• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

Pada Lagu Genjer-Genjer Oleh Orde Baru

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Disusun Oleh : Ruddy Eppata Cahyono

014314019

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan kepada:

¾ Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan Cahaya Terang Roh Kudusnya ke dalam hati dan pikiran ku.

¾ Bapak Fx Sri Mulyono, Ibu Maria Titie Utami (almh) dan Ibu Rusmini yang telah merawat dan membesarkan dengan penuh kesabaran dan ketabahannya hingga skripsi ini selesai.

¾ Mbak Endah sekeluarga, Mbak Diah sekeluarga, Mbak Shinta sekeluarga dan Mas Doddy sekeluarga yang selalu membimbing dan mendukung dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini selesai.

¾ Henny Puspitasari yang selalu mendampingi dan mendukung baik dalam susah maupun senang.

(5)

“…..sebab perjuangan itu perlu bukti…..”

“ hasil tak kan pernah terbentuk tanpa adanya proses”

“ memahami masa lalu, bijak untuk masa depan”

“Roda-roda terus berputar, tanda masih ada hidup

karna dunia belum terhenti, berputar searah….teruslah bermimpi jangan

pernah lelah meski tak mudah meraihnya….buktikan, buatlah menjadi

nyata..hadapi dunia dengan wibawa dan bijak…”

(Andrea Hirata “Sang Pemimpi”)

“kesadaran adalah matahari…kesabaran adalah bumi…

Perbuatan adalah wujud dari kata-kata…

….aku bernyanyi menjadi saksi…atas semua luka-luka…”

(6)

Saya menyatakan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis adalah asli

kreasi saya sendiri tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang

telah disebutkan dalam kutipan atau daftar pustaka, sebagai karya ilmiah.

Yogyakarta, 15 Mei 2010

Penulis

(7)

ABSTRACT

Eppata Cahyono, Ruddy., 2010., "GENJER-GENJER: Functions and Role., Case Studies, Bans and Communists Stigma in Genjer-Genjer Song by Orde

Baru", Undergraduate Thesis., Yogyakarta: Departement of History

Letter, Faculty of History Letter. Sanata Dharma University.

This research studies how the political upheaval that was happening in the life of nation and state in Indonesia, bringing a significant impact for the progress the Genjer-Genjer songs. The strong grip of the political ideologies, bring off the change image on Genjer-Genjer songs from the real image, a Banyuwangi folk song, became a political song. This case study is divided into four main issues: the history of creation the Genjer-Genjer songs?, A further development from the years 1942-1966?, Function and role in the development of life in art and politics in Indonesia? and the causes of the bans and strong of communist stigma for the Genjer-Genjer song?

The purpose of this research is to understand and answer the "mystery" of the travel ban and the communism stigma in this song that launched by the Orde Baru regime, through the point of view function and its role as one of the products of human culture. Moreover, how early-Genjer-Genjer song creation and how the development of track Genjer-Genjer the next period is also one goal of this research.

To understand and answer the problems that occurred in these cases, this study uses the historical research method that consists of four phases namely: the collection of sources, source criticism, analysis, sources and historiography. In the collection of sources in order to obtain valid sources and related to the case, this study take several steps, such as interviews, literature and websites. Furthermore, in order to be able to analyze the sources of this study utilize several social science theories, such as Bronisław Malinowski functional theory, value theory Mudji Soetrisno and, the theory of music Dieter Mack. With these theories "mystery" of the phenomenon of the presence on the track of the Genjer-Genjer can be revealed with the presence of this historiography.

From the overall results of this study it appears that, at the beginning of creation, in 1942, the Genjer-Genjer song created purely as a folk song Banyuwangi community. Together with the values contained in the functions of this song tries to enliven the artculture in Indonesia. But the socio-political upheaval that occurred in the era 1960-1966, succeeded in changing the image of the Genjer-Genjer song, become like a song of political ideology. The strong grip of political ideologies scraped the consequences for the Genjer-Genjer song and ended on a travel ban and communist stigma.

(8)

ABSTRAK

Eppata Cahyono, Ruddy., 2010., “GENJER-GENJER: FUNGSI DAN PERAN., Studi Kasus, Pencekalan Dan Stigma Komunis Pada Lagu Genjer-Genjer

Oleh Orde Baru”, Skripsi Strata I, Yogyakarta: Prodi Ilmus Sejarah,

Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana pergolakan politik yang sedang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia membawa dampak yang signifikan bagi perjalanan lagu Genjer-Genjer. Kuatnya cengkraman ideologi-ideologi politik yang sedang berkembang, berhasil mengubah-fungsikan citra lagu Genjer-Genjer dari citra yang sesengguhnya yakni, lagu rakyat Banyuwangi, menjadi lagu yang bernuansa politis. Penelitian kasus ini terbagi ke dalam empat permasalahan yakni: sejarah penciptaan lagu Genjer-Genjer?, Perkembangannya dari tahun 1942-1966?, fungsi dan peranannya bagi perkembangan kehidupan berkesenian dan perpolitikan Indonesia? dan sebab-sebab dari pencekalan dan kuatnya stigma komunis bagi lagu Genjer-Genjer?

Tujuan dari penelitan ini adalah untuk dapat memahami dan menjawab “misteri” dari pencekalan dan stigma komunis pada lagu ini yang dilancarkan oleh Rejim Orde Baru, lewat sudut pandang fungsi dan perannya sebagai salah satu produk dari kebudayaan manusia. Selain itu, bagaimana awal terciptanya lagu Genjer-Genjer dan bagaimana perkembangan dari lagu Genjer-Genjer pada periode selanjutnya juga menjadi salah satu tujuan dalam penelitian ini.

Guna memahami dan menjawab permasalahan yang terjadi pada kasus tersebut, penelitian ini mengunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari empat tahap yakni: pengumpulan sumber, kritik sumber, analisis sumber dan penulisan sejarah. Dalam pengumpulan sumber guna memperoleh sumber-sumber yang valid dan terkait dengan kasus tersebut, penelitian ini mengambil beberapa langkah seperti wawancara, studi pustaka dan website. Selanjutnya, untuk dapat menganalisis sumber-sumber tersebut penelitian ini mempergunakan beberapa teori ilmu sosial seperti, teori fungsionalnya Bronislaw Malinowski, teori nilainya Mudji Soetrisno dan teori musiknya Dieter Mack. Lewat teori-teori tersebut “misteri” dari fenomena kehadiran lagu Genjer-Genjer dapat terungkap bersama kehadiran historiografi ini.

Dari hasil keseluruhan penelitian ini tampak bahwa, pada awal penciptaannya, 1942, lagu Genjer-Genjer murni tercipta sebagai lagu rakyat masyarakat Banyuwangi. Bersama dengan nilai-nilai yang terkandung dalam fungsi-fungsinya lagu ini mencoba mewarnai perjalanan seni-budaya di Indonesia. Namun pergolakan sosial-politik yang terjadi pada era 1960-1966, berhasil mengubah-fungsikan citra dari lagu Genjer-Genjer sebagai lagu yang berideologi politik. Kuatnya cengkraman ideologi politik menggoreskan konsekuensi bagi lagu Genjer-Genjer dan berakhir pada pencekalan dan terpasungnya pada sebuah stigma ko

(9)

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : RUDDY EPPATA CAHYONO

Nomor Mahasiswa : 014314019

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

GENJER-GENJER : FUNGSI DAN PERAN., Studi Kasus : Pencekalan Dan Stigma Komunis Pada Lagu Genjer-Genjer Oleh Orde Baru

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun mem-berikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 1 Mei 2010

Yang menyatakan

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan

rahmatNya,sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan ini tidak lepas

dari berbagai pihak. Maka dalam penelitian ini terucap terimakasih yang

sebanyak-banyaknya kepada:

1. Dr. Fransisca Ninik Yudianti, M. Acc., selaku Wakil Rektor I Universitas Sanata

Dharma.

2. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas

Sanata Dharma.

3. Drs. H. Hery Santosa, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Ilmu Sejarah dan

dosen akademik. Atas segala kesabaran, didikan dan bimbingan yang telah

diberikan

4. Drs. Silverio R. L. Aji Sampurna M.Hum., selaku dosen pembimbing atas

segala kritik, bimbingan, kesabaran dan kemudahan yang diberikan.

5. Dosen-dosen Ilmu Sejarah: Bpk. Drs. Ign. Sandiwan Suharso., Bpk. Drs. H.

Purwanta, M.A., Bpk. Dr. Anton Haryono, M.Hum., Bpk. Alm. Drs G..

Moedjanto., Bpk. Alm. Prof. Dr. P.Y. Suwarno, S.H., Ibu Dra. Lucia Juningsih,

M.Hum., Dr. F.X. Baskara T. Wardaya, SJ., atas segala bimbingan dan

tuntunannya selama kuliah.

6. Rekan-rekan sejarah: Taji, Tholo, Eka, Tato, Lazarus, Krisna besar dan kecil,

Ajeng, Riska, Erna, Lina, Bertha, Eko, Hendri, Adit, Fenny, Agus, Mbelek,

(11)

Sempal, Upi, Badu, Hananto, Bondan, Bondo, Qser, dan semua kawan-kawan

ilmu sejarah Universitas Sanata Dharma atas dorongan dan motivasinya kepada

penulis, sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini.

7. Songket Band: Gembes, Yoyon, Khonteng, Catag, Pletot, Melky, dan Tejo, yang

telah memberikan pengertian, dorongan dan motivasinya kepada penulis

sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Saudaraku Febby, Novi, Melly dan Gery atas bimbingannya selama ini.

9. Komunitas Seni WAPRES Bulungan, Jakarta Selatan

10.Komunitas Seni Bambu, Jakarta Selatan

11.Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur

12.Komunitas Seniman Banyuwangi, Surakarta

13.Komunitas Teplok, Surakarta

14.Bapak, Ibu, kakak-kakak, keponakan dan my soul of spirit Henny, aku bahagia

menjadi bagian kehidupan kalian.

15.Dan semua pihak yang tidak bisa disebut satu per satu, penulis mengucapkan

terima kasih sebesar-besarnya atas kerjasama dan dukungannya selama ini

sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Hasil dari penelitian ini disadari masih jauh dari sempurna, karena itu masukan

dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun masih sangat diperlukan. Semoga

skripsi ini berguna bagi siapa saja dan dapat membantu bahan studi selanjutnya.

Yogyakarta, 2010

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……….. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………. ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRACT ... vi

ABSTRAK ………... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN………... 1

A. Latar Belakang penelitian ...……... 1

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ...…….. 7

C. Rumusan Masalah ...……. 9

D. Tujuan Penelitian ...……. 10

E. Manfaat Penelitian ...……. 11

F. Tinjauan Pustaka ...……. 12

G. Landasan Teori ...…….. 15

H. Metode Penelitian ...…….. 17

I. Sistematika Penulisan ...……. 19

BAB II RUANG SENI DAN TRADISI LAGU GENJER-GENJER ... .. 21

A. Sekilas Perjalanan Seni dan Lagu Banyuwangi ...…….. 21

B. Jejak-Jejak Awal Lagu Genjer-Genjer (1942-1960) ...…….. 30

C. Fungsi Lagu Genjer-Genjer ...…….. 38

(13)

BAB III LAGU GENJER-GENJER DALAM CENGKRAMAN POLITIK ... .. 41

A. Selayang Pandang Perkembangan Lagu di Indonesia Tahun 1960- 1966 ...…….. 41

B. Jejak Langkah Lagu Genjer-Genjer 1960-1965...……. 48

C. Pandangan PKI dan LEKRA bagi Lagu Genjer-Genjer ...……. 53

BAB IV JEJAK AKHIR LAGU GENJER-GENJER ... .. 57

A. Dari G30S Sampai Pada Pencekalan Lagu Genjer-Genjer 1965-1966……..………...57

B. Lagu Genjer-Genjer Di Antara Banyuwangi, PKI, LEKRA Dan Orde Baru...……...63

BAB V KESIMPULAN ... ..67

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN I

LAMPIRAN II

LAMPIRAN III

LAMPIRAN IV

(14)

A. Latar Belakang Penelitian

Musik atau lagu, sebagai salah satu ungkapan ekspresi seni manusia,

melukiskan jejak tersendiri bagi perjalanan kehidupan kebudayaan manusia.

Musik atau lagu merupakan sebuah pernyataan seni yang paling universal dalam

bentuk dan merupakan suatu getar keindahan yang diantar langsung ketali rasa

manusia.1 Bersama dengan keindahan dan harmonisasi dari nada, irama, dan

syair-syair yang ditampilkannya, lagu berhasil hidup subur di setiap aspek

kehidupan manusia. Hampir setiap lapisan dari berbagai golongan terbius oleh

kenikmatan yang disuguhkan oleh musik atau lagu, dan kehadirannya tidak dapat

begitu saja terlepas dari kehidupan manusia.

Sebagai sebuah struktur seni, layaknya semua seni, lagu hadir dengan

beragam fungsi dan peran. Selain berfungsi sebagai media hiburan, fungsi-fungsi

lain seperti alat ritual, alat pengikat komunitas, alat perjuangan, media kritik,

sampai pada alat propaganda politis, juga turut mewarnai. Selanjutnya, bersama

dengan fungsi-fungsi tersebut nilai-nilai yang terkandung diharapkan dapat

menjadi wadah komunikasi antara si pengarang lagu dengan audience atau

penikmat lagu.

1

M. Raka Santeri., 1964, Kelesuan Dalam Penciptaan Lagu–Lagu Populer, Majalah Gelora, Jakarta, hal: 15

(15)

Eratnya hubungan yang terjalin antara lagu dengan kehidupan manusia

menyebabkan pola yang terbentuk pada lagu tidak jauh berbeda dengan pola yang

lahir dan berkembang dalam kehidupan manusia. Pergolakan-pergolakan yang

tampil dalam kehidupan kebudayaan manusia (sosial, ekonomi dan politik) secara

tidak langsung membawa pengaruh yang significant bagi kelangsungan

kehidupan lagu, begitu pula sebaliknya. Tidak jarang pergolakan tersebut

merubah fungsi nilai dan makna yang terkandung dalam lagu menjadi sebuah

nilai dan makna yang baru, dan terkadang memaksa lagu untuk berjalan jauh

terlepas dari ruang idealismenya, terkait dengan fungsi dasar terciptanya sebuah

lagu. Pada titik ini tanpa di sadari lagu berjalan pada titik ambiguitas makna dan

fungsi.

Perubahan fungsi tersebut terlihat jelas ketika kehadiran lagu harus

dibenturkan pada sebuah kepentingan dari sistem politik yang sedang berkembang

dalam kehidupan manusia, terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kuatnya makna kuasa dan kontrol dari sebuah sistem politik yang sedang

berkembang, memposisikan lagu untuk pada titik yang lemah. Keinginan untuk

dapat berjalan netral dalam ruang idealisme seninya dirasakan sulit untuk dapat

dicapai, terlebih ketika lagu dipaksa mempunyai nilai loyalitas terhadap sebuah

sistem politik tertentu. Dampak yang lebih luas lagi dari perubahan fungsi lagu

adalah diangkatnya sesuatu yang artifisial menjadi simbol demi menyaratkan

(16)

tangan dari sebuah sistem politik,2 bahkan bisa dikatakan hanya sebatas

dimanfaatkan. Pada dasarnya hakikat seni, dalam hal ini lagu, adalah ekspresi

manusia, karena itu upaya mempolitisasi bidang seni pada zaman sekarang hanya

akan mengakibatkan kematian seni itu sendiri.3

Seperti halnya yang terjadi dalam kasus pencekalan dan stigma komunis

pada lagu Genjer-Genjer oleh Orde Baru. Dalam kasus ini, lagu Genjer-Genjer

pada perjalanannya dipaksa berubah fungsi demi sebuah kepentingan dari sistem

politik yang sedang berkembang dalam tubuh rezim politik yang sedang berkuasa

pada era 1960-an (PKI dan Orde Baru). Kuatnya cengkraman dari sistem politik,

baik dari PKI maupun Orde Baru, berhasil membentuk fungsi baru dalam tubuh

lagu Genjer-Genjer yang secara tidak langsung menghantar lagu Genjer-Genjer

pada titik ambiguitas fungsi dan nilai. Berawal dari titik ambiguitas tersebutlah

pada akhirnya menyebabkan pencekalan dan melahirkan sebuah makna komunis

pada lagu Genjer-Genjer. Pada ruang ini jelas terlihat bagaimana kehadiran lagu

Genjer-Genjer coba dimanfaatkan oleh rezim politik tertentu demi perpanjangan

tangan sistem politiknya dan kelancaran dari kelangsungan kehidupan politiknya.

Ideologi politik yang terbentuk dalam tubuh partai atau kelompoknya dipaksa

melebur ke dalam tubuh lagu Genjer-Genjer dan menyebabkan lahirnya sebuah

makna dan nilai baru bagi lagu. Ironisnya makna dan nilai tersebut dijadikan

2

Teguh Karya Esha, dkk., 2005, Ismail Marjuki: Musik, Tanah Air, Dan Cinta, Pustaka LP3ES, Jakarta, lihat kata pengantar Dieter Mack, Musik di antara Seni dan Politik : Sebuah Dilema Abadi, hal: xvii

3

(17)

simbol yang menyaratkan sebuah kepentingan politik dari kelompok politik

tertentu.

Ketika dikaji lebih dalam melalui kerangka awal penciptaannya, lagu

Genjer-Genjer murni tercipta sebagai lagu rakyat (folksong) yang berasal dari

daerah Banyuwangi. Lukisan kesengsaraan masyarakat Banyuwangi dalam

menjalankan kehidupannya di sela-sela bentuk kolonialisasi Jepang dijadikan

inspirasi dari sang pengarang lagu, M. Arief, untuk dapat menciptakan lagu

Genjer-Genjer. Digambarkan oleh M. Arief bagaimana akibat kolonialisasi,

masyarakat Banyuwangi hidup dalam kondisi kemiskinan yang luar biasa

sehingga harus makan daun genjer.4 Berawal dari lukisan-lukisan inilah yang

selanjutnya oleh M.Arief lagu Genjer-Genjer diharapkan dapat berfungsi sebagai

media kritik terhadap bentuk penjajahan Jepang5 dan media perjuangan bagi

masyarakat Banyuwangi dalam menjalani kehidupannya di sela-sela kehidupan

kolonialisasi bangsa Jepang.

Bersama dengan kesederhanaan dan harmonisasi dari nada, irama, dan

syair-syairnya, lagu Genjer-Genjer berhasil menjadi perwakilan suara-suara

perjuangan masyarakat Banyuwangi dalam menghadapi bentuk kolonialisasi

Jepang dan menyebabkan semakin dikenalnya lagu ini oleh kalayak ramai. Pada

periode tahun 1960 sampai pada pertengahan tahun 1965, perjalanan lagu

Genjer-Genjer menapaki masa kejayaannya. Lagu ini semakin populer dan hampir setiap

4 Jurnal Paring Waluyo Utomo., 2003, Genjer-Genjer Dan Stigmanisasi

Komunis, Pusat Studi Dan Pengembangan Kebudayaan (Puspek), Malang

5 Utan Parlindungan., 2007, Musik Dan Politik: Genjer-Genjer, Kuasa dan

Kontestasi Makna, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM,

(18)

kalangan dari berbagai golongan mengenal dan menyenangi lagu ini. Akan tetapi

tanpa di sadari, cengkraman ideologi politik PKI secara perlahan mulai

mencengkram setiap jejak perjalanan lagu Genjer-Genjer pada era tersebut.

Tahap demi tahap cengkraman tersebut melahirkan sebuah fungsi baru bagi lagu

rakyat Banyuwangi ini menjadi sebuah lagu propaganda politiknya PKI. Lagu

Genjer-Genjer oleh PKI dijadikan alat perpanjangan sistem ideologinya guna

menarik simpati dari massa. Mulai saat itu lagu Genjer-Genjer di kenal bukan

lagi sebatas lagu rakyat yang berasal dari Banyuwangi namun juga di kenal

sebagai lagunya orang-orang PKI. Nilai propaganda yang digoreskan PKI ke

dalam tubuh lagu Genjer-Genjer ternyata melahirkan nilai konsekuensi, implikasi

dan indikasi tersendiri bagi perjalanan lagu Genjer-Genjer. Secara tidak langsung,

aroma ideologi komunis PKI melebur ke dalam tubuh lagu Genjer-Genjer yang

menyebabkan terikatnya lagu Genjer-Genjer pada stigma komunis atau PKI.

Sejak saat itu kehadirannya tidak penah bisa terlepas begitu saja dari PKI, dan

wajar ketika Orde Baru memilih untuk mencekal lagu Genjer-Genjer.

Kuatnya cengkraman ideologi PKI bagi lagu Genjer-Genjer memaksa

lagu Genjer-Genjer menenggak pil pahit, serupa dengan nasib yang dialami PKI.

Pasca meletusnya tragedi G30S 1965 dan menyeret PKI sebagai dalang dibalik

peristiwa tersebut. Nasib lagu Genjer-Genjer pun berubah drastis, kedekatannya

dengan PKI menuntut lagu ini turut memanggul nilai tanggung jawab atas

terjadinya peristiwa tersebut. Lagu Genjer-Genjer dipaksa terlibat dan

didisfungsikan sebagai sebuah lagu rakyat yang berakhir pada pencekalannya di

(19)

dasar pemikiran Orde Baru guna untuk dapat mencekal lagu Genjer-Genjer. Orde

Baru memanfaatkan lagu Genjer-Genjer dan mendesaign lagu ini sebagai senjata

ampuh guna mematikan langkah PKI. Terlebih ketika pemerintah pada era itu

memberikan kuasa penuh bagi Suharto, salah satu petinggi dari Orde Baru, lewat

Tap MPRS No IX/MPRS/1966 tentang perintah untuk dapat mengondusifkan

keadaan dan Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI dan

pelarangan/pengharaman segala ajaran komunis, Marxisisme-Leninisme.

Menambah semakin gencarnya Orde Baru melakukan maneuver-manuver

pemberatasan PKI dan segala atributnya. Lagu Genjer-Genjer pun tidak luput

terlahap, lagu ini di cekal dan didisfungsikan sebagai lagu rakyat Banyuwangi.

Bangunan mitologi-mitologi komunis yang dirancang Orde Baru berhasil

mendoktrin pola pikir sebagian besar Bangsa Indonesia sampai saat ini dan

melahirkan rasa paranoid untuk dapat menyanyikan lagu Genjer-Genjer dalam

kehidupan sehari-harinya.

Kasus yang terjadi pada lagu Genjer-Genjer sekilas menggambarkan

bagaimana pergolakan yang terjadi dalam kehidupan manusia, khususnya

pergolakan politik, mempunyai pengaruh yang sangat significant bagi perjalanan

atau perkembangan sebuah produk kebudayaan, dalam hal ini lagu

Genjer-Genjer. Semakin besar sebuah bangsa semakin kompleks pula permasalahan yang

akan dihadapinya dan tidak jarang menuntut korban yang tidak sedikit dari segala

aspek. Benturan-benturan kepentingan politis antara PKI dan Orde Baru memaksa

lagu Genjer-Genjer untuk menelan pil pahit dan, dapat dikatakan, menjadi

(20)

pernah bisa dikaitkan dengan sebuah bangsa, kecuali bila dipaksakan oleh sistem

politik tertentu yang berwatak otoriter.6

B. Identifikasi Dan Pembatasan Masalah

Kasus pencekalan dan stigma7 komunis pada lagu Genjer-Genjer yang

dilancarkan oleh Orde Baru membawa keunikan tersendiri untuk dikaji secara

mendalam. Bermuara pada uraian di atas, lahirlah beberapa permasalahan di

dalamnya. Dibalik nuansa PKI dan pekatnya aroma komunis pada lagu

Genjer-Genjer, ternyata mengandung keistimewaan tersendiri dari fungsi dan perannya

bagi perkembangan kesenian masyarakat Banyuwangi, Indonesia, Lekra dan

ideologi politik PKI. Dari sebab itu keistimewaan-keistimewaan fungsi dan peran

yang terkandung dalam tubuh lagu Genjer-Genjer dirasa perlu untuk di ungkap.

Selain itu, apakah yang melatarbelakangi si pencipta lagu dalam menciptakan

lagu Genjer-Genjer juga menjadi salah satu topik permasalahan dalam pengkajian

ini untuk dapat menjadi dasar pengertian kenapa fungsi dan peran itu bisa

tertanam dalam lagu Genjer-Genjer.

Rejim Orde Baru yang pada era 1965 diberi mandat oleh pemerintah

untuk dapat mengkondusifkan kembali Indonesia dari segala kekacauan akibat

6 Teguh Esha, dkk., op.cit , hal: xvii

7

(21)

peristiwa G30S, mengambil salah satu kebijakan yang cukup unik, yakni

pencekalan lagu Genjer-Genjer dari panggung hiburan Indonesia. Kebijakan

tersebut sudah barang tentu tidak berjalan begitu saja tanpa dasar-dasar penilaian

didalamnya. Oleh sebab itu, apakah yang melatarbelakangi kebijakan tersebut

dirasa tepat untuk dapat dikaji lebih dalam lagu dalam penelitian ini. Selain itu,

keistimewaan apa yang terkandung dalam lagu Genjer-Genjer dan apakah lagu

Genjer-Genjer mengandung fungsi atau hanya dimanfaatkan oleh Orde Baru guna

mematikan langkah PKI juga menjadi salah satu permasalahan yang perlu

dijawab dalam penelitian ini. Lagu Genjer-Genjer dalam perjalananya bukan saja

dicekal namun pekatnya stigma komunis dalam lagu ini juga turut mewarnai dan

permasalahan ini sampai sekarang belum terjawab dengan mendalam. Stigma

komunis itu sendiri terlahir sekilas dari sebuah konsekuensi kedekatannya dengan

PKI namun dibalik itu semua apakah ada nilai-nilai lain yang mendasari Orde

Baru dan KAMI untuk menstigma komunis lagu Genjer-Genjer, terlebih

kaitannya dengan unsur atau nilai keindahan suatu seni atau lagu.

Peristiwa sejarah, oleh kebanyakan orang dimaknai sebagai sebuah

untaian peristiwa yang pernah terjadi pada masa lalu dan tersusun oleh runtutan

periode dari tahun ke tahun. Oleh sebab itulah guna tercapainya sebuah

historiografi kebudayaan maka urutan dari tahun ke tahun secara sistematis perlu

dihadirkan disini. Pengkajian ini terangkai dari tahun 1942 sampai 1966, tersusun

dari awal terciptanya lagu Genjer-Genjer 1942 sampai pada pencekalannya pada

tahun 1966. Kurun waktu 24 tahun merupakan putaran waktu yang tepat guna

(22)

waktu ini dapat terlihat jelas bagaimana sebuah proses perjalanan lagu

Genjer-Genjer dalam menapaki kehidupannya sampai pada nasib pahitnya yakni

pencekalannya dan perubahan nilai dan maknanya menjadi sebuah lagu yang

mengandung stigma komunis.

Batasan waktu dalam pengkajian ini terhenti pada tahun 1966, pada tahun

ini dapat dengan jelas terlihat dasar-dasar penilaian apa saja yang diambil oleh

Orde Baru guna mencekal lagu Genjer-Genjer. Selain itu, bagaimanakah proses

sebuah stigma komunis bisa dengan mudah melekat dalam tubuh lagu

Genjer-Genjer. Bagaimanakah pandangan kalayak ramai pada umumnya dan juga

masyarakat Banyuwangi pada khusus tentang pencekalan lagu Genjer-Genjer

oleh Orde Baru juga dapat terkaji dengan jelas.

C. Rumusan Masalah

Bermuara dari uraian diatas, lahir beberapa permasalahan untuk dapat

dikaji lebih dalam. Adapun rumusan masalah tersebut terbagi dalam beberapa

butir yakni :

1. Bagaimanakah sejarah terciptanya lagu Genjer-Genjer dan apakah

yang melatarbelakangi terciptanya lagu Genjer-Genjer?

2. Bagaimanakah perkembangan lagu Genjer-Genjer pada tahun

1960-1966?

3. Bagaimanakah fungsi dan peran lagu Genjer-Genjer bagi

perkembangan kehidupan masyarakat Banyuwangi, masyarakat

(23)

4. Apakah yang mendasari Orde Baru mencekal dan menstigma

komunis lagu Genjer-Genjer?

Pengkajian berdasarkan pendekatan historis dari latar belakang terciptanya

lagu Genjer-Genjer, diharapkan dapat menjelaskan sejarah terciptanya lagu

Genjer-Genjer. Selanjutnya, bersama dengan pendekatan secara mendalam lewat

pendekatan antropologis, sosiologis, seni musik, hukum dan politik diharapkan

dapat menguak keistimewaan fungsi dan peran yang terkandung dalam lagu

Genjer-Genjer dan juga dapat mengungkap nilai-nilai dasar dari perubahan fungsi

lagu Genjer-Genjer sampai pada pencekalan dan stigma komunisnya.

Bersama dengan pendekatan displin-displin ilmu ini diharapkan dapat

menjawab segala permasalahan yang ada dalam penelitian ini dari segala ruang

dan juga sekat-sekat terkecilnya.

D. Tujuan Penelitian

a. Akademis

Kehadiran lagu Genjer-Genjer sebagai lagu rakyat Banyuwangi menarik

keunikan tersendiri dalam kehidupan bangsa Indonesia. Keunikan dari ekspresi

seni musik yang ditampilkannya semakin mewarnai kehidupan berkesenian di

Indonesia. Dengan mengkaji kasus lagu Genjer-Genjer secara mendalam,

diharapkan “misteri” dari fenomena kehadirannya dapat terungkap. Dan

akhirnya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah referensi bagi peneliti

yang menaruh titik fokusnya pada penulisan sejarah kebudayaan khususnya seni

(24)

b. Praktis

Bersama dengan hadirnya tulisan mengenai kasus pencekalan dan stigma

Komunis pada lagu Genjer-Genjer ini. Diharapkan masyarakat di luar lingkup

akademis bisa dengan jelas memahami latarbelakang dari kasus pencekalan dan

proses melekatnya stigma komunis pada lagu Genjer-Genjer. Pada akhirnya

sebuah upaya untuk dapat merehabilitasi sebuah kultur dapat secara bijak dipilih.

E. Manfaat Penelitian

a Teoretis

Pengkajian kasus pencekalan lagu Genjer-Genjer oleh Ordebaru, belum

sepenuhnya dijadikan minat khusus dalam penelitian oleh beberapa khalayak.

Terbatasnya sumber bahkan tulisan-tulisan yang mencoba mengkaji kasus

tersebut menyebabkan minimnya pemahaman kalayak umum terhadap

permasalahan yang terjadi. Dari sebab itulah maka diharapkan dengan lahirnya

tulisan ini dapat menambah pembendaharaan kasanah tulisan sejarah kebudayaan,

khususnya seni musik. Sehingga pada nantinya dapat bermanfaat bagi mereka

yang mencoba menaruh titik fokus pengkajiannya pada kasus ini.

b. Praktis

Keberhasilan dari sebuah penelitian adalah ketika hasil akhir dari

penelitian itu (tulisan) berhasil mengungkap dan mengkomunikasikan sebuah

peristiwa yang dikajinya kepermukaan. Sehingga masyarakat pada umumnya

dapat memahaminya sebagai sebuah pembelajaran mereka dalam menyikapi

segala peristiwa yang terjadi dalam masa lalu secara bijak. Begitu pula dengan

(25)

umumnya guna memahami dan mempelajari segala bentuk permasalahan yang

sebenarnya terjadi dalam pergolakan kehidupan seni dan politik dalam ruang

kebudayaan.

F. Tinjauan Pustaka

Kehadiran sumber-sumber pustaka disamping sumber-sumber lainnya

dalam sebuah penelitian, yang telah ada atau telah beredar sebelumnya

dilapangan, merupakan salah satu alat penting guna tercapainya keberhasilan dari

sebuah penelitian. Hal tersebut semata-mata bukan saja digunakan sebagai

panduan atau acuan bagi kelangsungan sebuah penelitian namun juga dijadikan

sebagai sebuah tolak ukur dasar dari keaslian sebuah penelitian. Sehingga

keaslian dari hasil penelitian yang dikaji dapat teruji valid secara akademis

maupun secara praktis.

Banyak upaya yang dilakukan oleh para ilmuwan, baik yang ada dalam

bidangnya maupun tidak, untuk dapat menempatkan seni musik sebagai titik

fokus pengkajian dan penulisannya dan dapat menjadi acuan dan data-data.

Namun pengkajian yang bermuara pada kasus pencekalan dan stigmatisasi

komunis pada lagu Genjer-Genjer oleh Orde Baru masihlah minim untuk dapat

ditemukan di lapangan sampai saat ini.

Bentuk-bentuk pustaka yang mencoba mengkaji musik atau lagu sebagai

fokus pengkajiannya dan cukup memiliki relevansi dengan kasus pencekalan

Genjer-Genjer antara lain: buku yang berjudul Catatan Musik Indonesia:

(26)

Hardjana mencoba menjelaskan tentang semua persoalan yang akan dan terus

dihadapi oleh seni musik dalam kehidupan sehari-harinya. Kompleksnya

permasalahan yang dihadapi akan terus berkembang dan terkadang dapat

melempar seni musik kedalam lorong keterasingan. Meski dalam buku ini kasus

Genjer-Genjer tidak masuk dalam pemahasan namun setidaknya lewat buku ini

sekilas tampak bagaimana perkembangan seni musik dalam menjawab segala

tantangan yang digoreskan oleh jaman.

Selanjutnya, penelusuran pun terhenti pada sebuah buku yang berjudul

Kembang-Kembang Genjer, karya Fransisca Ria Susanti. Dalam buku ini

dijelaskan bagaimana trauma dan penderitaan orang-orang yang dianggap

mempunyai kedekatan dengan PKI dan ideologi komunis harus dihadapkan pada

nasib yang ironis dan kenangan tersebut sulit untuk dapat terhapus oleh waktu.

Keunikan dalam buku ini adalah ketika bahasan bermuara pada korban 65, tidak

tertutup pada permasalahan kedekatannya dengan PKI dan juga kedekatannya

dengan lagu Genjer-Genjer. Akan tetapi bahasan tentang lagu Genjer-Genjer

tidak menjadi titik fokus pembicaraan, hanya sebatas nilai konsekuensi dan

indikasi dari kegemarannya menyanyi lagu Genjer-Genjer.

Sebuah pembahasan tentang kasus yang dihadapi lagu Genjer-Genjer

coba diuraikan secara cerdas dan kritis dalam buku Musik Dan Politik:

Genjer-Genjer, Kuasa dan Kontestasi Makna, karya Utan Parlindungan S. Dalam buku

ini, coba dijabarkan secara gamblang bagaimana makna kuasa politik yang

berkembang dalam tubuh PKI dan Orde Baru, telah berhasil memperkosa

(27)

lagu Genjer-Genjer jauh terlepas dari fungsi awal terciptanya lagu

Genjer-Genjer. Meskipun dalam buku ini kasus lagu Genjer-Genjer secara gamblang

diulas namun dasar pendekatan penulisan buku lebih terfokus pada kacamata

politik. Kajian historis dari sudut pandang fungsi dan peran belumlah secara

fokus menjadi dasar penelitian.

Selain buku-buku tersebut diatas, jurnal-jurnal seperti jurnal Srinthil dan

jurnal Paring Waluyo mencoba menjelaskan tentang sejarah dan perkembangan

lagu Genjer-Genjer. Akan tetapi penjelasan hanya sebatas rangkuman dan dirasa

kurang jelas menjawab latar belakang pencekalan dan stigmatisasi komunis pada

lagu Genjer-Genjer oleh Orde Baru. Penyampain masih terlihat sekilas dan belum

secara mendalam.

Sumber-sumber pustaka tersebut hadir dengan keunikannya tersendiri,

walaupun kehadirannya mencoba memposisikan musik atau lagu sebagai

kajiannya. Namun belum dapat ditemukan pengkajian historis yang bermuara

pada pencekalan dan stigmatisasi komunis pada lagu Genjer-Genjer lewat sudut

pandang fungsi dan peran. Dari sebab itulah penelitian ini diyakini perlu untuk

dilakukan guna terciptanya tulisan historis tentang kasus pencekalan dan

stigmatisasi komunis pada lagu Genjer-Genjer oleh Orde Baru lewat sudut

pandang fungsi dan peranannya.

(28)

G.

Landasan Teori

Dalam menganalisis pergerakan seni musik dalam ruang lingkup

kehidupan manusia yang dinamis, kehadiran sebuah metode yang tepat di rasa

perlu guna tercapainya pengkajian secara mendalam. Kerangka teori menurut

Koenjtaraningrat berfungsi sebagai pendorong proses berfikir deduktif yang

bergerak dari bentuk abstrak ke dalam bentuk yang nyata. Dalam penelitian suatu

kebudayaan masyarakat diperlukan satu atau lebih teori pendekatan yang sesuai

dengan objek dan tujuan dari penelitian ini. Dalam hal ini, teori pendekatan yang

dirasa tepat guna mengkaji kasus tersbut adalah pendekatan Fungsional.

Bronislaw Malinoswski dalam bukunya The Dinamics Of Culture Change,

menjelaskan bahwa metodologi yang tepat guna meneliti, menganalisis, dan

melukiskan proses perubahan yang sedang terjadi dalam pergerakan ini adalah

lewat pedekatan fungsional terhadap gejala berkesenian yang sedang terjadi.8

Teori Fungsional yang diajukan oleh Malinowski dalam Koentjaraningrat, antara

lain menyinggung tentang fungsi kebudayaan yang merupakan segala aktifitas

kebudayaan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan naluri manusia yang

berkaitan dengan kehidupannya.9 Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan

sosial didukung oleh fungsi institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga,

aliran dan pasar dapat terwujud.

8 Bronislaw Malinowski., 1983, Dinamik Bagi Perubahan Budaya (

Pengenalan Baru Phyllis M.Kaberry ), Kuala Lumpur : Dewan Bahasa Dan Pusat

Kementerian Pelajaran, hal: 95

(29)

Lagu Genjer-Genjer sebagai sebuah karya seni, sudah barang tentu

membutuhkan Audience atau penikmat seni guna menilai dan menikmati lagu

tersebut. Dengan demikian penilaian yang berkaitan dengan makna atau nilai

estetis yang lahir dari tiap individu atau kelompok dari penikmat seni dan penilai

berdasarkan kualitas dan tujuan karya seni sangatlah penting digunakan di dalam

tulisan ini.10 Selain itu, guna lebih mendalamnya penulisan ini dalam mengkaji

pergerak seni musik, maka pengertian tentang gejala yang sedang terjadi dan

mencerminkan suatu periode juga sangat menentukan dalam tulisan ini.11

Musik tradisional sendiri mempunyai sifat fungsional, baik untuk

kepentingan ritual dan hiburan maupun kepentingan lain yang menjadi bagian

integral dari kehidupan kelompok etnis tertentu, dia dapat memenuhi kebutuhan

kreatif, apresiatif, dan rohani. Jenis seni melalui tradisi oral semacam itu

berkembang dan selalu berubah tanpa disadari.12

Musik sendiri terlalu abstrak untuk dijadikan alat politis yang konkret.

Bila dampak politis dalam arti luas ingin diwujudkan secara massal, seorang

komponis harus melakukan sejumlah kompromi dalam mencipta yakni, (a) musik

program, atau (b) secara nyata membuat parodi musik fungsional yang terlanjur

diklaim oleh sebuah sistem politik.13

10 Mudji Soestrisno, Christ Verhaak., 1984, Estetika Filsafat Keindahan, Yogyakarta, Kanisius, hal: 81-83

11

Doris Van De Bogart., 1977, Introduction To The Humanities ( Painting, Sculputure, music, AndLiterature), New York, Bames & Noble Inc, hal: 24

(30)

Sebuah bangsa modern adalah produk artificial yang sangat ditentukan

oleh pertimbangan ekonomi, politik, dan sosial, bukan berdasarkan kesamaan

alamiah. Masalah yang kemudian muncul adalah argumen tentang pembentukan

bangsa nasional yang niscaya tak berlaku sama sekali di bidang kesenian. Hakikat

kesenian adalah ekspresi manusia, karena itu upaya mempolitisasi bidang seni

pada zaman sekarang hanya akan mengakibatkan kematian seni itu sendiri.14

Demikian juga, sejarah adalah bentuk kejiwaan dengan apa sebuah

kebudayaan menilai masa lalunya. Sejarah adalah ilmu, bukan mitologi atau

roman, sejarah adalah cara mengenal dunia. Sejarah harus kritis, dalam arti

mempunyai komitmen kepada kejujuran dan ketekunan dalam mengenal

objeknya. Namun, dengan metodenya sendiri, sejarah adalah sumbangan penting

bagi kebudayaan.

H. Metode Penelitian

Metode adalah alat untuk mencapai tujuan dari suatu kegiatan. Dalam

melakukan penelitian, sangat diperlukan metode-metode untuk menunjang

keberhasilan sebuah bentuk tulisan. Dalam memahami kasus pencekalan yang

terjadi dalam lagu Genjer-Genjer dan merangkumnya kedalam sebuah tulisan

sejarah maka diperlukan langkah-langkah yang tepat. Koentjaraningrat

menjelaskan bahwa metode penelitian sejarah adalah metode atau cara yang

digunakan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian peristiwa sejarah dan

permasalahannya. Dengan kata lain, metode penelitian sejarah adalah instrumen

14

(31)

untuk merekonstruksi peristiwa sejarah (history as past actuality) menjadi sejarah

sebagai kisah (history as written).15 Dalam ruang lingkup Ilmu Sejarah, metode

penelitian itu disebut metode sejarah.

Langkah awal yang diyakini tepat adalah dengan pengumpulan data dan

sumber. Karena minimnya sumber tertulis yang mencoba mengkaji kasus ini

maka pencarian data lebih bersifat kualitatif yakni, pengumpulan data yang lebih

menekankan wawancara dengan informan. Guna mempelancar metode ini maka

susunan dari wawancara yang terarah, yang dalam hal ini kaitannya dengan kasus

pencekalan lagu Genjer-Genjer, coba disusun terlebih dahulu. Sehingga

pengakajian lebih dalam dapat dilancarkan dalam penelitian ini.

Langkah selanjutnya adalah lewat penelusuran sumber tertulis.

Penelusuran ini digunakan untuk menganalisis kasus yang terjadi. Adapun

sumber-sumber tersebut berkisaran pada: buku, Koran atau majalah, jurnal, dan

internet. Setelah pengumpulan data telah berhasil dilakukan maka tahap kedua

yang dilakukan adalah kritik sumber. Dengan kritik sumber inilah kredibilitas

sumber diuji dan kevalidan dari sumber..

Setelah kedua langkah tersebut dirasa maka langkah selanjutnya yang

dilakukan adalah analisis sumber. Langkah ini merupakan langkah terpenting

dalam penelitian karena lewat analisis sumber keberhasilan dari penelitian diuji.

Adapun analisis dari kasus pencekalan lagu Genjer-Genjer difokuskan pada

fungsi dan nilai yang terkandung dalam lagu Genjer-Genjer bagi kelangsungan

hidup kesenian dan kelangsungan kehidupan politik.

15

(32)

Pada akhirnya langkah terakhir yang diambil adalah peleburan semua

langkah kedalam sebuah penulisan sejarah. Penulisan sejarah bermuara pada

sebuah kronologis dari peristiwa sejarah yang terjadi. Sedangkan kerangka

penulisan tersusun secara sistematis dalam ruang sistematika penulisan sejarah.

Setelah semua tahap tersebut telah dilalui tugas akhir adalah penyampaian hasil

penelitian secara tertulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah menurut

kaidah-kaidah yang telah diterapkan16

I. Sistematika Penulisan

Bermuara pada uraian yang telah dijabarkan di atas maka penulisan

tentang kasus pencekalan lagu Genjer-Genjer oleh Orde Baru dan lekatnya

stigmanisasi PKI dan komunis dalam lagu ini. Tersusun secara sistematis dengan

didasari oleh sistematika penulisan sejarah yang berlaku. Adapun penulisan ini

tersusun dalam lima bab pokok yakni:

Bab I. Merupakan pendahuluan yang berisi latarbelakang alasan dari

penulisan ini. Meliputi permasalahannya, tujuan dan manfaat penelitian, tinjuan

pustaka, kerangka teori dan pendekatan, metode penelitian, serta sistematika

penulisan.

Bab II. Pembahasan tentang latarbelakang penciptaan lagu Genjer-Genjer

lewat ruang lokalitasnya sampai pada perkembangannya. Perkembangan kesenian

Banyuwangi yang ada pada masa itu coba di jadikan sebagai dasar untuk dapat

16 Nugroho, Notosusanto, 1971, Norma-Norma Pemikiran Dan Penulisan

(33)

memahami fungsi awal dari terciptanya lagu Genjer-Genjer. Kurun waktu yang

dikaji sekitar tahun 1942-1960.

Bab III. Pada bab ini pembahasan berkisar pada perkembangan lebih

lanjut pada lagu Genjer-Genjer dan bagaimana kedekatannya dengan PKI. Dalam

bab ini bagaimana pergolakan yang terjadi secara tidak langsung merubah

fungsikan lagu Genjer-Genjer. Sekilas tentang pergolakan peristiwa yang terjadi

pada masa itu coba diulas guna meninjau proses perubahan fungsi dan nilai dari

kehadiran lagu Genjer-Genjer. Adapun kurun waktu yang terpapar meliputi tahun

1960-1965.

Bab IV. Bab ini mencoba mengangkat bagaimana kentalnya makna kuasa

yang dilancarkan oleh rezim politik yang berkuasa pada era itu (Ordebaru) telah

berhasil menjadikan lagu Genjer-Genjer sebagai alat kelangsungan sistemnya.

Kehadiran payung-payung legitimasi kekuasaan yang dipakai oleh Orde Baru

dalam memberangus segala hal yang bernuansa PKI dan komunis, yang dalam hal

ini lagu Genjer-Genjer juga turut jadi korban, coba diulas secara gamblang.

Selain itu pada bab ini pandangan-pandangan masyarakat terhadap lagu

Genjer-Genjer juga coba dipaparkan. Kurun waktu yang dipilih seputaran tahun

1965-1966.

Bab V. Bab ini merupakan bab penutup atau kesimpulan yang merupakan

sebuah jawaban dari segala uraian yang telah dipaparkan pada bab-bab

(34)

LAGU GENJER-GENJER

A.

Sekilas Perjalanan Seni dan Lagu Banyuwangi

Kesenian merupakan salah satu karya yang dihasilkan oleh manusia guna

mengembangkan pola kebudayaan yang berkembang dalam daerahnya. Kehadiran

kesenian dalam setiap jengkal kehidupan kebudayaan manusia secara tidak

langsung melukiskan sebuah identitas tersendiri bagi daerah tertentu. Identitas

inilah yang menjadikan semakin beragamnya bentuk kesenian yang tercipta

dalam ruang kebudayaan manusia. Begitu pula dengan Banyuwangi, salah satu

daerah agraris paling timur dari pulau Jawa, memiliki identitas tersendri dari

bentuk-bentuk kesenian yang tercipta. Beragamnya bentuk kesenian yang tercipta

di Banyuwangi menjadi salah satu bukti nyata. Kesenian menurut masyarakat

Banyuwangi adalah nafas bahkan urat nadi mereka dalam menjalani setiap

jengkal kehidupannya. Maka tak heran ketika hampir semua bentuk kebudayaan

yang ada adalah kesenian.

Kesenian Banyuwangi tersendiri terlahir dari beragam tradisi etnis yang

mendiami setiap wilayah Banyuwangi. Sebuah proses percampuran budaya dari

beberapa budaya yang ada dan pergolakan yang pernah terjadi dalam kehidupan

masyarakat Banyuwangi. Menurut letak geografisnya, Banyuwangi posisinya

tepat pada jalur perlintasan dan pertemuan dari beberapa suku seperti, suku Jawa,

(35)

suku Madura, suku Bali dan suku Bugis. Dari posisi tersebut budaya lokal yang

ada coba dilebur menjadi satu dan akhirnya menjadi sebuah corak tersendiri yang

tidak ditemui di wilayah manapun di Nusantara.17

Namun dari beberapa suku yang ada, suku yang paling berpengaruh

adalah suku Bali. 18 Kuatnya pengaruh suku Bali, tampil lewat corak dan bentuk

seni dan tradisi masyarakat Banyuwangiyang hampir sama dengan corak seni dan

tradisi yang lahir di Bali. 19 Selain itu gaya bahasa Osing20.layaknya gaya bahasa

yang ada di Bali menjadi semakin jelasnya pengaruh budaya Bali bagi

perkembangan budaya Banyuwangi. Pada mayoritasnya, penduduk asli yang

17 Http://www.wikipedia bahasa Indonesia.com/ensiklopedia bebas/seni

dan budaya Banyuwangi

18

Http://www.banyuwangikab.go.id

19 Hal ini tercermin dalam seni tari Gandrung yang mirip dengan tari-tari tradisional Bali, termasuk juga dengan busana tari dan musiknya. Selain itu, arsitektur masyarakat Osing pun memiliki kesamaan dengan yang ada di Bali, terutama pada hiasan di bagian atas. Dalam tradisinya pun masyarakat Osing mempunyai tradisi puputan layaknya tradisi puputan di Bali. Walaupun demikian suku stratifikasi masyarakat Osing berbeda dengan stratifikasi masyarakat Bali. Masyarakat Osing tidak mengenal kasta-walupun ada yang menyebutkan dalam kehidupan masyarakat Osing terdapat bentuk-bentuk kasta seperti kaum drakula, kaum sudrakula, kaum hydrakula, dan kaum coliba (mereka juga masyarakat pribumi Banyuwangi)- dan lebih dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama Islam yang sebagian besar dipeluk oleh masyarakat Banyuwangi. (http://id.wikipedia.org/wiki/bahasa osing)

20 Bahasa

Osing sendiri merupakan salah satu varian bahasa tertua di pulau Jawa karena dikatakan turunan langsung dari bahasa Jawa kuno seperti halnya bahasa Bali. Namun bahasa Osing berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya oleh sebab itulah menurut pandangan beberapa kalangan bahasa ini bukanlah sebuah dialek dari bahasa Jawa. (Utan Parlindungan, 2007, Musik Dan Politik:

Genjer-Genjer, Kuasa Dan Kontestasi Makna, Laboratorium Jurusan Ilmu

(36)

mendiami wilayah Banyuwangi dikenal dengan Suku Osing21. Salah satu

sub-suku yang dimiliki sub-suku Jawa. Dalam kehidupan sehari-harinya, masyarakat

Osing sangat bersandar pada kekayaan dan kesuburan alam yang dimilikinya.

Hampir 66,54% dari penduduknya hidup bercocok tanam sebagai petani.22 Maka

tak heran ketika seni dan tradisi yang terlahir hampir kesemuannya bermuara

pada nilai-nilai ritual permohonan dan rasa syukur bagi Dewa-dewi yang mereka

percayai.

Seperti yang tercermin pada upacara ritus bagi Dewi Padi,23 sebuah

upacara kesuburan yang dikemas dalam bentuk tarian disebut-sebut sebagai

seblang.24 Menurut pandangan masyarakat Osing tarian ini adalah tarian keramat

dan hanya dapat di pentaskan oleh orang-orang yang terpilih dan pada acara-acara

21 Salah satu sub-suku yang dimiliki suku Jawa. Dalam sub-suku Jawa

suku Osing juga di sebut-sebut dengan nama Lare Osing. Kata Osing sendiri berasal dari bahasa Bali, tusing, yang berarti tidak Suku Osing sendiri dipercayai merupakan suku atau penduduk asli Banyuwangi yang diyakini sebagai bangsa keturunan dari Kerajaan Blambangan pada jaman Kerajaan Majapahit. (Http://www.banyuwangikab.go.id)

22 Menurut letak geografisnya memang daerah Banyuwangi adalah daerah subur dan layak untuk dijadikan lahan pertanian. Dari sebab itulah kebanyakan penduduk Osing memilih menjadi petani sebagai mata pencahariannya. (Siti Munawaroh, Gandrung Seni Pertunjukan Di Banyuwangi, JANTRA, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. II No 4, Desember, 2007, hal: 255)

23 Menurut mitosnya

Dewi Sri yang dipercaya sebagai Dewi Kesuburan

atau penjelmaan dari padi selalu menjaga kesuburan hasil panennya dan juga menjaga desa dari segala ancaman mara bahaya. Oleh sebab itulah masyarakat Osing merasa perlu untuk dapat menghormati dan mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Dewi Padi. ( Ibid., hal: 257)

(37)

tertentu. Dalam perjalanannya tarian seblang mulai tergeser dan hampir dapat

dikatakan punah. Selanjutnya tarian ini dikenal dengan nama Gandrung oleh

sebagian masyarakat Banyuwangi. Tarian ini pada nanti yang menjadi salah satu

icon masyarakat Banyuwangi atau Osing sampai saat ini.

Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa masyarakat Banyuwangi atau

lebih dikenal dengan sebutan Osing, merupakan masyarakat yang konglomerat

akan bentuk seni dan tradisinya. Kesenian bagi masyarakat Banyuwangi bagaikan

urat nadi mereka, tidak hanya sebagai hiburan semata, jauh dari itu kesenian

adalah nafas mereka dan dipandang sebagai sebuah ritual yang mengandung

makna spiritual-yang selalu dekat dengan kehidupan sosial mereka.25 Dari sebab

itu tak heran ketika seni dan tradisi yang lahir tidak jauh dari pelukisan atau

penggambaran kehidupan keseharian mereka dalam memaknai sebuah

keselarasan hidupnya dengan alam sekitarnya. Dalam hal ini penciptaan Lagu

Genjer-Genjer diyakini memiliki latar belakang yang hampir serupa. Hal ini dapat

dibuktikan lewat syair-syairnya yang mengkisahkan sebuah perjuangan seorang

ibu dalam mencari bahan makanan yang berasal dari sumber daya alam sekitar

yang mereka miliki, daun genjer.

Dari sekian banyak bentuk-bentuk kesenian yang lahir dan berkembang di

Banyuwangi, bentuk seni yang paling digemari masyarakat Banyuwangi adalah

seni musik atau lagu. Hampir semua bentuk seni dan tradisi yang berkembang

syarat dengan unsur-unsur musik ataupun lagu. Bagi masyarakat Osing kehadiran

25 Kajian Perempuan Desantara, 2007, Banyuwangi dan Problem Seni

(38)

lagu merupakan syarat penting dalam mewarnai dan memaknai segala dinamika

yang terjadi dalam kehidupan kebudayaannya.26 Hampir sebagian besar kesenian

yang berkembang di Banyuwangi memadukan unsur-unsur musik atau lagu di

dalamnya. Bersama kehadiran lagu di dalamnya, nilai-nilai spiritual yang ada

diyakini dapat dengan mudah dikomunikasikan. Sehingga seni tersebut tidak

hanya menjadi sebuah hiburan semata namun juga menjadi perwakilan dari

nilai-nilai seni yang coba disuguhkan. Seperti terlukiskan pada seni Gandrung, dalam

seni Gandrung kehadiran lagu menjadi syarat utama karena lewat adanya lagu

maka nilai-nilai spiritual yang terkandung diyakini dapat dengan mudah diterima

dan dimaknai oleh audience. Terlebih ketika sentilan-sentilan nakal dari

syair-syair yang tampil mencoba dan berhasil masuk keranah sensitifitas para penikmat

atau audience. Maka nilai-nilai yang ada semakin melebur ke setiap ruas jiwa si

penikmat (audience ) musik.

Kekayaan dan keunikan lagu yang berkembang di Banyuwangi dapat

dikatakan sangat variatif. Hal inilah yang menyebabkan lagu dapat berkambang

subur dalam raung kebudayaan Banyuwangi. Ayu Sutarto, salah satu budayawan

Jawa timur, mengungkapkan bahwa dari 32 acara budaya yang dimiliki

masyarakat Osing, delapan belas diantaranya adalah kesenian yang di dalamnya

terkandung unsur-unsur seni musik atau lagu. Dari kesenian yang berhubungan

dengan siklus kehidupan (pitonan atau upacara hamil hari ke tujuh, colongan,

ngleboni, angkat-angkat atau pindahan), kemasyarakatan (rebo wekasan atau

(39)

pemberian sesaji pada roh halus, ndok-ngandongan atau mauludan, kebo-keboan

atau musim panen) hingga pada tarian dan nyayian pemujaan rakyat bagi

dewa-dewi yang dipercaya sebagai penjaga kehidupannya dan alamnya.

Kegemaran masyarakat Banyuwangi dalam menyanyi menjadikan

semakin eratnya lagu di sela-sela kehidupan masyarkat Banyuwangi. Sama

halnya dengan seni Banyuwangi yang ada, yang bermuara pada nilai-nilai sosial

masyarakat. Begitu pula dengan lagu yang berkembang di Banyuwangi yang

semua syair-syairnya tidak dapat lepas dari pelukisan kehidupan sosial

masyarakat Banyuwangi hubungannya dengan alam sekitarnya. Pada awalnya

menurut sebagian besar masyarakat Banyuwangi, kelahiran sebuah musik atau

lagu bagi sebagian masyarakat Banyuwangi memiliki fungsi sebagai alat atau

media ritual, semacam seblang atau alat perjuangan dan juga sebagai sebuah

pengerat tali solidaritas masyarakat Banyuwangi. Pada tempo dulu lagu-lagu yang

berkembang di Banyuwangi lebih banyak bercerita tentang hubungan-hubungan

sosial dan juga hubungannya dengan permohonan dan rasa syukur kepada Sang

Maha Kuasa. Biasanya lagu-lagu tersebut dinyanyikan dengan nuansa sederhana

dan melankolis27 yang berlanggam Jawa28 dan dengan iringan Gamelan

Banyuwangi. Namun dengan bergulirnya waktu, dan dengan semakin

bermunculan varian-varian lagu yang berkembang di Banyuwangi maka

warna-warna lagu Banyuwangi menjadi populer dengan iringan-iringan musik

(40)

keroncong dan band. Arrangement besar-besaran terhadap lagu Banyuwangi

mulai berkembang kira-kira pada tahun 1950. Dalam hal ini lagu Genjer-Genjer

di yakini sebagai cikal bakal lagu yang berhasil di Arrangement menjadi lagu

popular.

Kekhasan dan keunikan lagu Banyuwangi terletak pada lirik-liriknya dan

juga nadanya yang sedikit berbeda dengan langgam Jawa pada umumnya.

Perbedaannya terletak pada nuansa iringan musik yang ada pada Gamelan yang

mereka miliki. Gamelan Banyuwangi pada dasarnya menyerupai Gamelan Jawa

pada umumnya namun kehadiran beberapa alat musik seperti, biola,29 yang

menjadi pantus atau pemimpin dari irama lagu, suling, kluching(triangle), yakni

alat musik berbentuk segitiga yang dibuat dari kawat besi tebal, dan dibunyikan

dengan alat pemukul dari bahan yang sama berfungsi sebagai penguat tempo

dalam lagu. 30

Lalu ada juga kethuk, terbuat dari besi berjumlah dua buah dan dibuat

berbeda ukuran sesuai dengan larasannya. Kethuk estri (feminine) adalah yang

besar, atau dalam gamelan Jawa disebut Slendro, sedangkan kethuk jaler

29 Biola dijadikan sebagai pantus atau pemimpin

(leader) dari lagu yang ada. Menurut sejarahnya, pada sekitar abad ke-19, seorang Eropa menyaksikan pertunjukan Seblang atau Gandrung yang diiringi dengan suling. Kemudian orang tersebut mencoba menyelaraskannya dengan biola yang dia bawa waktu itu, pada saat dia mainkan lagu-lagu Seblang tadi dengan biola, orang-orang sekitar terpesona dengan irama menyayat yang dihasilkan biola tersebut. Sejak itu, biola mulai menggeser suling karena dapat menghasilkan nada-nada tinggi yang tidak mungkin dikeluarkan oleh suling. (www.banyuwangikab.go.id/ musik khas Banyuwangi)

(41)

(maskulin) dilaras lebih tinggi satu kempyung (kwint). 31 Fungsi kethuk disini

bukan sekedar sebagai instrumen penguat atau penjaga irama seperti halnya pada

gamelan Jawa, namun tergabung dengan kluncing untuk mengikuti pola tabuhan

kendang. Sedangkan kempul atau gong, dalam gamelan Banyuwangi (khususnya

Gandrung) hanya terdiri dari satu instrumen gong besi. Kadang juga diselingi

dengan saron bali dan angklung. Dan yang terakhir kendhang yang mirip dengan

kendhang sunda. Iringan-iringan Gamelan Banyuwangi inilah yang melahirkan

keunikan tersendiri bagi lagu Banyuwangi diantara lagu-lagu rakyat yang ada di

Indonesia.

Pada masa pendudukan Jepang, lagu-lagu dan instrumen lagu Osing

mengalami perubahan hal ini disebabkan guna menghindari penciuman dari

bangsa Jepang terlebih ketika isi lagu bernuansa isyarat bagi perjuangan

masyarakat Banyuwangi dan instrumen yang mengiringinya merupakan

tanda-tanda isyarat perlawanan masyarakat Banyuwangi. Salah satunya adalah lahirnya

kreasi baru dalam instrumen lagu yakni angklung32-walaupun angklung

sebenarnya sudah ada sejak jaman kerajaan Blambangan-menyebabkan warna

baru bagi kelahiran lagu di Banyuwangi. Angklung sendiri pada dasarnya tidak

jauh berbeda dengan gamelan Banyuwangi. Hanya saja dalam instrumen

31 www.banyuwangikab.go.id/ musik khas Banyuwangi

(42)

angklung ditambah dengan beberapa alat seperti, saron, slentem, dan gong besar.

Kehadiran alat musik angklung diterima masyarakat Banyuwangi sebagai salah

satu bentuk varian baru dalam musik. Selain itu dengan munculnya

tembang-tembang baru karya M.Arief,33 seperti Nandur Jagung dan Genjer-Genjer, yang

menjadi titik awal kebangkitan instrumen angklung di sela-sela kehidupan

masyarakat Banyuwangi.

Pada era itu biasanya lagu-lagu yang tercipta lebih banyak bercerita

tentang kesengsaraan bangsa dan masyarakat Banyuwangi dalam menjalani

kehidupannya akibat kolonialisasi. Lagu-lagu yang dilantunkannya pun biasanya

berisi bahasa isyarat dan simbol-simbol bagi perjuangan dan juga sebagai wahana

kritikan bagi penjajah. Oleh sebab itulah syair-syair yang ada tidak secara vulgar

tampak dan maknanya sengaja disamarkan. Hal ini semata-mata guna

menghindari penciuman penjajah. Begitu pula dengan lagu Genjer-Genjer,

disela-sela alunannya yang melankolis, tersirat kritikan bagi para penjajah. Dalam hal ini

ditujukan bagi pemerintah Jepang yang telah berhasil memporaporandakan

kehidupan masyarakat Banyuwangi sehingga masyarakat dipaksa hidup miskin

dan sengsara. Alunannya yang mendayu-dayu mencoba menjadi topeng bagi

keaslian dari lagu yang tercipta pada era itu. Kuatnya kontrol kuasa dari

(43)

pemerintah jepang terhadap bentuk-bentuk kesenian rakyat yang tercipta

memaksa kehadiran lagu rakyat berjalan secara tidak vulgar.

Modernisasipun tidak terelakkan dalam seni musik Banyuwangi,

munculnya beragam varian musik yang merupakan paduan tradisional dan

modern, yang mencoba memasukkan unsur elekton kedalam musiknya,

menyebabkan lagu Banyuwangi semakin dikenal sebagai kesenian popular di

kalangan masyarakat. Terlebih ketika industri musik tanpa tedeng aling

mencengkram lagu-lagu rakyat yang berkembang, menambah semakin terjeratnya

lagu Banyuwangi pada titik popularitasnya. Munculnya beragam varian tersebut

mengundang kekhawatiran dari beberapa pakar kebudayaan yang berpandangan

bahwa seni kreasi ini akan menggeser kesenian klasik yang sudah berkembang

selama beratus-ratus tahun.

B.

Jejak-Jejak Awal Lagu Genjer-Genjer (1942-1960)

“genjer-genjer nong ledokan pating keleler, emak’ e tole teko-teko mbubuti genjer, oleh satenong mungkur sedot sing tole-tole, genjer-genjer saiki wis digowo mulih...”34

Sepenggal bait lagu diatas mungkin tak asing lagi untuk didengar,

pekatnya stigmatisasi komunis dan PKI pada penggalan bait lagu di atas masih

terus melekat dalam sanubari sebagian besar bangsa Indonesia. Terlebih ketika

34 “ genjer-genjer di pematang sawah berhamburan, ibunya anak-anak datang datang mencabut genjer, dapat sebakul lalu bergegas pergi dapat yang kecil-kecil, genjer-genjer sekarang sudah di bawa pulang…”

(http://www.wikipediaIndonesia.com/ensiklopedia bebas berbahasa indonesia /

(44)

Orde Baru dengan sukses membangun sebuah mitologi tentang nilai dan makna

lagu ini, maka kehadirannya sampai sekarang terpasung pada sebuah ruang

ideologi komunis dan PKI. ”Genjer-Genjer”, bait diatas coba disusun dalam

bentuk lagu yang kemudian disuguhkan pada kalayak ramai. Fenomena kehadiran

lagu ini disela-sela kehidupan bangsa Indonesia menarik cerita tersendiri bagi

perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Ketika diselami lebih dalam, maka yang

tersirat dari lagu ini adalah sebuah kemurnian lagu rakyat yang tercipta dari seni

dan tradisi masyarakat Banyuwangi. Singkatnya, lagu Genjer-Genjer adalah lagu

rakyat (folksong) yang berasal dari Banyuwangi. Lewat kesederhanaan dari nada

dan lirik-liriknya, lagu ini mencoba membingkai kisah sengsara masyarakat

Banyuwangi dalam menjalankan kehidupannya di sela-sela kolonialisasi yang

dilancarkan bangsa Jepang. Dari lukisan-lukisan tersebut lagu Genjer-Genjer

hadir sebagai sebuah lagu rakyat dalam ruang kebudayaan Banyuwangi.

Pada tahun 1940-an Jepang berhasil menduduki Indonesia dan

membentuk koloni di setiap penjuru Indonesia. Dengan berdalih ingin membantu

bangsa Indonesia untuk dapat lepas dari cengkraman pemerintah Belanda, yang

pada waktu itu berkuasa di Hindia Belanda,35 Jepang berhasil masuk dan

berkuasa di Indonesia. Layaknya peribahasa keluar dari mulut harimau masuk ke

mulut buaya, setelah bangsa Belanda keluar dari tanah Nusantara kesengsaraan

yang dialami bangsa Indonesia pun tidak berubah malah semakin parah. Ekspansi

35

(45)

yang dilancarkan Jepang berhasil memporaporandakan kehidupan bangsa

Indonesia. Dan memaksa bangsa Indonesia hidup pada titik kesengsaraan yang

lebih parah. Masyarakat indonesia dipaksa untuk berkerja demi kepentingan

pemerintahan Jepang. Ekploitasi besar-besaran yang dilancarkan Jepang bagi

Bangsa Indonesia, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia,

menyebabkan semakin terpuruknya kehidupan bangsa Indonesia.

Kolonialisasi yang dilancarkan Jepang berhasil masuk jauh ke setiap sudut

wilayah Indonesia, hampir semua sumber daya, baik itu alam maupun manusia,

yang dimiliki setiap daerah dan wilayah di Indonesia di ekspolitasi besar-besaran

oleh Jepang. Kemiskinan dan kesengsaran semakin merangkul setiap perjalanan

kehidupan bangsa Indonesia. Banyak cara yang dilakukan bangsa Indonesia guna

melawan bentuk-bentuk penindasan yang di lakukan oleh Jepang.

Seperti halnya di Banyuwangi, daerah yang terkenal kaya dan subur akan

sumber daya alamnya tiba-tiba berubah drastis menjadi miskin. Kolonialisasi

yang dilancarkan Jepang pada daerah tersebut, memaksa rakyat Banyuwangi

hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Hampir semua sumber daya alam

yang dimilikinya dieksploitasi besar-besaran oleh Jepang demi kelangsungan

kehidupan pemerintahnya (Jepang).36 Bermuara pada kondisi tersebut, rakyat

Banyuwangi terpaksa mencari jalan keluar guna memenuhi kebutuhan hidup

sehari-harinya. Mereka mencoba survive dengan segala sumber daya alam yang

tersisa dan kemudian coba diolah menjadi bahan pokok makanan sehari-hari.

36 http://www.wikipediaIndonesia.com/ensiklopedia bebas berbahasa

(46)

Salah satunya adalah dengan cara mengolah daun genjer yang hidup di seputaran

ruas-ruas sungai sebagai bahan pokok makanan sehari-hari rakyat Banyuwangi.

Karena begitu kurangnya bahan makanan, sampai-sampai masyarakat harus

mengolah daun genjer (limnocharis flava) di sungai yang sebelumnya oleh

masyarakat dianggap sebagai tanaman pengganggu.37 Daun genjer atau dalam

bahasa ilmiahnya disebut dengan nama Limnocharis Flava sendiri adalah

tanaman parasit yang hidup di ruas-ruas sungai dan biasanya diolah untuk

dijadikan bahan makanan hewan ternak seperti babi dan sapi. Selanjutnya, daun

genjer coba diolah menyerupai tumis dan oseng-oseng yang kemudian disajikan

sebagai makanan sehari-hari masyarakat Banyuwangi pada masa itu.

Melihat kesengsaran yang dialami masyarakat Banyuwangi yang

mengetuk jiwa musikalitas dari Muhhamad Arief,38 salah satu seniman dan juga

musisi handal Banyuwangi, untuk merangkum peristiwa tersebut kedalam bentuk

lagu. Dengan judul “Genjer-Genjer” lagu tersebut tercipta, lewat lukisan

keprihatinan M.Arief dengan melihat kondisi yang dialami oleh masyarakat

Banyuwangi akibat bentuk kolonialisasi Jepang. Dengan kesederhanaan dari

37 Paring Waluyo Utomo, “Genjer-Genjer Dan Stigmatisasi Komunis”, Pusat Studi dan Pengembangan Kebudayaan (Puspek) Averroes, Malang, 2003

38 Perdebatan tentang siapa pencipta lagu Genjer-Genjer pernah dilakukan oleh pelaku sejarah dan pelaku budaya diantaranya Ki Manteb Sudharsono (harian Merdeka Semarang, 2000) yang merujuk pada nama Muhhamad Arief sebagai pencipta. Sementara menurut Hesri Setiawan, salah satu eks-tapol Lekra dan juga budayawan Banyuwangi, mencoba mengklarifikasikan bahwa ketika mengakitkan Genjer-Genjer dengan Ki Narto Sabdho (seniman yang pada awalnya diyakini sebagai pencipta lagu Genjer-Genjer) selain anakronis juga tidak mempunyai dasar sejarah yang kuat. Sebab kebanyakan kesenian rakyat tercipta tanpa diketahui siapa penciptanya. (Utan Parlindungan, op.cit., hal: 56)

(47)

irama dan nadanya lagu ini tampil sebagai media perwakalian komunikasi

masyarakat Banyuwangi guna mengkritik segala bentuk penjajahan yang ada.

Oleh karena kesederhanaan tersebut pulalah kehadiran lagu ini dengan mudah

cepat diterima oleh masyarakat Banyuwangi. Selain sebagai salah satu media

kritik lagu ini juga diyakini dapat membangkitkan semangat masyarakat

Banyuwangi dalam melawan segala bentuk-bentuk penindasan yang ada. Dan

juga sebagai pengikat rasa soldaritas masyarakat dalam menjalani kehidupannya

dalam masa-masa penjajahan.

Dalam perjalanannya lagu ini terlahir sebagai salah satu produk

kebudayaan yang dimiliki masyarakat Banyuwangi. Selain fungsi yang

terkandung di atas, lagu ini juga difungsikan sebagai salah satu isyarat perjuangan

masyarakat Banyuwangi dan pengikat rasa solidaritas masyarakat Banyuwangi. 39

Layaknya lagu-lagu yang berkembang di Banyuwangi pada masa penjajahan

Jepang-yang menyiratkan bahasa isyarat bagi perjuangan masyarakat

Banyuwangi.

Kesederhanaan lagu ini semakin membawa ketenaran lagu ini di kalangan

masyarakat Banyuwangi dan di kancah panggung kesenian Banyuwangi.

Lirik-liriknya yang menggambarkan perjuangan masyarakat Banyuwangi dalam

menjalani hidupnya di sela-sela penindasan yang dilancarkan bangsa Jepang-yang

(48)

dalam hal ini kata ibu coba dimaknai secara universal sebagai masyarakat

Banyuwangi-, berhasil mempertebal rasa solidaritas masyarakat Banyuwangi

dalam menjalani hidupnya. Melalui kehadiran lagu ini kesengsaraan dan

kemiskinan yang dialami masyarakat Banyuwangi coba dimaknai dan dinilai

secara bijak oleh masyarakat Banyuwangi. Semangat juang yang tertanam berkat

kehadirannya semakin tebal dan kokoh di setiap lubuk jiwa masyarakat

Banyuwangi. Oleh sebab itulah tak heran ketika M. Arief merasa perlu

mengangkat lagu ini ke kancah yang lebih popular, begitu pula dengan Nyoto.40

Sampai pada tahun 1945 ketika Jepang menyatakan tunduk pada Inggris41

dan Indonesia mendapatkan kemerdekaanya, kepakan sayap lagu Genjer-Genjer

mulai terlihat semakin lebar. Dengan cepat lagu ini berhasil merangkul jiwa

masyarakat Banyuwangi dan para pekerja seni Banyuwangi pada khususnya.

Identitasnya sebagai salah satu produk kebudayaan Banyuwangi (lagu rakyat

Banyuwangi), semakin dikenal oleh kalayak ramai. Walaupun masih sebatas pada

ruang budaya masyarakat Banyuwangi dan sekitarnya. Kehadirannya dapat

menjadi sebuah media komunikasi masyarakat Banyuwangi guna membingkai

segala memori masyarakat pada masa penjajahan Jepang dan juga sebagai media

kritik terhadap bentuk-bentuk penjajahan. Selain itu, fungsinya sebagai media

40 Nyoto salah satu dedengkot PKI baru dan juga pendiri Lekra. Tercatat bahwa Nyotolah yang pada awalnya tertarik dengan lagu ini. Lewat prediksinya yang menyatakan kalau lagu ini dapat menjadi lagu popular dan dapat mewakili ideologi PKI dan Lekra, kehadiran lagu ini coba perjuangkan dan diangkat keepermukaan. (Iqbal Thawakal., op.cit.)

(49)

hiburan semakin memposisikan eksistensi lagu ini sebagai lagu rakyat yang

menyenangkan bagi masyarakat Banyuwangi.

Terlebih ketika pada tahun 1950-an sang pencipta lagu, M. Arief, memilih

bergabung dengan Lekra-lembaga kebudayaan yang secara tidak langsung

mempunyai hubungan ideologis dengan PK

Referensi

Dokumen terkait

 Hubungan keruangan : anak sudah dapat memahami peta, memahami jalan dari sekolah ke rumah dan sebaliknya, memperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk menuju ke suatu lokasi,

[r]

Perencanaan Rehabilitasi Gedung Kantor Paket I 12.000.000,00 1 Paket APBD Oktober November

Hubungan yang baik antara penyanyi dalam sebuah paduan suara akan menciptakan suasana yang menyenangkan ketika menyanyikan sebuah lagu, karena komunikasi

PERAN PEMERINTAH DESA DALAM PENANGANAN KONFLIK KEAGAMAAN (Studi Penelitian Tentang Konflik Keagamaan Antara Nahdhlatul Ulama Dengan Majelis Tafsir Al- qur’an Di Desa

Fresmon Pacifik Prima periode 31 Desember 2009 sampai dengan 31 Desember 2012 Dengan data perbandingan berdasarkan hasil pengamatan sementara menggunakan konsep

6. Kolom 6 diisi dengan jumlah pendapatan yang disetorkan.. penyetoran dilakukan pada saat bendahara penerimaan pembantu menyetorkan pendapatan yang diterimanya ke rekening

[r]