• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari Satu Penindasan ke Penindasan Lainnya

Dalam dokumen P A M F L E T A K S E L E R A S I (Halaman 27-46)

Gambar 2: Terorisme Sayap Kiri Kelompok Baader Meinhoff

Pada tahun 1980, Deleuze dan Guattari merilis tindak lanjut mereka untuk karya Anti-Oedipus, sebuah karya lanjutan yang berisi analisis mereka dengan menggunakan paradigma skizoanalitik nomadik, karya itu memiliki judul A Thousand Plateaus. Namun dalam karya ini, mereka tampak ragu dengan visi awal mereka tentang sepak terjang kekuatan akselerasi; dan malah

27

menawarkan kata-kata yang penuh dengan kehati-hatian. Itu adalah kata-kata yang kurang lebih memberitahu kita tentang sebuah konteks bahwa: Anti-Oedipus telah ditulis beriringan dengan revolusi Paris 1968 yang masih memenuhi atmosfer udara saat itu; tetapi satu dekade kemudian, terorisme sayap kiri, penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan neoliberalisme yang meningkat telah menimbulkan aura pesimisme di tempat-tempat tertentu, ini menghasilkan sebuah keputusasaan.

Terlepas dari kepengecutan ini, dalam karya itu mereka mengungkap suatu hal yang menarik; tentang sebuah „lubang hitam,‟ yang digunakan oleh kekuatan fasis sebagai jebakan; dimana ternyata fasis juga memiliki tujuan serupa, yakni, mempercepat arus deteritorialisasi untuk menciptakan arus reteritorialisasi selanjutnya. Maka Deleuze-Guattari melanjutkan tulisannya dengan berpendapat bahwa: untuk membuat letusan revolusi, dan terlibat dalam proses perubahan, diperlukan upaya melarikan diri secepat mungkin dari hisapan lubang hitam ini, dengan pemilihan jalur yang tepat dan akan

28

membuat kita tertuntun menuju jalan keluar, kedua jalan ini (baik jalan menuju lubang hitam dan jalur pelarian), tersedia di depan masyarakat kita; dimana seperti sebuah labirin organik, jalan yang sedang kita tapaki terhampar menyerupai sekumpulan titik yang memiliki percabangan dan dianggap mengarah ke sebuah jalan keluar – sebuah konsep yang disebut Deleuze-Guattari sebagai Rhizoma.

Nick Land melihat kepanikan mereka ini, yang dianggap sebagai sikap moral yang datang secara tiba-tiba, sikap yang merupakan sebuah antitesis terhadap etos Anti-Oedipus dan sesuatu yang mengarah pada pengkhianatan terhadap semangat karya mereka sendiri. Nick Land pun mengembangkan visinya; visinya tumbuh dari anggapan mengenai kapitalisme yang merupakan pertanda akhir humanisme; dia memutar kembali sebagian dari gagasan mereka dan menggabungkan aliran skizoid ini ke sebuah konsep mengenai dorongan (derive) kematian ala Freudian, atau yang biasa disebut sebagai Thanatos – konsep yang dimanfaatkan oleh Baudrillard untuk menjelaskan

29

dorongan kematian dari sistem kapitalisme yang dijelaskan di bagian sebelumnya. Apa yang dimaksud dorongan Thanatos kapitalisme? Jika disederhanakan, humanisme borjuis menciptakan sebuah mekanisme kekuatan reaksioner, dan balik memunculkan sebuah kecenderungan antihumanisme, yang dibawa oleh percepatan modal dan rekan-rekan teknologinya. Inilah yang disebut sebagai sebuah derive kematian/Thanatos, derive (dorongan) yang selanjutnya malah bekerja membubarkan segala sesuatu yang ada sebelumnya. Dalam karya Nick Land yang sudah disebut di atas, “Meltdown,” kita menemukan bahwa “Manusia adalah sesuatu yang perlu diatasi: ia adalah sebuah masalah.”11

Selain kecenderungan apokaliptik ini, Nick Land dengan mudah mengembangkan aspek kritis analisis Anti-Oedipus tentang deteritorialisasi dari kapitalisme. Jika deteritorialisasi memajukan kekuatan subversif dalam aliran kapitalisme itu sendiri, maka selanjutnya, kita bisa menganggap bahwa: akan selalu ada proses

30

reteritorialisasi yang menyertainya, yang selanjutnya menarik energi yang sudah terurai ini (energi yang sudah terdeteritorialisasi) ke dalam sebuah bentuk sistem yang dapat dikelola. Reteritorialisasi ini tidak terjadi karena kebangkitan kapitalisme, namun hal itu terjadi karena ia sesuai dengan prinsip vitalisme yang bekerja untuk mencegah fungsi derive kematian seperti yang pernah ditemukan Baudrillard pada kapitalisme. Bandingkan dengan Deleuze-Guattari yang kira-kira mengatakannya seperti ini:

“Kapitalisme melembagakan atau merestorasi segala macam wilayah residual dan buatan, imajiner atau simbolis, dengan demikian ia berusaha untuk sebaik mungkin, mengubah kode, agar ia dapat membentuk kembali orang-orang yang telah ditetapkan dalam istilah kuantitas abstrak. Semuanya kembali tersusun dan berulang: Negara, bangsa, dan juga keluarga. Itulah yang menjadikan ideologi kapitalisme menjadi sebuah

31

“lukisan” yang memiliki corak beraneka ragam dari segala sesuatu yang pernah dipercayai manusia.”12

Kita diberi tau dalam karya Deleuze-Guattari yang berjudul “A Thousand Plateaus” bahwa “nomadisme

dapat disebut sebagai keunggulan par exellence dalam proses deteritorialisasi ... karena nomad mengandaikan ketidakadaannya reteritorialisasi sesudahnya...”13 Namun walau demikian, kita tidak lagi dapat menggambarkan secara terpisah antara makhluk yang disebut nomad dengan makhluk yang menghuni sistem kapitalisme secara khusus; ini sesuai seperti yang para akselerasionis gambarkan pada titik tertentu di hari ini, karena batasan konsep nomad itu sendiri sebenarnya hanya bertahan diantara proses deteritorialisasi atau reteritorialisasi – sebuah proses yang juga dilakukan oleh kapitalisme. Ketika kapitalisme neoliberal itu sendiri melakukan proses deteritorialisasi melalui pelarutan sistem kerja yang berlaku dalam masa

12

Deleuze, Guattari Anti-Oedipus, hal. 34

13

Deleuze-Guattari A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia University of Minnesota Press, 1987 hal. 381

32

Fordisme sebelumnya, ia secara bersamaan mengangkat dirinya sendiri sebagai sebuah sistem baru yang memiliki citra baik dalam standar kesehatan, kekayaan dan kesetaraan (suatu sistem yang hanya memikirkan program pembangunan untuk Dunia Ketiga melalui filantropi raksasa industri serta keuangan dalam berbagai macam program NGO), namun sambil di waktu yang sama, dalam realitasnya, ia adalah sebuah sistem yang bertindak sebagai pengrusak hebat atas segala sesuatunya (siklus krisis, ketidaksetaraan kekayaan yang terjadi secara massal, dan perang). Ini adalah posisi kapitalisme yang juga terjebak dalam arus deteritorialisasi dan reteritorialissasi. Yang lebih membingungkan, Deleuze-Guattari mengarahkan jari mereka ke bentuk negara itu sendiri sebagai aktor yang bekerja dengan proses reteritorialisasi, sistem yang seharusnya sudah larut dalam program-program yang dilancarkan oleh neoliberalisme. Seperti yang dapat kita lihat sekarang, melihat ke belakang dari sudut pandang krisis terakhir, negara tidak pernah pergi dalam revolusi neoliberal; ia hanya sedikit mengubah

33

fungsinya dengan terus menelusuri kembali citra pasar. Itu masih menciptakan kepentingan dalam berbagai level birokrasi, bail-out, penegakkan hukum, pengaturan regulasi, dan menahkodai arah ekonomi yang disebut perdagangan bebas untuk bergerak mulus. Nick Land pernah mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa “organisasi adalah bentuk penindasan,” sebuah ungkapan yang sangat anarkis, tapi kamu juga bisa menemukannya dengan mudah dalam grafiti Situasionis pada tahun 1968 atau dalam manifesto para otonomis Italia pada akhir 1970-an. Dengan mengikuti logika ini, kita dapat mencapai kesimpulan bahwa proses akselerasi dari sistem kapitalisme yang tepat tidak akan pernah memberikan lingkungan pasca-penindasan – hanya bentuk dan model korporasinya yang akan berbeda. Dengan pola pelestarian perusahaan yang baru, sebuah pola yang bergantung pada pusat kekuasaan dan politik dari model neoliberal, kami menemukan lembaga-lembaga yang beroperasi dengan memanfaakan legitimasi negara sebagai penjamin keamanan – melalui

34

pemberian izin perusahaan – dan, seringkali, menerima jalur keuangan langsung dari kas publik (APBN) dalam bentuk subsidi. Sementara di sisi lain korporasi bekerja sekaligus sebagai prinsip penentu aliran perekonomian global kapitalisme, yang mencangkup elemen moneter, material, dan diri manusia itu sendiri, ia bukan sesuatu yang bebas nilai atau netral, namun ia bertindak sebagai entitas yang berat sebelah, korporasi itu sendiri melakukan sentralisasi massa produktif yang bekerja untuk mewujudkan sebuah arah dari tujuan yang besar, sebuah tujuan yang bukan tercapai untuk melestarikan keberadaan pasar itu sendiri, namun justru untuk menentangnya. Manuel deLanda, menggambarkan ini pada penelitian Fernand Braudel: sistem saat ini menempatkan korporasi dan gagasan kapitalisme itu sendiri ke dalam kategori anti-pasar – sebuah sistem “perusahaan berskala besar, yang dilengkapi dengan lapisan strata manajerial, di mana harga selalu diusahakan dapat ditetapkan tanpa harus memakan satuan waktu”.14 Penjelasan ini berguna untuk

35

menggambarkan bagaimana otomatisasi mengubah masyarakat kapitalisme.

Berbeda dengan kapitalisme di masa awal, kecenderungan anti-pasar yang dijelaskan barusan adalah bentuk dari pasar dalam sistem kapitalisme yang baru, “kerja sama” yang kompleks: baik dari proses pertukaran sampai ke aras produksi, yang sudah beroperasi dalam sebuah lingkungan yang terlokalisasi dan terdesentralisasi – dalam zaman baru ini, menempatkan perusahaan kecil dan perusahaan individu ke dalam posisi yang benar-benar menentukan harga dan kondisi tenaga kerja. Kecenderungan dan pandangan dari karya deLanda ini juga termaktub dalam tema yang digelar oleh CCRU dengan tajuk pembahasan “pasar jalanan” yang berlaku dari bawah ke atas ... budaya pasar bazaar yang ramai dimana terdapat „kesepakatan untuk melakukan pemotongan harga‟.15

Sebuah kondisi yang juga mengingatkan kita economy”:http://www.alamut.com/subj/economics/de_landa /antiMarkets.html

36

pada pemaparan Deleuze-Guattari mengenai „rhizoma‟, jaringan yang memiliki bentuk terdesentralisasi dan menyebar melintasi ruang, dimana ia bebas dari hierarki dan perintah. Namun deLanda memperingatkan kepada kita agar tidak memandang kerja pasar semacam ini sebagai sesuatu yang sepenuhnya revolusioner; karena sementara kecenderungan anti-pasar dalam anti-pasar bebas itu sendiri menolak konsep pasar dalam era sebelumnya, mereka juga bekerja secara umum untuk menunjang tatanan hierarki tradisional. Model rhizomatik dalam tulisan ini serupa dengan tumbuhan ubi jalar yang harus dibandingkan dengan model tumbuhan lainnya, yakni pohon yang tumbuh secara vertikal sebagai sebuah kiasan dari birokratisme sistem kekuasaan.

Internet sebagai Bibit Sistem Rhizomatik

Namun jika kita berpendapat bahwa model rhizoma adalah sebentuk ilusi dan janji palsu dari pertumbuhan jaringan terbuka ekonomi-politik di atas, maka kita

37

diharuskan untuk mengalihkan pandangan kita ke sisi lain dari koin akselerator ini: sebuah sisi dimana pawai teknologi yang semakin berkembang mengelilingi kehidupan kita di internet. Sebuah media interaktif yang meliputi teks hingga gambar, kode hingga emosi, sejarah hingga masa depan, yang didalamnya terdapat hubungan yang bersifat global, skizofrenik dan pelipatan konsep ruang-waktu kita sebelumnya, sebuah sistem swakoneksi yang terus-menerus berjalan melalui berbagai tautan dan hyperlink ini, menjadikan dirinya tampak sebagai perwujudan konsep rhizoma, dimana: “Prinsip-prinsip interkoneksi dan heterogenitas di setiap titik harus dan dapat dihubungkan dengan yang lain... Rhizoma berjalan tanpa henti membangun koneksi antara rantai semiotik, organisasi kekuasaan, dan keadaan relatif diantara bidang seni, ilmu pengetahuan, dan perjuangan sosial.”16

Tetapi sayangnya internet di sisi lain juga selalu memiliki „pohon-pohon‟nya sendiri, namun bukan

38

berarti ini akan berjalan seperti dugaan deLanda mengenai model pasar yang sering ia tuduhkan: sebuah pasar yang menurutnya akan menjadi hierarkis dan terbentuk layaknya pepohonan. Perlu diingat, bahwa sejak awal, memang internet adalah agenda politik Perang Dingin, yang lahir dari laboratorium penelitian DARPA dan kampus-kampus sebagai sekutunya. Ketika tiba saatnya untuk melakukan privatisasi besar-besaran, internet diserahkan kepada monopoli perusahaan, yang saat itu memiliki kecenderungan anti-pasar dalam artian murni yang disebutkan di atas. Diasumsikan oleh para teoritikus, bahwa pada proses yang terjadi di awal penciptaannya, internet dijaga oleh para „raksasa (otoritas) telekomunikasi‟ yang berfungsi sebagai penjaga gerbang internet, dimana dalam arti lainnya ia juga berlaku sebagai penjaga arus informasi; „kebebasan‟ digital datang jika kamu memiliki biaya untuk menyewa paket internet berlangganan per bulan dan tidak memiliki masalah jika informasimu dipantau. Pernah ada sebuah contoh di AS, di mana orang yang tinggal di suatu daerah pedesaan kehilangan akses

39

untuk menggunakan internet. Masalah yang tidak menguntungkan ini berasal dari penyedia layanan itu sendiri, yang memilih untuk tidak mengoperasikan layanannya di wilayah ini karena kepadatan populasi yang memiliki penghasilan rendah. Dengan contoh ini, maka dapat disimpulkan bahwa dalam dunia internet, telah terjadi sentralisasi ganda, antara: sistem pengaturan dunia digital, dalam bentuk Internet Service Provider (ISP) yang berlaku sebagai „penjaga gerbang‟ akses pada internet – yang kini dipegang oleh perusahaan telekomunikasi, dan sistem pengaturan geografis, di mana kekuasaan, pengetahuan, dan peluang bertahan hidup tetap dititik beratkan pada zona perkotaan. Kalau begitu, apakah kita harus menumbangkan para raksasa ini? Tunggu dulu! Untuk memulai proses perubahan agar model internet benar-benar terdesentralisasikan, dan model itu menyebar ke seluruh dunia, sehingga perubahan ini akan meratakan hierarki intrinsiknya, bukanlah masalah yang harus digandrungi oleh akselerasionisme di pamflet bagian awal ini. Perubahan dalam konteks itu lebih menjorok

40

ke arah transformasi struktural secara total, yang membutuhkan sebuah paket paradigma baru dimana itu dapat digunakan untuk memandang masa depan digital. Sebagai tugas lanjutan yang cukup berat, ini cukup menarik untuk dieksplorasi, karena, jika paradigma itu tak kunjung ditemukan, maka perubahan yang terjadi dan masih berada dalam jangkauan sistem kontrol takkan banyak memberikan perubahan yang signifikan.

Meskipun demikian, banyak ruang dalam dunia internet menjadi tuan rumah bagi serangkaian pihak yang ingin mempercepat proses deteritorialisasi semacam ini. Mesin perang cyber – mulai dari Anonimus, WikiLeaks, pendukung teknologi open source yang tak

41

terhitung jumlahnya, sampai pengguna media sosial yang melakukan perjuangan politik – mampu melintasi lanskap digital dan ikut serta mempengaruhi dunia fisik dengan cara yang terlihat sangat nyata, sehingga terjadi perubahan dalam kontur kehidupan masyarakat kita sehari-hari. Platform berbagi file seperti blog yang menyediakan pengunduhan musik secara gratis, situs torrent, dan berbagai program kecil yang bersifat lebih individual memungkinkan garda penghancuran kreatif dalam sistem kapitalisme dapat merombak bentuk jalan lama yang sudah dibangun oleh bagian-bagian modal yang lebih tua, sehingga pihak kapitalis melalui legitimasi pihak negara berusaha menciptakan dan menerapkan regulasi hak cipta dan kekayaan intelektual (HAKI). Selain itu, ada pula struktur yang lebih dalam, dan tersebar di jaringan Darknet dan TOR yang memungkinkan kita untuk mengakali secara anonim sistem pengawasan para penjaga yang senantiasa berusaha mengintip kehidupan digital kita sehari-hari – mereka yang berumah tinggal dalam sebuah lembaga pemerintahan dan pengumpul data perusahaan.

42

Kita dapat memuji kebajikan yang dilakukan oleh mereka untuk mempercepat proses deteritorialisasi ini, karena mereka merupakan contoh nyata dari keberadaan radikal alat-alat (teknologi) yang kita miliki. Namun momok yang bernama reteritorialisasi masih menghantui keberadaan mereka, dengan negara yang berpotensi untuk mengambil perannya kembali seperti yang diidentifikasi dalam karya Anti-Oedipus. Ketika undang-undang hak cipta diterapkan dalam proses digitalisasi musik, film, teks dan informasi, itu tandanya pemerintah telah bertindak untuk mengambil peran aktif dalam menghapus situs-situs hosting. Ini adalah perkembangan yang terus berjalan dan diusahakan dalam sebuah agenda besar peregulasian internet dengan pembentukan banyak badan pengawas. Selain itu, penindasan politik yang sangat nyata terhadap WikiLeaks terus terjadi, sementara penggunaan jaringan TOR yang terus-menerus, distereotipkan sebagai aktivitas „liar‟ dalam dunia digital dimana deepweb dianggap sebagai sarang bagi unsur-unsur kriminal yang berbahaya dan eksploitatif –

43

sebuah cara yang hanya bisa dilakukan oleh mekanisme antisipasi kekuasaan supaya mereka dapat memperkuat seruan untuk menjalankan proses reteritorialisasi sebagai bentuk intervensi. Lingkungan digital telah mencapai titik di mana ia berfungsi sebagai cermin dari sistem neoliberal yang agung, keadaan yang diprediksi beberapa dekade lalu oleh para penulis cyberpunk. Dalam karya-karya seperti Neuromancer, yang dipuji oleh Nick Land dan CCRU, teknologi tidak dapat dipisahkan dari tubuh manusia dan lingkungan eksternalnya, dimana jaringan korporat bertindak dalam kekosongan yang ditinggalkan oleh ketidakadaan pemerintahan fungsional – tetapi ada kontradiksi aneh di mana individu hidup dan bertindak pada tingkat fisik dan digital, sesuatu yang telah mengasumsikan tingkat otonomi yang lebih tinggi sementara di sisi lain terus mengalami pasang surut yang lebih besar karena pengaruh aliran kekuasaan. Di dunia maya, berbagai ruang digital telah tersedia begitu saja untuk merealisasikan proses kebebasan, dimana di sisi lain dari koin ini, ikatan sosial dari mekanisme kontrol

44

sedang disebarluasakan oleh sumber yang anehnya sama: internet – ini menunjukkan bahwa pergerakan modal semakin memasuki fase skizoid. Melalui paradigma ini, mungkin kita dapat mendorong percepatan menjauhi lubang hitamnya yang terbuka lebar dan menghubungkannya kembali ke dalam proses reteritorialisasi, namun bukan reteritorialisasi versi negara modern; lebih tepatnya, seperti yang coba dilakukan oleh Hardt dan Negri, yang melakukan pelarian ke arah suatu bentuk politik revolusioner.

45

Dalam dokumen P A M F L E T A K S E L E R A S I (Halaman 27-46)

Dokumen terkait