahnya, sebagai salah satu kegiatan yang menjadi prioritas nasional. Namun sejak diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 33/2004, dana reboisasi dikelompokkan menjadi dana bagi hasil. Daerah penerima DAK wajib menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10% dari alokasi dana khusus yang dianggarkan dalam APBD.

Dokumen terkait