Pada Lagu Genjer-Genjer Oleh Orde Baru
SkripsiDiajukan Untuk Memenuhi salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Ilmu Sejarah
Disusun Oleh : Ruddy Eppata Cahyono
014314019
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan kepada:¾ Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan Cahaya Terang Roh Kudusnya ke dalam hati dan pikiran ku.
¾ Bapak Fx Sri Mulyono, Ibu Maria Titie Utami (almh) dan Ibu Rusmini yang telah merawat dan membesarkan dengan penuh kesabaran dan ketabahannya hingga skripsi ini selesai.
¾ Mbak Endah sekeluarga, Mbak Diah sekeluarga, Mbak Shinta sekeluarga dan Mas Doddy sekeluarga yang selalu membimbing dan mendukung dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini selesai.
¾ Henny Puspitasari yang selalu mendampingi dan mendukung baik dalam susah maupun senang.
“…..sebab perjuangan itu perlu bukti…..”
“ hasil tak kan pernah terbentuk tanpa adanya proses”
“ memahami masa lalu, bijak untuk masa depan”
“Roda-roda terus berputar, tanda masih ada hidup
karna dunia belum terhenti, berputar searah….teruslah bermimpi jangan
pernah lelah meski tak mudah meraihnya….buktikan, buatlah menjadi
nyata..hadapi dunia dengan wibawa dan bijak…”
(Andrea Hirata “Sang Pemimpi”)
“kesadaran adalah matahari…kesabaran adalah bumi…
Perbuatan adalah wujud dari kata-kata…
….aku bernyanyi menjadi saksi…atas semua luka-luka…”
Saya menyatakan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis adalah asli
kreasi saya sendiri tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang
telah disebutkan dalam kutipan atau daftar pustaka, sebagai karya ilmiah.
Yogyakarta, 15 Mei 2010
Penulis
ABSTRACT
Eppata Cahyono, Ruddy., 2010., "GENJER-GENJER: Functions and Role., Case Studies, Bans and Communists Stigma in Genjer-Genjer Song by Orde
Baru", Undergraduate Thesis., Yogyakarta: Departement of History
Letter, Faculty of History Letter. Sanata Dharma University.
This research studies how the political upheaval that was happening in the life of nation and state in Indonesia, bringing a significant impact for the progress the Genjer-Genjer songs. The strong grip of the political ideologies, bring off the change image on Genjer-Genjer songs from the real image, a Banyuwangi folk song, became a political song. This case study is divided into four main issues: the history of creation the Genjer-Genjer songs?, A further development from the years 1942-1966?, Function and role in the development of life in art and politics in Indonesia? and the causes of the bans and strong of communist stigma for the Genjer-Genjer song?
The purpose of this research is to understand and answer the "mystery" of the travel ban and the communism stigma in this song that launched by the Orde Baru regime, through the point of view function and its role as one of the products of human culture. Moreover, how early-Genjer-Genjer song creation and how the development of track Genjer-Genjer the next period is also one goal of this research.
To understand and answer the problems that occurred in these cases, this study uses the historical research method that consists of four phases namely: the collection of sources, source criticism, analysis, sources and historiography. In the collection of sources in order to obtain valid sources and related to the case, this study take several steps, such as interviews, literature and websites. Furthermore, in order to be able to analyze the sources of this study utilize several social science theories, such as Bronisław Malinowski functional theory, value theory Mudji Soetrisno and, the theory of music Dieter Mack. With these theories "mystery" of the phenomenon of the presence on the track of the Genjer-Genjer can be revealed with the presence of this historiography.
From the overall results of this study it appears that, at the beginning of creation, in 1942, the Genjer-Genjer song created purely as a folk song Banyuwangi community. Together with the values contained in the functions of this song tries to enliven the artculture in Indonesia. But the socio-political upheaval that occurred in the era 1960-1966, succeeded in changing the image of the Genjer-Genjer song, become like a song of political ideology. The strong grip of political ideologies scraped the consequences for the Genjer-Genjer song and ended on a travel ban and communist stigma.
ABSTRAK
Eppata Cahyono, Ruddy., 2010., “GENJER-GENJER: FUNGSI DAN PERAN., Studi Kasus, Pencekalan Dan Stigma Komunis Pada Lagu Genjer-Genjer
Oleh Orde Baru”, Skripsi Strata I, Yogyakarta: Prodi Ilmus Sejarah,
Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana pergolakan politik yang sedang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia membawa dampak yang signifikan bagi perjalanan lagu Genjer-Genjer. Kuatnya cengkraman ideologi-ideologi politik yang sedang berkembang, berhasil mengubah-fungsikan citra lagu Genjer-Genjer dari citra yang sesengguhnya yakni, lagu rakyat Banyuwangi, menjadi lagu yang bernuansa politis. Penelitian kasus ini terbagi ke dalam empat permasalahan yakni: sejarah penciptaan lagu Genjer-Genjer?, Perkembangannya dari tahun 1942-1966?, fungsi dan peranannya bagi perkembangan kehidupan berkesenian dan perpolitikan Indonesia? dan sebab-sebab dari pencekalan dan kuatnya stigma komunis bagi lagu Genjer-Genjer?
Tujuan dari penelitan ini adalah untuk dapat memahami dan menjawab “misteri” dari pencekalan dan stigma komunis pada lagu ini yang dilancarkan oleh Rejim Orde Baru, lewat sudut pandang fungsi dan perannya sebagai salah satu produk dari kebudayaan manusia. Selain itu, bagaimana awal terciptanya lagu Genjer-Genjer dan bagaimana perkembangan dari lagu Genjer-Genjer pada periode selanjutnya juga menjadi salah satu tujuan dalam penelitian ini.
Guna memahami dan menjawab permasalahan yang terjadi pada kasus tersebut, penelitian ini mengunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari empat tahap yakni: pengumpulan sumber, kritik sumber, analisis sumber dan penulisan sejarah. Dalam pengumpulan sumber guna memperoleh sumber-sumber yang valid dan terkait dengan kasus tersebut, penelitian ini mengambil beberapa langkah seperti wawancara, studi pustaka dan website. Selanjutnya, untuk dapat menganalisis sumber-sumber tersebut penelitian ini mempergunakan beberapa teori ilmu sosial seperti, teori fungsionalnya Bronislaw Malinowski, teori nilainya Mudji Soetrisno dan teori musiknya Dieter Mack. Lewat teori-teori tersebut “misteri” dari fenomena kehadiran lagu Genjer-Genjer dapat terungkap bersama kehadiran historiografi ini.
Dari hasil keseluruhan penelitian ini tampak bahwa, pada awal penciptaannya, 1942, lagu Genjer-Genjer murni tercipta sebagai lagu rakyat masyarakat Banyuwangi. Bersama dengan nilai-nilai yang terkandung dalam fungsi-fungsinya lagu ini mencoba mewarnai perjalanan seni-budaya di Indonesia. Namun pergolakan sosial-politik yang terjadi pada era 1960-1966, berhasil mengubah-fungsikan citra dari lagu Genjer-Genjer sebagai lagu yang berideologi politik. Kuatnya cengkraman ideologi politik menggoreskan konsekuensi bagi lagu Genjer-Genjer dan berakhir pada pencekalan dan terpasungnya pada sebuah stigma ko
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : RUDDY EPPATA CAHYONO
Nomor Mahasiswa : 014314019
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
GENJER-GENJER : FUNGSI DAN PERAN., Studi Kasus : Pencekalan Dan Stigma Komunis Pada Lagu Genjer-Genjer Oleh Orde Baru
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun mem-berikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 1 Mei 2010
Yang menyatakan
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmatNya,sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan ini tidak lepas
dari berbagai pihak. Maka dalam penelitian ini terucap terimakasih yang
sebanyak-banyaknya kepada:
1. Dr. Fransisca Ninik Yudianti, M. Acc., selaku Wakil Rektor I Universitas Sanata
Dharma.
2. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas
Sanata Dharma.
3. Drs. H. Hery Santosa, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Ilmu Sejarah dan
dosen akademik. Atas segala kesabaran, didikan dan bimbingan yang telah
diberikan
4. Drs. Silverio R. L. Aji Sampurna M.Hum., selaku dosen pembimbing atas
segala kritik, bimbingan, kesabaran dan kemudahan yang diberikan.
5. Dosen-dosen Ilmu Sejarah: Bpk. Drs. Ign. Sandiwan Suharso., Bpk. Drs. H.
Purwanta, M.A., Bpk. Dr. Anton Haryono, M.Hum., Bpk. Alm. Drs G..
Moedjanto., Bpk. Alm. Prof. Dr. P.Y. Suwarno, S.H., Ibu Dra. Lucia Juningsih,
M.Hum., Dr. F.X. Baskara T. Wardaya, SJ., atas segala bimbingan dan
tuntunannya selama kuliah.
6. Rekan-rekan sejarah: Taji, Tholo, Eka, Tato, Lazarus, Krisna besar dan kecil,
Ajeng, Riska, Erna, Lina, Bertha, Eko, Hendri, Adit, Fenny, Agus, Mbelek,
Sempal, Upi, Badu, Hananto, Bondan, Bondo, Qser, dan semua kawan-kawan
ilmu sejarah Universitas Sanata Dharma atas dorongan dan motivasinya kepada
penulis, sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini.
7. Songket Band: Gembes, Yoyon, Khonteng, Catag, Pletot, Melky, dan Tejo, yang
telah memberikan pengertian, dorongan dan motivasinya kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Saudaraku Febby, Novi, Melly dan Gery atas bimbingannya selama ini.
9. Komunitas Seni WAPRES Bulungan, Jakarta Selatan
10.Komunitas Seni Bambu, Jakarta Selatan
11.Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur
12.Komunitas Seniman Banyuwangi, Surakarta
13.Komunitas Teplok, Surakarta
14.Bapak, Ibu, kakak-kakak, keponakan dan my soul of spirit Henny, aku bahagia
menjadi bagian kehidupan kalian.
15.Dan semua pihak yang tidak bisa disebut satu per satu, penulis mengucapkan
terima kasih sebesar-besarnya atas kerjasama dan dukungannya selama ini
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Hasil dari penelitian ini disadari masih jauh dari sempurna, karena itu masukan
dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun masih sangat diperlukan. Semoga
skripsi ini berguna bagi siapa saja dan dapat membantu bahan studi selanjutnya.
Yogyakarta, 2010
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……….. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………. ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRACT ... vi
ABSTRAK ………... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
BAB I PENDAHULUAN………... 1
A. Latar Belakang penelitian ...……... 1
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ...…….. 7
C. Rumusan Masalah ...……. 9
D. Tujuan Penelitian ...……. 10
E. Manfaat Penelitian ...……. 11
F. Tinjauan Pustaka ...……. 12
G. Landasan Teori ...…….. 15
H. Metode Penelitian ...…….. 17
I. Sistematika Penulisan ...……. 19
BAB II RUANG SENI DAN TRADISI LAGU GENJER-GENJER ... .. 21
A. Sekilas Perjalanan Seni dan Lagu Banyuwangi ...…….. 21
B. Jejak-Jejak Awal Lagu Genjer-Genjer (1942-1960) ...…….. 30
C. Fungsi Lagu Genjer-Genjer ...…….. 38
BAB III LAGU GENJER-GENJER DALAM CENGKRAMAN POLITIK ... .. 41
A. Selayang Pandang Perkembangan Lagu di Indonesia Tahun 1960- 1966 ...…….. 41
B. Jejak Langkah Lagu Genjer-Genjer 1960-1965...……. 48
C. Pandangan PKI dan LEKRA bagi Lagu Genjer-Genjer ...……. 53
BAB IV JEJAK AKHIR LAGU GENJER-GENJER ... .. 57
A. Dari G30S Sampai Pada Pencekalan Lagu Genjer-Genjer 1965-1966……..………...57
B. Lagu Genjer-Genjer Di Antara Banyuwangi, PKI, LEKRA Dan Orde Baru...……...63
BAB V KESIMPULAN ... ..67
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN I
LAMPIRAN II
LAMPIRAN III
LAMPIRAN IV
A. Latar Belakang Penelitian
Musik atau lagu, sebagai salah satu ungkapan ekspresi seni manusia,
melukiskan jejak tersendiri bagi perjalanan kehidupan kebudayaan manusia.
Musik atau lagu merupakan sebuah pernyataan seni yang paling universal dalam
bentuk dan merupakan suatu getar keindahan yang diantar langsung ketali rasa
manusia.1 Bersama dengan keindahan dan harmonisasi dari nada, irama, dan
syair-syair yang ditampilkannya, lagu berhasil hidup subur di setiap aspek
kehidupan manusia. Hampir setiap lapisan dari berbagai golongan terbius oleh
kenikmatan yang disuguhkan oleh musik atau lagu, dan kehadirannya tidak dapat
begitu saja terlepas dari kehidupan manusia.
Sebagai sebuah struktur seni, layaknya semua seni, lagu hadir dengan
beragam fungsi dan peran. Selain berfungsi sebagai media hiburan, fungsi-fungsi
lain seperti alat ritual, alat pengikat komunitas, alat perjuangan, media kritik,
sampai pada alat propaganda politis, juga turut mewarnai. Selanjutnya, bersama
dengan fungsi-fungsi tersebut nilai-nilai yang terkandung diharapkan dapat
menjadi wadah komunikasi antara si pengarang lagu dengan audience atau
penikmat lagu.
1
M. Raka Santeri., 1964, Kelesuan Dalam Penciptaan Lagu–Lagu Populer, Majalah Gelora, Jakarta, hal: 15
Eratnya hubungan yang terjalin antara lagu dengan kehidupan manusia
menyebabkan pola yang terbentuk pada lagu tidak jauh berbeda dengan pola yang
lahir dan berkembang dalam kehidupan manusia. Pergolakan-pergolakan yang
tampil dalam kehidupan kebudayaan manusia (sosial, ekonomi dan politik) secara
tidak langsung membawa pengaruh yang significant bagi kelangsungan
kehidupan lagu, begitu pula sebaliknya. Tidak jarang pergolakan tersebut
merubah fungsi nilai dan makna yang terkandung dalam lagu menjadi sebuah
nilai dan makna yang baru, dan terkadang memaksa lagu untuk berjalan jauh
terlepas dari ruang idealismenya, terkait dengan fungsi dasar terciptanya sebuah
lagu. Pada titik ini tanpa di sadari lagu berjalan pada titik ambiguitas makna dan
fungsi.
Perubahan fungsi tersebut terlihat jelas ketika kehadiran lagu harus
dibenturkan pada sebuah kepentingan dari sistem politik yang sedang berkembang
dalam kehidupan manusia, terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kuatnya makna kuasa dan kontrol dari sebuah sistem politik yang sedang
berkembang, memposisikan lagu untuk pada titik yang lemah. Keinginan untuk
dapat berjalan netral dalam ruang idealisme seninya dirasakan sulit untuk dapat
dicapai, terlebih ketika lagu dipaksa mempunyai nilai loyalitas terhadap sebuah
sistem politik tertentu. Dampak yang lebih luas lagi dari perubahan fungsi lagu
adalah diangkatnya sesuatu yang artifisial menjadi simbol demi menyaratkan
tangan dari sebuah sistem politik,2 bahkan bisa dikatakan hanya sebatas
dimanfaatkan. Pada dasarnya hakikat seni, dalam hal ini lagu, adalah ekspresi
manusia, karena itu upaya mempolitisasi bidang seni pada zaman sekarang hanya
akan mengakibatkan kematian seni itu sendiri.3
Seperti halnya yang terjadi dalam kasus pencekalan dan stigma komunis
pada lagu Genjer-Genjer oleh Orde Baru. Dalam kasus ini, lagu Genjer-Genjer
pada perjalanannya dipaksa berubah fungsi demi sebuah kepentingan dari sistem
politik yang sedang berkembang dalam tubuh rezim politik yang sedang berkuasa
pada era 1960-an (PKI dan Orde Baru). Kuatnya cengkraman dari sistem politik,
baik dari PKI maupun Orde Baru, berhasil membentuk fungsi baru dalam tubuh
lagu Genjer-Genjer yang secara tidak langsung menghantar lagu Genjer-Genjer
pada titik ambiguitas fungsi dan nilai. Berawal dari titik ambiguitas tersebutlah
pada akhirnya menyebabkan pencekalan dan melahirkan sebuah makna komunis
pada lagu Genjer-Genjer. Pada ruang ini jelas terlihat bagaimana kehadiran lagu
Genjer-Genjer coba dimanfaatkan oleh rezim politik tertentu demi perpanjangan
tangan sistem politiknya dan kelancaran dari kelangsungan kehidupan politiknya.
Ideologi politik yang terbentuk dalam tubuh partai atau kelompoknya dipaksa
melebur ke dalam tubuh lagu Genjer-Genjer dan menyebabkan lahirnya sebuah
makna dan nilai baru bagi lagu. Ironisnya makna dan nilai tersebut dijadikan
2
Teguh Karya Esha, dkk., 2005, Ismail Marjuki: Musik, Tanah Air, Dan Cinta, Pustaka LP3ES, Jakarta, lihat kata pengantar Dieter Mack, Musik di antara Seni dan Politik : Sebuah Dilema Abadi, hal: xvii
3
simbol yang menyaratkan sebuah kepentingan politik dari kelompok politik
tertentu.
Ketika dikaji lebih dalam melalui kerangka awal penciptaannya, lagu
Genjer-Genjer murni tercipta sebagai lagu rakyat (folksong) yang berasal dari
daerah Banyuwangi. Lukisan kesengsaraan masyarakat Banyuwangi dalam
menjalankan kehidupannya di sela-sela bentuk kolonialisasi Jepang dijadikan
inspirasi dari sang pengarang lagu, M. Arief, untuk dapat menciptakan lagu
Genjer-Genjer. Digambarkan oleh M. Arief bagaimana akibat kolonialisasi,
masyarakat Banyuwangi hidup dalam kondisi kemiskinan yang luar biasa
sehingga harus makan daun genjer.4 Berawal dari lukisan-lukisan inilah yang
selanjutnya oleh M.Arief lagu Genjer-Genjer diharapkan dapat berfungsi sebagai
media kritik terhadap bentuk penjajahan Jepang5 dan media perjuangan bagi
masyarakat Banyuwangi dalam menjalani kehidupannya di sela-sela kehidupan
kolonialisasi bangsa Jepang.
Bersama dengan kesederhanaan dan harmonisasi dari nada, irama, dan
syair-syairnya, lagu Genjer-Genjer berhasil menjadi perwakilan suara-suara
perjuangan masyarakat Banyuwangi dalam menghadapi bentuk kolonialisasi
Jepang dan menyebabkan semakin dikenalnya lagu ini oleh kalayak ramai. Pada
periode tahun 1960 sampai pada pertengahan tahun 1965, perjalanan lagu
Genjer-Genjer menapaki masa kejayaannya. Lagu ini semakin populer dan hampir setiap
4 Jurnal Paring Waluyo Utomo., 2003, Genjer-Genjer Dan Stigmanisasi
Komunis, Pusat Studi Dan Pengembangan Kebudayaan (Puspek), Malang
5 Utan Parlindungan., 2007, Musik Dan Politik: Genjer-Genjer, Kuasa dan
Kontestasi Makna, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM,
kalangan dari berbagai golongan mengenal dan menyenangi lagu ini. Akan tetapi
tanpa di sadari, cengkraman ideologi politik PKI secara perlahan mulai
mencengkram setiap jejak perjalanan lagu Genjer-Genjer pada era tersebut.
Tahap demi tahap cengkraman tersebut melahirkan sebuah fungsi baru bagi lagu
rakyat Banyuwangi ini menjadi sebuah lagu propaganda politiknya PKI. Lagu
Genjer-Genjer oleh PKI dijadikan alat perpanjangan sistem ideologinya guna
menarik simpati dari massa. Mulai saat itu lagu Genjer-Genjer di kenal bukan
lagi sebatas lagu rakyat yang berasal dari Banyuwangi namun juga di kenal
sebagai lagunya orang-orang PKI. Nilai propaganda yang digoreskan PKI ke
dalam tubuh lagu Genjer-Genjer ternyata melahirkan nilai konsekuensi, implikasi
dan indikasi tersendiri bagi perjalanan lagu Genjer-Genjer. Secara tidak langsung,
aroma ideologi komunis PKI melebur ke dalam tubuh lagu Genjer-Genjer yang
menyebabkan terikatnya lagu Genjer-Genjer pada stigma komunis atau PKI.
Sejak saat itu kehadirannya tidak penah bisa terlepas begitu saja dari PKI, dan
wajar ketika Orde Baru memilih untuk mencekal lagu Genjer-Genjer.
Kuatnya cengkraman ideologi PKI bagi lagu Genjer-Genjer memaksa
lagu Genjer-Genjer menenggak pil pahit, serupa dengan nasib yang dialami PKI.
Pasca meletusnya tragedi G30S 1965 dan menyeret PKI sebagai dalang dibalik
peristiwa tersebut. Nasib lagu Genjer-Genjer pun berubah drastis, kedekatannya
dengan PKI menuntut lagu ini turut memanggul nilai tanggung jawab atas
terjadinya peristiwa tersebut. Lagu Genjer-Genjer dipaksa terlibat dan
didisfungsikan sebagai sebuah lagu rakyat yang berakhir pada pencekalannya di
dasar pemikiran Orde Baru guna untuk dapat mencekal lagu Genjer-Genjer. Orde
Baru memanfaatkan lagu Genjer-Genjer dan mendesaign lagu ini sebagai senjata
ampuh guna mematikan langkah PKI. Terlebih ketika pemerintah pada era itu
memberikan kuasa penuh bagi Suharto, salah satu petinggi dari Orde Baru, lewat
Tap MPRS No IX/MPRS/1966 tentang perintah untuk dapat mengondusifkan
keadaan dan Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI dan
pelarangan/pengharaman segala ajaran komunis, Marxisisme-Leninisme.
Menambah semakin gencarnya Orde Baru melakukan maneuver-manuver
pemberatasan PKI dan segala atributnya. Lagu Genjer-Genjer pun tidak luput
terlahap, lagu ini di cekal dan didisfungsikan sebagai lagu rakyat Banyuwangi.
Bangunan mitologi-mitologi komunis yang dirancang Orde Baru berhasil
mendoktrin pola pikir sebagian besar Bangsa Indonesia sampai saat ini dan
melahirkan rasa paranoid untuk dapat menyanyikan lagu Genjer-Genjer dalam
kehidupan sehari-harinya.
Kasus yang terjadi pada lagu Genjer-Genjer sekilas menggambarkan
bagaimana pergolakan yang terjadi dalam kehidupan manusia, khususnya
pergolakan politik, mempunyai pengaruh yang sangat significant bagi perjalanan
atau perkembangan sebuah produk kebudayaan, dalam hal ini lagu
Genjer-Genjer. Semakin besar sebuah bangsa semakin kompleks pula permasalahan yang
akan dihadapinya dan tidak jarang menuntut korban yang tidak sedikit dari segala
aspek. Benturan-benturan kepentingan politis antara PKI dan Orde Baru memaksa
lagu Genjer-Genjer untuk menelan pil pahit dan, dapat dikatakan, menjadi
pernah bisa dikaitkan dengan sebuah bangsa, kecuali bila dipaksakan oleh sistem
politik tertentu yang berwatak otoriter.6
B. Identifikasi Dan Pembatasan Masalah
Kasus pencekalan dan stigma7 komunis pada lagu Genjer-Genjer yang
dilancarkan oleh Orde Baru membawa keunikan tersendiri untuk dikaji secara
mendalam. Bermuara pada uraian di atas, lahirlah beberapa permasalahan di
dalamnya. Dibalik nuansa PKI dan pekatnya aroma komunis pada lagu
Genjer-Genjer, ternyata mengandung keistimewaan tersendiri dari fungsi dan perannya
bagi perkembangan kesenian masyarakat Banyuwangi, Indonesia, Lekra dan
ideologi politik PKI. Dari sebab itu keistimewaan-keistimewaan fungsi dan peran
yang terkandung dalam tubuh lagu Genjer-Genjer dirasa perlu untuk di ungkap.
Selain itu, apakah yang melatarbelakangi si pencipta lagu dalam menciptakan
lagu Genjer-Genjer juga menjadi salah satu topik permasalahan dalam pengkajian
ini untuk dapat menjadi dasar pengertian kenapa fungsi dan peran itu bisa
tertanam dalam lagu Genjer-Genjer.
Rejim Orde Baru yang pada era 1965 diberi mandat oleh pemerintah
untuk dapat mengkondusifkan kembali Indonesia dari segala kekacauan akibat
6 Teguh Esha, dkk., op.cit , hal: xvii
7
peristiwa G30S, mengambil salah satu kebijakan yang cukup unik, yakni
pencekalan lagu Genjer-Genjer dari panggung hiburan Indonesia. Kebijakan
tersebut sudah barang tentu tidak berjalan begitu saja tanpa dasar-dasar penilaian
didalamnya. Oleh sebab itu, apakah yang melatarbelakangi kebijakan tersebut
dirasa tepat untuk dapat dikaji lebih dalam lagu dalam penelitian ini. Selain itu,
keistimewaan apa yang terkandung dalam lagu Genjer-Genjer dan apakah lagu
Genjer-Genjer mengandung fungsi atau hanya dimanfaatkan oleh Orde Baru guna
mematikan langkah PKI juga menjadi salah satu permasalahan yang perlu
dijawab dalam penelitian ini. Lagu Genjer-Genjer dalam perjalananya bukan saja
dicekal namun pekatnya stigma komunis dalam lagu ini juga turut mewarnai dan
permasalahan ini sampai sekarang belum terjawab dengan mendalam. Stigma
komunis itu sendiri terlahir sekilas dari sebuah konsekuensi kedekatannya dengan
PKI namun dibalik itu semua apakah ada nilai-nilai lain yang mendasari Orde
Baru dan KAMI untuk menstigma komunis lagu Genjer-Genjer, terlebih
kaitannya dengan unsur atau nilai keindahan suatu seni atau lagu.
Peristiwa sejarah, oleh kebanyakan orang dimaknai sebagai sebuah
untaian peristiwa yang pernah terjadi pada masa lalu dan tersusun oleh runtutan
periode dari tahun ke tahun. Oleh sebab itulah guna tercapainya sebuah
historiografi kebudayaan maka urutan dari tahun ke tahun secara sistematis perlu
dihadirkan disini. Pengkajian ini terangkai dari tahun 1942 sampai 1966, tersusun
dari awal terciptanya lagu Genjer-Genjer 1942 sampai pada pencekalannya pada
tahun 1966. Kurun waktu 24 tahun merupakan putaran waktu yang tepat guna
waktu ini dapat terlihat jelas bagaimana sebuah proses perjalanan lagu
Genjer-Genjer dalam menapaki kehidupannya sampai pada nasib pahitnya yakni
pencekalannya dan perubahan nilai dan maknanya menjadi sebuah lagu yang
mengandung stigma komunis.
Batasan waktu dalam pengkajian ini terhenti pada tahun 1966, pada tahun
ini dapat dengan jelas terlihat dasar-dasar penilaian apa saja yang diambil oleh
Orde Baru guna mencekal lagu Genjer-Genjer. Selain itu, bagaimanakah proses
sebuah stigma komunis bisa dengan mudah melekat dalam tubuh lagu
Genjer-Genjer. Bagaimanakah pandangan kalayak ramai pada umumnya dan juga
masyarakat Banyuwangi pada khusus tentang pencekalan lagu Genjer-Genjer
oleh Orde Baru juga dapat terkaji dengan jelas.
C. Rumusan Masalah
Bermuara dari uraian diatas, lahir beberapa permasalahan untuk dapat
dikaji lebih dalam. Adapun rumusan masalah tersebut terbagi dalam beberapa
butir yakni :
1. Bagaimanakah sejarah terciptanya lagu Genjer-Genjer dan apakah
yang melatarbelakangi terciptanya lagu Genjer-Genjer?
2. Bagaimanakah perkembangan lagu Genjer-Genjer pada tahun
1960-1966?
3. Bagaimanakah fungsi dan peran lagu Genjer-Genjer bagi
perkembangan kehidupan masyarakat Banyuwangi, masyarakat
4. Apakah yang mendasari Orde Baru mencekal dan menstigma
komunis lagu Genjer-Genjer?
Pengkajian berdasarkan pendekatan historis dari latar belakang terciptanya
lagu Genjer-Genjer, diharapkan dapat menjelaskan sejarah terciptanya lagu
Genjer-Genjer. Selanjutnya, bersama dengan pendekatan secara mendalam lewat
pendekatan antropologis, sosiologis, seni musik, hukum dan politik diharapkan
dapat menguak keistimewaan fungsi dan peran yang terkandung dalam lagu
Genjer-Genjer dan juga dapat mengungkap nilai-nilai dasar dari perubahan fungsi
lagu Genjer-Genjer sampai pada pencekalan dan stigma komunisnya.
Bersama dengan pendekatan displin-displin ilmu ini diharapkan dapat
menjawab segala permasalahan yang ada dalam penelitian ini dari segala ruang
dan juga sekat-sekat terkecilnya.
D. Tujuan Penelitian
a. Akademis
Kehadiran lagu Genjer-Genjer sebagai lagu rakyat Banyuwangi menarik
keunikan tersendiri dalam kehidupan bangsa Indonesia. Keunikan dari ekspresi
seni musik yang ditampilkannya semakin mewarnai kehidupan berkesenian di
Indonesia. Dengan mengkaji kasus lagu Genjer-Genjer secara mendalam,
diharapkan “misteri” dari fenomena kehadirannya dapat terungkap. Dan
akhirnya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah referensi bagi peneliti
yang menaruh titik fokusnya pada penulisan sejarah kebudayaan khususnya seni
b. Praktis
Bersama dengan hadirnya tulisan mengenai kasus pencekalan dan stigma
Komunis pada lagu Genjer-Genjer ini. Diharapkan masyarakat di luar lingkup
akademis bisa dengan jelas memahami latarbelakang dari kasus pencekalan dan
proses melekatnya stigma komunis pada lagu Genjer-Genjer. Pada akhirnya
sebuah upaya untuk dapat merehabilitasi sebuah kultur dapat secara bijak dipilih.
E. Manfaat Penelitian
a Teoretis
Pengkajian kasus pencekalan lagu Genjer-Genjer oleh Ordebaru, belum
sepenuhnya dijadikan minat khusus dalam penelitian oleh beberapa khalayak.
Terbatasnya sumber bahkan tulisan-tulisan yang mencoba mengkaji kasus
tersebut menyebabkan minimnya pemahaman kalayak umum terhadap
permasalahan yang terjadi. Dari sebab itulah maka diharapkan dengan lahirnya
tulisan ini dapat menambah pembendaharaan kasanah tulisan sejarah kebudayaan,
khususnya seni musik. Sehingga pada nantinya dapat bermanfaat bagi mereka
yang mencoba menaruh titik fokus pengkajiannya pada kasus ini.
b. Praktis
Keberhasilan dari sebuah penelitian adalah ketika hasil akhir dari
penelitian itu (tulisan) berhasil mengungkap dan mengkomunikasikan sebuah
peristiwa yang dikajinya kepermukaan. Sehingga masyarakat pada umumnya
dapat memahaminya sebagai sebuah pembelajaran mereka dalam menyikapi
segala peristiwa yang terjadi dalam masa lalu secara bijak. Begitu pula dengan
umumnya guna memahami dan mempelajari segala bentuk permasalahan yang
sebenarnya terjadi dalam pergolakan kehidupan seni dan politik dalam ruang
kebudayaan.
F. Tinjauan Pustaka
Kehadiran sumber-sumber pustaka disamping sumber-sumber lainnya
dalam sebuah penelitian, yang telah ada atau telah beredar sebelumnya
dilapangan, merupakan salah satu alat penting guna tercapainya keberhasilan dari
sebuah penelitian. Hal tersebut semata-mata bukan saja digunakan sebagai
panduan atau acuan bagi kelangsungan sebuah penelitian namun juga dijadikan
sebagai sebuah tolak ukur dasar dari keaslian sebuah penelitian. Sehingga
keaslian dari hasil penelitian yang dikaji dapat teruji valid secara akademis
maupun secara praktis.
Banyak upaya yang dilakukan oleh para ilmuwan, baik yang ada dalam
bidangnya maupun tidak, untuk dapat menempatkan seni musik sebagai titik
fokus pengkajian dan penulisannya dan dapat menjadi acuan dan data-data.
Namun pengkajian yang bermuara pada kasus pencekalan dan stigmatisasi
komunis pada lagu Genjer-Genjer oleh Orde Baru masihlah minim untuk dapat
ditemukan di lapangan sampai saat ini.
Bentuk-bentuk pustaka yang mencoba mengkaji musik atau lagu sebagai
fokus pengkajiannya dan cukup memiliki relevansi dengan kasus pencekalan
Genjer-Genjer antara lain: buku yang berjudul Catatan Musik Indonesia:
Hardjana mencoba menjelaskan tentang semua persoalan yang akan dan terus
dihadapi oleh seni musik dalam kehidupan sehari-harinya. Kompleksnya
permasalahan yang dihadapi akan terus berkembang dan terkadang dapat
melempar seni musik kedalam lorong keterasingan. Meski dalam buku ini kasus
Genjer-Genjer tidak masuk dalam pemahasan namun setidaknya lewat buku ini
sekilas tampak bagaimana perkembangan seni musik dalam menjawab segala
tantangan yang digoreskan oleh jaman.
Selanjutnya, penelusuran pun terhenti pada sebuah buku yang berjudul
Kembang-Kembang Genjer, karya Fransisca Ria Susanti. Dalam buku ini
dijelaskan bagaimana trauma dan penderitaan orang-orang yang dianggap
mempunyai kedekatan dengan PKI dan ideologi komunis harus dihadapkan pada
nasib yang ironis dan kenangan tersebut sulit untuk dapat terhapus oleh waktu.
Keunikan dalam buku ini adalah ketika bahasan bermuara pada korban 65, tidak
tertutup pada permasalahan kedekatannya dengan PKI dan juga kedekatannya
dengan lagu Genjer-Genjer. Akan tetapi bahasan tentang lagu Genjer-Genjer
tidak menjadi titik fokus pembicaraan, hanya sebatas nilai konsekuensi dan
indikasi dari kegemarannya menyanyi lagu Genjer-Genjer.
Sebuah pembahasan tentang kasus yang dihadapi lagu Genjer-Genjer
coba diuraikan secara cerdas dan kritis dalam buku Musik Dan Politik:
Genjer-Genjer, Kuasa dan Kontestasi Makna, karya Utan Parlindungan S. Dalam buku
ini, coba dijabarkan secara gamblang bagaimana makna kuasa politik yang
berkembang dalam tubuh PKI dan Orde Baru, telah berhasil memperkosa
lagu Genjer-Genjer jauh terlepas dari fungsi awal terciptanya lagu
Genjer-Genjer. Meskipun dalam buku ini kasus lagu Genjer-Genjer secara gamblang
diulas namun dasar pendekatan penulisan buku lebih terfokus pada kacamata
politik. Kajian historis dari sudut pandang fungsi dan peran belumlah secara
fokus menjadi dasar penelitian.
Selain buku-buku tersebut diatas, jurnal-jurnal seperti jurnal Srinthil dan
jurnal Paring Waluyo mencoba menjelaskan tentang sejarah dan perkembangan
lagu Genjer-Genjer. Akan tetapi penjelasan hanya sebatas rangkuman dan dirasa
kurang jelas menjawab latar belakang pencekalan dan stigmatisasi komunis pada
lagu Genjer-Genjer oleh Orde Baru. Penyampain masih terlihat sekilas dan belum
secara mendalam.
Sumber-sumber pustaka tersebut hadir dengan keunikannya tersendiri,
walaupun kehadirannya mencoba memposisikan musik atau lagu sebagai
kajiannya. Namun belum dapat ditemukan pengkajian historis yang bermuara
pada pencekalan dan stigmatisasi komunis pada lagu Genjer-Genjer lewat sudut
pandang fungsi dan peran. Dari sebab itulah penelitian ini diyakini perlu untuk
dilakukan guna terciptanya tulisan historis tentang kasus pencekalan dan
stigmatisasi komunis pada lagu Genjer-Genjer oleh Orde Baru lewat sudut
pandang fungsi dan peranannya.
G.
Landasan Teori
Dalam menganalisis pergerakan seni musik dalam ruang lingkup
kehidupan manusia yang dinamis, kehadiran sebuah metode yang tepat di rasa
perlu guna tercapainya pengkajian secara mendalam. Kerangka teori menurut
Koenjtaraningrat berfungsi sebagai pendorong proses berfikir deduktif yang
bergerak dari bentuk abstrak ke dalam bentuk yang nyata. Dalam penelitian suatu
kebudayaan masyarakat diperlukan satu atau lebih teori pendekatan yang sesuai
dengan objek dan tujuan dari penelitian ini. Dalam hal ini, teori pendekatan yang
dirasa tepat guna mengkaji kasus tersbut adalah pendekatan Fungsional.
Bronislaw Malinoswski dalam bukunya The Dinamics Of Culture Change,
menjelaskan bahwa metodologi yang tepat guna meneliti, menganalisis, dan
melukiskan proses perubahan yang sedang terjadi dalam pergerakan ini adalah
lewat pedekatan fungsional terhadap gejala berkesenian yang sedang terjadi.8
Teori Fungsional yang diajukan oleh Malinowski dalam Koentjaraningrat, antara
lain menyinggung tentang fungsi kebudayaan yang merupakan segala aktifitas
kebudayaan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan naluri manusia yang
berkaitan dengan kehidupannya.9 Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan
sosial didukung oleh fungsi institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga,
aliran dan pasar dapat terwujud.
8 Bronislaw Malinowski., 1983, Dinamik Bagi Perubahan Budaya (
Pengenalan Baru Phyllis M.Kaberry ), Kuala Lumpur : Dewan Bahasa Dan Pusat
Kementerian Pelajaran, hal: 95
Lagu Genjer-Genjer sebagai sebuah karya seni, sudah barang tentu
membutuhkan Audience atau penikmat seni guna menilai dan menikmati lagu
tersebut. Dengan demikian penilaian yang berkaitan dengan makna atau nilai
estetis yang lahir dari tiap individu atau kelompok dari penikmat seni dan penilai
berdasarkan kualitas dan tujuan karya seni sangatlah penting digunakan di dalam
tulisan ini.10 Selain itu, guna lebih mendalamnya penulisan ini dalam mengkaji
pergerak seni musik, maka pengertian tentang gejala yang sedang terjadi dan
mencerminkan suatu periode juga sangat menentukan dalam tulisan ini.11
Musik tradisional sendiri mempunyai sifat fungsional, baik untuk
kepentingan ritual dan hiburan maupun kepentingan lain yang menjadi bagian
integral dari kehidupan kelompok etnis tertentu, dia dapat memenuhi kebutuhan
kreatif, apresiatif, dan rohani. Jenis seni melalui tradisi oral semacam itu
berkembang dan selalu berubah tanpa disadari.12
Musik sendiri terlalu abstrak untuk dijadikan alat politis yang konkret.
Bila dampak politis dalam arti luas ingin diwujudkan secara massal, seorang
komponis harus melakukan sejumlah kompromi dalam mencipta yakni, (a) musik
program, atau (b) secara nyata membuat parodi musik fungsional yang terlanjur
diklaim oleh sebuah sistem politik.13
10 Mudji Soestrisno, Christ Verhaak., 1984, Estetika Filsafat Keindahan, Yogyakarta, Kanisius, hal: 81-83
11
Doris Van De Bogart., 1977, Introduction To The Humanities ( Painting, Sculputure, music, AndLiterature), New York, Bames & Noble Inc, hal: 24
Sebuah bangsa modern adalah produk artificial yang sangat ditentukan
oleh pertimbangan ekonomi, politik, dan sosial, bukan berdasarkan kesamaan
alamiah. Masalah yang kemudian muncul adalah argumen tentang pembentukan
bangsa nasional yang niscaya tak berlaku sama sekali di bidang kesenian. Hakikat
kesenian adalah ekspresi manusia, karena itu upaya mempolitisasi bidang seni
pada zaman sekarang hanya akan mengakibatkan kematian seni itu sendiri.14
Demikian juga, sejarah adalah bentuk kejiwaan dengan apa sebuah
kebudayaan menilai masa lalunya. Sejarah adalah ilmu, bukan mitologi atau
roman, sejarah adalah cara mengenal dunia. Sejarah harus kritis, dalam arti
mempunyai komitmen kepada kejujuran dan ketekunan dalam mengenal
objeknya. Namun, dengan metodenya sendiri, sejarah adalah sumbangan penting
bagi kebudayaan.
H. Metode Penelitian
Metode adalah alat untuk mencapai tujuan dari suatu kegiatan. Dalam
melakukan penelitian, sangat diperlukan metode-metode untuk menunjang
keberhasilan sebuah bentuk tulisan. Dalam memahami kasus pencekalan yang
terjadi dalam lagu Genjer-Genjer dan merangkumnya kedalam sebuah tulisan
sejarah maka diperlukan langkah-langkah yang tepat. Koentjaraningrat
menjelaskan bahwa metode penelitian sejarah adalah metode atau cara yang
digunakan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian peristiwa sejarah dan
permasalahannya. Dengan kata lain, metode penelitian sejarah adalah instrumen
14
untuk merekonstruksi peristiwa sejarah (history as past actuality) menjadi sejarah
sebagai kisah (history as written).15 Dalam ruang lingkup Ilmu Sejarah, metode
penelitian itu disebut metode sejarah.
Langkah awal yang diyakini tepat adalah dengan pengumpulan data dan
sumber. Karena minimnya sumber tertulis yang mencoba mengkaji kasus ini
maka pencarian data lebih bersifat kualitatif yakni, pengumpulan data yang lebih
menekankan wawancara dengan informan. Guna mempelancar metode ini maka
susunan dari wawancara yang terarah, yang dalam hal ini kaitannya dengan kasus
pencekalan lagu Genjer-Genjer, coba disusun terlebih dahulu. Sehingga
pengakajian lebih dalam dapat dilancarkan dalam penelitian ini.
Langkah selanjutnya adalah lewat penelusuran sumber tertulis.
Penelusuran ini digunakan untuk menganalisis kasus yang terjadi. Adapun
sumber-sumber tersebut berkisaran pada: buku, Koran atau majalah, jurnal, dan
internet. Setelah pengumpulan data telah berhasil dilakukan maka tahap kedua
yang dilakukan adalah kritik sumber. Dengan kritik sumber inilah kredibilitas
sumber diuji dan kevalidan dari sumber..
Setelah kedua langkah tersebut dirasa maka langkah selanjutnya yang
dilakukan adalah analisis sumber. Langkah ini merupakan langkah terpenting
dalam penelitian karena lewat analisis sumber keberhasilan dari penelitian diuji.
Adapun analisis dari kasus pencekalan lagu Genjer-Genjer difokuskan pada
fungsi dan nilai yang terkandung dalam lagu Genjer-Genjer bagi kelangsungan
hidup kesenian dan kelangsungan kehidupan politik.
15
Pada akhirnya langkah terakhir yang diambil adalah peleburan semua
langkah kedalam sebuah penulisan sejarah. Penulisan sejarah bermuara pada
sebuah kronologis dari peristiwa sejarah yang terjadi. Sedangkan kerangka
penulisan tersusun secara sistematis dalam ruang sistematika penulisan sejarah.
Setelah semua tahap tersebut telah dilalui tugas akhir adalah penyampaian hasil
penelitian secara tertulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah menurut
kaidah-kaidah yang telah diterapkan16
I. Sistematika Penulisan
Bermuara pada uraian yang telah dijabarkan di atas maka penulisan
tentang kasus pencekalan lagu Genjer-Genjer oleh Orde Baru dan lekatnya
stigmanisasi PKI dan komunis dalam lagu ini. Tersusun secara sistematis dengan
didasari oleh sistematika penulisan sejarah yang berlaku. Adapun penulisan ini
tersusun dalam lima bab pokok yakni:
Bab I. Merupakan pendahuluan yang berisi latarbelakang alasan dari
penulisan ini. Meliputi permasalahannya, tujuan dan manfaat penelitian, tinjuan
pustaka, kerangka teori dan pendekatan, metode penelitian, serta sistematika
penulisan.
Bab II. Pembahasan tentang latarbelakang penciptaan lagu Genjer-Genjer
lewat ruang lokalitasnya sampai pada perkembangannya. Perkembangan kesenian
Banyuwangi yang ada pada masa itu coba di jadikan sebagai dasar untuk dapat
16 Nugroho, Notosusanto, 1971, Norma-Norma Pemikiran Dan Penulisan
memahami fungsi awal dari terciptanya lagu Genjer-Genjer. Kurun waktu yang
dikaji sekitar tahun 1942-1960.
Bab III. Pada bab ini pembahasan berkisar pada perkembangan lebih
lanjut pada lagu Genjer-Genjer dan bagaimana kedekatannya dengan PKI. Dalam
bab ini bagaimana pergolakan yang terjadi secara tidak langsung merubah
fungsikan lagu Genjer-Genjer. Sekilas tentang pergolakan peristiwa yang terjadi
pada masa itu coba diulas guna meninjau proses perubahan fungsi dan nilai dari
kehadiran lagu Genjer-Genjer. Adapun kurun waktu yang terpapar meliputi tahun
1960-1965.
Bab IV. Bab ini mencoba mengangkat bagaimana kentalnya makna kuasa
yang dilancarkan oleh rezim politik yang berkuasa pada era itu (Ordebaru) telah
berhasil menjadikan lagu Genjer-Genjer sebagai alat kelangsungan sistemnya.
Kehadiran payung-payung legitimasi kekuasaan yang dipakai oleh Orde Baru
dalam memberangus segala hal yang bernuansa PKI dan komunis, yang dalam hal
ini lagu Genjer-Genjer juga turut jadi korban, coba diulas secara gamblang.
Selain itu pada bab ini pandangan-pandangan masyarakat terhadap lagu
Genjer-Genjer juga coba dipaparkan. Kurun waktu yang dipilih seputaran tahun
1965-1966.
Bab V. Bab ini merupakan bab penutup atau kesimpulan yang merupakan
sebuah jawaban dari segala uraian yang telah dipaparkan pada bab-bab
LAGU GENJER-GENJER
A.
Sekilas Perjalanan Seni dan Lagu Banyuwangi
Kesenian merupakan salah satu karya yang dihasilkan oleh manusia guna
mengembangkan pola kebudayaan yang berkembang dalam daerahnya. Kehadiran
kesenian dalam setiap jengkal kehidupan kebudayaan manusia secara tidak
langsung melukiskan sebuah identitas tersendiri bagi daerah tertentu. Identitas
inilah yang menjadikan semakin beragamnya bentuk kesenian yang tercipta
dalam ruang kebudayaan manusia. Begitu pula dengan Banyuwangi, salah satu
daerah agraris paling timur dari pulau Jawa, memiliki identitas tersendri dari
bentuk-bentuk kesenian yang tercipta. Beragamnya bentuk kesenian yang tercipta
di Banyuwangi menjadi salah satu bukti nyata. Kesenian menurut masyarakat
Banyuwangi adalah nafas bahkan urat nadi mereka dalam menjalani setiap
jengkal kehidupannya. Maka tak heran ketika hampir semua bentuk kebudayaan
yang ada adalah kesenian.
Kesenian Banyuwangi tersendiri terlahir dari beragam tradisi etnis yang
mendiami setiap wilayah Banyuwangi. Sebuah proses percampuran budaya dari
beberapa budaya yang ada dan pergolakan yang pernah terjadi dalam kehidupan
masyarakat Banyuwangi. Menurut letak geografisnya, Banyuwangi posisinya
tepat pada jalur perlintasan dan pertemuan dari beberapa suku seperti, suku Jawa,
suku Madura, suku Bali dan suku Bugis. Dari posisi tersebut budaya lokal yang
ada coba dilebur menjadi satu dan akhirnya menjadi sebuah corak tersendiri yang
tidak ditemui di wilayah manapun di Nusantara.17
Namun dari beberapa suku yang ada, suku yang paling berpengaruh
adalah suku Bali. 18 Kuatnya pengaruh suku Bali, tampil lewat corak dan bentuk
seni dan tradisi masyarakat Banyuwangiyang hampir sama dengan corak seni dan
tradisi yang lahir di Bali. 19 Selain itu gaya bahasa Osing20.layaknya gaya bahasa
yang ada di Bali menjadi semakin jelasnya pengaruh budaya Bali bagi
perkembangan budaya Banyuwangi. Pada mayoritasnya, penduduk asli yang
17 Http://www.wikipedia bahasa Indonesia.com/ensiklopedia bebas/seni
dan budaya Banyuwangi
18
Http://www.banyuwangikab.go.id
19 Hal ini tercermin dalam seni tari Gandrung yang mirip dengan tari-tari tradisional Bali, termasuk juga dengan busana tari dan musiknya. Selain itu, arsitektur masyarakat Osing pun memiliki kesamaan dengan yang ada di Bali, terutama pada hiasan di bagian atas. Dalam tradisinya pun masyarakat Osing mempunyai tradisi puputan layaknya tradisi puputan di Bali. Walaupun demikian suku stratifikasi masyarakat Osing berbeda dengan stratifikasi masyarakat Bali. Masyarakat Osing tidak mengenal kasta-walupun ada yang menyebutkan dalam kehidupan masyarakat Osing terdapat bentuk-bentuk kasta seperti kaum drakula, kaum sudrakula, kaum hydrakula, dan kaum coliba (mereka juga masyarakat pribumi Banyuwangi)- dan lebih dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama Islam yang sebagian besar dipeluk oleh masyarakat Banyuwangi. (http://id.wikipedia.org/wiki/bahasa osing)
20 Bahasa
Osing sendiri merupakan salah satu varian bahasa tertua di pulau Jawa karena dikatakan turunan langsung dari bahasa Jawa kuno seperti halnya bahasa Bali. Namun bahasa Osing berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya oleh sebab itulah menurut pandangan beberapa kalangan bahasa ini bukanlah sebuah dialek dari bahasa Jawa. (Utan Parlindungan, 2007, Musik Dan Politik:
Genjer-Genjer, Kuasa Dan Kontestasi Makna, Laboratorium Jurusan Ilmu
mendiami wilayah Banyuwangi dikenal dengan Suku Osing21. Salah satu
sub-suku yang dimiliki sub-suku Jawa. Dalam kehidupan sehari-harinya, masyarakat
Osing sangat bersandar pada kekayaan dan kesuburan alam yang dimilikinya.
Hampir 66,54% dari penduduknya hidup bercocok tanam sebagai petani.22 Maka
tak heran ketika seni dan tradisi yang terlahir hampir kesemuannya bermuara
pada nilai-nilai ritual permohonan dan rasa syukur bagi Dewa-dewi yang mereka
percayai.
Seperti yang tercermin pada upacara ritus bagi Dewi Padi,23 sebuah
upacara kesuburan yang dikemas dalam bentuk tarian disebut-sebut sebagai
seblang.24 Menurut pandangan masyarakat Osing tarian ini adalah tarian keramat
dan hanya dapat di pentaskan oleh orang-orang yang terpilih dan pada acara-acara
21 Salah satu sub-suku yang dimiliki suku Jawa. Dalam sub-suku Jawa
suku Osing juga di sebut-sebut dengan nama Lare Osing. Kata Osing sendiri berasal dari bahasa Bali, tusing, yang berarti tidak Suku Osing sendiri dipercayai merupakan suku atau penduduk asli Banyuwangi yang diyakini sebagai bangsa keturunan dari Kerajaan Blambangan pada jaman Kerajaan Majapahit. (Http://www.banyuwangikab.go.id)
22 Menurut letak geografisnya memang daerah Banyuwangi adalah daerah subur dan layak untuk dijadikan lahan pertanian. Dari sebab itulah kebanyakan penduduk Osing memilih menjadi petani sebagai mata pencahariannya. (Siti Munawaroh, Gandrung Seni Pertunjukan Di Banyuwangi, JANTRA, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. II No 4, Desember, 2007, hal: 255)
23 Menurut mitosnya
Dewi Sri yang dipercaya sebagai Dewi Kesuburan
atau penjelmaan dari padi selalu menjaga kesuburan hasil panennya dan juga menjaga desa dari segala ancaman mara bahaya. Oleh sebab itulah masyarakat Osing merasa perlu untuk dapat menghormati dan mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Dewi Padi. ( Ibid., hal: 257)
tertentu. Dalam perjalanannya tarian seblang mulai tergeser dan hampir dapat
dikatakan punah. Selanjutnya tarian ini dikenal dengan nama Gandrung oleh
sebagian masyarakat Banyuwangi. Tarian ini pada nanti yang menjadi salah satu
icon masyarakat Banyuwangi atau Osing sampai saat ini.
Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa masyarakat Banyuwangi atau
lebih dikenal dengan sebutan Osing, merupakan masyarakat yang konglomerat
akan bentuk seni dan tradisinya. Kesenian bagi masyarakat Banyuwangi bagaikan
urat nadi mereka, tidak hanya sebagai hiburan semata, jauh dari itu kesenian
adalah nafas mereka dan dipandang sebagai sebuah ritual yang mengandung
makna spiritual-yang selalu dekat dengan kehidupan sosial mereka.25 Dari sebab
itu tak heran ketika seni dan tradisi yang lahir tidak jauh dari pelukisan atau
penggambaran kehidupan keseharian mereka dalam memaknai sebuah
keselarasan hidupnya dengan alam sekitarnya. Dalam hal ini penciptaan Lagu
Genjer-Genjer diyakini memiliki latar belakang yang hampir serupa. Hal ini dapat
dibuktikan lewat syair-syairnya yang mengkisahkan sebuah perjuangan seorang
ibu dalam mencari bahan makanan yang berasal dari sumber daya alam sekitar
yang mereka miliki, daun genjer.
Dari sekian banyak bentuk-bentuk kesenian yang lahir dan berkembang di
Banyuwangi, bentuk seni yang paling digemari masyarakat Banyuwangi adalah
seni musik atau lagu. Hampir semua bentuk seni dan tradisi yang berkembang
syarat dengan unsur-unsur musik ataupun lagu. Bagi masyarakat Osing kehadiran
25 Kajian Perempuan Desantara, 2007, Banyuwangi dan Problem Seni
lagu merupakan syarat penting dalam mewarnai dan memaknai segala dinamika
yang terjadi dalam kehidupan kebudayaannya.26 Hampir sebagian besar kesenian
yang berkembang di Banyuwangi memadukan unsur-unsur musik atau lagu di
dalamnya. Bersama kehadiran lagu di dalamnya, nilai-nilai spiritual yang ada
diyakini dapat dengan mudah dikomunikasikan. Sehingga seni tersebut tidak
hanya menjadi sebuah hiburan semata namun juga menjadi perwakilan dari
nilai-nilai seni yang coba disuguhkan. Seperti terlukiskan pada seni Gandrung, dalam
seni Gandrung kehadiran lagu menjadi syarat utama karena lewat adanya lagu
maka nilai-nilai spiritual yang terkandung diyakini dapat dengan mudah diterima
dan dimaknai oleh audience. Terlebih ketika sentilan-sentilan nakal dari
syair-syair yang tampil mencoba dan berhasil masuk keranah sensitifitas para penikmat
atau audience. Maka nilai-nilai yang ada semakin melebur ke setiap ruas jiwa si
penikmat (audience ) musik.
Kekayaan dan keunikan lagu yang berkembang di Banyuwangi dapat
dikatakan sangat variatif. Hal inilah yang menyebabkan lagu dapat berkambang
subur dalam raung kebudayaan Banyuwangi. Ayu Sutarto, salah satu budayawan
Jawa timur, mengungkapkan bahwa dari 32 acara budaya yang dimiliki
masyarakat Osing, delapan belas diantaranya adalah kesenian yang di dalamnya
terkandung unsur-unsur seni musik atau lagu. Dari kesenian yang berhubungan
dengan siklus kehidupan (pitonan atau upacara hamil hari ke tujuh, colongan,
ngleboni, angkat-angkat atau pindahan), kemasyarakatan (rebo wekasan atau
pemberian sesaji pada roh halus, ndok-ngandongan atau mauludan, kebo-keboan
atau musim panen) hingga pada tarian dan nyayian pemujaan rakyat bagi
dewa-dewi yang dipercaya sebagai penjaga kehidupannya dan alamnya.
Kegemaran masyarakat Banyuwangi dalam menyanyi menjadikan
semakin eratnya lagu di sela-sela kehidupan masyarkat Banyuwangi. Sama
halnya dengan seni Banyuwangi yang ada, yang bermuara pada nilai-nilai sosial
masyarakat. Begitu pula dengan lagu yang berkembang di Banyuwangi yang
semua syair-syairnya tidak dapat lepas dari pelukisan kehidupan sosial
masyarakat Banyuwangi hubungannya dengan alam sekitarnya. Pada awalnya
menurut sebagian besar masyarakat Banyuwangi, kelahiran sebuah musik atau
lagu bagi sebagian masyarakat Banyuwangi memiliki fungsi sebagai alat atau
media ritual, semacam seblang atau alat perjuangan dan juga sebagai sebuah
pengerat tali solidaritas masyarakat Banyuwangi. Pada tempo dulu lagu-lagu yang
berkembang di Banyuwangi lebih banyak bercerita tentang hubungan-hubungan
sosial dan juga hubungannya dengan permohonan dan rasa syukur kepada Sang
Maha Kuasa. Biasanya lagu-lagu tersebut dinyanyikan dengan nuansa sederhana
dan melankolis27 yang berlanggam Jawa28 dan dengan iringan Gamelan
Banyuwangi. Namun dengan bergulirnya waktu, dan dengan semakin
bermunculan varian-varian lagu yang berkembang di Banyuwangi maka
warna-warna lagu Banyuwangi menjadi populer dengan iringan-iringan musik
keroncong dan band. Arrangement besar-besaran terhadap lagu Banyuwangi
mulai berkembang kira-kira pada tahun 1950. Dalam hal ini lagu Genjer-Genjer
di yakini sebagai cikal bakal lagu yang berhasil di Arrangement menjadi lagu
popular.
Kekhasan dan keunikan lagu Banyuwangi terletak pada lirik-liriknya dan
juga nadanya yang sedikit berbeda dengan langgam Jawa pada umumnya.
Perbedaannya terletak pada nuansa iringan musik yang ada pada Gamelan yang
mereka miliki. Gamelan Banyuwangi pada dasarnya menyerupai Gamelan Jawa
pada umumnya namun kehadiran beberapa alat musik seperti, biola,29 yang
menjadi pantus atau pemimpin dari irama lagu, suling, kluching(triangle), yakni
alat musik berbentuk segitiga yang dibuat dari kawat besi tebal, dan dibunyikan
dengan alat pemukul dari bahan yang sama berfungsi sebagai penguat tempo
dalam lagu. 30
Lalu ada juga kethuk, terbuat dari besi berjumlah dua buah dan dibuat
berbeda ukuran sesuai dengan larasannya. Kethuk estri (feminine) adalah yang
besar, atau dalam gamelan Jawa disebut Slendro, sedangkan kethuk jaler
29 Biola dijadikan sebagai pantus atau pemimpin
(leader) dari lagu yang ada. Menurut sejarahnya, pada sekitar abad ke-19, seorang Eropa menyaksikan pertunjukan Seblang atau Gandrung yang diiringi dengan suling. Kemudian orang tersebut mencoba menyelaraskannya dengan biola yang dia bawa waktu itu, pada saat dia mainkan lagu-lagu Seblang tadi dengan biola, orang-orang sekitar terpesona dengan irama menyayat yang dihasilkan biola tersebut. Sejak itu, biola mulai menggeser suling karena dapat menghasilkan nada-nada tinggi yang tidak mungkin dikeluarkan oleh suling. (www.banyuwangikab.go.id/ musik khas Banyuwangi)
(maskulin) dilaras lebih tinggi satu kempyung (kwint). 31 Fungsi kethuk disini
bukan sekedar sebagai instrumen penguat atau penjaga irama seperti halnya pada
gamelan Jawa, namun tergabung dengan kluncing untuk mengikuti pola tabuhan
kendang. Sedangkan kempul atau gong, dalam gamelan Banyuwangi (khususnya
Gandrung) hanya terdiri dari satu instrumen gong besi. Kadang juga diselingi
dengan saron bali dan angklung. Dan yang terakhir kendhang yang mirip dengan
kendhang sunda. Iringan-iringan Gamelan Banyuwangi inilah yang melahirkan
keunikan tersendiri bagi lagu Banyuwangi diantara lagu-lagu rakyat yang ada di
Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang, lagu-lagu dan instrumen lagu Osing
mengalami perubahan hal ini disebabkan guna menghindari penciuman dari
bangsa Jepang terlebih ketika isi lagu bernuansa isyarat bagi perjuangan
masyarakat Banyuwangi dan instrumen yang mengiringinya merupakan
tanda-tanda isyarat perlawanan masyarakat Banyuwangi. Salah satunya adalah lahirnya
kreasi baru dalam instrumen lagu yakni angklung32-walaupun angklung
sebenarnya sudah ada sejak jaman kerajaan Blambangan-menyebabkan warna
baru bagi kelahiran lagu di Banyuwangi. Angklung sendiri pada dasarnya tidak
jauh berbeda dengan gamelan Banyuwangi. Hanya saja dalam instrumen
31 www.banyuwangikab.go.id/ musik khas Banyuwangi
angklung ditambah dengan beberapa alat seperti, saron, slentem, dan gong besar.
Kehadiran alat musik angklung diterima masyarakat Banyuwangi sebagai salah
satu bentuk varian baru dalam musik. Selain itu dengan munculnya
tembang-tembang baru karya M.Arief,33 seperti Nandur Jagung dan Genjer-Genjer, yang
menjadi titik awal kebangkitan instrumen angklung di sela-sela kehidupan
masyarakat Banyuwangi.
Pada era itu biasanya lagu-lagu yang tercipta lebih banyak bercerita
tentang kesengsaraan bangsa dan masyarakat Banyuwangi dalam menjalani
kehidupannya akibat kolonialisasi. Lagu-lagu yang dilantunkannya pun biasanya
berisi bahasa isyarat dan simbol-simbol bagi perjuangan dan juga sebagai wahana
kritikan bagi penjajah. Oleh sebab itulah syair-syair yang ada tidak secara vulgar
tampak dan maknanya sengaja disamarkan. Hal ini semata-mata guna
menghindari penciuman penjajah. Begitu pula dengan lagu Genjer-Genjer,
disela-sela alunannya yang melankolis, tersirat kritikan bagi para penjajah. Dalam hal ini
ditujukan bagi pemerintah Jepang yang telah berhasil memporaporandakan
kehidupan masyarakat Banyuwangi sehingga masyarakat dipaksa hidup miskin
dan sengsara. Alunannya yang mendayu-dayu mencoba menjadi topeng bagi
keaslian dari lagu yang tercipta pada era itu. Kuatnya kontrol kuasa dari
pemerintah jepang terhadap bentuk-bentuk kesenian rakyat yang tercipta
memaksa kehadiran lagu rakyat berjalan secara tidak vulgar.
Modernisasipun tidak terelakkan dalam seni musik Banyuwangi,
munculnya beragam varian musik yang merupakan paduan tradisional dan
modern, yang mencoba memasukkan unsur elekton kedalam musiknya,
menyebabkan lagu Banyuwangi semakin dikenal sebagai kesenian popular di
kalangan masyarakat. Terlebih ketika industri musik tanpa tedeng aling
mencengkram lagu-lagu rakyat yang berkembang, menambah semakin terjeratnya
lagu Banyuwangi pada titik popularitasnya. Munculnya beragam varian tersebut
mengundang kekhawatiran dari beberapa pakar kebudayaan yang berpandangan
bahwa seni kreasi ini akan menggeser kesenian klasik yang sudah berkembang
selama beratus-ratus tahun.
B.
Jejak-Jejak Awal Lagu Genjer-Genjer (1942-1960)
“genjer-genjer nong ledokan pating keleler, emak’ e tole teko-teko mbubuti genjer, oleh satenong mungkur sedot sing tole-tole, genjer-genjer saiki wis digowo mulih...”34
Sepenggal bait lagu diatas mungkin tak asing lagi untuk didengar,
pekatnya stigmatisasi komunis dan PKI pada penggalan bait lagu di atas masih
terus melekat dalam sanubari sebagian besar bangsa Indonesia. Terlebih ketika
34 “ genjer-genjer di pematang sawah berhamburan, ibunya anak-anak datang datang mencabut genjer, dapat sebakul lalu bergegas pergi dapat yang kecil-kecil, genjer-genjer sekarang sudah di bawa pulang…”
(http://www.wikipediaIndonesia.com/ensiklopedia bebas berbahasa indonesia /
Orde Baru dengan sukses membangun sebuah mitologi tentang nilai dan makna
lagu ini, maka kehadirannya sampai sekarang terpasung pada sebuah ruang
ideologi komunis dan PKI. ”Genjer-Genjer”, bait diatas coba disusun dalam
bentuk lagu yang kemudian disuguhkan pada kalayak ramai. Fenomena kehadiran
lagu ini disela-sela kehidupan bangsa Indonesia menarik cerita tersendiri bagi
perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Ketika diselami lebih dalam, maka yang
tersirat dari lagu ini adalah sebuah kemurnian lagu rakyat yang tercipta dari seni
dan tradisi masyarakat Banyuwangi. Singkatnya, lagu Genjer-Genjer adalah lagu
rakyat (folksong) yang berasal dari Banyuwangi. Lewat kesederhanaan dari nada
dan lirik-liriknya, lagu ini mencoba membingkai kisah sengsara masyarakat
Banyuwangi dalam menjalankan kehidupannya di sela-sela kolonialisasi yang
dilancarkan bangsa Jepang. Dari lukisan-lukisan tersebut lagu Genjer-Genjer
hadir sebagai sebuah lagu rakyat dalam ruang kebudayaan Banyuwangi.
Pada tahun 1940-an Jepang berhasil menduduki Indonesia dan
membentuk koloni di setiap penjuru Indonesia. Dengan berdalih ingin membantu
bangsa Indonesia untuk dapat lepas dari cengkraman pemerintah Belanda, yang
pada waktu itu berkuasa di Hindia Belanda,35 Jepang berhasil masuk dan
berkuasa di Indonesia. Layaknya peribahasa keluar dari mulut harimau masuk ke
mulut buaya, setelah bangsa Belanda keluar dari tanah Nusantara kesengsaraan
yang dialami bangsa Indonesia pun tidak berubah malah semakin parah. Ekspansi
35
yang dilancarkan Jepang berhasil memporaporandakan kehidupan bangsa
Indonesia. Dan memaksa bangsa Indonesia hidup pada titik kesengsaraan yang
lebih parah. Masyarakat indonesia dipaksa untuk berkerja demi kepentingan
pemerintahan Jepang. Ekploitasi besar-besaran yang dilancarkan Jepang bagi
Bangsa Indonesia, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia,
menyebabkan semakin terpuruknya kehidupan bangsa Indonesia.
Kolonialisasi yang dilancarkan Jepang berhasil masuk jauh ke setiap sudut
wilayah Indonesia, hampir semua sumber daya, baik itu alam maupun manusia,
yang dimiliki setiap daerah dan wilayah di Indonesia di ekspolitasi besar-besaran
oleh Jepang. Kemiskinan dan kesengsaran semakin merangkul setiap perjalanan
kehidupan bangsa Indonesia. Banyak cara yang dilakukan bangsa Indonesia guna
melawan bentuk-bentuk penindasan yang di lakukan oleh Jepang.
Seperti halnya di Banyuwangi, daerah yang terkenal kaya dan subur akan
sumber daya alamnya tiba-tiba berubah drastis menjadi miskin. Kolonialisasi
yang dilancarkan Jepang pada daerah tersebut, memaksa rakyat Banyuwangi
hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Hampir semua sumber daya alam
yang dimilikinya dieksploitasi besar-besaran oleh Jepang demi kelangsungan
kehidupan pemerintahnya (Jepang).36 Bermuara pada kondisi tersebut, rakyat
Banyuwangi terpaksa mencari jalan keluar guna memenuhi kebutuhan hidup
sehari-harinya. Mereka mencoba survive dengan segala sumber daya alam yang
tersisa dan kemudian coba diolah menjadi bahan pokok makanan sehari-hari.
36 http://www.wikipediaIndonesia.com/ensiklopedia bebas berbahasa
Salah satunya adalah dengan cara mengolah daun genjer yang hidup di seputaran
ruas-ruas sungai sebagai bahan pokok makanan sehari-hari rakyat Banyuwangi.
Karena begitu kurangnya bahan makanan, sampai-sampai masyarakat harus
mengolah daun genjer (limnocharis flava) di sungai yang sebelumnya oleh
masyarakat dianggap sebagai tanaman pengganggu.37 Daun genjer atau dalam
bahasa ilmiahnya disebut dengan nama Limnocharis Flava sendiri adalah
tanaman parasit yang hidup di ruas-ruas sungai dan biasanya diolah untuk
dijadikan bahan makanan hewan ternak seperti babi dan sapi. Selanjutnya, daun
genjer coba diolah menyerupai tumis dan oseng-oseng yang kemudian disajikan
sebagai makanan sehari-hari masyarakat Banyuwangi pada masa itu.
Melihat kesengsaran yang dialami masyarakat Banyuwangi yang
mengetuk jiwa musikalitas dari Muhhamad Arief,38 salah satu seniman dan juga
musisi handal Banyuwangi, untuk merangkum peristiwa tersebut kedalam bentuk
lagu. Dengan judul “Genjer-Genjer” lagu tersebut tercipta, lewat lukisan
keprihatinan M.Arief dengan melihat kondisi yang dialami oleh masyarakat
Banyuwangi akibat bentuk kolonialisasi Jepang. Dengan kesederhanaan dari
37 Paring Waluyo Utomo, “Genjer-Genjer Dan Stigmatisasi Komunis”, Pusat Studi dan Pengembangan Kebudayaan (Puspek) Averroes, Malang, 2003
38 Perdebatan tentang siapa pencipta lagu Genjer-Genjer pernah dilakukan oleh pelaku sejarah dan pelaku budaya diantaranya Ki Manteb Sudharsono (harian Merdeka Semarang, 2000) yang merujuk pada nama Muhhamad Arief sebagai pencipta. Sementara menurut Hesri Setiawan, salah satu eks-tapol Lekra dan juga budayawan Banyuwangi, mencoba mengklarifikasikan bahwa ketika mengakitkan Genjer-Genjer dengan Ki Narto Sabdho (seniman yang pada awalnya diyakini sebagai pencipta lagu Genjer-Genjer) selain anakronis juga tidak mempunyai dasar sejarah yang kuat. Sebab kebanyakan kesenian rakyat tercipta tanpa diketahui siapa penciptanya. (Utan Parlindungan, op.cit., hal: 56)
irama dan nadanya lagu ini tampil sebagai media perwakalian komunikasi
masyarakat Banyuwangi guna mengkritik segala bentuk penjajahan yang ada.
Oleh karena kesederhanaan tersebut pulalah kehadiran lagu ini dengan mudah
cepat diterima oleh masyarakat Banyuwangi. Selain sebagai salah satu media
kritik lagu ini juga diyakini dapat membangkitkan semangat masyarakat
Banyuwangi dalam melawan segala bentuk-bentuk penindasan yang ada. Dan
juga sebagai pengikat rasa soldaritas masyarakat dalam menjalani kehidupannya
dalam masa-masa penjajahan.
Dalam perjalanannya lagu ini terlahir sebagai salah satu produk
kebudayaan yang dimiliki masyarakat Banyuwangi. Selain fungsi yang
terkandung di atas, lagu ini juga difungsikan sebagai salah satu isyarat perjuangan
masyarakat Banyuwangi dan pengikat rasa solidaritas masyarakat Banyuwangi. 39
Layaknya lagu-lagu yang berkembang di Banyuwangi pada masa penjajahan
Jepang-yang menyiratkan bahasa isyarat bagi perjuangan masyarakat
Banyuwangi.
Kesederhanaan lagu ini semakin membawa ketenaran lagu ini di kalangan
masyarakat Banyuwangi dan di kancah panggung kesenian Banyuwangi.
Lirik-liriknya yang menggambarkan perjuangan masyarakat Banyuwangi dalam
menjalani hidupnya di sela-sela penindasan yang dilancarkan bangsa Jepang-yang
dalam hal ini kata ibu coba dimaknai secara universal sebagai masyarakat
Banyuwangi-, berhasil mempertebal rasa solidaritas masyarakat Banyuwangi
dalam menjalani hidupnya. Melalui kehadiran lagu ini kesengsaraan dan
kemiskinan yang dialami masyarakat Banyuwangi coba dimaknai dan dinilai
secara bijak oleh masyarakat Banyuwangi. Semangat juang yang tertanam berkat
kehadirannya semakin tebal dan kokoh di setiap lubuk jiwa masyarakat
Banyuwangi. Oleh sebab itulah tak heran ketika M. Arief merasa perlu
mengangkat lagu ini ke kancah yang lebih popular, begitu pula dengan Nyoto.40
Sampai pada tahun 1945 ketika Jepang menyatakan tunduk pada Inggris41
dan Indonesia mendapatkan kemerdekaanya, kepakan sayap lagu Genjer-Genjer
mulai terlihat semakin lebar. Dengan cepat lagu ini berhasil merangkul jiwa
masyarakat Banyuwangi dan para pekerja seni Banyuwangi pada khususnya.
Identitasnya sebagai salah satu produk kebudayaan Banyuwangi (lagu rakyat
Banyuwangi), semakin dikenal oleh kalayak ramai. Walaupun masih sebatas pada
ruang budaya masyarakat Banyuwangi dan sekitarnya. Kehadirannya dapat
menjadi sebuah media komunikasi masyarakat Banyuwangi guna membingkai
segala memori masyarakat pada masa penjajahan Jepang dan juga sebagai media
kritik terhadap bentuk-bentuk penjajahan. Selain itu, fungsinya sebagai media
40 Nyoto salah satu dedengkot PKI baru dan juga pendiri Lekra. Tercatat bahwa Nyotolah yang pada awalnya tertarik dengan lagu ini. Lewat prediksinya yang menyatakan kalau lagu ini dapat menjadi lagu popular dan dapat mewakili ideologi PKI dan Lekra, kehadiran lagu ini coba perjuangkan dan diangkat keepermukaan. (Iqbal Thawakal., op.cit.)
hiburan semakin memposisikan eksistensi lagu ini sebagai lagu rakyat yang
menyenangkan bagi masyarakat Banyuwangi.
Terlebih ketika pada tahun 1950-an sang pencipta lagu, M. Arief, memilih
bergabung dengan Lekra-lembaga kebudayaan yang secara tidak langsung
mempunyai hubungan ideologis dengan PK