Gerakan akselerasionis adalah sesuatu yang luar biasa dalam pembubaran semua titik koordinat. Ia memperlakukan segala sesuatu dihadapannya sama saja – untuk dibubarkan. Semua ini akan dihancurkan, tetapi kehancuran itu tidak akan datang dari organisasi revolusioner mana pun. Jika ada satu organisasi yang mengklaim mengenai kebenaran teori akselerasionis dalam kolektif mereka, maka mereka jatuh pada utopia yang paling mekanistik dari utopia revolusioner: utopia yang biasa disebut sebagai reduksionisme Marxis… Radio Alice (radio gratis Bologna di tahun 1970-an) memiliki perkataan yang indah untuk hal ini: “ketika
mereka ditanya apa yang harus dibangun, mereka
menjawab: bahwa kekuatan yang mampu
menghancurkan masyarakat ini, pastinya adalah kekuatan yang juga mampu membangun sesuatu yang lain, namun itu akan terjadi di jalan. – Felix Guattari,
46 “Kenapa Italia?”17
Artinya ini jauh dari semua narasi tunggal yang mungkin bisa diprediksi manusia – walau akhirnya, semua gerakan perubahan akan menemui titik tunggal tertentu untuk ditinggali.
Pada bagian ini saya ingin menyisipkan sebuah karya baru ke dalam daftar teori akselerasionisme, “The
Uprising: On Poetry and Finance”, sebuah karya yang
baru-baru ini ditulis oleh ikon otonomis Italia Franco “Bifo” Berardi (yang, kebetulan, adalah pendiri Radio Alice yang disebutkan dalam kutipan di atas). Kekhawatirannya tentu saja bukan terletak pada aspek akselerasi itu sendiri, namun pada potret dari krisis neoliberalisme yang sebagian besar melahirkan lompatan yang bersifat deteritorial; ditulis ketika gelombang gerakan Occupy di AS meletus, serangkaian pemberontakan sayap kiri yang baru di Eropa, dan momen Arab Spring. Ketika kesadaran demokratis yang baru (jika bisa disebut demikian) menyingkirkan
17
Felix Guattari “Why Italy?” dalam karya Sylvere Lotringer (ed) Autonomia: Post-Political Politics Semiotext(e), 2007 hal. 236
47
rasa tidak enak dan putus asa lalu mentransformasikannya menjadi kerja-kerja anti-kapitalisme, Bifo mengingatkan kita tentang kekuatan teknokapitalisme yang memiliki potensi sangat nyata dan berbahaya untuk melakukan proses reteritorialisasi, dimana kekuaan itu cukup mampu untuk menutup proses deteritorial neoliberalisme – ini mengingatkan kita kembali pada apa yang dikatakan Deleuze-Guattari mengenai lubang hitam (sebuah jebakan dari unsur fasis dalam kehidupan masyarakat kita). Karyanya tersebut memunculkan gambaran apokaliptik: dari “ketidakadaan masa depan”, gelombang kekerasan, sampai momok fasisme. Dalam banyak hal, itu menyerupai pandangan Nick Land mengenai akselerasi apokaliptik – yang digambarkan sebagai korupsi pemerintahan yang dilakukan oleh “narco-capital”, pengalihan kekuatan militer ke sebuah sindrom borderline-Nazisme sebagai organisasi yang menjamin keamanan swasta”, dan juga “warscape perkotaan”.18
48
Semua hal ini sudah terjadi, mulai dari perang terhadap narkoba yang mengubah Meksiko menjadi negara gagal, bantuan perang dari perusahaan Blackwater yang menyediakan jasa tentara bayarannya di Irak dan New Orleans, sampai kebangkitan Golden Dawn dan peperangan kotanya dengan banyak kelompok Antifa di Yunani ... Dari sinilah Nick Land tampak berbeda dengan Nietzsche, seperti yang diklaim Fisher dan Antonin Artaud, Land mampu memasukkan krisis dalam kegilaan prekognitifnya yang ia gunakan untuk mewarnai seni gerakan akselerasi-apokaliptik, sementara secara simultan ia juga menunjukkan jalan untuk melakukan eksodus, melalui lorong-lorong gelap peradaban menuju ke bagian luar logika sistem. Mengutip anggota CCRU yang lain, Robin MacKay, “para akademisi berbicara tanpa henti tentang bagian luar kesadaran sosial, tetapi tidak ada yang pernah pergi ke sana. Nick Land, dengan kontras dan patut dicontoh, membuat percobaan untuk menuju ke sebuah tempat yang tidak diketahui namun tidak dapat dihindari...”19
49
Anti-Oedipus, melalui pendapat MacKay dan Fisher, adalah cara untuk: “Menghirup udara segar, dan menjalin sedikit hubungan dengan dunia luar, karena hanya itu yang dipertanyakan oleh skizoanalisis.”20
Di mana letak bagian luar itu, dimanakah Yang Lain berada? Seperti yang telah disebutkan, dalam neoliberalisme pasca-Fordis, ini adalah proses pelenyapan, neoliberalisme hanya ada sebagai paket deteritorialisasi. Ia memberikan paradoks mendasar – Hardt dan Negri, dalam penjabaran akselerasi mereka sendiri, berulang kali memberi tau kita bahwa kita harus mendorong Kekaisaran ini ke “sisi yang lain” (namun di mana sisi lain ini?), bahwa eksodus dari sistem yang berlaku merupakan strategi vital (namun eksodus ke mana?). Walau begitu, tujuan eksodus peradaban kita tidak mungkin dapat mendiami sisi luar sistem kapitalisme, sehingga satu-satunya tempat eksodus yang dapat kita temui adalah suatu tempat Umelec Magazine, January, 2012
20
Mark Fisher dan Robin MacKay, “PomoPhobia”, dalam Jurnal Abstract Culture, Swarm 1
50
yang juga ada di bagian dalam – baik dalam perubahan di ruang sosial kapitalisme maupun perubahan manusia sebagai individu itu sendiri. Sekali lagi, pemikiran nomaden, mampu melintasi bahkan eksterioritas dari diri dan sistem yang mengatur seseorang. Tetapi meskipun begitu, kita tidak dapat melarikan diri menuju sebuah pemikiran yang berada di luar secara murni, ini akan menjadikan peradaban kita mengawang-awang seperti konsep para surealis yang terlempar diantara kumpulan fantasi dan mimpi yang tak disadarinya – sayangnya, dapatkah peradaban kita berjalan dengan hal itu? Namun terlepas dari hal itu, surealisme dapat menunjukkan kepada kita, mengenai bagaimana seni berfikir yang mengawang-awang melalui suasana pikiran mampu menciptakan bentuk-bentuk tertentu dalam dunia fisik: “Seni memang tidak dapat mengubah dunia, tetapi dapat berkontribusi untuk mengubah kesadaran dan dorongan baik laki-laki dan perempuan yang dapat mengubah dunia.”21 Mari kita
21
Herbert Marcuse, dikutip dari Franklin Rosemont “Herbert Marcuse and Surrealism” Arsenal no.4, 1989
51
gabungkan gagasan ini dengan George Jackson, melalui pernyataan dalam Anti-Oedipus: “Saya dapat mengambil rute pelarian, tetapi sementara saya melarikan diri, saya juga akan mencari senjata.”22
Kita sekarang dapat mengaitkan ini kembali ke salah satu titik awal, yang mana Deleuze-Guattari membahas mengenai proses rekomposisi dari pikiran bawah sadar sebagai pabrik yang dipenuhi oleh mesin hasrat. Hasrat belum tentu libidinal (bersifat seksual), seperti yang dijabarkan Freud dan pengikutnya; pada dasarnya, hasrat adalah kekuatan kreatif. Jika kapitalisme telah menarik hasrat dan memasukannya ke dalam proses deteritorialisasi dan reteritorialisasi itu sendiri selama ini, maka metode gerakan akselerasi yang tepat tidak mengharuskan kita menjadi kapitalisme itu sendiri, lebih jauhnya kita akan: melepaskan kreativitas rizomatik yang terpendam didalamnya. Tantangannya tentu adalah menemukan jawaban dari pertanyaan:
52
Bagaimana kita bisa menghindari hierarki komando dan sentralisasi yang mengejar kita?
Akselerasi versi Nick Land, dalam arti spekulatif dan konteks pasar, memperjelas dirinya dengan satu hal: mendorong kapitalisme itu sendiri melewati batas-batasnya. Di sini Bifo mencatat bahwa di tahun 90-an, kapitalisme mengalami percepatan langsung ke apa yang diprediksi oleh CCRU – keruntuhan finansial beserta hubunga sosial yang dipenuhi oleh nuansa apokaliptik. Dalam alur pemikiran yang sama, ia menguraikan sebuah tesis bahwa bentuk solidaritas tradisional, dan bentuk perlawanan, adalah suatu kemustahilan, yang lebih baik dilempar ke tempat sampah nostalgia. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana sebuah gerakan sosial dapat membuat denyut jantung sistem kapitalisme terus berdetak kencang. Sehingga penting untuk melakukan apapun yang bisa dilakukan untuk memperkencang denyut jantung kapitalisme ini – termasuk mendukung gerakan revolusioner – agar pembuluh darah dari jantungnya pun pecah dan ia harus meninggal di meja operasi.
53
Sistem kapitalisme, dalam perkembangan sejarahnya turun ke sirkulasi kosong dari penggunaan tanda-tanda dan simbol-simbol linguistik abstrak. Sekarang yang harus kita lakukan, kita mesti dapat mengacak-acak standar linguistik yang digunakannya lebih lanjut, merebut dan menyesuaikan, serta menggunakannya untuk mencari syarat baru demi membentuk sistem yang berdiri berdasarkan solidaritas. Solidaritas yang Bifo usulkan adalah solidaritas yang bekerja layaknya puisi, “pembukaan kembali potensi yang tidak terbatas, tindakan ironis melampaui makna kata-kata yang sudah mapan.” Saya ingat kembali pada Magritte dan karya surealisnya yang paling terkenal, penjajaran gambar pipa dengan kata-kata: „ini bukan pipa‟ – ini menunjukkan bahwa pengacakan kode yang dimaksud oleh Bifo tidak hanya berupa puisi, tetapi bentuk estetika apa pun.
Gambar 4: Tulisannya: ini bukan pipa!
54
Jika penjungkirbalikkan linguistik-estetika ini kelihatannya belum meyakinkan, anggaplah kemampuan berbahasa itu sendiri membentuk komponen batu bata yang berfungsi untuk membangun subjektivitas; sehingga strategi skizofreniknya adalah dengan mendeklarasikan bahwa: “Saya adalah Yang Lain, dan banyak dari Yang Lain tercecer di persimpangan-persimpangan makna yang terletak pada sebagian komponen pengucapan, serta, melanggar semua sisi identitas individu dan tubuh sosial yang terorganisir.”23 Guattari membagi bentuk-bentuk pengucapan ini berdasarkan dampak yang dibawanya, menempatkannya di samping suatu sistem penandaan “bahasa yang dikosongkan” dari perintah dan kontol. Ambillah contoh menara gading akademis yang ditentang oleh Nick Land, kebenaran politik perbudakan yang dilakukan para ahli di masing-masing bidang, semua telah memberikan keseragaman satu arah dalam tubuh mahasiswa, yang akhirnya membuat
23
Felix Guattari Chaosmosis: An Ethico-Aesthetic Paradigm, Indiana University Press, 1995, hal. 83
55
mereka dapat melestarikan serta meneruskan hierarki ini dalam karier mereka selanjutnya. Oleh karenanya bahasa dan semua yang diperlukannya bertindak sebagai sistem kontrol yang berfungsi untuk mereplikasi diri sendiri, dan apa yang dipertaruhkan adalah otonomi subjektivitas dalam masyarakat itu sendiri.
Mari kita lihat contoh lain dari CCRU: Budaya Rave, menurut Sadie Plant, muncul terkait dengan runtuhnya paradigma gerakan perburuhan Inggris di bawah revolusi neoliberal Thatcher sebagai metode untuk menemukan bentuk kolektivitas baru. Anehnya, ini menyerupai konsep meshwork yang diutarakan deLanda: awalnya berkembang di bawah tanah, dihubungkan oleh industri rumahan dan menyebar dari mulut ke mulut, kode rahasia dan peta yang menunjukkan jalan menuju lokasi pesta. Musik
patchwork, dibuat dari berbagai sumber dan dicampur
menjadi campuran alkimia, membentuk ruang sonik yang halus di mana rave berlangsung, tetapi DJ atau MC, bekerja sama dengan para raver, menggunakan
56
pengucapan polifonik (ooh dan ahh) untuk menciptakan kemunculan subjektivitas yang kualitasnya jauh lebih kolektif daripada individu:
Dalam memoarnya Nobody Nowhere, Donna Williams sebagai seorang yang autis, menggambarkan bagaimana seorang anak sepertinya akan menarik diri dari realitas yang mengancam, menuju ke ruang mimpi preverbal pribadi yang dipenuhi warna ultravivid; dia bisa terpaku berjam-jam dengan gerakan warna-warni di udara yang hanya bisa dirasakannya sendiri. Dengan lampu psikotropisnya yang memukau, denyut nadi soniknya, budaya Rave bisa dibilang merupakan bentuk autisme kolektif.
Secara harfiah deteritorialisasi dalam arti yang sebenarnya – dan yang mengikuti lintasan percepatan modal – oleh budaya rave dengan cepat direteritorialisasi oleh kapitalisme dan negara: penumpasan terhadap pihak-pihak ilegal, penciptaan undang-undang baru, sentralisasi kekuasaan di tangan promotor perusahaan, serangan terhadap MDMA,
57
semua ini telah memindahkan sebuah budaya „terpinggir‟ untuk masuk ke arus utama. Dimana sebuah jalur pelarian yang sebelumnya terdiri dari pengucapan, estetika dan gerakan deteritorial, akhirnya berakhir pada proses konsumtif dunia tontonan, walaupun ada beberapa komite deteritorialisasi dalam budaya Rave yang masih berpegang pada nilai-etos awal untuk melawan kekuatan kapitalisme transnasional. Disini kita akan berbicara tentang sebuah program aksi langsung bertajuk “Reclaim the Streets” (RTS). Kemunculan partai Rave dan protes atas sentralisasi itu sendiri saling bertabrakan bersama-sama di berbagai jalan dan ruang kota, sebuah bentuk dimana pembuluh darah kapitalisme postmodern dibuat terus berdenyut.
58
Gerakan Reclaim the Streets
Dengan menduduki jalanan dan mengubahnya menjadi pasar umum, pusat sosial dan pesta dansa, sebuah bentuk baru kolektivitas sosial telah dihasilkan. Fakta bahwa RTS dan gerakan rave-awal melekat pada konstruksi teoritis yang sama dari Hakim Bey – Temporary Autonomous Zone (TAZ)24 - dan bahwa Hardt dan Negri percaya pada konsep Common akan melakukan percepatan Empire menuju ke luar, membuat kita bisa memetik pelajaran penting: apa yang diperhatikan di sini bukan hanya masalah ruang fisik, meskipun itu penting. Dalam kasus budaya Rave ini yang menurut saya menjadi menarik adalah
24
Simon Reynolds Generation Ecstasy: Into the World of Techno and Rave Culture, Routledge, 1999 hal. 248
59
subjektivitas yang dibangun di sepanjang garis-garis rangkap, hiruk-pikuk silang kegilaan dan bentuk-bentuk deteritorialisasi afektif.
60