BAB IV JEJAK AKHIR LAGU GENJER-GENJER
A. Dari G30S Sampai Pada Pencekalan Lagu Genjer-Genjer 1965-
Pada tanggal 30 September 1965, malam hari, tiba-tiba situasi di dalam
negeri menjadi sangat mencekam. Sekelompok militan terlatih berseragam
militer, mendatangi dan menculik secara paksa tujuh jendral besar TNI pada era
itu. Satu jendral berhasil lolos pada malam penculikan itu, namun ajudan setianya
tak luput diboyong secara paksa. Banyak versi yang mencoba menjelaskan apa
alasan dan tujuan di balik penculikan itu, yang jelas nasib dari tujuh Jendral dan
satu letnan itu pada akhirnya nanti harus menemui nasib yang mengenaskan.
Pasca peristiwa tersebut keadaan Indonesia semakin memanas dan mencekam.
Gencarnya kabar atau berita yang merujuk pada hilangnya ketujuh Jendral dan
satu letnan itu mulai menjadi “top news” pada era itu. Tindakan subversive yang
dilakukan oleh pemerintah mulai dilancarkan, guna kejelasan dari nasib para
petinggi TNI tersebut dan mencari tahu apa, siapa dan bagaimana tragedi itu bisa
terjadi.
Usaha tersebut ternyata membuahkan hasil, pada akhirnya ketujuh Jendral
dan satu Letnan ditemukan dengan kondisi yang mengenaskan. Korban
ditemukan terkubur dalam lubang sumur tua di daerah Lubang Buaya, Pondok
Gede, yang pada awalnya ditutupi tumpukan sampah guna menghilangkan jejak.
Berkat usaha dan laporan dari Sukitman, anggota kepolisian yang tak luput
terculik oleh kawanan militan tersebut pada saat patrol di kawasan rumah Brigjen
TNI D.I.Pandjaitan. Menurutnya, ia berhasil melarikan diri sesaat ia menyaksikan
perbuatan keji para penculik dalam mengeksekusi para Jendral besar TNI
tersebut. Atas perintah Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto dan juga dengan
bantuan Sukitman, pada tanggal 3 Oktober 1965 para perwira TNI tersebut
berhasil ditemukan walaupun dalam kondisi yang mengenaskan.63 Para perwira
ditemukan terkubur dalam lubang sumur tua di daerah Lubang Buaya, Pondok
Gede, dalam kondisi yang mengenaskan.
Peristiwa tragis tersebut secara tidak langsung menyulut amarah besar dari
seluruh bangsa Indonesia. Anggapan adanya pengkhianatan revolusi
kemerdekaan dan isu dari cita-cita sebuah kudeta bagi pemerintahan Indonesia
mulai berkembang di sela-sela kehidupan masyarakat Indonesia.
Langkah-langkah subversif guna menemukan dalang di balik peristiwa ini terus
dilancarkan. Sampai pada akhirnya tersangka tertuju pada satu nama yang tidak
asing lagi pada era itu, partai komunis terbesar yang dimiliki bangsa ini (PKI) di
vonis bertanggung jawab atas semua terjadinya peristiwa G30S. Serentak amarah
dan kekecewaan bangsa Indonesia tertuju pada partai berlambangkan palu arit itu.
Bersama dengan legitimasi hukum yang dikeluarkan oleh MPRS melalui
ketetapan MPRS No: IX/MPRS/1966, tentang surat kuasa yang diberikan presiden
kepada Suharto untuk dapat mengkondusifkan kembali situasi dari
63 Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994, Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi, Dan Penumpasannya, Jakarta, hal : 127
ancaman tersebut. Dalam waktu sekejap Indonesia menjadi merah dan berdarah,
dari penangkapan dan eksekusi warga PKI dan underbouwnya sampai pada
pemusnahan segala atribut yang bernuansa PKI mulai mewarnai perjalanan
bangsa Indonesia. Ironisnya, eksekusi yang dilancarkan cenderung radikal dan
ekstrem, hal ini terbukti dari penangkapan dan pembunuhan massal dari anggota,
simpatisan, dan juga orang yang hanya di tuduh sebagai PKI. Maka tak heran
apabila pada era tersebut banyak orang yang mati sia-sia, hanya karena dituduh
sebagai PKI dan underbouwnya. Orang-orang tersebut dipaksa untuk bertanggung
jawab dan mengahadapi ajalnya dengan keji. Banyak kalangan yang
berpandangan bahwa peristiwa tragedi 30 September termasuk salah satu
peristiwa sejarah kelam dan terkeji yang pernah dilalui bangsa Indonesia. Tercatat
dalam sejarah bahwa pasca tragedi tersebut ribuan nasib anak bangsa harus rela
berakhir pada cara dibunuh secara keji dan masal yang ironisnya dilakukan oleh
saudaranya sendiri.
Gencarnya TNI dan Orde Baru membumihanguskan PKI, underbouw dan
segala atribut yang bernuansa PKI dan komunis, menarik lagu Genjer-Genjer
pada nasib serupa. Pencekalan yang dilakukan Orde Baru pada lagu rakyat ini
sekilalas di dasari dalam dua hal pokok yakni pertama, sejak awal
perkembangnya dalam kancah hiburan Indonesia lagu ini diperjuangkan oleh
kaum komunis dan terus dieksiskan oleh kaum komunis, Point ini lebih pada
eratnya hubungan antara lagu Genjer-Genjer dengan PKI dan underbouwnya.
Kedua adalah tersebarnya isu tentang di temukannya penggalan syair lagu
seperti KAMI (kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan TNI mencoba
membangun opini baru tentang nilai yang tersirat dalam syair lagu tersebut
sebagai lagu yang mengandung isyarat tentang konsep terjadinya G30S. Dalam
harian KAMI, syair lagu Genjer-Genjer diplesetkan menjadi Genjot Jendral
-Jendral, Hasan Singodimayan, salah satu seniman HSBI64 dan juga teman
akrabnya M. Arief, mengiksahkan dalam catatan pribadinya bahwa lagu
Genjer-Genjer telah diplesetkan menjadi
“Jendral-Jendral Nyang Ibukota pating keleler, Emake Gerwani, teko-teko nyuliki jendral, Oleh sak truk, mungkir sedot sing toleh-toleh, Jendral-Jendral saiki wes dicekeli. Jendral-Jendral isuk-isuk pada disiksa, Dijejer ditaleni dan dipelosoro, Emake Gerwani, teko kabeh milu ngersoyo, Jendral-Jendral maju terus dipateni”.65
Aksi yang dilakukan Harian KAMI ini yang menambah semakin
tereliminasinya lagu Genjer-Genjer dalam kancah panggung hiburan Indonesia
dan semakin menyakinkan Orde Baru dan rejimnya untuk mencekal lagu
Genjer-Genjer dari kancah panggung hiburan rakyat. Bermuara pada bangunan opini
tersebut yang menyakinkan masyarakat Indonesia bahwa lagu Genjer-Genjer
benar-benar lagu yang menisyaratkan konsep G30S dan berstigma komunis.
Tafsiran-tafsiran dari syair lagu Genjer-Genjer yang beredar di lingkungan
kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia semakin menghempas eksistensi lagu
64 Himpunan Seniman Banyuwangi Indonesia
65
“Jendral-Jendral di Ibukota berhamburan, Ibunya Gerwani, datang-datang menculik Jendral, dapat satu truk, dapat yang kecil-kecil lalu bergegas pergi, Jendral-Jendral saiki sudah ditangkapi, Jendral-Jendral pagi-pagi pada disiksa, dibariskan berjejer dan dianiyaya, Ibunya Gerwani, datang semua ikut menganiyaya, Jendral-Jendral maju lalu di bunuh” (Jurnal Paring Waluyo Utomo, 2003, Genjer-Genjer Dan Stigmanisasi Komunis, Direktur Pusat Studi dan Pengembangan Kebudayaan (Puspek) Averroes, Malang)
ini pada titik keterpurukan. Dan keinginan untuk dapat mengeliminasi lagu ini
dari kancah hiburan nasional. Antipatinya masyarakat Indonesia untuk dapat
menyanyikan bahkan mendengarkan lagu Genjer-Genjer semakin terlihat jelas.
kuat. Pada akhirnya lambat laun lagu Genjer-Genjer dipaksa untuk terkubur
hidup-hidup, tanpa batas waktu yang jelas.
Pada ruang ini jelas tampak bahwa kehadiran lagu Genjer-Genjer secara
tidak langsung membawa indikasi, implikasi dan konsekuensi yang dapat
dikatakan tidak ringan. Phobia masyarakat Indonesia untuk mendendangkan
bahkan mendengarkan lagu Genjer-Genjer mulailah merangkul erat setiap jiwa
msayarakat Indonesia. Mereka takut akan konsekuensi yang akan mereka terima
ketika mereka tetap menyanyikan, mendengarkan, bahkan mempertahankan
eksistensi lagu ini. Sebab telah banyak korban yang jatuh hanya karena
menyanyikan lagu ini dan dianggap sebagai PKI dan Komunis. Seperti halnya
yang tersirat pada kisahnya Sumilah, gadis kecil yang berasal dari Prambanan.
Satu hal yang ia ingat ketika ia ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara
Wirogunan Yogyakarta karena dituduh sebagai simpatisan PKI adalah hanya
kegemarannya menyanyikan lagu Genjer-Genjer selepas pulang sekolah bersama
teman-temannya.66 Kisah Sumilah ternyata memberi peringatan tersendiri bagi
masyarakat Indonesia bahwa konsekuensi yang ditanamkan oleh pemerintah
tentang bahayanya lagu Genjer-Genjer membawa dampak yang tidak mudah.
66 Fransisca Ria Susanti, 2006, Kembang-Kembang Genjer, Lembaga Sastra Pembebasan, Jakarta, hal: 6
Dari sejak itu, rasa paranoid untuk dapat merangkul lagu Genjer-Genjer mulai
menghantui setiap benak masyarakat Indonesia.
Nasib kelam yang dialami lagu Genjer-Genjer tenyata tidak saja terhenti
pada ruang kehidupannya saja, akan tetapi juga menyentuh ruang lokalitas
kehidupan keseniannya. Akibat pelarang dan pencekalan lagu Genjer-Genjer
menyeret beberapa seniman Banyuwangi dalam himbauan serius dari pemerintah,
terlebih kaitannya guna mengeksiskan kembali lagu Genjer-Genjer dengan cara
apapun. Termasuk juga pelarang untuk memainkan beberapa gendhing yang
dianggap dapat memompa kesadaran politk massa rakyat. Bersama pelarang ini
pula nasib seniman-seniman rakyat Banyuwangi menjadi tidak jelas dan
karya-karyanya menjadi titik pusat pehatian tersendiri dari pemerintah.
Kematian langkah lagu Genjer-Genjer mencapai titik klimaks ketika pada
tahun 1966 MPRS mengesahkan ketetapan MPRS No. XXV tanggal 6 Juli 1966,
tentang pengharaman dan pelarangan PKI, Komunis dan Leninisme, maka
perjalanannya secara tiba-tiba terhenti. Tidak lagi terdengar alunan lagu
Genjer-Genjer mengiringi anak-anak kecil bermain di pagi hari. Ketetapan ini dijadikan
payung legalisasi hukum bagi rejim Orde Baru untuk dapat mematikan langkah
PKI, underbouwnya dikancah perpolitikan Indonesia. Begitu pula dengan lagu
Genjer-Genjer, kehadirannya dimanfaatkan dan dijadikan sebagai sebuah senjata
ampuh dapat semakin mematikan PKI. Bangunan mitologi-mitologi komunis
dirancang sedemikian rupa ke dalam tubuh lagu Genjer-Genjer seakan-akan
bahwa lagu Genjer-Genjer memang lagunya PKI dan bernuasa komunis.
lagu Genjer-Genjer semakin memposisikan lagu Genjer-Genjer dalam ruang
eliminasi.