• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II RUANG SENI DAN TRADISI LAGU GENJER-GENJER

A. Sekilas Perjalanan Seni dan Lagu Banyuwangi

Kesenian merupakan salah satu karya yang dihasilkan oleh manusia guna

mengembangkan pola kebudayaan yang berkembang dalam daerahnya. Kehadiran

kesenian dalam setiap jengkal kehidupan kebudayaan manusia secara tidak

langsung melukiskan sebuah identitas tersendiri bagi daerah tertentu. Identitas

inilah yang menjadikan semakin beragamnya bentuk kesenian yang tercipta

dalam ruang kebudayaan manusia. Begitu pula dengan Banyuwangi, salah satu

daerah agraris paling timur dari pulau Jawa, memiliki identitas tersendri dari

bentuk-bentuk kesenian yang tercipta. Beragamnya bentuk kesenian yang tercipta

di Banyuwangi menjadi salah satu bukti nyata. Kesenian menurut masyarakat

Banyuwangi adalah nafas bahkan urat nadi mereka dalam menjalani setiap

jengkal kehidupannya. Maka tak heran ketika hampir semua bentuk kebudayaan

yang ada adalah kesenian.

Kesenian Banyuwangi tersendiri terlahir dari beragam tradisi etnis yang

mendiami setiap wilayah Banyuwangi. Sebuah proses percampuran budaya dari

beberapa budaya yang ada dan pergolakan yang pernah terjadi dalam kehidupan

masyarakat Banyuwangi. Menurut letak geografisnya, Banyuwangi posisinya

tepat pada jalur perlintasan dan pertemuan dari beberapa suku seperti, suku Jawa,

suku Madura, suku Bali dan suku Bugis. Dari posisi tersebut budaya lokal yang

ada coba dilebur menjadi satu dan akhirnya menjadi sebuah corak tersendiri yang

tidak ditemui di wilayah manapun di Nusantara.17

Namun dari beberapa suku yang ada, suku yang paling berpengaruh

adalah suku Bali. 18 Kuatnya pengaruh suku Bali, tampil lewat corak dan bentuk

seni dan tradisi masyarakat Banyuwangiyang hampir sama dengan corak seni dan

tradisi yang lahir di Bali. 19 Selain itu gaya bahasa Osing20.layaknya gaya bahasa

yang ada di Bali menjadi semakin jelasnya pengaruh budaya Bali bagi

perkembangan budaya Banyuwangi. Pada mayoritasnya, penduduk asli yang

17 Http://www.wikipedia bahasa Indonesia.com/ensiklopedia bebas/seni

dan budaya Banyuwangi

18

Http://www.banyuwangikab.go.id

19 Hal ini tercermin dalam seni tari Gandrung yang mirip dengan tari-tari tradisional Bali, termasuk juga dengan busana tari dan musiknya. Selain itu, arsitektur masyarakat Osing pun memiliki kesamaan dengan yang ada di Bali, terutama pada hiasan di bagian atas. Dalam tradisinya pun masyarakat Osing mempunyai tradisi puputan layaknya tradisi puputan di Bali. Walaupun demikian suku stratifikasi masyarakat Osing berbeda dengan stratifikasi masyarakat Bali. Masyarakat Osing tidak mengenal kasta-walupun ada yang menyebutkan dalam kehidupan masyarakat Osing terdapat bentuk-bentuk kasta seperti kaum drakula, kaum sudrakula, kaum hydrakula, dan kaum coliba (mereka juga masyarakat pribumi Banyuwangi)- dan lebih dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama Islam yang sebagian besar dipeluk oleh masyarakat Banyuwangi. (http://id.wikipedia.org/wiki/bahasa osing)

20 Bahasa Osing sendiri merupakan salah satu varian bahasa tertua di pulau Jawa karena dikatakan turunan langsung dari bahasa Jawa kuno seperti halnya bahasa Bali. Namun bahasa Osing berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya oleh sebab itulah menurut pandangan beberapa kalangan bahasa ini bukanlah sebuah dialek dari bahasa Jawa. (Utan Parlindungan, 2007, Musik Dan Politik:

Genjer-Genjer, Kuasa Dan Kontestasi Makna, Laboratorium Jurusan Ilmu

mendiami wilayah Banyuwangi dikenal dengan Suku Osing21. Salah satu

sub-suku yang dimiliki sub-suku Jawa. Dalam kehidupan sehari-harinya, masyarakat

Osing sangat bersandar pada kekayaan dan kesuburan alam yang dimilikinya.

Hampir 66,54% dari penduduknya hidup bercocok tanam sebagai petani.22 Maka

tak heran ketika seni dan tradisi yang terlahir hampir kesemuannya bermuara

pada nilai-nilai ritual permohonan dan rasa syukur bagi Dewa-dewi yang mereka

percayai.

Seperti yang tercermin pada upacara ritus bagi Dewi Padi,23 sebuah

upacara kesuburan yang dikemas dalam bentuk tarian disebut-sebut sebagai

seblang.24 Menurut pandangan masyarakat Osing tarian ini adalah tarian keramat

dan hanya dapat di pentaskan oleh orang-orang yang terpilih dan pada acara-acara

21 Salah satu sub-suku yang dimiliki suku Jawa. Dalam sub-suku Jawa suku Osing juga di sebut-sebut dengan nama Lare Osing. Kata Osing sendiri berasal dari bahasa Bali, tusing, yang berarti tidak Suku Osing sendiri dipercayai merupakan suku atau penduduk asli Banyuwangi yang diyakini sebagai bangsa keturunan dari Kerajaan Blambangan pada jaman Kerajaan Majapahit. (Http://www.banyuwangikab.go.id)

22 Menurut letak geografisnya memang daerah Banyuwangi adalah daerah subur dan layak untuk dijadikan lahan pertanian. Dari sebab itulah kebanyakan penduduk Osing memilih menjadi petani sebagai mata pencahariannya. (Siti Munawaroh, Gandrung Seni Pertunjukan Di Banyuwangi, JANTRA, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. II No 4, Desember, 2007, hal: 255)

23 Menurut mitosnya Dewi Sri yang dipercaya sebagai Dewi Kesuburan atau penjelmaan dari padi selalu menjaga kesuburan hasil panennya dan juga menjaga desa dari segala ancaman mara bahaya. Oleh sebab itulah masyarakat Osing merasa perlu untuk dapat menghormati dan mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Dewi Padi. ( Ibid., hal: 257)

24 Tarian seblang pada masa lampau dipentaskan untuk upacara selamatan sehabis musim panen atau selamatan bersih desa. Selamatan dimaksudkan untuk menyampaikan rasa terima kasih para petani kepada Dewi Sri yang telah memberikan kesuburan tanah pertaniannya, sehingga hasil tanaman padinya bisa melimpah. (Ibid., hal: 258)

tertentu. Dalam perjalanannya tarian seblang mulai tergeser dan hampir dapat

dikatakan punah. Selanjutnya tarian ini dikenal dengan nama Gandrung oleh

sebagian masyarakat Banyuwangi. Tarian ini pada nanti yang menjadi salah satu

icon masyarakat Banyuwangi atau Osing sampai saat ini.

Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa masyarakat Banyuwangi atau

lebih dikenal dengan sebutan Osing, merupakan masyarakat yang konglomerat

akan bentuk seni dan tradisinya. Kesenian bagi masyarakat Banyuwangi bagaikan

urat nadi mereka, tidak hanya sebagai hiburan semata, jauh dari itu kesenian

adalah nafas mereka dan dipandang sebagai sebuah ritual yang mengandung

makna spiritual-yang selalu dekat dengan kehidupan sosial mereka.25 Dari sebab

itu tak heran ketika seni dan tradisi yang lahir tidak jauh dari pelukisan atau

penggambaran kehidupan keseharian mereka dalam memaknai sebuah

keselarasan hidupnya dengan alam sekitarnya. Dalam hal ini penciptaan Lagu

Genjer-Genjer diyakini memiliki latar belakang yang hampir serupa. Hal ini dapat

dibuktikan lewat syair-syairnya yang mengkisahkan sebuah perjuangan seorang

ibu dalam mencari bahan makanan yang berasal dari sumber daya alam sekitar

yang mereka miliki, daun genjer.

Dari sekian banyak bentuk-bentuk kesenian yang lahir dan berkembang di

Banyuwangi, bentuk seni yang paling digemari masyarakat Banyuwangi adalah

seni musik atau lagu. Hampir semua bentuk seni dan tradisi yang berkembang

syarat dengan unsur-unsur musik ataupun lagu. Bagi masyarakat Osing kehadiran

25 Kajian Perempuan Desantara, 2007, Banyuwangi dan Problem Seni Tradisi, Penggalan dari tulisan panjang Amuk Rakus Industri Dan Napas Sengal Perempuan SeniTradisi, Jurnal Srinthil, Rabu, 3 Oktober 2007

lagu merupakan syarat penting dalam mewarnai dan memaknai segala dinamika

yang terjadi dalam kehidupan kebudayaannya.26 Hampir sebagian besar kesenian

yang berkembang di Banyuwangi memadukan unsur-unsur musik atau lagu di

dalamnya. Bersama kehadiran lagu di dalamnya, nilai-nilai spiritual yang ada

diyakini dapat dengan mudah dikomunikasikan. Sehingga seni tersebut tidak

hanya menjadi sebuah hiburan semata namun juga menjadi perwakilan dari

nilai-nilai seni yang coba disuguhkan. Seperti terlukiskan pada seni Gandrung, dalam

seni Gandrung kehadiran lagu menjadi syarat utama karena lewat adanya lagu

maka nilai-nilai spiritual yang terkandung diyakini dapat dengan mudah diterima

dan dimaknai oleh audience. Terlebih ketika sentilan-sentilan nakal dari

syair-syair yang tampil mencoba dan berhasil masuk keranah sensitifitas para penikmat

atau audience. Maka nilai-nilai yang ada semakin melebur ke setiap ruas jiwa si

penikmat (audience ) musik.

Kekayaan dan keunikan lagu yang berkembang di Banyuwangi dapat

dikatakan sangat variatif. Hal inilah yang menyebabkan lagu dapat berkambang

subur dalam raung kebudayaan Banyuwangi. Ayu Sutarto, salah satu budayawan

Jawa timur, mengungkapkan bahwa dari 32 acara budaya yang dimiliki

masyarakat Osing, delapan belas diantaranya adalah kesenian yang di dalamnya

terkandung unsur-unsur seni musik atau lagu. Dari kesenian yang berhubungan

dengan siklus kehidupan (pitonan atau upacara hamil hari ke tujuh, colongan,

ngleboni, angkat-angkat atau pindahan), kemasyarakatan (rebo wekasan atau

26 Hasil wawancara dengan Bapak Deden. S., pada tanggal 31-Maret-2009, Di Jakarta

pemberian sesaji pada roh halus, ndok-ngandongan atau mauludan, kebo-keboan

atau musim panen) hingga pada tarian dan nyayian pemujaan rakyat bagi

dewa-dewi yang dipercaya sebagai penjaga kehidupannya dan alamnya.

Kegemaran masyarakat Banyuwangi dalam menyanyi menjadikan

semakin eratnya lagu di sela-sela kehidupan masyarkat Banyuwangi. Sama

halnya dengan seni Banyuwangi yang ada, yang bermuara pada nilai-nilai sosial

masyarakat. Begitu pula dengan lagu yang berkembang di Banyuwangi yang

semua syair-syairnya tidak dapat lepas dari pelukisan kehidupan sosial

masyarakat Banyuwangi hubungannya dengan alam sekitarnya. Pada awalnya

menurut sebagian besar masyarakat Banyuwangi, kelahiran sebuah musik atau

lagu bagi sebagian masyarakat Banyuwangi memiliki fungsi sebagai alat atau

media ritual, semacam seblang atau alat perjuangan dan juga sebagai sebuah

pengerat tali solidaritas masyarakat Banyuwangi. Pada tempo dulu lagu-lagu yang

berkembang di Banyuwangi lebih banyak bercerita tentang hubungan-hubungan

sosial dan juga hubungannya dengan permohonan dan rasa syukur kepada Sang

Maha Kuasa. Biasanya lagu-lagu tersebut dinyanyikan dengan nuansa sederhana

dan melankolis27 yang berlanggam Jawa28 dan dengan iringan Gamelan

Banyuwangi. Namun dengan bergulirnya waktu, dan dengan semakin

bermunculan varian-varian lagu yang berkembang di Banyuwangi maka

warna-warna lagu Banyuwangi menjadi populer dengan iringan-iringan musik

27 Bernada lembut dan memiliki tempo yang lambat dan mendayu-dayu 28 Lagu-lagu ini biasanya hadir sebagai pengiring tarian Gandrung bersama dengan iringan gamelan. Namun saat ini iringan tidak tertutup pada gamelan saja. Hadirnya musik-musik keroncongan dan band-band modern membawa nuansa baru bagi musik dan lagu dalam tarian gandrung.

keroncong dan band. Arrangement besar-besaran terhadap lagu Banyuwangi

mulai berkembang kira-kira pada tahun 1950. Dalam hal ini lagu Genjer-Genjer

di yakini sebagai cikal bakal lagu yang berhasil di Arrangement menjadi lagu

popular.

Kekhasan dan keunikan lagu Banyuwangi terletak pada lirik-liriknya dan

juga nadanya yang sedikit berbeda dengan langgam Jawa pada umumnya.

Perbedaannya terletak pada nuansa iringan musik yang ada pada Gamelan yang

mereka miliki. Gamelan Banyuwangi pada dasarnya menyerupai Gamelan Jawa

pada umumnya namun kehadiran beberapa alat musik seperti, biola,29 yang

menjadi pantus atau pemimpin dari irama lagu, suling, kluching(triangle), yakni

alat musik berbentuk segitiga yang dibuat dari kawat besi tebal, dan dibunyikan

dengan alat pemukul dari bahan yang sama berfungsi sebagai penguat tempo

dalam lagu. 30

Lalu ada juga kethuk, terbuat dari besi berjumlah dua buah dan dibuat

berbeda ukuran sesuai dengan larasannya. Kethuk estri (feminine) adalah yang

besar, atau dalam gamelan Jawa disebut Slendro, sedangkan kethuk jaler

29 Biola dijadikan sebagai pantus atau pemimpin (leader) dari lagu yang ada. Menurut sejarahnya, pada sekitar abad ke-19, seorang Eropa menyaksikan pertunjukan Seblang atau Gandrung yang diiringi dengan suling. Kemudian orang tersebut mencoba menyelaraskannya dengan biola yang dia bawa waktu itu, pada saat dia mainkan lagu-lagu Seblang tadi dengan biola, orang-orang sekitar terpesona dengan irama menyayat yang dihasilkan biola tersebut. Sejak itu, biola mulai menggeser suling karena dapat menghasilkan nada-nada tinggi yang tidak mungkin dikeluarkan oleh suling. (www.banyuwangikab.go.id/ musik khas Banyuwangi)

(maskulin) dilaras lebih tinggi satu kempyung (kwint). 31 Fungsi kethuk disini

bukan sekedar sebagai instrumen penguat atau penjaga irama seperti halnya pada

gamelan Jawa, namun tergabung dengan kluncing untuk mengikuti pola tabuhan

kendang. Sedangkan kempul atau gong, dalam gamelan Banyuwangi (khususnya

Gandrung) hanya terdiri dari satu instrumen gong besi. Kadang juga diselingi

dengan saron bali dan angklung. Dan yang terakhir kendhang yang mirip dengan

kendhang sunda. Iringan-iringan Gamelan Banyuwangi inilah yang melahirkan

keunikan tersendiri bagi lagu Banyuwangi diantara lagu-lagu rakyat yang ada di

Indonesia.

Pada masa pendudukan Jepang, lagu-lagu dan instrumen lagu Osing

mengalami perubahan hal ini disebabkan guna menghindari penciuman dari

bangsa Jepang terlebih ketika isi lagu bernuansa isyarat bagi perjuangan

masyarakat Banyuwangi dan instrumen yang mengiringinya merupakan

tanda-tanda isyarat perlawanan masyarakat Banyuwangi. Salah satunya adalah lahirnya

kreasi baru dalam instrumen lagu yakni angklung32-walaupun angklung

sebenarnya sudah ada sejak jaman kerajaan Blambangan-menyebabkan warna

baru bagi kelahiran lagu di Banyuwangi. Angklung sendiri pada dasarnya tidak

jauh berbeda dengan gamelan Banyuwangi. Hanya saja dalam instrumen

31 www.banyuwangikab.go.id/ musik khas Banyuwangi

32 Pada awalnya angklung yang beredar dikalangan masyarakat Banyuwangi adalah angklung gubuk. Lalu dengan bergulirnya waktu angklung tersebut di kembangkan kedalam beberapa jenis yakni, angklung caruk, angklung gandrung dan angklung modern. Bagi angklung modern merupakan kembangan dari M. Arief dan diyakini sebagai alat awal dalam mengiringi lagu Genjer-Genjer. (Rhoma Dwi Aria Yuliantri, dan Muhidin M Dahlan, 2008, LEKRA Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965, Merakesumba, Yogyakarta, hal: 414)

angklung ditambah dengan beberapa alat seperti, saron, slentem, dan gong besar.

Kehadiran alat musik angklung diterima masyarakat Banyuwangi sebagai salah

satu bentuk varian baru dalam musik. Selain itu dengan munculnya

tembang-tembang baru karya M.Arief,33 seperti Nandur Jagung dan Genjer-Genjer, yang

menjadi titik awal kebangkitan instrumen angklung di sela-sela kehidupan

masyarakat Banyuwangi.

Pada era itu biasanya lagu-lagu yang tercipta lebih banyak bercerita

tentang kesengsaraan bangsa dan masyarakat Banyuwangi dalam menjalani

kehidupannya akibat kolonialisasi. Lagu-lagu yang dilantunkannya pun biasanya

berisi bahasa isyarat dan simbol-simbol bagi perjuangan dan juga sebagai wahana

kritikan bagi penjajah. Oleh sebab itulah syair-syair yang ada tidak secara vulgar

tampak dan maknanya sengaja disamarkan. Hal ini semata-mata guna

menghindari penciuman penjajah. Begitu pula dengan lagu Genjer-Genjer,

disela-sela alunannya yang melankolis, tersirat kritikan bagi para penjajah. Dalam hal ini

ditujukan bagi pemerintah Jepang yang telah berhasil memporaporandakan

kehidupan masyarakat Banyuwangi sehingga masyarakat dipaksa hidup miskin

dan sengsara. Alunannya yang mendayu-dayu mencoba menjadi topeng bagi

keaslian dari lagu yang tercipta pada era itu. Kuatnya kontrol kuasa dari

33 Muhhamad Arief adalah salah satu musisi Banyuwangi yang cukup kondang pada masa itu. Dan salah satu musisi yang cukup vokal dalam memperjuangkan eksistensi seni-seni Banyuwangi. Dengan kelihaiannya dalam mengolah dan menciptakan lagu dan musik. M. Arief mencoba memodifikasi beberapa lagu, musik dan instrument yang ada di Banyuwangi ke berbagai bentuk. Seperti alat musik angklung dan lagu Genjer-Genjer. (Rhoma Dwi Aria Yuliantri, dan Muhidin M Dahlan, op.cit hal : 20)

pemerintah jepang terhadap bentuk-bentuk kesenian rakyat yang tercipta

memaksa kehadiran lagu rakyat berjalan secara tidak vulgar.

Modernisasipun tidak terelakkan dalam seni musik Banyuwangi,

munculnya beragam varian musik yang merupakan paduan tradisional dan

modern, yang mencoba memasukkan unsur elekton kedalam musiknya,

menyebabkan lagu Banyuwangi semakin dikenal sebagai kesenian popular di

kalangan masyarakat. Terlebih ketika industri musik tanpa tedeng aling

mencengkram lagu-lagu rakyat yang berkembang, menambah semakin terjeratnya

lagu Banyuwangi pada titik popularitasnya. Munculnya beragam varian tersebut

mengundang kekhawatiran dari beberapa pakar kebudayaan yang berpandangan

bahwa seni kreasi ini akan menggeser kesenian klasik yang sudah berkembang

selama beratus-ratus tahun.

Dokumen terkait