• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II RUANG SENI DAN TRADISI LAGU GENJER-GENJER

B. Jejak-Jejak Awal Lagu Genjer-Genjer (1942-1960)

“genjer-genjer nong ledokan pating keleler, emak’ e tole teko-teko mbubuti genjer, oleh satenong mungkur sedot sing tole-tole, genjer-genjer saiki wis digowo mulih...”34

Sepenggal bait lagu diatas mungkin tak asing lagi untuk didengar,

pekatnya stigmatisasi komunis dan PKI pada penggalan bait lagu di atas masih

terus melekat dalam sanubari sebagian besar bangsa Indonesia. Terlebih ketika

34 “ genjer-genjer di pematang sawah berhamburan, ibunya anak-anak datang datang mencabut genjer, dapat sebakul lalu bergegas pergi dapat yang kecil-kecil, genjer-genjer sekarang sudah di bawa pulang…”

(http://www.wikipediaIndonesia.com/ensiklopedia bebas berbahasa indonesia /

Orde Baru dengan sukses membangun sebuah mitologi tentang nilai dan makna

lagu ini, maka kehadirannya sampai sekarang terpasung pada sebuah ruang

ideologi komunis dan PKI. ”Genjer-Genjer”, bait diatas coba disusun dalam

bentuk lagu yang kemudian disuguhkan pada kalayak ramai. Fenomena kehadiran

lagu ini disela-sela kehidupan bangsa Indonesia menarik cerita tersendiri bagi

perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Ketika diselami lebih dalam, maka yang

tersirat dari lagu ini adalah sebuah kemurnian lagu rakyat yang tercipta dari seni

dan tradisi masyarakat Banyuwangi. Singkatnya, lagu Genjer-Genjer adalah lagu

rakyat (folksong) yang berasal dari Banyuwangi. Lewat kesederhanaan dari nada

dan lirik-liriknya, lagu ini mencoba membingkai kisah sengsara masyarakat

Banyuwangi dalam menjalankan kehidupannya di sela-sela kolonialisasi yang

dilancarkan bangsa Jepang. Dari lukisan-lukisan tersebut lagu Genjer-Genjer

hadir sebagai sebuah lagu rakyat dalam ruang kebudayaan Banyuwangi.

Pada tahun 1940-an Jepang berhasil menduduki Indonesia dan

membentuk koloni di setiap penjuru Indonesia. Dengan berdalih ingin membantu

bangsa Indonesia untuk dapat lepas dari cengkraman pemerintah Belanda, yang

pada waktu itu berkuasa di Hindia Belanda,35 Jepang berhasil masuk dan

berkuasa di Indonesia. Layaknya peribahasa keluar dari mulut harimau masuk ke

mulut buaya, setelah bangsa Belanda keluar dari tanah Nusantara kesengsaraan

yang dialami bangsa Indonesia pun tidak berubah malah semakin parah. Ekspansi

35

Pada masa pendudukan Belanda pemerintahan yang ada terkenal dengan nama Hindia Belanda, belum Indonesia. Baru setelah kemerdekaannya diakui baik secara de fakto maupun de yure, nama Indonesia terukir dalam sebagai sebuah nama Negara.

yang dilancarkan Jepang berhasil memporaporandakan kehidupan bangsa

Indonesia. Dan memaksa bangsa Indonesia hidup pada titik kesengsaraan yang

lebih parah. Masyarakat indonesia dipaksa untuk berkerja demi kepentingan

pemerintahan Jepang. Ekploitasi besar-besaran yang dilancarkan Jepang bagi

Bangsa Indonesia, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia,

menyebabkan semakin terpuruknya kehidupan bangsa Indonesia.

Kolonialisasi yang dilancarkan Jepang berhasil masuk jauh ke setiap sudut

wilayah Indonesia, hampir semua sumber daya, baik itu alam maupun manusia,

yang dimiliki setiap daerah dan wilayah di Indonesia di ekspolitasi besar-besaran

oleh Jepang. Kemiskinan dan kesengsaran semakin merangkul setiap perjalanan

kehidupan bangsa Indonesia. Banyak cara yang dilakukan bangsa Indonesia guna

melawan bentuk-bentuk penindasan yang di lakukan oleh Jepang.

Seperti halnya di Banyuwangi, daerah yang terkenal kaya dan subur akan

sumber daya alamnya tiba-tiba berubah drastis menjadi miskin. Kolonialisasi

yang dilancarkan Jepang pada daerah tersebut, memaksa rakyat Banyuwangi

hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Hampir semua sumber daya alam

yang dimilikinya dieksploitasi besar-besaran oleh Jepang demi kelangsungan

kehidupan pemerintahnya (Jepang).36 Bermuara pada kondisi tersebut, rakyat

Banyuwangi terpaksa mencari jalan keluar guna memenuhi kebutuhan hidup

sehari-harinya. Mereka mencoba survive dengan segala sumber daya alam yang

tersisa dan kemudian coba diolah menjadi bahan pokok makanan sehari-hari.

36 http://www.wikipediaIndonesia.com/ensiklopedia bebas berbahasa

Salah satunya adalah dengan cara mengolah daun genjer yang hidup di seputaran

ruas-ruas sungai sebagai bahan pokok makanan sehari-hari rakyat Banyuwangi.

Karena begitu kurangnya bahan makanan, sampai-sampai masyarakat harus

mengolah daun genjer (limnocharis flava) di sungai yang sebelumnya oleh

masyarakat dianggap sebagai tanaman pengganggu.37 Daun genjer atau dalam

bahasa ilmiahnya disebut dengan nama Limnocharis Flava sendiri adalah

tanaman parasit yang hidup di ruas-ruas sungai dan biasanya diolah untuk

dijadikan bahan makanan hewan ternak seperti babi dan sapi. Selanjutnya, daun

genjer coba diolah menyerupai tumis dan oseng-oseng yang kemudian disajikan

sebagai makanan sehari-hari masyarakat Banyuwangi pada masa itu.

Melihat kesengsaran yang dialami masyarakat Banyuwangi yang

mengetuk jiwa musikalitas dari Muhhamad Arief,38 salah satu seniman dan juga

musisi handal Banyuwangi, untuk merangkum peristiwa tersebut kedalam bentuk

lagu. Dengan judul “Genjer-Genjer” lagu tersebut tercipta, lewat lukisan

keprihatinan M.Arief dengan melihat kondisi yang dialami oleh masyarakat

Banyuwangi akibat bentuk kolonialisasi Jepang. Dengan kesederhanaan dari

37 Paring Waluyo Utomo, “Genjer-Genjer Dan Stigmatisasi Komunis”, Pusat Studi dan Pengembangan Kebudayaan (Puspek) Averroes, Malang, 2003

38 Perdebatan tentang siapa pencipta lagu Genjer-Genjer pernah dilakukan oleh pelaku sejarah dan pelaku budaya diantaranya Ki Manteb Sudharsono (harian Merdeka Semarang, 2000) yang merujuk pada nama Muhhamad Arief sebagai pencipta. Sementara menurut Hesri Setiawan, salah satu eks-tapol Lekra dan juga budayawan Banyuwangi, mencoba mengklarifikasikan bahwa ketika mengakitkan Genjer-Genjer dengan Ki Narto Sabdho (seniman yang pada awalnya diyakini sebagai pencipta lagu Genjer-Genjer) selain anakronis juga tidak mempunyai dasar sejarah yang kuat. Sebab kebanyakan kesenian rakyat tercipta tanpa diketahui siapa penciptanya. (Utan Parlindungan, op.cit., hal: 56)

irama dan nadanya lagu ini tampil sebagai media perwakalian komunikasi

masyarakat Banyuwangi guna mengkritik segala bentuk penjajahan yang ada.

Oleh karena kesederhanaan tersebut pulalah kehadiran lagu ini dengan mudah

cepat diterima oleh masyarakat Banyuwangi. Selain sebagai salah satu media

kritik lagu ini juga diyakini dapat membangkitkan semangat masyarakat

Banyuwangi dalam melawan segala bentuk-bentuk penindasan yang ada. Dan

juga sebagai pengikat rasa soldaritas masyarakat dalam menjalani kehidupannya

dalam masa-masa penjajahan.

Dalam perjalanannya lagu ini terlahir sebagai salah satu produk

kebudayaan yang dimiliki masyarakat Banyuwangi. Selain fungsi yang

terkandung di atas, lagu ini juga difungsikan sebagai salah satu isyarat perjuangan

masyarakat Banyuwangi dan pengikat rasa solidaritas masyarakat Banyuwangi. 39

Layaknya lagu-lagu yang berkembang di Banyuwangi pada masa penjajahan

Jepang-yang menyiratkan bahasa isyarat bagi perjuangan masyarakat

Banyuwangi.

Kesederhanaan lagu ini semakin membawa ketenaran lagu ini di kalangan

masyarakat Banyuwangi dan di kancah panggung kesenian Banyuwangi.

Lirik-liriknya yang menggambarkan perjuangan masyarakat Banyuwangi dalam

menjalani hidupnya di sela-sela penindasan yang dilancarkan bangsa Jepang-yang

39 Walaupun ketika kita kaji lewat dasar-dasar musikalitasnya, lagu Genjer-Genjer tidak dapat dikategorikan sebagai lagu perjuangan. Karena nada dan iramanya yang cenderung melankolis dan tidak memiliki kriteria lagu perjuangan yang memiliki nada dan irama mars dan juga liriknya yang harus berbahasa Indonesia. Jadi lagu Genjer-Genjer lebih dapat dikatakan sebagai lagu rakyat (folksong). (Iqbal Thawakal., 1993, Atjungkan Tindju Kita, Lagu dan Sikap Politik Jaman Soekarno, Majalah PROGRESS, No.1, Jilid 3)

dalam hal ini kata ibu coba dimaknai secara universal sebagai masyarakat

Banyuwangi-, berhasil mempertebal rasa solidaritas masyarakat Banyuwangi

dalam menjalani hidupnya. Melalui kehadiran lagu ini kesengsaraan dan

kemiskinan yang dialami masyarakat Banyuwangi coba dimaknai dan dinilai

secara bijak oleh masyarakat Banyuwangi. Semangat juang yang tertanam berkat

kehadirannya semakin tebal dan kokoh di setiap lubuk jiwa masyarakat

Banyuwangi. Oleh sebab itulah tak heran ketika M. Arief merasa perlu

mengangkat lagu ini ke kancah yang lebih popular, begitu pula dengan Nyoto.40

Sampai pada tahun 1945 ketika Jepang menyatakan tunduk pada Inggris41

dan Indonesia mendapatkan kemerdekaanya, kepakan sayap lagu Genjer-Genjer

mulai terlihat semakin lebar. Dengan cepat lagu ini berhasil merangkul jiwa

masyarakat Banyuwangi dan para pekerja seni Banyuwangi pada khususnya.

Identitasnya sebagai salah satu produk kebudayaan Banyuwangi (lagu rakyat

Banyuwangi), semakin dikenal oleh kalayak ramai. Walaupun masih sebatas pada

ruang budaya masyarakat Banyuwangi dan sekitarnya. Kehadirannya dapat

menjadi sebuah media komunikasi masyarakat Banyuwangi guna membingkai

segala memori masyarakat pada masa penjajahan Jepang dan juga sebagai media

kritik terhadap bentuk-bentuk penjajahan. Selain itu, fungsinya sebagai media

40 Nyoto salah satu dedengkot PKI baru dan juga pendiri Lekra. Tercatat bahwa Nyotolah yang pada awalnya tertarik dengan lagu ini. Lewat prediksinya yang menyatakan kalau lagu ini dapat menjadi lagu popular dan dapat mewakili ideologi PKI dan Lekra, kehadiran lagu ini coba perjuangkan dan diangkat keepermukaan. (Iqbal Thawakal., op.cit.)

41 Peristiwa pemboman Hirosima dan Nagasaki menandai awal kekalahan Jepang dari Inggris. Hal tersebutlah yang menyebabkan Jepang terpaksa hengkang dari bumi pertiwi. (www.wikipedia.com)

hiburan semakin memposisikan eksistensi lagu ini sebagai lagu rakyat yang

menyenangkan bagi masyarakat Banyuwangi.

Terlebih ketika pada tahun 1950-an sang pencipta lagu, M. Arief, memilih

bergabung dengan Lekra-lembaga kebudayaan yang secara tidak langsung

mempunyai hubungan ideologis dengan PKI-, menyebabkan eksistensi lagu ini

semakin dikenal oleh banyak kalangan baik masyarakat Banyuwangi dan juga

masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal ini terbukti dengan semakin

populernya lagu ini di berbagai kalangan dan lapisan dan golongan masyarakat.

Adapun M.Arief sendiri tertarik untuk dapat bergabung dengan Lekra didorong

oleh situasi kebudayaan Indonesia yang semakin-dan dapat dikatakan-jauh pada

cita-cita revolusi kemerdekaan yang diperjuangkan bangsa Indonesia. Isu-isu ini

menjadi isu terpenting yang dingkat kaum komunis ketika itu dan mereka menilai

sebagai sebuah titik dari kegagalan cita-cita revolusi kemerdekaan Indonesia

(1945-1949). Gagalnya revolusi kemerdekaan Indonesia sama artinya kegagalan

perjuangan pekerja kebudayaan Indonesia untuk menghancurkan kebudayaan

kolonial dan menggantikannya dengan kebudayaan yang demokratis dengan

kebudayaan rakyat.42

Dalam perjalanannya lebih lanjut, kehadiran lagu Genjer-Genjer sebagai

salah satu lagu rakyat Banyuwangi, semakin populer. Pada tahun 1960-an

kejayaan lagu mulai tampak dan semakin jelas. Dengan nuansa langgam jawa

yang berlaraskan pelog, lagu ini mencoba bersaing dengan lagu-lagu popular

yang ada pada masa itu. Fakta mengkisahkan kepada kita bahwa pada tahun 1960

Lilies Suryani43 merilis lagu Genjer-Genjer bersama dengan lagu lainnya. Hal ini

yang semakin membawa lagu Genjer-Genjer pada titik kepopulerannya. Dan

keberadaannya sebagai lagu rakyat banyuwangi semakin dikenal dan digemari

oleh berbagai kalangan dari berbagai lapisan.

Perlu diketahui juga bahwa populeritas lagu Genjer-Genjer merupakan

salah satu titik awal kebangkitan dari lagu-lagu rakyat Banyuwangi. Hal ini di

buktikan dengan banyak bermunculannya musisi-musisi dan seniman

Banyuwangi dan mencoba berkiprah bersama dengan karya-karyanya dalam

panggung hiburan Indonesia. Biasanya lagu-lagu yang tercipta cenderung

mewakili kepentingan politis partai politis tertentu. Hal ini dikerenakan situasi

politis pada masa itu menuntut seniman dan juga musisi untuk dapat berjalan

beriringan dengan nilai loyalitasnya pada ideologi partai yang diperjuangkan.

Salah satunya adalah M.Arief sendiri, dalam hal ini M. Arief tidak bisa

menghindar dari situasi ini dan mau tidak mau harus bersikap memihak pada satu

ideologi yang ada dalam tubuh partai politik.44 Dari sini dapat terlihat bagaimana

kehadiran lagu Genjer-Genjer bukan saja memperkaya kasanah seni musik

popular Indonesia, akan tetapi kehadirannya secara tidak langsung mempunyai

43

Lilies Suryani adalah salah satu musisi terkenal pada era itu, namanya sangat dikenal senagai penyanyi Indonesia. Banyak karya yang telah didendangkannya, salah satunya lagu Genjer-Genjer. (www.wikipedia.co.id)

44 Selain M. Arief komponis yang mewakili kelompok sayap kiri, juga bermunculan komponis-komponis lain dari kelompok lain. Seolah-olah komponis-komponis ini mencoba menjadi pesaing meskipun warna dan nuansa yang sama. Kontestasi ini terus mewarnai perkembangan berkesenian pada masa itu.

pengaruh yang significant bagi perkembangan lagu rakyat Banyuwangi di kancah

panggung popular dan juga bagi kehidupan politik pada masa itu.

Dengan bergulirnya waktu, kehadiran lagu ini mulai merambah ke segala

kalangan dan lapisan. Hampir setiap kalangan mempunyai kerinduan untuk dapat

mendendangkan lagu ini di sela-sela kehidupan sehari-harinya. Keunikan dari

nada, irama dan syair-syairnya, semakin memposisikannya ke dalam wadah

media hiburan yang menyenangkan bagi rakyat Indonesia. Bukan hanya itu

dengan semakin senangnya masyarakat Indonesia dalam menikmati dan

mendendangkan lagu Genjer-Genjer, melahirkan sebuah modifikasi dan

arragement tersendiri dalam menyanyikan dan mendendangkan lagu

Genjer-Genjer baik dalam bentuk langgam Jawa maupun versi Band. Pada periode tahun

ini disebut oleh sebagian kalangan, khususnya seniman dan musisi Banyuwangi,

merupakan titik awal kebangkitannya di kancah panggung lagu popular di

Indonesia.

Dokumen terkait