2001-2008
NELI AGUSTINA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Desentralisasi Fiskal, Tax Effort, dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah: Studi Empirik Kabupaten/Kota Se-Indonesia 2001-2008 adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2010
An Empirical Study on Districts and Municipalities in Indonesia 2001-2008. Under the supervision of D.S. PRIYARSONO and BUDIASIH.
Indonesia has implemented a new policy of regional autonomy and fiscal decentralization for more than ten years. One of the objectives of this fiscal decentralization is to give the full autonomy to local governments in spending and managing their revenues. The local governments have the authority to explore and collect their own-source revenue (pendapatan asli daerah, or PAD), i.e. through the improvement of their tax effort. The objectives of this study are (1) to describe the fiscal performance of districts and municipalities in Indonesia both in the revenue as well as the expenditure sides, (2) to analyze the effects of intergovernmental transfers (dana perimbangan, or balancing fund from the central to regional governments) on regional tax efforts, and (3) to identify the regional economic growth elasticity of intergovernmental transfers and own-source revenue. This study employs a panel data set of 336 districts and municipalities covering the whole area of Indonesia over the time period of 2001-2008. The results show a relatively low contribution of PAD to regional revenues, indicating high fiscal dependency of regional governments on the central government. Intergovernmental transfers positively effect tax efforts. The result of the elasticity analysis also indicates a positive role of the transfers as stimuli to economic growth.
NELI AGUSTINA. Desentralisasi Fiskal, Tax Effort, dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah: Studi Empirik Kabupaten/Kota Se-Indonesia 2001-2008. Dibimbing oleh D.S. PRIYARSONO dan BUDIASIH.
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32/2004 dan Undang-Undang Nomor 33/2004 telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai pengaturan hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang dikenal dengan era otonomi daerah. Salah satu konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah ini adalah adanya desentralisasi fiskal, dimana pemerintah daerah mendapat keleluasaan yang lebih besar dalam mengelola keuangan daerah yang dituangkan dalam anggaran belanja, baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran. Kewenangan daerah yang semakin luas diharapkan dapat meningkatkan kemandirian fiskal daerah serta kinerja pemerintah untuk mendorong terciptanya pembangunan ekonomi yang lebih baik, yang ditunjukkan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi daerah (peningkatan kesejahteraan masyarakat).
Tujuan pelaksanaan desentralisasi fiskal tidak akan tercapai dengan optimal tanpa disertai dengan kemampuan finansial yang cukup memadai dari pemerintah daerah, yang ditunjukkan dengan struktur PAD (pendapatan asli daerah) yang kuat. Daerah menjadi lebih mandiri yang salah satunya diindikasikan dengan meningkatnya kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) dalam hal pembiayaan daerah.
Namun, adanya perbedaan kondisi dan potensi dari masing-masing daerah, menimbulkan perbedaan kemampuan daerah dalam menjalankan kewenangannya tersebut. Pemerintah pusat memberikan transfer kepada pemerintah daerah diantaranya dalam bentuk dana perimbangan untuk mengurangi kesenjangan tersebut, yang terdiri dari (1) Dana Alokasi Umum (DAU), (2) Dana Alokasi Khusus (DAK) dan (3) Dana Bagi Hasil (DBH). Selain itu transfer diberikan dengan tujuan untuk menjamin tercapainya standar pelayanan publik di setiap daerah. Transfer pemerintah pusat diharapkan dapat menjadi stimulus atau dana pendukung bagi pemerintah daerah untuk menggali berbagai potensi lokal yang dimiliki untuk peningkatan PAD melalui peningkatan tax effort daerah. Transfer pemerintah pusat menjadi insentif bagi daerah untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah.
dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax effort daerah. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan (1) menganalisis perkembangan kinerja keuangan kabupaten/kota di Indonesia ditinjau dari sisi penerimaan maupun sisi pengeluaran; (2) menganalisis dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax effort daerah dan (3) mengidentifikasi elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD dan dana perimbangan.
Analisis perkembangan kinerja keuangan daerah dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif, yang akan disajikan dengan bantuan diagram boxplot dan tabel. Kinerja keuangan daerah dianalisis dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu sisi penerimaan (fiscal availability) dan sisi pengeluaran (fiscal needs). Analisis regresi berganda dengan data panel digunakan untuk mengestimasi pengaruh pemberian dana perimbangan terhadap tax effort daerah dan elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan komponen sumber pembiayaan daerah (PAD, DBH, DAU dan DAK).
Hasil analisis kinerja keuangan daerah menunjukkan bahwa perkembangan kinerja keuangan daerah dari kabupaten/kota di Indonesia sampai saat ini masih menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber penerimaan daerah belum mampu meningkatkan kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah. Penyebaran kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah semakin konvergen rata-rata di bawah 10%. Ini menunjukkan, derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota semakin mengumpul persebarannya, namun nilainya masih rendah rata-rata di bawah 10%. Hal ini disebabkan kenaikan PAD tidak sebanding dengan kenaikan total penerimaan daerah, sehingga tingkat kemandirian daerah masih rendah, yang artinya ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat semakin besar. Selaras dengan hasil penelitian Adi (2007) yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah setelah pelaksanaan otonomi daerah.
Jika dilihat dari sisi pengeluaran, kinerja keuangan kabupaten/kota pada umumnya mengalokasikan belanja daerahnya masih lebih besar untuk kebutuhan belanja rutin (rata-rata di atas 60%) daripada belanja pembangunan (rata-rata di bawah 40%), artinya sebagian besar anggaran masih digunakan untuk belanja rutin. Kabupaten/kota pada umumnya belum mampu membiayai semua kebutuhan belanja daerahnya hanya bersumber dari penerimaan PAD, bahkan hanya beberapa daerah saja yang cukup mampu membiayai kebutuhan belanja daerahnya dari PAD dan BHPBP. Kebutuhan belanja daerah untuk kabupaten/kota secara umum masih banyak bersumber dari penerimaan transfer pusat. Hal ini menunjukkan ketergantungan keuangan daerah terhadap pusat masih sangat tinggi, sehingga dapat dikatakan salah satu tujuan pelaksanaan desentralisasi fiskal kabupaten/kota di Indonesia belum tercapai dengan optimal. Hal ini disebabkan karena daerah belum mampu menggali dan memanfaatkan potensi baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia di derahnya dengan optimal, sehingga ketergantungan daerah terhadap pusat masih tinggi.
untuk peningkatan PAD melalui peningkatan tax effort daerah. Transfer pemerintah pusat menjadi insentif bagi daerah untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Hasil penelitian ini mendukung temuan Stine (1994), yang menunjukkan bahwa penurunan transfer akan mengakibatkan penurunan penerimaan daerah sendiri selain menurunkan pengeluaran daerah. Hal ini disebabkan turunnya penerimaan pajak karena publik merespon negatif terhadap peningkatan harga-harga pelayanan publik.
Jumlah keseluruhan dana APBD baik yang berasal dari PAD maupun dana perimbangan menjadi sumber pembiayaan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan di daerah, termasuk pembangunan ekonomi dalam rangka mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang ditunjukkan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Elastistas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD, DBH, DAU dan DAK bernilai positif. Hal tersebut juga menunjukkan ketergantungan keuangan daerah terhadap transfer pusat masih tinggi, terutama dalam bentuk DAU untuk membiayai pembangunan ekonomi daerah.
Berdasarkan hasil penelitian maka beberapa saran ke depan antara lain : (1) mendorong peningkatan PAD dengan melihat kondisi dan potensi daerah masing-masing namun tetap memperhatikan dampaknya terhadap daya tarik investasi pada daerah yang bersangkutan, (2) pemberian dana perimbangan efektif diberikan sebagai stimulus bagi daerah untuk meningkatkan penerimaan PAD melalui peningkatan tax effort daerahnya. Perlu adanya pengawasan dari pemerintah atasannya dan masyarakat dalam mengoptimalkan pemanfaatan dana perimbangan sesuai dengan fungsinya sebagai stimulus bagi peningkatan penerimaan PAD dan (3) kajian lebih lanjut perlu dilakukan untuk menelaah pengaruh cara pengalokasian dana transfer dari pusat untuk pengeluaran pembangunan daerah yang dialokasikan keberbagai sektor dalam APBD terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2001-2008
NELI AGUSTINA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Neli Agustina NRP : H151080454 Program Studi : Ilmu Ekonomi
Disetujui, Komisi Pembimbing
D.S. Priyarsono, Ph. D. Dr. Budiasih
Ketua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Desentralisasi Fiskal, Tax Effort, dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah: Studi Empirik Kabupaten/Kota Se-Indonesia 2001-2008, dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada D.S. Priyarsono, Ph. D. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Budiasih selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof . Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S. atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi serta kepada ketua dan sekretaris Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarja IPB Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si. dan Dr. Lukytawati Anggraeni. Demikian juga terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Dedikasi para dosen yang tinggi dan dukungan rekan-rekan kuliah, telah banyak membantu penulis dalam perkuliahan dengan baik.
Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada BPS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada teman-teman BPS yang telah banyak membantu penulis mulai dari proses kuliah hingga dalam menyelesaikan tesis ini.
Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya hanya Allah SWT yang Maha Kuasa yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis.
Bogor, Maret 2010
Penulis dilahirkan di Kuningan pada tanggal 9 Agustus 1976 dari Bapak H. Dudung Abdulhari dan Ibu Hj. Esah Kurnaesah. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.
Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN Kalapa Gunung I Kuningan kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Kuningan pada tahun 1988 dan lulus pada tahun 1991. Setelah lulus dari SMPN 1 Kuningan penulis melanjutkan ke SMAN 2 Kuningan. Pada tahun 1994 penulis melanjutkan pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan mengambil jurusan matematika dan lulus tahun 1998.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
1 PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan Masalah... 5 1.3 Tujuan Penelitian... 8 1.4 Manfaat Penelitian... 8
2 TINJAUAN PUSTAKA... 11 2.1 Kajian Teori... 11
2.1.1 Konsep dan Pengertian Otonomi Daerah ... 11 2.1.2 Konsep dan Pengertian Desentralisasi Fiskal ... 12 2.1.3 Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah... 13 2.1.3.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 14 2.1.3.2 Dana Perimbangan ... 18 2.1.4 Pengelolaan Keuangan Daerah ... 24 2.1.5 Teori Pajak ... 28 2.1.5.1 Tax Effort ... 29 2.1.5.2 Model Leviathan ... 32 2.1.6 Pertumbuhan Ekonomi ... 33 2.1.6.1 Kurva Scully ... 37 2.1.6.2 Teori Peacock dan Wiseman ... 38 2.2 Penelitian Empirik Terdahulu ... 39 2.3 Kerangka Pemikiran... 42 2.4 Hipotesis Penelitian. ... 43
3 METODE PENELITIAN. ... 45 3.1 Jenis dan Sumber Data ... 45 3.2 Identifikasi Variabel ... 45 3.3 Metode Analisis. ... 48 3.3.1 Analisis Boxplot ... 48 3.3.2 Analisis Kinerja Keuangan Daerah ... 51
3.3.2.1 Sisi Penerimaan (Fiscal Availibility) ... 51 3.3.2.2 Sisi Pengeluaran (Fiscal Needs) ... 53 3.3.3 Analisis Regresi Berganda dengan Data Panel ... 54 3.4 Spesifikasi Model dalam Penelitian ... 60
xiv
5 HASIL DAN PEMBAHASAN... 71 5.1 Perkembangan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota di Indonesia ... 71
5.1.1 Kinerja Keuangan Daerah ditinjau dari Sisi Penerimaan ... 71 5.1.2 Kinerja Keuangan Daerah ditinjau dari Sisi Pengeluaran ... 78 5.1.3 Derajat Kemandirian Daerah ... 80 5.2 Analisis Regresi dengan Data Panel... 85
5.2.1 Dampak Pemberian Dana Perimbangan terhadap Tax Effort
Daerah ... 85 5.2.2 Elastisitas Pertumbuhan Ekonomi Daerah terhadap PAD dan
Dana Perimbangan ... 89
6 KESIMPULAN DAN SARAN... 93 6.1 Kesimpulan... 93 6.2 Saran... 94
DAFTAR PUSTAKA ... 97
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Proporsi pajak, retribusi daerah, bagian laba usaha daerah dan penerimaan lainnya terhadap PAD ... 6
2. Proporsi pembagian dana bagi hasil pajak dan bukan pajak …………. 21
3. Pemetaan format anggaran pemerintah kabupaten/kota berdasarkan
beberapa peraturan... 26
4. Nama dan keterangan variabel yang digunakan dalam penelitian ……… 47
5. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ....……… 48
6. Skala interval derajat desentralisasi fiskal (DDF) ………..…………. 52
7. Skala interval indeks kemampuan rutin daerah (IKRD)……..……...…. 54
8. Sumber penerimaan daerah kabupaten/kota dan sharenya tahun 2002
dan 2008 (milyar rupiah)... ……….………. 65
9. Total belanja kabupaten/kota dan pertumbuhannya menurut jenis belanja tahun 2002 dan 2008 berdasarkan harga berlaku dalam milyar
rupiah) . ……..………...….………...………….. 68
10. Uji Hausman ... ………...……… 86
11. Hasil estimasi pengujian hipotesis dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax effort daerah... ………….………. 87
12. Uji Hausman...…...………...………..………….. 90
13. Hasil estimasi elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah terhadap PAD
xvi
Halaman
1. PAD kabupaten/kota periode 2001-2008 …...… 5
2. Kurva Laffer, hubungan antara tarif pajak proposional atas basis pajak
tertentu ………..………… 33
3. Hubungan stok kapital, tenaga kerja dan teknologi menurut Teori
Solow ... 36
4. Kurva Scully, Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan
rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDRB menurut Teori Scully ... 38
5. Diagram alur kerangka pemikiran... 44
6. Diagram boxplot ………..……. 50
7. Sumber penerimaan daerah periode 2001-2008….…………... 64
8. PAD menurut sumber periode 2001-2008……..……….…………. 66
9. Dana perimbangan menurut sumber periode 2001-2008…...…..… 67
10. Kontribusi sumber penerimaan daerah terhadap total pengeluaran
daerah periode 2001-2008 ………...………... 67
11. Belanja daerah menurut jenis belanja periode 2001-2008.…...………… 69
12. Derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota periode periode
2001-2008………... 72
13. Jumlah kabupaten/kota menurut derajat kemandirian daerah
berdasarkan kriteria tim Fisipol UGM periode 2001-2008……... 73
14. Derajat potensi sumber daya manusia dan alam kabupaten/kota di
Indonesia periode 2001-2008………..……… 74
15. Derajat ketergantungan daerah kabupaten/kota terhadap pemerintah
pusat periode 2001-2008 ………. 77
16. Derajat belanja rutin kabupaten/kota untuk periode 2001-2008... 79
17. Derajat belanja pembangunan kabupaten/kota untuk periode 2001-2008 80
18. Derajat kemandirian kabupaten/kota ditinjau dari rasio PAD terhadap
19. Jumlah kabupaten/kota menurut derajat kemandirian daerah berdasarkan kriteria tim Fisipol UGM periode 2001-2008 ... 82
20. Derajat kemandirian kabupaten/kota ditinjau dari rasio PAD terhadap
total belanja daerah periode 2001-2008……... 83
21. Derajat Kemandirian daerah ditinjau dari PAD dan BHPBP terhadap
xviii
Halaman
1. Kontribusi komponen sumber-sumber penerimaan daerah terhadap total
penerimaan daerah periode 2002-2008……….……... 101
2. Distribusi belanja rutin dan pembangunan Pulau Sumatera periode
2001-2008... 102
3. Distribusi belanja rutin dan pembangunan Pulau Jawa dan Bali periode
2001- 2008 ... 102
4. Distribusi belanja rutin dan pembangunan Pulau Kalimantan periode
2001-2008 ... 103
5. Distribusi belanja rutin dan pembangunan Pulau Sulawesi dan Maluku
periode 2001-2008 ... 103
6. Distribusi belanja rutin dan pembangunan Pulau Irian, NTB dan NTT
periode 2001-2008 ... 104
7. Derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota di pulau Sumatera periode
2001-2008 ... 105
8. Derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota di pulau Jawa dan Bali
periode 2001-2008 ... 105
9. Derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota di pulau Kalimantan
periode 2001-2008 ... 106
10. Derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota di pulau Sulawesi dan
Maluku periode 2001-2008 ... 106
11. Derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota di pulau Irian, NTB dan
NTT periode 2001-2008 ... 107
12. Derajat potensi sumber daya manusia dan alam kabupaten/kota di
Pulau Sumatera periode 2001-2008... 108
13. Derajat potensi sumber daya manusia dan alam kabupaten/kota di
Pulau Jawa dan Bali periode 2001-2008... 108
14. Derajat potensi sumber daya manusia dan alam kabupaten/kota di
15. Derajat potensi sumber daya manusia dan alam kabupaten/kota di
Pulau Sulawesi dan Maluku periode 2001-2008... 109
16. Derajat potensi sumber daya manusia dan alam kabupaten/kota di
Pulau Irian, NTB dan NTT periode 2001-2008... 110
17. Derajat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat di
Pulau Sumatera periode 2001-2008... 111
18. Derajat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat di
Pulau Jawa dan Bali periode 2001-2008... 111
19. Derajat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat di
Pulau Kalimantan periode 2001-2008... 112
20. Derajat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat di
Pulau Sulawesi dan Maluku periode 2001-2008... 112
21. Derajat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat di
Pulau Irian, NTB dan NTT periode 2001-2008 ... 113
22. Derajat kemandirian kabupaten/kota di Pulau Sumatera ditinjau dari
rasio PAD terhadap belanja rutin daerah periode 2001-2008... 114
23. Derajat kemandirian kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Bali ditinjau
dari Rasio PAD terhadap belanja rutin daerah periode 2001-2008... 114
24. Derajat kemandirian kabupaten/kota di Pulau Kalimantan ditinjau dari
rasio PAD terhadap belanja rutin daerah periode 2001-2008... 115
25. Derajat kemandirian kabupaten/kota di Pulau Sulawesi dan Maluku ditinjau dari rasio PAD terhadap belanja rutin daerah periode
2001-2008... 115
26. Derajat kemandirian kabupaten/kota di Pulau Iria, NTB dan NTT ditinjau dari rasio PAD terhadap belanja rutin daerah periode
2001-2008... 116
27. Hasil pengujian Hausman test untuk mengestimasi dampak pemberian
dana perimbangan terhadap tax effort daerah………... 117
28. Hasil pengujian dengan metode fixed effect untuk mengestimasi
dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax effort daerah …….. 118
29. Hasil pengujian dengan metode random effect untuk mengestimasi
xx
31. Hasil pengujian dengan metode fixed effect untuk mengestimasi elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD dan
perimbangan... 121
32. Hasil pengujian dengan metode random effect untuk mengestimasi elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD dan
dana perimbangan ...………. 122
33. Efek individu dari dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax
effort kabupaten/kota di Pulau Sumatera ... 123
34. Efek individu dari dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax
effort kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Bali... 126
35. Efek individu dari dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax
effort kabupaten/kota di Pulau Kalimantan... 130
36. Efek individu dari dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax
effort kabupaten/kota di Pulau Sulawesi dan Maluku... 132
37. Efek individu dari dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax
effort kabupaten/kota di Pulau Irian, NTB dan NTT... 134
38. Efek individu dari elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat Perubahan PAD dan dana perimbangan kabupaten / kota di Pulau
Sumatera... 135
39. Efek individu dari elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat Perubahan PAD dan dana perimbangan semua kabupaten/kota di Pulau
Jawa dan Bali... 138
40. Efek individu dari elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD dan dana perimbangan kabupaten/kota di Pulau
Kalimantan... 142
41. Efek individu dari elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD dan dana perimbangan semua kabupaten/kota di Pulau
Sulawesi dan Maluku... 144
42. Efek individu dari elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD dan dana perimbangan semua kabupaten/kota di Pulau
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22/1999 dan Undang-Undang Nomor 25/1999 telah membawa perubahan yang mendasar dalam pengaturan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pola hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah berubah dari sistem pemerintahan yang sentralistik, menjadi
bersifat desentralistik (Seymour dan Turner 2002).
Pada era sentralistik, pembangunan di daerah bersifat central oriented,
akibatnya terjadi ketimpangan vertikal (pusat-daerah) dan horisontal (antardaerah), yang ditunjukkan dengan tingginya derajat sentralisasi fiskal, yakni ketergantungan yang tinggi dari pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat (Suparmoko 2000). Dengan kata lain, kontrol ekonomi dan politik pembangunan daerah sedikit sekali dilakukan oleh pemerintah daerah.
Hal ini mendorong munculnya tuntutan daerah dalam pelaksanaan kehidupan demokrasi yang semakin luas dan nyata, yang menjurus kepada ancaman terjadinya disintegrasi bangsa. Salah satu bentuk tuntutan reformasi tersebut adalah pelaksanaan otonomi daerah yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab. Selain itu, perimbangan keuangan yang lebih adil, proposional dan transparan antartingkat pemerintahan menjadi salah satu tuntutan daerah dan masyarakat. Respon pemerintah transisi dan DPR pada saat itu adalah dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah (Turner 2001). Lahirnya kedua undang-undang tersebut menunjukkan pentingnya sistem pemerintahan dan pembangunan yang terdesentralisasi.
Pelaksanaan kedua undang-undang tersebut resmi dimulai pada 1 Januari
dan Pemerintah Daerah. Substansi perubahan kedua undang-undang tersebut adalah semakin besarnya kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan dan keuangan daerah. Perubahan kedua undang-undang tersebut dilakukan dengan harapan daerah menjadi lebih mandiri dalam melaksanakan pemerintahan maupun pembangunan.
Pemberian otonomi kepada daerah didasarkan pada asas desentralisasi, semua bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah sepenuhnya. Pemberian otonomi ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pemerintah daerahlah yang lebih mengetahui kebutuhan dan standar pelayanan bagi masyarakat di daerahnya. Atas dasar pertimbangan ini, maka pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Desentralisasi fiskal merupakan suatu konsekuensi dari diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada
pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan (Saragih 2003). Pelaksanaan desentralisasi fiskal menganut prinsip money follows function. Prinsip tersebut berarti setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut.
Implikasi dari pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia adalah adanya kewenangan pemerintah daerah semakin luas dalam mengelola sumber daya yang dimiliki maupun dalam melaksanakan pembangunan. Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa daerah tidak lagi sekedar menjalankan instruksi dari pemerintah pusat, tetapi daerah dituntut mampu mengembangkan kreatifitas dan inovasi dalam mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
melakukan alokasi lebih efisien pada berbagai potensi lokal yang sesuai dengan kebutuhan publik, sehingga peningkatan pertumbuhan ekonomi lokal akan lebih cepat terwujud dan pada gilirannya dapat meningkatkan kinerja (kemampuan) keuangan daerah.
Hal ini berarti idealnya pelaksanaan otonomi daerah harus mampu mengurangi ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat, daerah menjadi lebih mandiri yang salah satunya diindikasikan dengan meningkatnya kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) dalam hal pembiayaan daerah (Adi 2005). Selaras dengan yang dikemukakan oleh Halim (2001), bahwa ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah:
1. Daerah memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah.
2. Ketergantungan kepada bantuan pusat seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Dengan kata lain, di era otonomi diharapkan peran pemerintah daerah beserta partisipasi masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif dalam pembangunan daerahnya, termasuk menggali potensi sumber-sumber keuangan daerahnya, untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Kemampuan daerah dalam menggali dan meningkatkan PAD dapat diukur melalui tax effort daerah. Kemandirian daerah ditunjukkan dengan adanya struktur PAD yang kuat, PAD diharapkan dapat menjadi sumber utama pembiayaan di daerah (Halim 2001). Kemandirian daerah menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
penyebab terjadinya perbedaan kesiapan daerah, yaitu adanya perbedaan kapasitas fiskal daerah dan adanya perbedaan kemampuan manajerial dalam mengelola berbagai sumber daya yang dimiliki, baik sumber daya manusia, sumber daya alam maupun dana.
Pemerintah pusat memberikan transfer kepada pemerintah daerah dalam bentuk dana perimbangan untuk mengurangi kesenjangan tersebut. Dana perimbangan tersebut terdiri dari (1) Dana Alokasi Umum (DAU), (2) Dana Alokasi Khusus (DAK) dan (3) Dana Bagi Hasil (DBH). Tujuan pemberian dana perimbangan adalah untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah, sehingga dapat mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antardaerah, dengan kata lain daerah mempunyai tingkat kesiapan fiskal yang relatif sama dalam mengimplementasikan otonomi daerah. Pemberian dana perimbangan ini melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah (Undang-Undang Nomor 33/2004), sehingga dapat dijamin tercapainya standar pelayanan minimum publik di seluruh negeri. Dana perimbangan tersebut hanya bersifat sebagai stimulus atau dana pendukung bagi pemerintah daerah
dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan.
Muncul perbedaan sudut pandang dalam menyikapi masalah dana perimbangan ini. Di satu sisi, adanya dana perimbangan dalam otonomi daerah merupakan bentuk tanggung jawab dari pemerintah pusat atas berjalannya proses otonomi daerah. Namun di sisi yang lain, dana perimbangan yang terlalu besar, akan menimbulkan persepsi bahwa daerah tersebut tidak mandiri secara fiskal. Pemberian DAU yang seharusnya menjadi stimulus bagi daerah dalam peningkatan kemandiriannya, justru direspon berbeda oleh daerah. Pemberian DAU yang semula bertujuan untuk mengurangi kesenjangan horisontal, justru menjadi disinsentif bagi daerah untuk mengupayakan peningkatan kapasitas fiskalnya.
1.2 Perumusan masalah
Dalam menjamin tercapainya tujuan diselenggarakannya otonomi daerah, diperlukan kemampuan untuk meningkatkan kemampuan keuangan sendiri, yakni dengan upaya peningkatan PAD, baik dengan meningkatkan penerimaan sumber PAD yang sudah ada maupun dengan penggalian sumber PAD yang baru, sesuai dengan ketentuan yang ada serta tetap memperhatikan kondisi dan potensi ekonomi masyarakat. Daerah diberi kewenangan untuk memungut dan menggunakan sendiri sumber-sumber penerimaannya sesuai dengan potensi dan kondisi masing-masing daerahnya.
Selama pelaksanaan otonomi daerah terjadi peningkatan penerimaan PAD kabupaten/kota, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1. Penerimaan PAD kabupaten/kota selama periode tahun 2001 sampai 2008 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Otonomi daerah ditujukan untuk meningkatkan kemandirian daerah, yang diindikasikan dengan meningkatnya PAD. Kemandirian daerah ditunjukkan dengan struktur PAD yang kuat, dengan kata lain, PAD diharapkan dapat menjadi sumber utama pembiayaan daerah.
[image:34.595.93.516.434.673.2]Sumber : BPS, diolah
Gambar 1 PAD kabupaten/kota periode 2001-2008.
Pemerintah daerah cenderung menggali potensi penerimaan pajak dan retribusi daerah untuk meningkatkan penerimaan daerahnya. Pelaksanaan otonomi daerah direspon secara agresif oleh pemerintah daerah dengan menerbitkan
0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
peraturan daerah (perda) terkait dengan pajak maupun retribusi daerah. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Lutfi (2002) dan Lewis (2003) yang menunjukkan adanya pertambahan peraturan daerah yang mengatur tentang pajak daerah dan retribusi yang signifikan selama pelaksanaan otonomi daerah.
Pajak dan retribusi daerah memberikan kontribusi paling besar terhadap PAD dibandingkan komponen PAD lainnya. Rata-rata besarnya kontribusi pajak daerah dan komponen PAD lainnya terhadap PAD, dapat dilihat pada Tabel 1. Kewenangan daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah diatur dengan Undang-Undang Nomor 34/2000 yang kemudian ditindaklanjuti peraturan pelaksanaannya dengan PP Nomor 65/2001 tentang Pajak daerah, dan PP Nomor 66/2001 tentang Retribusi Daerah.
Tabel 1 Proporsi pajak, retribusi daerah, bagian laba usaha daerah dan penerimaan lainnya terhadap PAD (%)
Tahun Pajak Daerah Retribusi Daerah
Bagian Laba Usaha Daerah
Penerimaan Lain-lain
Total PAD
2001 43.29 34.10 2.33 20.28 100
2002 38.19 30.96 3.26 27.60 100
2003 36.89 32.40 3.65 27.06 100
2004 39.71 35.27 4.05 20.97 100
2005 38.53 36.00 5.64 19.83 100
2006 33.67 33.32 5.10 27.91 100
2007 33.16 33.03 6.77 27.04 100
2008 33.48 34.56 8.93 23.03 100
Sumber : BPS, diolah
Salah satu kendala yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah adalah adanya kesenjangan fiskal antar daerah. Transfer pemerintah pusat dalam bentuk dana perimbangan diberikan kepada pemerintah daerah, selain untuk mengurangi kesenjangan horisontal tersebut juga ditujukan untuk menjamin tercapainya standar pelayanan publik. Pemberian dana perimbangan ini hanya bersifat stimulus atau pendukung bagi daerah untuk menggali potensi lokal yang dimilikinya untuk meningkatkan PAD.
alokasi transfer fiskal dari tahun 2001 sampai 2008 ditinjau dari kontribusinya terhadap PDB terus meningkat, dari 4.8% pada tahun 2001 (Rp81.1 triliun) menjadi 6.4% pada tahun 2007 (Rp253.3 triliun), dan pada tahun 2008 menjadi 6.3% (Rp293.6 triliun), rata-rata kenaikan alokasi dana perimbangan tumbuh sebesar 20.2% per tahun. Hal ini tentu tidak sejalan dengan tujuan otonomi daerah, yakni mewujudkan kemandirian daerah dengan potensi-potensi yang dimilikinya.
Masih lemahnya kondisi kemandirian daerah tersebut diperkuat oleh gambaran perkembangan kontribusi PAD terhadap total pendapatan APBD kabupaten/kota yang relatif masih rendah. Pada tahun 2005 proporsinya mencapai 17.4%, sementara dari tahun 2006-2008 proporsinya turun dan cenderung konstan sekitar 15.6%. Landiyanto (2005) menunjukkan bahwa ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat masih tinggi, yang disebabkan belum optimalnya penerimaan PAD. Penelitian yang dilakukan Martin dan Pablo (2004) di Argentina, menunjukkan adanya indikasi kekurangseriusan daerah dalam mengoptimalkan potensi penerimaannya, pemerintah daerah lebih mengandalkan
penerimaan dana perimbangan daripada meningkatkan PAD melalui optimalisasi penerimaan pajak daerah. Pemberian dana perimbangan yang awalnya bertujuan untuk mengurangi disparitas horisontal, justru menjadi disinsentif bagi daerah dalam mengupayakan peningkatan kapasitas fiskalnya.
Hasil penelitian Adi dan Wulan (2008) juga mengkonfirmasikan hal yang sama. Penelitian yang dilakukan keduanya menunjukkan bahwa daerah masih mempunyai kecenderungan untuk mempertahankan penerimaan dana perimbangan (DAU) tanpa mengupayakan peningkatan pendapatannya sendiri, sehingga tidak terlihat adanya peningkatan kemandirian daerah. Rajaraman dan Vasishtha (2000) melakukan penelitian di negara Kerala, hasilnya menunjukkan bahwa pemberian DAU justru berdampak negatif terhadap peningkatan tax effort daerah.
untuk peningkatan pajak, yang pada akhirnya akan menurunkan penerimaan daerah sendiri.
Penelitian ini secara umum dimaksudkan untuk mengkaji apakah pelaksanaan otonomi daerah sudah berjalan dengan efektif, dengan kata lain sudah memenuhi salah satu tujuan otonomi daerah, yaitu mencapai kemandirian fiskal daerah, khususnya ditinjau dari sisi keuangan daerah. Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan kinerja keuangan daerah kabupaten/kota periode 2001-2008?
2. Bagaimana dampak pemberian dana perimbangan terhadap tax effort daerah?
3. Bagaimana elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD dan dana perimbangan?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian adalah:
1. Mengkaji kinerja keuangan daerah periode tahun 2001-2008.
2. Menganalisis dampak pemberian dana perimbangan terhadap peningkatan tax effort daerah.
3. Menganalisis elastisitas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD dan dana perimbangan.
1.4 Manfaat Penelitian
Pelaksanaan otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan meningkatkan kemampuan keuangan daerah yang berbasis pada potensi lokal, sehingga dapat mewujudkan kemandirian daerah. Sasaran dari otonomi daerah sendiri adalah:
1. Terwujudnya kemandirian daerah yang berbasis potensi lokal. 2. Meningkatnya kemampuan keuangan daerah.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Konsep dan Pengertian Otonomi Daerah
Istilah otonomi daerah diartikan sebagai wewenang/kekuasaan pada suatu
wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah
masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik dan pengaturan perimbangan
keuangan. Menurut Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah Pasal 1 butir 5, otonomi daerah didefinisikan sebagai hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Hubungan antara pusat dan daerah menurut
Undang-Undang Nomor 34/2004 dinyatakan dalam tiga prinsip, yaitu:
a. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem NKRI.
b. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintahan kepada
gubenur sebagai wakil pemerintah.
c. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan
atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan
mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.
Prinsip otonomi yang digunakan adalah otonomi daerah yang luas, nyata
dan bertanggung jawab. Kewenangan yang luas adalah kewenangan daerah yang
lebih luas dalam menyelengarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang
kecuali politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
agama serta kewenangan lain yang diatur dalam peraturan pemerintahan. Otonomi
yang nyata adalah keleluasaan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan di
bidang tertentu secara nyata ada dan diperlukan, berkembang di daerah. Otonomi
yang bertanggung jawab berupa perwujudan pertanggungjawaban daerah sebagai
konsekuensi pemberian hak dan kewenangan dalam mencapai tujuan pemberian
otonomi, yakni peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat,
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antara daerah dalam rangka
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.1.2 Konsep dan Pengertian Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu
tujuan bernegara, yaitu memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan
menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis.
Desentralisasi akan diwujudkan dalam pelimpahan kewenangan kepada tingkat
pemerintahan yang lebih rendah untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan
untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya dewan yang dipilih oleh
rakyat, kepala daerah yang dipilih oleh rakyat, dan adanya bantuan dalam bentuk
transfer dari pemerintah pusat (Bird 2000).
Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 1 ayat 7
dan Undang-Undang Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 1 ayat 8, mendefinisikan desentralisasi
sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, konsep desentralisasi terdiri atas
Desentralisasi Politik (Political Decentralization); Desentralisasi Administratif
(Administrative Decentralization); Desentralisasi Fiskal (Fiscal Decentralization);
dan Desentralisasi Ekonomi (Economic or Market Decentralization).
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari
desentralisasi. Desentralisasi fiskal secara singkat dapat diartikan sebagai suatu
proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi kepada
pemerintah yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintah
dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan
yang dilimpahkan. Hal ini sesuai dengan fungsi pemerintah, yang mempunyai tiga
fungsi utama yaitu distribusi, alokasi dan stabilisasi (Stiglitz 2000). Fungsi
distribusi, pemerintah berperan dalam memengaruhi distribusi pendapatan dan
kekayaan untuk menjamin adanya keadilan dalam pengaturan distribusi
pendapatan. Fungsi alokasi, pemerintah berperan mengalokasikan sumber daya
disediakan oleh pasar. Fungsi stabilisasi, pemerintah menggunakan kebijakan
anggaran untuk mengurangi pengangguran, menciptakan kestabilan harga dan
tingkat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Desentralisasi fiskal memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut: (1)
mengurangi peran dan tanggung jawab di antara pemerintah pada semua tingkat,
(2) memperhitungkan bantuan atau transfer antarpemerintah, (3) memperkuat
sistem penerimaan daerah atau merumuskan penyediaan jasa-jasa lokal, (4)
memprivatisasi BUMD, dan (5) menyediakan suatu jaringan pengaman bagi
fungsi redistribusi. Oleh karena itu, keberhasilan desentralisasi fiskal dapat dinilai
dari sejauh mana fungsi-fungsi di atas telah terlaksana. Pelaksanaan desentralisasi
fiskal menurut Halim (2007) akan berjalan dengan baik dengan berpedoman pada
hal-hal sebagai berikut:
1. Adanya pemerintah pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan
pelaksanaan.
2. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam
melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah.
3. Stabilitas politik yang kondusif.
4. Proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, pengambilan
keputusan tentang manfaat dan biaya harus transparan serta pihak-pihak
yang terkait memiliki kesempatan memengaruhi keputusan-keputusan
tersebut.
5. Desain kebijakan keputusan yang diambil sepenuhnya merupakan tanggung
jawab masyarakat setempat dengan dukungan institusi dan kapasitas
manajerial yang diinginkan sesuai dengan permintaan pemerintah
6. Kualitas sumberdaya manusia yang kapabel dalam menggantikan peran
sebelumnya yang merupakan peran pemerintah pusat.
2.1.3 Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Implikasi pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya penyerahan atau
pelimpahan wewenang yang lebih luas kepada daerah, yang membawa
konsekuensi pada pelimpahan anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan
pemerintah pusat dan daerah. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah adalah distribusi sumber daya keuangan (financial sharing) yang bertujuan
untuk memberdayakan dan meningkatkan kemampuan otonomi daerah,
mengurangi kesenjangan antardaerah dalam kemampuan membiayai otonominya
dan untuk menciptakan sistem pembayaran yang adil, proporsional, rasional serta
kepastian sumber keuangan yang berasal dari wilayah yang bersangkutan.
Tujuan pokok pengaturan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dan daerah seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25/1999, adalah:
1. Memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah.
2. Menciptakan sistem pembayaran daerah yang adil, proporsional, rasional,
transparan, partisipatif, bertanggung jawab dan pasti.
3. Mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
4. Mendukung pelaksanaan otonomi daerah yang dilaksanakan secara
transparan dan memperhatikan partisipasi masyarakat.
5. Menjadi acuan dalam pengalokasian penerimaan negara bagi daerah.
6. Mempertegas sistem pertanggungjawaban keuangan pemerintah daerah.
7. Menjadi pedoman pokok tentang keuangan daerah.
Sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi terdiri dari: (1)
PAD, (2) transfer dari pemerintah pusat atau dana perimbangan, (3) pinjaman
daerah, dan (4) penerimaan lain-lain yang sah. Kewenangan daerah dalam bidang
penerimaan yang berasal dari PAD, dalam rangka perimbangan keuangan antara
pusat dan daerah, dilaksanakan sepenuhnya berdasarkan asas desentralisasi.
Dalam hal ini, pemerintah pusat tidak berwenang ikut campur, baik dalam
penetapan besarnya pungutan, tarif dan tata cara perhitungan pajak, maupun
sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran peraturan yang berlaku.
2.1.3.1Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan asli daerah (PAD) didefinisikan sebagai sumber penerimaan
yang penguasaan dan pengelolaannya diserahkan oleh negara kepada daerah
otonom. Penguasaan dan pengelolaan komponen-komponen penerimaan PAD
tersebut diatur oleh Undang-Undang Nomor 22/1999 dan Undang-Undang Nomor
daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, yang dapat dijadikan
sebagai barometer bagi potensi perekonomian suatu daerah, yang sekaligus juga
dapat mencerminkan efektifitas dan efisiensi aparatur pemerintah daerah dalam
melaksanakan tanggung jawabnya. Menurut Undang-Undang Nomor 33/2004
komponen-komponen penerimaan PAD terdiri dari pajak daerah, hasil retribusi
daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain
Pendapatan Asli Daerah yang sah.
PAD merupakan pencerminan dari local taxing power yang seyogyanya
cukup signifikan besarnya, apalagi dalam era otonomi daerah. Daerah dituntut
lebih kreatif dalam meningkatkan PADnya. Sumber-sumber penerimaan daerah
yang potensial harus digali secara maksimal, namun tetap dalam koridor
perundang-undangan yang berlaku, termasuk di dalamnya adalah pajak daerah
dan retribusi daerah, yang merupakan unsur utama dari PAD.
Pemberian kewenangan dalam pengenaan pajak dan retribusi daerah diatur
dengan Undang-Undang Nomor 34/2000 yang ditindaklanjuti dengan peraturan
pelaksanaannya dengan PP Nomor 65/2001 tentang Pajak Daerah dan PP Nomor
66/2001 tentang Retribusi Daerah. Pemberian kewenangan tersebut diharapkan
dapat mendorong pemerintah daerah untuk terus berupaya mengoptimalkan
PADnya, khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah.
Berdasarkan Undang-Undang dan PP tersebut, daerah diberikan kewenangan
untuk memungut 11 pajak dan 28 jenis retribusi. Selain itu, daerah juga diberi
kewenangan untuk memungut jenis pajak dan retribusi lainnya sesuai
kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang.
Undang-Undang Nomor 34/2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, mendefinisikan pajak daerah sebagai iuran wajib yang dilakukan oleh
orang pribadi dan badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang,
yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan daerah. Berdasarkan wilayahnya pendapatan pajak daerah dibagi
menjadi dua yaitu pendapatan pajak yang berasal dari provinsi dan pendapatan
pajak yang berasal dari kabupaten/kota. Rinciannya dapat dijelaskan sebagai
1. Pajak Propinsi
Pajak provinsi adalah pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah daerah
tingkat provinsi, pajak yang masih berlaku sampai saat ini adalah :
a. Pajak kendaraan bermotor dan pajak kendaraan di atas air.
b. Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air.
c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor
d. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.
Jenis pajak propinsi bersifat limitatif, yang berarti propinsi tidak dapat
memungut pajak lain selain yang telah ditetapkan, dan hanya dapat menambah
jenis retribusi lainnya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam
undang-undang. Pembatasan jenis pajak yang dapat dipungut oleh propinsi terkait dengan
kewenangan propinsi sebagai daerah otonom yang terbatas hanya meliputi
kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas daerah
kabupaten/kota, serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu. Besarnya tarif
pajak propinsi berlaku definitif, yang ditetapkan secara seragam di seluruh
Indonesia dan diatur dalam PP Nomor 65/2001.
2. Pajak Kabupaten
Pajak kabupaten/kota adalah pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah
daerah tingkat II yakni pemerintah daerah kabupaten/kota. Jenis-jenis pajak
kabupaten/kota adalah:
a. Pajak hotel
b. Pajak restoran
c. Pajak hiburan
d. Pajak reklame
e. Pajak penerangan jalan
f. Pajak pengambilan bahan galian C
g. Pajak parkir
Jenis pajak kabupaten/kota tidak bersifat limitatif, artinya kabupaten/kota
diberi peluang untuk menggali potensi sumber-sumber keuangannya selain yang
ditetapkan secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 34/2000.
dengan tetap memperhatikan kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang
tersebut. Kriteria yang dimaksud disini adalah:
1. Bersifat pajak dan bukan retribusi daerah.
2. Objek pajak terdapat di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan, dan
mempunyai mobilitas yang rendah.
3. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan
umum.
4. Objek pajak bukan merupakan objek pajak propinsi dan/atau objek pajak
pusat.
5. Potensinya memadai.
6. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif.
7. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat.
8. Menjaga kelestarian lingkungan.
Besarnya tarif untuk pajak kabupaten/kota berlaku definitif, ditetapkan dengan
peraturan daerah, namun tidak boleh lebih tinggi dari tarif maksimum yang telah
ditentukan dalam undang-undang tersebut.
Retribusi daerah merupakan pendapatan daerah yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 34/2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta PP
Nomor 66/2001 tentang Retribusi Daerah. Retribusi daerah adalah pungutan
daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang
pribadi atau badan. Semakin banyak jenis pelayanan publik dan meningkatnya
mutu pelayanan publik yang diberikan pemerintah daerah terhadap
masyarakatnya, maka kecenderungan perolehan dana retribusi akan semakin
besar.
Objek atau jenis retribusi daerah menurut Undang-Undang Nomor 34/2000
serta prinsip atau kriteria penentuan tarifnya adalah sebagai berikut:
1) Retribusi jasa umum dengan kriteria penentuan tarif kebijakan daerah yang
bersangkutan, besarnya biaya penyediaan jasa yang bersangkutan,
kemampuan masyarakat, dan aspek keadilan. Retribusi yang termasuk
dalam jasa umum antara lain retribusi pelayanan kesehatan, pelayanan
2) Retribusi jasa usaha dengan kriteria penentuan tarifnya, yaitu tujuan untuk
memperoleh keuntungan yang layak. Retribusi jasa usaha antara lain jasa
usaha terminal, jasa usaha tempat rekreasi.
3) Retribusi perizinan tertentu dengan kriteria penentuan tarifnya yaitu tujuan
untuk menutup sebagian/seluruhnya biaya penyelenggaraan pemberian izin
yang bersangkutan. Termasuk dalam retribusi perizinan tertentu antara lain
retribusi izin trayek, izin gangguan.
Dalam rangka pengawasan, perda-perda tentang pajak dan retribusi daerah
yang diterbitkan oleh pemerintah daerah harus disampaikan kepada pemerintah
pusat. Perda-perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, pemerintah pusat melalui
menteri dalam negeri dengan pertimbangan menteri keuangan dapat membatalkan
perda tersebut.
2.1.3.2Dana Perimbangan
Konsekuensi pemberlakuan sistem otonomi daerah adalah dibentuk pula
perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu Undang-Undang Nomor
33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dalam melaksanakan kewenangan daerah, pemerintah pusat memberikan bantuan
kepada daerah dalam bentuk transfer. Transfer pemerintah pusat didefinisikan
sebagai pengalihan dari pendapatan fiskal antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah, yang berperan penting dalam menentukan tingkat disparitas
sosial sehingga dalam jangka panjang dapat mengembangkan perekonomian
negara.
Sebelum masa otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dilaksanakan, secara
umum terdapat tiga jenis transfer pemerintah pusat kepada daerah. Transfer
tersebut diwujudkan dalam bentuk Subsidi Daerah Otonomi (SDO), bantuan
Inpres dan Daftar Isian Proyek (DIP). SDO bertujuan untuk mendukung anggaran
rutin pemerintah daerah guna menciptakan perimbangan keuangan antar tingkat
pemerintahan. Sebagian besar SDO digunakan untuk membiayai gaji pegawai
pembiayaan pelatihan pegawai pemerintah. SDO dikategorikan sebagai transfer
pusat yang bersifat khusus, karena daerah tidak memiliki kewenangan dalam
menetapkan penggunaan SDO, namun sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Bantuan inpres bertujuan untuk memberikan bantuan pembangunan daerah,
baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus yang diberikan atas
Instruksi Presiden. Dasar pemberian bantuan adalah adanya penyerahan sebagian
urusan kepada daerah dan terbatasnya kemampuan keuangan pemerintah daerah
untuk membiayai urusan-urusan tersebut. Selain itu, tujuannya adalah untuk
mencapai pemerataan, terutama dalam hal kesempatan kerja, partisipasi dalam
pembangunan, distribusi hasil-hasil pembangunan. Sementara, daftar isian proyek
(DIP) merupakan subsidi dan bantuan yang dapat dikategorikan sebagai bantuan
antartingkat pemerintahan, karena menjadi bagian dari anggaran pemerintah
daerah.
Setelah berlaku otonomi daerah dan diberlakukannya desentralisasi fiskal
ketiga transfer di atas dihilangkan, sebagai gantinya pemerintah pusat
memberikan transfer kepada pemerintah daerah dalam bentuk dana perimbangan,
yang ditujukan untuk memberikan kepastian sumber pendanaan bagi APBD dan
untuk memperkecil kesenjangan kapasitas fiskal antardaerah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33/2004, dana perimbangan
didefinisikan sebagai dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan untuk mendanai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Apabila APBN besar, maka dana yang
dialokasikan ke daerah juga akan besar, dan sebaliknya. Perolehan dana
perimbangan ini tidak memerlukan usulan dari pemerintah daerah, karena sudah
ada formula yang pasti dengan dasar undang-undang, berapa besar alokasi yang
akan diterima suatu daerah. Begitu juga dengan pengelolaannya sepenuhnya
menjadi urusan daerah dalam APBD. Alasan perlunya transfer dana dari pusat ke
daerah adalah:
1. Untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal vertikal
Pemerintah pusat menguasai sebagian besar penerimaan-penerimaan (pajak)
berbasis lokal, mobilitas rendah dengan besaran penerimaan yang relatif
signifikan.
2. Untuk mengatasi ketimpangan fiskal horisontal.
Kemampuan daerah dalam menghimpun pendapatan sangat bervariasi,
tergantung pada kondisi daerah bersangkutan yang memiliki kekayaan
sumber daya alam atau tidak, ataupun daerah dengan intensitas kegiatan
ekonomi yang tinggi atau rendah, yang semuanya berimplikasi pada
besarnya basis pajak di daerah-daerah bersangkutan.
3. Adanya kewajiban untuk menjaga standar pelayanan publik minimum di
setiap daerah.
Peran distribusi sektor publik akan lebih efektif dan cocok jika dijalankan
pemerintah pusat. Daerah-daerah dengan sumber daya yang sedikit
memerlukan subsidi agar dapat mencapai standar pelayanan publik
minimum.
4. Mengatasi permasalahan yang timbul akibat menyebar atau melimpahnya
efek pelayanan publik (interjurisdictional spill-over effects).
Beberapa jenis pelayanan publik di satu wilayah mempunyai “efek
menyebar” ke wilayah-wilayah lainya, manfaatnya tidak dapat dibatasi
hanya untuk masyarakat daerah tertentu saja. Seperti jalan penghubung antar
daerah, tanpa adanya imbalan dari pembuatan jalan tersebut pemerintah
daerah enggan untuk berinvestasi di sini, maka pemerintah pusat perlu
memberikan semacam insentif agar pelayanan publik tetap dapat terpenuhi
di daerah.
5. Stabilisasi.
Transfer dilakukan oleh pemerintah jika perekonomian lesu, maka untuk
mencapai stabilisasi diberikan transfer.
Dana perimbangan dari pemerintah pusat ini terdiri dari Dana Bagi Hasil
(DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DAU
dan DBH mempunyai sifat bantuan umum (block grant) dan DAK mempunyai
sifat bantuan khusus (specific grant).
Dana bagi hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari APBN yang
terhadap penerimaan negara dari sumber daya alam (SDA) yang dimiliki daerah.
Tujuan Penganggaran DBH adalah untuk menjaga keadilan atau keseimbangan
vertikal atas kontribusi yang telah disumbangkan daerah kepada Negara, daerah
akan memperoleh bagian yang sesuai dengan besarnya kontribusi terhadap
penerimaan negara.
Dana Bagi Hasil merupakan dana perimbangan yang strategis bagi
daerah-daerah yang memiliki sumber‐sumber penerimaan pusat di daerahnya, meliputi
penerimaan pajak pusat yaitu pajak penghasilan perseorangan (PPh perseorangan),
pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
(BPHTB), dan penerimaan dari sumber daya alam (Minyak Bumi, Gas Alam,
Pertambangan Umum, Kehutanan dan Perikanan). Secara garis besar DBH dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu (1) DBH yang bersumber dari perpajakan, dan (2)
DBH yang bersumber dari SDA. Penerimaan Dana Bagi Hasil ditentukan
pemerintah pusat dalam Undang-Undang Nomor 33/2004, dimana proporsi
[image:50.595.122.510.435.706.2]pembagiannya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Proporsi Pembagian Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak.
Jenis Proporsi Pembagian (%) Pusat Daerah
Bagi hasil untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 10 90
Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
(BPHTB)
Pajak Penghasilan (PPh)
20
80
80
20
Iuran Hak Penguasaan Hutan (IHPP)
Dana Reboisasi Pertambangan umum 20 60 20 80 40 80
Pertambangan minyak bumi 84.5 15.5
Pertambangan gas bumi
Pertambangan panas bumi
Perikanan 69.5 20 20 30.5 80 80
Dana alokasi umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan ke daerah dengan tujuan untuk meminimumkan
ketimpangan fiskal antardaerah, sekaligus memeratakan kemampuan keuangan
antardaerah (equalization grant), untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33/2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan
PP Nomor 55/2005 tentang Dana Perimbangan, DAU ditetapkan
sekurang-kurangnya 26% dari penerimaan dalam negeri (PDN) yang ditetapkan dalam
APBN. Besarnya DAU yang akan dibagikan kepada semua provinsi adalah 10%
dari total DAU, sementara untuk semua kabupaten/kota dibagikan sebesar 90%
dari total DAU.
Kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan dengan menggunakan pendekatan,
kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan oleh kebutuhan daerah (fiscal needs) dan
potensi daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU digunakan untuk
menutup celah/gap yang terjadi karena kebutuhan daerah melebihi dari potensi
penerimaan daerah yang ada.
Formula DAU yang digunakan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
adalah pendekatan konsep alokasi dasar (AD) dan celah fiskal (fiscal gap). Celah
fiskal (fiscal gap) yaitu selisih antara kebutuhan fiskal (fiscal needs) dikurangi
dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity) daerah, dan alokasi dasar (AD) berupa
jumlah gaji pegawai negeri sipil (PNS) daerah. Besaran alokasi dasar dihitung
berdasarkan realisasi gaji pegawai negeri sipil daerah tahun sebelumnya (t-1) yang
meliputi gaji pokok dan tunjangan-tunjangan yang melekat sesuai dengan
peraturan penggajian PNS yang berlaku.
DAU = Alokasi Dasar (AD) + Celah Fiskal (CF)………..………..(2.1) keterangan:
AD = Gaji PNS Daerah
CF = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal
Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan daerah untuk menjalankan
fungsi pelayanan dasar publik, terutama pelayanan kesehatan, pendidikan dan
infrastruktur. Komponen variabel kebutuhan fiskal (fiscal needs) yang digunakan
luas wilayah (mulai 2007 termasuk wilayah laut), indeks pembangunan manusia
(IPM), indeks kemahalan konstruksi (IKK), dan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) per kapita. Komponen variabel kapasitas fiskal (fiscal capacity)
merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan DBH.
Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah
yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya
daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh
DAU yang relatif besar.
DAU dikategorikan sebagai transfer tak bersyarat (unconditional grant),
sehingga penggunaan DAU dan penerimaan umum lainnya dalam APBD
ditetapkan oleh daerah, dengan tetap berada dalam kerangka pencapaian tujuan
pemberian otonomi kepada daerah yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat yang semakin baik. Salah satu tolok ukur keberhasilan DAU adalah
tercapainya pemerataan total penerimaan daerah per kapita yang sebaik-baiknya.
Dana alokasi khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan ke daerah tertentu untuk membantu
membiayai kebutuhan khusus daerah, khususnya untuk mendukung kegiatan yang
menjadi prioritas nasional. Pemberian DAK diharapkan dapat mendorong
percepatan pembangunan daerah. Dana ini digunakan khusus untuk membiayai
investasi pengadaan dan peningkatan, serta perbaikan prasarana dan sarana fisik
dengan umur ekonomis yang panjang. Adapun yang dimaksud dengan kebutuhan
khusus adalah:
1. Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus
alokasi umum. Misalnya kebutuhan di kawasan transmigrasi, pembangunan
jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer dan saluran drainase
primer.
2. Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional, antara lain
proyek yang dibiayai oleh donor, pembiayaan reboisasi daerah, dan proyek-
proyek kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Konsep DAK mencakup alokasi dana untuk kegiatan penghijauan dan
reboisasi yang sumber pembiayaannya ditetapkan sebesar 40% dari penerimaan
60% untuk pemerintah pusat. Pengalokasian DAK-DR tersebut dimaksudkan
untuk melibatkan Pemerintah Daerah penghasil DR dalam kegiatan penghijauan
dan reboisasi kawasan hutan di daerahnya, sebagai salah satu kegiatan yang
menjadi prioritas nasional. Namun sejak diperbaharui dengan Undang-Undang
Nomor 33/2004, dana reboisasi dikelompokkan menjadi dana bagi hasil. Daerah
penerima DAK wajib menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10%
dari alokasi dana khusus yang dianggarkan dalam APBD.
2.1.4 Pengelolaan Keuangan Daerah
Seiring dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal terjadi perubahan dalam
prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah
adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah
(Halim 2007). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) 58 tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 1 ayat 5 yang dimaksud dengan keuangan
daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah, yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya
segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah
tersebut dalam rangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dengan pendekatan kinerja yang
berorientasi pada output, menggunakan konsep nilai uang (value for money)
dengan prinsip tata pemerintahan yang baik. Pendekatan anggaran kinerja adalah
suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output)
dari perencanaan alokasi biaya (input) yang telah ditetapkan (PP. Nomor 105
tahun 2000, pasal 8). Kinerja mencerminkan efisiensi dan efektifitas pelayanan
publik dan harus berpihak pada kepentingan publik.
Pengelolaan keuangan daerah pada dasarnya menyangkut tiga aspek
analisis yang saling terkait satu dengan lainya, yang terdiri dari:
1. Analisis penerimaan, yaitu analisis mengenai kemampuan pemerintah daerah
dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang potensial dan biaya-biaya
dikeluarkan untuk meningkatkan pendapatan tersebut.
suatu pelayanan publik dan faktor-faktor yang menyebabkan biaya-biaya
tersebut meningkat.
3. Analisis anggaran, yaitu analisis mengenai hubungan antara pendapatan dan
pengeluaran serta kecenderungan yang diproyeksikan untuk masa depan.
Dalam konsep yang lebih luas, menurut Mulyana (2006) sistem pengelolaan
keuangan daerah terdiri dari aspek-aspek berikut :
1. Pengelolaan (optimalisasi dan atau penyeimbangan) seluruh sumber-sumber
yang mampu memberikan penerimaan, pendapatan dan atau penghematan yang
mungkin dilakukan.
2. Ditetapkan oleh badan eksekutif dan badan legislatif, dilaksanakan oleh badan
eksekutif serta diawasi oleh badan legislatif dan seluruh komponen masyarakat
daerah.
3. Diarahkan untuk kesejahteraan seluruh masyarakatnya.
4. Didasari oleh prinsip-prinsip ekonomis, efisien dan efektif.
5. Dokumentasi, transparansi, dan akuntabilitas.
APBD adalah salah satu wujud pengelolaan keuangan daerah, yang disusun
dalam bentuk kuantitatif dalam satuan moneter untuk suatu periode (satu tahun).
Pendapatan daerah adalah semua penerimaan daerah dalam periode tahun
anggaran tertentu yang menjadi hak daerah. Belanja daerah adalah semua
pengeluaran daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban
daerah. Tabel 3 menunjukkan perkembangan dasar hukum pengelolaan keuangan
daerah semenjak diberlakukannya desentralisasi fiskal.
Pada tahun 2001-2002 menggunakan format APBD yang berdasarkan
Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA) 1981. Awal tahun
1980-an dikeluarkan Permendagri Nomor 900/099 tentang Manual
Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA), dan Permendagri Nomor
020-595 tentang Manual Administrasi Barang Daerah, dan Permendagri Nomor
970 Tentang Manual Administrasi Pendapatan Daerah. Secara struktural,
penerimaan daerah meliputi sisa anggaran tahun lalu, Pendapatan Asli Daerah
(PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan, dan
pinjaman. Sedangkan belanja daerah dibagi menjadi belanja rutin dan belanja
Tabel 3 Pemetaan format anggaran pemerintah kabupaten/kota berdasarkan beberapa peraturan
Jenis Makuda 1981 Pengeluaran
Kepmendagri No. 29/2002 Permendagri No. 13/2006
Rutin Pengeluaran Staff Aparatur-Adm
umum Pengeluaran Staff Belanja Tidak langsung Pengeluaran Staff Publik-Adm umum Pengeluaran Staff Rutin Pembayaran
Hutang dan Bunga
Pembayaran
Hutang
Rutin Pengeluaran yang
Tidak termasuk dalam pengeluaran lainnya
Subsidi
Hibah
Rutin Pensiun dan
santunan
Bantuan Sosial
Rutin Subsisi/Bantuan Dana bagi
Hasil
Pembagian pendapatan untuk pemerintah daerah atau desa
Keuangan untuk
Pemerintah di Tingkat yang lebih rendah
Bantuan keuangan
Bantuan keuangan
untuk pemerintah daerah atau desa
Rutin Pengeluaran tak
terduga
Pengeluara tak terduga
Pengeluaran tak
terduga
Rutin Barang dan Jasa
Operasional Aparatur-operasional dan Perawatan Pengeluaran Staf Belanja Langsung
Belanja Barang dan Jasa Pemeliharaan Biaya perjalanan Dinas Publik-Operasonal dan perawatan Pengeluaran staf Belanja pe