• Tidak ada hasil yang ditemukan

P A M F L E T A K S E L E R A S I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "P A M F L E T A K S E L E R A S I"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

JANGAN TAKUT,

CINTAILAH

KEKACAUAN

A K S E L E R A S I M U L A I D A R I S E K A R A N G ! E D M U N D B E R G E R

(2)

1

Akselerasi Sekarang!

Edmund Berger

Catatan Penerjemahan:

*Deteritorialisasi secara singkat dapat dimaknai sebagai proses pembubaran/penghancuran/pembatalan suatu tatanan konsep tertentu untuk selajutnya konsep tersebut mengalami sebuah *reteritorialisasi sebagai penyusunan/pembangunan kembali suatu konsep baru (reduksi abis-abisan untuk membuat penerjemahan ini bisa dimengerti).

**Mengenai apakah deteritorialisasi akan mendatangkan reteritorialisasi sebagai proses selanjutnya masih menjadi perdebatan di banyak kelompok akselerasi.

Contoh penggunaan kata Deteritorialisasi dalam kamus oxford:

(3)

2

1. Merujuk pada: Penurunan peran negara. “Perusahaan transnasional tertentu memiliki lebih banyak kekuatan finansial, dalam suatu negara, daripada negara itu sendiri” (Kapferer (2005) Anthrop. Theory 5, 3). 2. “Negara-bangsa berada dalam kemunduran, namun itu memberikan jalan kepada tatanan negara yang relatif orisinal atau sebuah formasi politik-ekonomi yang memiliki fitur dan dampak mirip dengan negara, bahkan formasi ini mampu bertindak dengan cara sistemik untuk mempengaruhi proses global” (Hudson (2002) PHG 26, 3).

(4)

3

“Ceritanya seperti ini: Bumi telah dikuasai oleh

singularitas teknokapital karena rasionalisasi renaisans, dimana perkembangan kunci navigasi laut telah lepas landas sebagai komoditas. Secara interaktif ini mempercepat interaksi antara teknologi

dan ekonomi lalu serta merta menghancurkan tatanan sosial melalui perkembangan mesin yang canggih. Ketika pasar memproduksi kecerdasan,

politik memodernisasinya: meningkatkan paranoia, dan mencoba melakukan

penguasaan...”1

1

[1] Nick Land “Meltdown” dari Jurnal Abstract Culture, Swarm 1 http://www.ccru.net/swarm1/1_melt.htm

(5)

4

Bagian 1. Sejarah dan Konteks Kemunculan

Akselerasionisme

Kutipan di atas adalah bagian pembuka untuk karya yang berjudul “Meltdown,” sebuah mazmur pendek yang mencerminkan halusinasi, diucapkan atas nama kapitalisme di era informasi, dan lebih khusus, dibuat untuk memperbanyak titik-titik kemunculan massal skizofrenia yang terjadi pada retakan dan celah dalam perkembangan dunia yang baru. Walau awalnya bagian pembuka karya tersebut tidak bisa dimengerti dengan baik, namun anehnya bagian itu cukup memikat. Meltdown adalah sebuah teks yang memiliki bentuk puitis dan berkembang dari nenek moyangnya dalam teori kritis dan fiksi-film cyberpunk, dimana ia sebagai sebuah karya memiliki tatanan logis yang terganggu. Pennciptaan karya itu dimulai dari sebuah tempat: tempat yang bernama Universitas Warwick pada latar waktu awal 90-an. Penulisnya adalah mantan dosen Filsafat Kontinental bernama Nick Land. “Meltdown kurang lebih memiliki isi tentang pembubaran biosfer

(6)

5

menjadi teknosfer, sindrom planetarian tiongkok, ultravirus, dan revolusi yang dilucuti dari semua eskatologi sosialisnya.”

Sedikit informasi untuk latar belakangnya: “Meltdown” adalah esai yang diambil dari halaman-halaman sebuah jurnal bernama Abstract Culture, sebuah jurnal kebudayaan terdesentralisasi yang dikeluarkan oleh Cybernetic Cultures Research Unit (CCRU). Dengan aktivitas singkatnya yang berlokasi di Universitas Warwick Inggris, CCRU adalah komunitas (jika bisa dibilang begitu) yang terdiri dari banyak spektrum gagasan: mulai dari gagasan cyberfeminis ala Sadie Plant dan Nick Land sendiri, hingga sejumlah teoritikus penting yang telah meradikalisasi ruang sosial dan akademik dengan berbagai cara: Steve Goodman, inovator awal dari dubstep yang terkenal di bawah monikernya Kode9; Mark Fisher, orang yang menulis sebuah blog bernama K-Punk dan juga merupakan penulis buku Capitalist Realism; Kodwo Eshun, yang memiliki karya “More Brilliant than the Sun”, ditulis melalui pikirannya mengenai “fiksi sonik”; dan Iain

(7)

6

Hamilton Grant, seorang filsuf dan penerjemah teks-teks Jean Baudrillard dan Jean-Francois Lyotard. Melalui pemikiran-pemikiran para individu inilah muncul berbagai garis keturunan filosofis dari sebuah kategori gagasan yang biasa dipanggil: realisme spekulatif. Sebuah nama yang dirancang untuk menghindari korelasionisme pasca-Kantian dengan sebuah realisme metafisik quasi-nihilis – yang dengan sembrono menganggukan kepala palu filsafatnya kepada fiksi Lovecraftian dan beberapa tren budaya modern lainnya.

Mustahil untuk berbicara tentang CCRU dan kegilaan teori cybernya tanpa menyebut nama Sadie Plant. Dia adalah mahasiswa filsafat yang berasal dari Universitas Manchester, tesisnya dijadikan buku yang cukup terkenal – The Most Radical Gesture: The Situationist International in a Postmodern Age. Sadie Plant, yang mengusung sebuah gagasan yang dapat disebut sebagai cyberfeminis pasca-situasionis, memang tampak cocok dengan iklim intelektual Warwick – pada awalnya. Kampus itu memang dipenuhi oleh penelitian teknologi

(8)

7

informasi dan filosofi politik Gilles Deleuze-Felix Guattari. CCRU pun didirikan pada tahun 1995 sebagai fasilitas tambahan di kampus tersebut. Tetapi ketika bergabungnya Nick Land, gagasan yang disebut cyberfeminis pasca-situasionis itu dengan cepat mengubah dirinya karena ia tengah memasuki sebuah kondisi yang mirip dengan apa yang dialami oleh Kolonel Kurtz dalam film Apocalypse Now (baca pamflet kami mengenai Apa itu Etnosida?). Sikap Nick Land ketika masuk ke CCRU, dimana ia memiliki kecenderungan untuk memusuhi sistem komando dan birokrasi karieris akademis di jagad universitas sudah jelas terlihat sejak publikasi karyanya di tahun 1992 yang berjudul “The Thirst for Annihilation: Georges

Bataille and Virulent Nihilism”, sebuah karya yang

terdiri dari berbagai macam “puisi, prosa, otobiografi spiritual, dan penjelasan tentang implikasi karya Bataille terhadap pemikirannya.”2 Sejak saat itu, Nick

2 Simon Reynolds “Renegade Academia” dipublikasi awal

dalam bahasa Prancis, 1999

http://energyflashbysimonreynolds.blogspot.com/2009/11/re negade-academia-cybernetic-culture.html

(9)

8

Land dengan cepat mengambil alih posisi Sadie Plant sebagai pengurus CCRU, memutar CCRU ribuan arah hingga mengalami mual dan delirium, dengan mempertemukan semua orang di CCRU dengan filsafat, fisika, biologi, mistisisme, dan segala macam hal yang semakin hari semakin jauh melesat ke luar disiplin ilmu pengetahuan yang awalnya mereka pelajari.

Nick Land dan CCRU, minus Sadie Plant diantaranya, memiliki posisi teoritis yang aneh dan kompleks dimana itu disebut sebagai “akselerasionisme.” Menurutnya, dunia akademis yang stagnan, mencerminkan stagnasi yang lebih luas dalam pemerintahan dan sistem sosial. Ini bisa terjadi karena negara sebagai sistem kontrol menghambat kreativitas dan gerakan sosial, mereduksi segalanya menjadi seragam (dibawah cap legalitas) dan menjadikan itu semua membosankan. Setiap sudut kehidupan kita, dimana-mana, telah ditimpa dengan kode, yang pada dasarnya mendikte apapun yang bisa dipikirkan dan dilakukan oleh setiap orang. Bahkan yang disebut

(10)

9

sebagai oposisi pun terlibat dalam mensukseskan proses pendiktean ini. Kaum kiri klasik secara ironis tidak mampu mentransformasikan dirinya sesuai dengan perubahan zaman yang telah/tengah terjadi, ini yang selanjutnya membuat diri mereka terus menerus bersarang di tengah „paradigma massa‟ buruh dan serikat-serikat besar.

Dengan datangnya teknologi informasi yang kompleks sekaligus penyebarannya pada tingkat akar rumput, dikombinasikan dengan serangan yang dapat dirasakan pada bentuk negara melalui program neoliberal, CCRU menghasilkan proposisi baru yang radikal untuk perubahan revolusioner yang sangat berbeda dari Marxisme. Aliran moneter memiliki kemampuan, seperti yang diamati oleh Marx sendiri: untuk membuat segala sesuatu yang solid “meleleh.” Dalam hal ini, soliditas adalah stagnasi; oleh karenanya mempercepat proses peleburan soliditas tersebut menjadi penting. Marx dapat dilihat sebagai seorang pemikir proto-akselerasionis, mengandalkan kapitalisme sebagai sistem yang solid, lalu menyarankan kita agar

(11)

10

memanfaatkan momen yang tepat di mana “revolusi” - apa pun artinya - akan muncul. Tetapi metode Marx sendiri didasarkan pada materialisme dialektika, sebuah pengerjaan ulang dari apa yang dinyatakan sebagai posisi filosofis dialektis Hegel, yang walaupun dinyatakan telah melayangkan kritik radikal, tetap saja berada dalam sebuah kosmologi linier dan total – Marxisme pun memiliki banyak titik dimana prinsip soliditas yang berasal dari sebuah tatanan lama masih berlaku. Mengambil sedikit pendekatan yang berbeda dengan posisi itu, Nick Land dan CCRU, di sisi lain menentang wacana Hegelian yang merupakan merek dagang dari pemikiran negara yang dominan. Sebagai gantinya, mereka sangat bergantung pada teori pasca-Marxis yang muncul sebagai pengembangan pasca-Marxisme klasik di Perancis setelah keruntuhan aspirasi utopis Revolusi Paris yang terjadi pada bulan Mei 1968.

(12)

11

Bagian 2. Momentum Akselerasi yang

Terlewatkan

Dalam bagian ini, saatnya untuk kita berbicara mengenai “realitas”, sebuah kata yang menandakan sebuah:

“jenis gangguan jiwa yang mengharuskan seseorang untuk berpikir berkali-kali agar hasil pikirannya dapat diterapkan di antara hal-hal dan persepsi mereka sendiri. “Namun di mana realitas itu sendiri berada?” - Antonin Artaud.”3

Beberapa teks penting dari tahun 1970-an telah diidentifikasi sebagai referensi utama dari teori akselerasionis, diantaranya: Anti-Oedipus: Capitalism

and Schizophrenia (1972) karya Deleuze-Guattari,

karya Lyotard yang berjudul “Libidinal Economy” (1974), karya Baudrillard yang berjudul “Symbolic

Exchange and Death” (1976), dan, saya juga

3

Antonin Artaud, Jack Hirschman (ed.) Artaud Anthology City Lights, 1965, hal. 29

(13)

12

berpendapat karya Baudrillard sebagai usulan untuk referensi sekunder dari bagian penting teori akselarasi, sebuah karya yang berjudul “Forget Foucault” (1977) yang terkenal, tidak lupa juga, dan tak boleh ketinggalan sebuah analisa brilian yang menyusul dari Michael Hardt dan Antonio Negri dalam karyanya yang berjudul “Empire” (2000). Semua karya ini memiliki kesamaan, yakni: memberikan pemahaman baru kepada kita untuk memandang kapitalisme, sosialisme, kontrol, dan perlawanan – apa yang disebut realitas dalam tulisan ini berdasarkan definisi di kutipan atas.

(14)

13

Anti-Oedipus karya Deleuze-Guattari misalnya, sebuah karya yang secara jelas terombang-ambing di antara wilayah fiksi dan kenyataan, wilayah kritik radikal dan manifesto puitis – karya mereka memiliki kekuatan karena memanfaatkan serangan dan kritik terhadap Freudianisme dan dialektika Hegel dengan menggunakan segudang senjata yang dilucuti dari Marx, Spinoza dan Nietzsche; yang mana mereka mengusulkan model baru dari alam bawah sadar. Bukan lagi seperti teater simbol yang dikemukakan oleh para Freudian, melainkan sebuah konsep tentang diri manusia yang tersusun layaknya pabrik dimana berbagai mesin hasrat (desiring machine) saling bertautan sekaligus terputus satu sama lainnya. Model dari alam bawah sadar mereka bersifat mesinik dan menghancurkan batas-batas yang dangkal antara manusia dan alam, juga pikiran dan tubuh. Namun, di sisi lain, struktur sosial saat ini masih terus mencoba memaksakan sebuah batas konseptual agar tetap berlaku diantara hal-hal yang disebut barusan. Struktur sosial masih dalam banyak hal berusaha untuk terus

(15)

14

menyangkal dan mengalihkan pendapat mereka berdua demi kepentingan mereka sendiri. Berangkat dari hal itu, Deleuze-Guattari menciptakan sebuah dunia konseptual yang baru, dunia yang aneh dan menghasilkan suatu konsep yang biasa dipanggil: „gagasan nomadik‟ – sebuah formulasi gagasan yang menempatkan akar pemikirannya dalam gerakan Situationis. Nomadisme (gagasan nomadik) adalah cara yang dapat ditempuh oleh kita untuk mencari bentuk-bentuk praksis yang berbeda sama sekali melalui pengeksplorasian bagian-bagian luar dari logika yang menerapkan „mekanisme pendisiplinan‟ beserta upaya rasionalisasi oleh mekanisme kekuasaan. Menyelidiki hal ini, Deleuze dan Guattari pun bertanya:

“Tapi yang mana jalan yang disebut revolusioner?

Apakah itu hanya tediri dari satu jalan saja? —Untuk menarik diri dari pasar global seperti yang Samir Amin anjurkan agar dilakukan oleh negara-negara Dunia Ketiga dalam sebuah kebangkitan yang aneh dari "solusi ekonomi" fasis? Atau mungkinkah kita pergi ke arah yang berlawanan [ed. Dari usul Samir Amin]?

(16)

15

Dimana kita akan lebih jauh melangkah, yaitu, dalam dinamika percepatan pasar, melalui dekodifikasi atau deteritorialisasi?

Sebab mungkin aliran hasrat dalam sistem kita belum cukup ter-deteritorialisasi, sehingga ia tak mampu untuk diterjemahkan dari sudut pandang teori dan praktik berkarakter skizofrenik. Sehingga mungkin jalannya bukan untuk menarik diri dari proses deteritorialisasi ini (ed – seperti yang diusulkan Samir

Amin), namun untuk melangkah lebih jauh, dengan

"mempercepat prosesnya," seperti yang dikatakan Nietzsche: dalam hal ini, kebenarannya adalah kita belum melihat apa pun.”4

Walaupun ini adalah satu-satunya tempat dalam karya mereka yang secara langsung mengekspresikan teori akselerasionisme, namun lebih luas dari itu, seluruh bagian karya tersebut juga menggambarkan perlunya revolusi yang dibangun dengan bergerak ke luar tatanan

4

Gilles Deleuze, Felix Guattari Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia Penguin, 1977, hal. 239-240

(17)

16

rasional modern melalui proses deteritorialisasi. Untuk proses ini mereka pun menyerukan apa yang dinamakan dengan “skizoanalisis,” suatu bentuk psikoterapi radikal baru yang dibangun berdasarkan model skizofrenia – metode yang bertentangan dengan penekanan dari para akademisi Freudian khususnya pada isu neurosis – yang berguna untuk membangkitkan segala kemungkinan dari potensi perubahan (keberbedaan) melalui pengejaran atas Yang Lain agar memicu proses percepatan terjadi. Skizoanalisis meliputi pemikiran nomaden dan aliran hasrat (flows), yang masing-masingnya mendesak kita untuk melangkah lebih jauh – lebih jauh dari Marxisme doktriner dan bahkan teks Anti-Oedipus itu sendiri. Dalam waktu empat tahun, Jean-Francois Lyotard, seorang veteran dari gerakan Mei‟68 dan seorang teman dekat Deleuze, telah mengambil tantangannya, ia berusaha menguraikan teks Anti-Oedipus menjadi sebuah bentuk karya baru yang ia namai sebagai

Libidinal Economy (Ekonomi Libidinal). Berisi tentang

(18)

17

ia menyebut karya itu “jahat;” namun ini tentu saja diungkapkan dalam nada yang hiperbolik, ide-ide yang diungkapkan oleh Lyotard sebagai dukungan kritisnya terhadap Anti-Oedipus selanjutnya membuat dirinya terisolasi diantara kaum yang mengimani Marxisme mainstream saat itu. Menolak pendekatan mengenai konsep kepeloporan partai kiri dengan apa yang kaum Marxis sebut „kesadaran proletar‟ sebagai landasannya, Lyotard selanjutnya mengkonfigurasi ulang pandangan Marx mengenai mesin kapitalisme dan hasrat pekerja untuk mendeteritorialisasinya. “Bertahan dan ludahilah aku,” begitu seruan awalnya ketika ia mendorong maju pandangan-padangannya mengenai kelas pekerja yang menurutnya bersikap “masokis, terhadap segala macam kelelahan saat mereka berada di tambang, area pengecoran, pabrik, bahkan neraka, namun jelas mereka menikmati sikap masokis itu, mereka menikmati kehancuran yang sinting dari tubuh organik mereka yang memang dipastikan akan terjadi, selain itu mereka juga menikmati penguraian identitas pribadi

(19)

18

mereka sendiri...”5 Lebih jauh lagi, menurutnya, apa yang disebut sebagai kaum intelektual, karena melihat hal itu, ingin mengarahkan hasrat dari kaum pekerja, bertindak agaknya berlawanan dengan sistem – dimana model revolusi pun akhirnya muncul lalu diusung: “Mengapa para intelektual politik membela proletariat? Dalam perasaan simpati untuk hal apa? Seorang proletar bisa saja membencimu, sedangkan kamu, tidak memiliki kebencian terhadapnya karena kamu masuk dalam tipe kelas borjuis, kelas yang diistimewakan, tetapi karena kamu tidak berani mengatakan satu-satunya hal penting yang ada untuk dikatakan, bahwa seseorang dapat menikmati dan menelan omong kosong modal: mulai dari bahan dasarnya, batangan logamnya, buku-bukunya, sosisnya, dimana semua orang bisa menelannya berton-ton sampai tubuhnya meledak – akhirnya kamu pun berfikir dan memutuskan: ketimbang kamu mengatakan hal ini, sesuatu yang juga tak dikatakan oleh mereka yang bekerja dengan tangan

5

Jean-Francois Lyotard Libidinal Economy Athlone Press, 2004 hal. 109

(20)

19

mereka, [...] akhirnya kamupun menjadi „laki-laki sejati‟, seorang maskulin dan germo, dimana kamu mencondongkan tubuhmu ke depan aliran hasrat yang mengalir melalui pasar dan mengatakan: ah, tapi itu keterasingan, itu tidak cantik, tunggu sebentar, kami akan menyelamatkan kalian darinya, kami akan bekerja untuk membebaskan kalian dari kasih sayang fasik yang melakukan perbudakan ini, kami akan memberikanmu juga martabat.

[Dalam satu kutipan inipun borjuis akan menjawab layaknya pentas drama: – editor]

Dan kamu dengan cara ini akan menempatkan dirimu dan kaummu pada sisi yang paling tercela, sisi moralistik di mana kamu menginginkan agar keinginan kami yang bermodal besar diabaikan sama sekali dan terhenti. Yah kamu seperti imam sekaligus pendosa...”6

Setelah penulisan karya itu, Lyotard pun segera mundur dari teori-fiksi dan perspektif Deleuziannya secara

6

Jean-Francois Lyotard Libidinal Economy Athlone Press, 2004 hal. 109

(21)

20

umum, kemudian ia menulis karya seminalisnya “The

Postmodern Condition: A Report on Knowledge” pada

tahun 1979. Pengembaraan nomadik ini dilanjutkan oleh Jean Baudrillard, yang jejak filosofisnya telah dimulai dari pergolakan Situasionis dimana ia menjadi semakin sulit dan abstrak untuk dimengerti. Andai saja Deleuze-Guattari sudah menangkap zeitgeist (semangat zaman) yang berkembang pada akhir tahun Enam puluhan ini, dan bersamaan dengan itu Lyotard tetap teguh menjalani tantangannya untuk menghasilkan penolakan proto-punk (menolak gerakan perlawanan tua) sampai Baudrillard menerbitkan karya-karyanya yang menyusul mereka: “Symbolic Exchange and

Death” dan “Forget Foucault”, maka tidak diragukan

lagi, jika itu terjadi, kombinasi ini akan menjadi momentum yang menghasilkan ledakan pertama gelombang cyberpunk – “sebuah ledakan yang tidak terlihat seperti ledakan cyberpunk lainnya – di Prancis selama periode itu. Namun tampaknya karya-karya mereka bukan milik gerakan siapapun dalam hal ini. Seolah-olah gagasan mereka telah mengambang ke luar

(22)

21

angkasa.”7 Baudrillard dengan karya “Symbolic

Exchange and Death”-nya menyerang Deleuze-Guattari

dan Lyotard, ia beralasan bahwa karya mereka mengenai „hasrat‟ akhirnya mengikat diri mereka berdua ke dalam sistem dialektika yang mereka kritik itu sendiri, dan apa yang disebut sebagai hasrat skizofrenik yang mereka ungkapkan adalah hasrat yang juga bergerak dan bertindak sebagai pembenaran untuk sistem kapitalisme itu sendiri agar tetap bercokol – sistem yang kemudian memutuskan untuk beralih dari struktur Keynesian pasca-perang menjadi neoliberalisme transnasional. Dengan kata lain, Baudrillard mungkin bisa melihat sepenuhnya persoalan yang selalu dibahas dalam gerakan akselerasi sampai saat ini, ia juga mencoba untuk menjawab pertanyaan Deleuze-Guattari mengenai: yang mana

jalan alternativ yang revolusioner(?). Tetapi, seperti

yang ditunjukkan Benjamin Noys, “Kesulitannya adalah, bahwa Baudrillard sendiri terikat pada semacam akselerasi negatif, di mana ia mencari titik pembalikan

(23)

22

imanen yang menghuni dan dapat mengguncang sistem kapitalisme.”8 Dengan bantuan antropologi dan karya Bataille, ia menciptakan konsep “pertukaran simbolik,” dan melarutkan nilai-nilai tradisional yang ada dalam konsep pasar di bawah sistem kapitalisme. Apa yang akan ditulis selanjutnya dalam tulisan ini, katanya, merupakan “derive kematian (thanatos) untuk sistem (kapitalisme).”9

Jika Baudrillard secara langsung menaruh perhatiannya pada akselerasi non-kiri dan fiksasi pada kiamat dalam konsep Bataille seperti Nick Land, Hardt dan Negri dengan karya Empire-nya berusaha untuk menempatkan kembali ide Deleuze-Guattari ke dalam format [pasca-Marxis] pencarian politik pembebasan yang revolusioner. Pada tahun 1972, tahun dimana karya Anti-Oedipus diterbitkan, Presiden Nixon secara bersamaan telah mengumumkan dekrit untuk menghapus dolar AS dari standar emas, yang secara

8 Benjamin Noys The Persistence of the Negative: A Critique of

Contemporary Continental Theory Edinburgh University Press, 2012, hal. 6

(24)

23

efektif menghilangkan kapitalisme dari basis material nilai tukarnya, sehingga kapitalisme secara sah mengubah dirinya menjadi sistem yang berjalan bedasarkan permainan bahasa, sistem yang melakukan penjinakan terhadap manusia melalui mekanisme kontrol semiotik yang mengelilingi dunia; cara-cara ini dipakai untuk membenarkan keberadaan aliran moneter (atau uang). Kebijakan Nixon itu adalah bentuk deteritorialisasi keuangan, yang, dengan mengutip Baudrillard, membiarkan kekuasaan “membubarkan diri mereka sendiri melalui sebuah cara yang masih luput dari perhatian kita.” Namun keluputan yang kita alami ini terjadi bukan karena kebetulan, itu terjadi karena sebuah sistem pengalihan, yang tersebar di jaringan keuangan transnasional di seluruh dunia, sistem yang diberi nama “Empire” oleh Hardt dan Negri.

Bagi Hardt dan Negri (seperti halnya Baudrillard), tidak ada yang disebut perubahan total dari apa yang yang kita kenal sebagai zaman modern ke posmodern – artinya kedua zaman ini bukan sesuatu yang bisa

(25)

24

dianggap memiliki batasan yang saling memisahkan; seperti halnya Fordisme yang larut di dalam bentuk-bentuk post-Fordisme itu sendiri, yang mana bentuk-bentuk kerja dari kategori sebelumnya (Fordisme) juga ikut bertumpang tindih satu sama lain dengan bentuk kerja post-Fordisme. Karena itu, pemberontakan adalah cara yang dapat dikatakan reaksioner untuk mencari jalan keluar yang tidak akan pernah mengarahkan kita pada pembebasan/jalan keluar itu sendiri. Kuncinya bukanlah pemberontakan, namun lebih jauh dari itu, maka kita sebaiknya harus mempercepat proses ini:

Kita tidak dapat kembali ke bentuk sosial sebelumnya, atau bergerak maju secara sendirian. Sebaliknya, kita harus mendorong Kekaisaran (Empire) untuk keluar dari sisi lainnya saat ini (ed – sisi dekadennya) ... sehingga apa yang didebut Kekaisaran (Empire) dapat secara efektif direbut dengan memahami tingkat generalitasnya sendiri, dan selanjutnya dorongan ini akan memasukkan mereka ke dalam proses lain karena terpaksa melampaui keterbatasan dari keberadaan mereka saat ini. Kita harus menerima tantangan itu

(26)

25

dan belajar untuk berpikir serta bertindak secara global. Globalisasi harus bertemu dengan konter-globalisasi, Kekaisaran (Empire) juga harus bertemu dengan konter-Kekaisaran.10

10

Michael Hardt, Antonio Negri Empire, Harvard University Press, 2000, hal. 206-207

(27)

26

Bagian 3. Dari Satu Penindasan ke

Penindasan Lainnya

Gambar 2: Terorisme Sayap Kiri Kelompok Baader Meinhoff

Pada tahun 1980, Deleuze dan Guattari merilis tindak lanjut mereka untuk karya Anti-Oedipus, sebuah karya lanjutan yang berisi analisis mereka dengan menggunakan paradigma skizoanalitik nomadik, karya itu memiliki judul A Thousand Plateaus. Namun dalam karya ini, mereka tampak ragu dengan visi awal mereka tentang sepak terjang kekuatan akselerasi; dan malah

(28)

27

menawarkan kata-kata yang penuh dengan kehati-hatian. Itu adalah kata-kata yang kurang lebih memberitahu kita tentang sebuah konteks bahwa: Anti-Oedipus telah ditulis beriringan dengan revolusi Paris 1968 yang masih memenuhi atmosfer udara saat itu; tetapi satu dekade kemudian, terorisme sayap kiri, penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan neoliberalisme yang meningkat telah menimbulkan aura pesimisme di tempat-tempat tertentu, ini menghasilkan sebuah keputusasaan.

Terlepas dari kepengecutan ini, dalam karya itu mereka mengungkap suatu hal yang menarik; tentang sebuah „lubang hitam,‟ yang digunakan oleh kekuatan fasis sebagai jebakan; dimana ternyata fasis juga memiliki tujuan serupa, yakni, mempercepat arus deteritorialisasi untuk menciptakan arus reteritorialisasi selanjutnya. Maka Deleuze-Guattari melanjutkan tulisannya dengan berpendapat bahwa: untuk membuat letusan revolusi, dan terlibat dalam proses perubahan, diperlukan upaya melarikan diri secepat mungkin dari hisapan lubang hitam ini, dengan pemilihan jalur yang tepat dan akan

(29)

28

membuat kita tertuntun menuju jalan keluar, kedua jalan ini (baik jalan menuju lubang hitam dan jalur pelarian), tersedia di depan masyarakat kita; dimana seperti sebuah labirin organik, jalan yang sedang kita tapaki terhampar menyerupai sekumpulan titik yang memiliki percabangan dan dianggap mengarah ke sebuah jalan keluar – sebuah konsep yang disebut Deleuze-Guattari sebagai Rhizoma.

Nick Land melihat kepanikan mereka ini, yang dianggap sebagai sikap moral yang datang secara tiba-tiba, sikap yang merupakan sebuah antitesis terhadap etos Anti-Oedipus dan sesuatu yang mengarah pada pengkhianatan terhadap semangat karya mereka sendiri. Nick Land pun mengembangkan visinya; visinya tumbuh dari anggapan mengenai kapitalisme yang merupakan pertanda akhir humanisme; dia memutar kembali sebagian dari gagasan mereka dan menggabungkan aliran skizoid ini ke sebuah konsep mengenai dorongan (derive) kematian ala Freudian, atau yang biasa disebut sebagai Thanatos – konsep yang dimanfaatkan oleh Baudrillard untuk menjelaskan

(30)

29

dorongan kematian dari sistem kapitalisme yang dijelaskan di bagian sebelumnya. Apa yang dimaksud dorongan Thanatos kapitalisme? Jika disederhanakan, humanisme borjuis menciptakan sebuah mekanisme kekuatan reaksioner, dan balik memunculkan sebuah kecenderungan antihumanisme, yang dibawa oleh percepatan modal dan rekan-rekan teknologinya. Inilah yang disebut sebagai sebuah derive kematian/Thanatos, derive (dorongan) yang selanjutnya malah bekerja membubarkan segala sesuatu yang ada sebelumnya. Dalam karya Nick Land yang sudah disebut di atas, “Meltdown,” kita menemukan bahwa “Manusia adalah sesuatu yang perlu diatasi: ia adalah sebuah masalah.”11

Selain kecenderungan apokaliptik ini, Nick Land dengan mudah mengembangkan aspek kritis analisis Anti-Oedipus tentang deteritorialisasi dari kapitalisme. Jika deteritorialisasi memajukan kekuatan subversif dalam aliran kapitalisme itu sendiri, maka selanjutnya, kita bisa menganggap bahwa: akan selalu ada proses

(31)

30

reteritorialisasi yang menyertainya, yang selanjutnya menarik energi yang sudah terurai ini (energi yang sudah terdeteritorialisasi) ke dalam sebuah bentuk sistem yang dapat dikelola. Reteritorialisasi ini tidak terjadi karena kebangkitan kapitalisme, namun hal itu terjadi karena ia sesuai dengan prinsip vitalisme yang bekerja untuk mencegah fungsi derive kematian seperti yang pernah ditemukan Baudrillard pada kapitalisme. Bandingkan dengan Deleuze-Guattari yang kira-kira mengatakannya seperti ini:

“Kapitalisme melembagakan atau merestorasi segala macam wilayah residual dan buatan, imajiner atau simbolis, dengan demikian ia berusaha untuk sebaik mungkin, mengubah kode, agar ia dapat membentuk kembali orang-orang yang telah ditetapkan dalam istilah kuantitas abstrak. Semuanya kembali tersusun dan berulang: Negara, bangsa, dan juga keluarga. Itulah yang menjadikan ideologi kapitalisme menjadi sebuah

(32)

31

“lukisan” yang memiliki corak beraneka ragam dari segala sesuatu yang pernah dipercayai manusia.”12

Kita diberi tau dalam karya Deleuze-Guattari yang berjudul “A Thousand Plateaus” bahwa “nomadisme

dapat disebut sebagai keunggulan par exellence dalam proses deteritorialisasi ... karena nomad mengandaikan ketidakadaannya reteritorialisasi sesudahnya...”13

Namun walau demikian, kita tidak lagi dapat menggambarkan secara terpisah antara makhluk yang disebut nomad dengan makhluk yang menghuni sistem kapitalisme secara khusus; ini sesuai seperti yang para akselerasionis gambarkan pada titik tertentu di hari ini, karena batasan konsep nomad itu sendiri sebenarnya hanya bertahan diantara proses deteritorialisasi atau reteritorialisasi – sebuah proses yang juga dilakukan oleh kapitalisme. Ketika kapitalisme neoliberal itu sendiri melakukan proses deteritorialisasi melalui pelarutan sistem kerja yang berlaku dalam masa

12

Deleuze, Guattari Anti-Oedipus, hal. 34

13

Deleuze-Guattari A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia University of Minnesota Press, 1987 hal. 381

(33)

32

Fordisme sebelumnya, ia secara bersamaan mengangkat dirinya sendiri sebagai sebuah sistem baru yang memiliki citra baik dalam standar kesehatan, kekayaan dan kesetaraan (suatu sistem yang hanya memikirkan program pembangunan untuk Dunia Ketiga melalui filantropi raksasa industri serta keuangan dalam berbagai macam program NGO), namun sambil di waktu yang sama, dalam realitasnya, ia adalah sebuah sistem yang bertindak sebagai pengrusak hebat atas segala sesuatunya (siklus krisis, ketidaksetaraan kekayaan yang terjadi secara massal, dan perang). Ini adalah posisi kapitalisme yang juga terjebak dalam arus deteritorialisasi dan reteritorialissasi. Yang lebih membingungkan, Deleuze-Guattari mengarahkan jari mereka ke bentuk negara itu sendiri sebagai aktor yang bekerja dengan proses reteritorialisasi, sistem yang seharusnya sudah larut dalam program-program yang dilancarkan oleh neoliberalisme. Seperti yang dapat kita lihat sekarang, melihat ke belakang dari sudut pandang krisis terakhir, negara tidak pernah pergi dalam revolusi neoliberal; ia hanya sedikit mengubah

(34)

33

fungsinya dengan terus menelusuri kembali citra pasar. Itu masih menciptakan kepentingan dalam berbagai level birokrasi, bail-out, penegakkan hukum, pengaturan regulasi, dan menahkodai arah ekonomi yang disebut perdagangan bebas untuk bergerak mulus. Nick Land pernah mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa “organisasi adalah bentuk penindasan,” sebuah ungkapan yang sangat anarkis, tapi kamu juga bisa menemukannya dengan mudah dalam grafiti Situasionis pada tahun 1968 atau dalam manifesto para otonomis Italia pada akhir 1970-an. Dengan mengikuti logika ini, kita dapat mencapai kesimpulan bahwa proses akselerasi dari sistem kapitalisme yang tepat tidak akan pernah memberikan lingkungan pasca-penindasan – hanya bentuk dan model korporasinya yang akan berbeda. Dengan pola pelestarian perusahaan yang baru, sebuah pola yang bergantung pada pusat kekuasaan dan politik dari model neoliberal, kami menemukan lembaga-lembaga yang beroperasi dengan memanfaakan legitimasi negara sebagai penjamin keamanan – melalui

(35)

34

pemberian izin perusahaan – dan, seringkali, menerima jalur keuangan langsung dari kas publik (APBN) dalam bentuk subsidi. Sementara di sisi lain korporasi bekerja sekaligus sebagai prinsip penentu aliran perekonomian global kapitalisme, yang mencangkup elemen moneter, material, dan diri manusia itu sendiri, ia bukan sesuatu yang bebas nilai atau netral, namun ia bertindak sebagai entitas yang berat sebelah, korporasi itu sendiri melakukan sentralisasi massa produktif yang bekerja untuk mewujudkan sebuah arah dari tujuan yang besar, sebuah tujuan yang bukan tercapai untuk melestarikan keberadaan pasar itu sendiri, namun justru untuk menentangnya. Manuel deLanda, menggambarkan ini pada penelitian Fernand Braudel: sistem saat ini menempatkan korporasi dan gagasan kapitalisme itu sendiri ke dalam kategori anti-pasar – sebuah sistem “perusahaan berskala besar, yang dilengkapi dengan lapisan strata manajerial, di mana harga selalu diusahakan dapat ditetapkan tanpa harus memakan satuan waktu”.14 Penjelasan ini berguna untuk

(36)

35

menggambarkan bagaimana otomatisasi mengubah masyarakat kapitalisme.

Berbeda dengan kapitalisme di masa awal, kecenderungan anti-pasar yang dijelaskan barusan adalah bentuk dari pasar dalam sistem kapitalisme yang baru, “kerja sama” yang kompleks: baik dari proses pertukaran sampai ke aras produksi, yang sudah beroperasi dalam sebuah lingkungan yang terlokalisasi dan terdesentralisasi – dalam zaman baru ini, menempatkan perusahaan kecil dan perusahaan individu ke dalam posisi yang benar-benar menentukan harga dan kondisi tenaga kerja. Kecenderungan dan pandangan dari karya deLanda ini juga termaktub dalam tema yang digelar oleh CCRU dengan tajuk pembahasan “pasar jalanan” yang berlaku dari bawah ke atas ... budaya pasar bazaar yang ramai dimana terdapat „kesepakatan untuk melakukan pemotongan harga‟.15

Sebuah kondisi yang juga mengingatkan kita economy”:http://www.alamut.com/subj/economics/de_landa /antiMarkets.html

(37)

36

pada pemaparan Deleuze-Guattari mengenai „rhizoma‟, jaringan yang memiliki bentuk terdesentralisasi dan menyebar melintasi ruang, dimana ia bebas dari hierarki dan perintah. Namun deLanda memperingatkan kepada kita agar tidak memandang kerja pasar semacam ini sebagai sesuatu yang sepenuhnya revolusioner; karena sementara kecenderungan anti-pasar dalam anti-pasar bebas itu sendiri menolak konsep pasar dalam era sebelumnya, mereka juga bekerja secara umum untuk menunjang tatanan hierarki tradisional. Model rhizomatik dalam tulisan ini serupa dengan tumbuhan ubi jalar yang harus dibandingkan dengan model tumbuhan lainnya, yakni pohon yang tumbuh secara vertikal sebagai sebuah kiasan dari birokratisme sistem kekuasaan.

Internet sebagai Bibit Sistem Rhizomatik

Namun jika kita berpendapat bahwa model rhizoma adalah sebentuk ilusi dan janji palsu dari pertumbuhan jaringan terbuka ekonomi-politik di atas, maka kita

(38)

37

diharuskan untuk mengalihkan pandangan kita ke sisi lain dari koin akselerator ini: sebuah sisi dimana pawai teknologi yang semakin berkembang mengelilingi kehidupan kita di internet. Sebuah media interaktif yang meliputi teks hingga gambar, kode hingga emosi, sejarah hingga masa depan, yang didalamnya terdapat hubungan yang bersifat global, skizofrenik dan pelipatan konsep ruang-waktu kita sebelumnya, sebuah sistem swakoneksi yang terus-menerus berjalan melalui berbagai tautan dan hyperlink ini, menjadikan dirinya tampak sebagai perwujudan konsep rhizoma, dimana: “Prinsip-prinsip interkoneksi dan heterogenitas di setiap titik harus dan dapat dihubungkan dengan yang lain... Rhizoma berjalan tanpa henti membangun koneksi antara rantai semiotik, organisasi kekuasaan, dan keadaan relatif diantara bidang seni, ilmu pengetahuan, dan perjuangan sosial.”16

Tetapi sayangnya internet di sisi lain juga selalu memiliki „pohon-pohon‟nya sendiri, namun bukan

(39)

38

berarti ini akan berjalan seperti dugaan deLanda mengenai model pasar yang sering ia tuduhkan: sebuah pasar yang menurutnya akan menjadi hierarkis dan terbentuk layaknya pepohonan. Perlu diingat, bahwa sejak awal, memang internet adalah agenda politik Perang Dingin, yang lahir dari laboratorium penelitian DARPA dan kampus-kampus sebagai sekutunya. Ketika tiba saatnya untuk melakukan privatisasi besar-besaran, internet diserahkan kepada monopoli perusahaan, yang saat itu memiliki kecenderungan anti-pasar dalam artian murni yang disebutkan di atas. Diasumsikan oleh para teoritikus, bahwa pada proses yang terjadi di awal penciptaannya, internet dijaga oleh para „raksasa (otoritas) telekomunikasi‟ yang berfungsi sebagai penjaga gerbang internet, dimana dalam arti lainnya ia juga berlaku sebagai penjaga arus informasi; „kebebasan‟ digital datang jika kamu memiliki biaya untuk menyewa paket internet berlangganan per bulan dan tidak memiliki masalah jika informasimu dipantau. Pernah ada sebuah contoh di AS, di mana orang yang tinggal di suatu daerah pedesaan kehilangan akses

(40)

39

untuk menggunakan internet. Masalah yang tidak menguntungkan ini berasal dari penyedia layanan itu sendiri, yang memilih untuk tidak mengoperasikan layanannya di wilayah ini karena kepadatan populasi yang memiliki penghasilan rendah. Dengan contoh ini, maka dapat disimpulkan bahwa dalam dunia internet, telah terjadi sentralisasi ganda, antara: sistem pengaturan dunia digital, dalam bentuk Internet Service Provider (ISP) yang berlaku sebagai „penjaga gerbang‟ akses pada internet – yang kini dipegang oleh perusahaan telekomunikasi, dan sistem pengaturan geografis, di mana kekuasaan, pengetahuan, dan peluang bertahan hidup tetap dititik beratkan pada zona perkotaan. Kalau begitu, apakah kita harus menumbangkan para raksasa ini? Tunggu dulu! Untuk memulai proses perubahan agar model internet benar-benar terdesentralisasikan, dan model itu menyebar ke seluruh dunia, sehingga perubahan ini akan meratakan hierarki intrinsiknya, bukanlah masalah yang harus digandrungi oleh akselerasionisme di pamflet bagian awal ini. Perubahan dalam konteks itu lebih menjorok

(41)

40

ke arah transformasi struktural secara total, yang membutuhkan sebuah paket paradigma baru dimana itu dapat digunakan untuk memandang masa depan digital. Sebagai tugas lanjutan yang cukup berat, ini cukup menarik untuk dieksplorasi, karena, jika paradigma itu tak kunjung ditemukan, maka perubahan yang terjadi dan masih berada dalam jangkauan sistem kontrol takkan banyak memberikan perubahan yang signifikan.

Meskipun demikian, banyak ruang dalam dunia internet menjadi tuan rumah bagi serangkaian pihak yang ingin mempercepat proses deteritorialisasi semacam ini. Mesin perang cyber – mulai dari Anonimus, WikiLeaks, pendukung teknologi open source yang tak

(42)

41

terhitung jumlahnya, sampai pengguna media sosial yang melakukan perjuangan politik – mampu melintasi lanskap digital dan ikut serta mempengaruhi dunia fisik dengan cara yang terlihat sangat nyata, sehingga terjadi perubahan dalam kontur kehidupan masyarakat kita sehari-hari. Platform berbagi file seperti blog yang menyediakan pengunduhan musik secara gratis, situs torrent, dan berbagai program kecil yang bersifat lebih individual memungkinkan garda penghancuran kreatif dalam sistem kapitalisme dapat merombak bentuk jalan lama yang sudah dibangun oleh bagian-bagian modal yang lebih tua, sehingga pihak kapitalis melalui legitimasi pihak negara berusaha menciptakan dan menerapkan regulasi hak cipta dan kekayaan intelektual (HAKI). Selain itu, ada pula struktur yang lebih dalam, dan tersebar di jaringan Darknet dan TOR yang memungkinkan kita untuk mengakali secara anonim sistem pengawasan para penjaga yang senantiasa berusaha mengintip kehidupan digital kita sehari-hari – mereka yang berumah tinggal dalam sebuah lembaga pemerintahan dan pengumpul data perusahaan.

(43)

42

Kita dapat memuji kebajikan yang dilakukan oleh mereka untuk mempercepat proses deteritorialisasi ini, karena mereka merupakan contoh nyata dari keberadaan radikal alat-alat (teknologi) yang kita miliki. Namun momok yang bernama reteritorialisasi masih menghantui keberadaan mereka, dengan negara yang berpotensi untuk mengambil perannya kembali seperti yang diidentifikasi dalam karya Anti-Oedipus. Ketika undang-undang hak cipta diterapkan dalam proses digitalisasi musik, film, teks dan informasi, itu tandanya pemerintah telah bertindak untuk mengambil peran aktif dalam menghapus situs-situs hosting. Ini adalah perkembangan yang terus berjalan dan diusahakan dalam sebuah agenda besar peregulasian internet dengan pembentukan banyak badan pengawas. Selain itu, penindasan politik yang sangat nyata terhadap WikiLeaks terus terjadi, sementara penggunaan jaringan TOR yang terus-menerus, distereotipkan sebagai aktivitas „liar‟ dalam dunia digital dimana deepweb dianggap sebagai sarang bagi unsur-unsur kriminal yang berbahaya dan eksploitatif –

(44)

43

sebuah cara yang hanya bisa dilakukan oleh mekanisme antisipasi kekuasaan supaya mereka dapat memperkuat seruan untuk menjalankan proses reteritorialisasi sebagai bentuk intervensi. Lingkungan digital telah mencapai titik di mana ia berfungsi sebagai cermin dari sistem neoliberal yang agung, keadaan yang diprediksi beberapa dekade lalu oleh para penulis cyberpunk. Dalam karya-karya seperti Neuromancer, yang dipuji oleh Nick Land dan CCRU, teknologi tidak dapat dipisahkan dari tubuh manusia dan lingkungan eksternalnya, dimana jaringan korporat bertindak dalam kekosongan yang ditinggalkan oleh ketidakadaan pemerintahan fungsional – tetapi ada kontradiksi aneh di mana individu hidup dan bertindak pada tingkat fisik dan digital, sesuatu yang telah mengasumsikan tingkat otonomi yang lebih tinggi sementara di sisi lain terus mengalami pasang surut yang lebih besar karena pengaruh aliran kekuasaan. Di dunia maya, berbagai ruang digital telah tersedia begitu saja untuk merealisasikan proses kebebasan, dimana di sisi lain dari koin ini, ikatan sosial dari mekanisme kontrol

(45)

44

sedang disebarluasakan oleh sumber yang anehnya sama: internet – ini menunjukkan bahwa pergerakan modal semakin memasuki fase skizoid. Melalui paradigma ini, mungkin kita dapat mendorong percepatan menjauhi lubang hitamnya yang terbuka lebar dan menghubungkannya kembali ke dalam proses reteritorialisasi, namun bukan reteritorialisasi versi negara modern; lebih tepatnya, seperti yang coba dilakukan oleh Hardt dan Negri, yang melakukan pelarian ke arah suatu bentuk politik revolusioner.

(46)

45

Bagian 4. Teori non-Agensi

Gerakan akselerasionis adalah sesuatu yang luar biasa dalam pembubaran semua titik koordinat. Ia memperlakukan segala sesuatu dihadapannya sama saja – untuk dibubarkan. Semua ini akan dihancurkan, tetapi kehancuran itu tidak akan datang dari organisasi revolusioner mana pun. Jika ada satu organisasi yang mengklaim mengenai kebenaran teori akselerasionis dalam kolektif mereka, maka mereka jatuh pada utopia yang paling mekanistik dari utopia revolusioner: utopia yang biasa disebut sebagai reduksionisme Marxis… Radio Alice (radio gratis Bologna di tahun 1970-an) memiliki perkataan yang indah untuk hal ini: “ketika

mereka ditanya apa yang harus dibangun, mereka

menjawab: bahwa kekuatan yang mampu

menghancurkan masyarakat ini, pastinya adalah kekuatan yang juga mampu membangun sesuatu yang lain, namun itu akan terjadi di jalan. – Felix Guattari,

(47)

46 “Kenapa Italia?”17

Artinya ini jauh dari semua narasi tunggal yang mungkin bisa diprediksi manusia – walau akhirnya, semua gerakan perubahan akan menemui titik tunggal tertentu untuk ditinggali.

Pada bagian ini saya ingin menyisipkan sebuah karya baru ke dalam daftar teori akselerasionisme, “The

Uprising: On Poetry and Finance”, sebuah karya yang

baru-baru ini ditulis oleh ikon otonomis Italia Franco “Bifo” Berardi (yang, kebetulan, adalah pendiri Radio Alice yang disebutkan dalam kutipan di atas). Kekhawatirannya tentu saja bukan terletak pada aspek akselerasi itu sendiri, namun pada potret dari krisis neoliberalisme yang sebagian besar melahirkan lompatan yang bersifat deteritorial; ditulis ketika gelombang gerakan Occupy di AS meletus, serangkaian pemberontakan sayap kiri yang baru di Eropa, dan momen Arab Spring. Ketika kesadaran demokratis yang baru (jika bisa disebut demikian) menyingkirkan

17

Felix Guattari “Why Italy?” dalam karya Sylvere Lotringer (ed) Autonomia: Post-Political Politics Semiotext(e), 2007 hal. 236

(48)

47

rasa tidak enak dan putus asa lalu mentransformasikannya menjadi kerja-kerja anti-kapitalisme, Bifo mengingatkan kita tentang kekuatan teknokapitalisme yang memiliki potensi sangat nyata dan berbahaya untuk melakukan proses reteritorialisasi, dimana kekuaan itu cukup mampu untuk menutup proses deteritorial neoliberalisme – ini mengingatkan kita kembali pada apa yang dikatakan Deleuze-Guattari mengenai lubang hitam (sebuah jebakan dari unsur fasis dalam kehidupan masyarakat kita). Karyanya tersebut memunculkan gambaran apokaliptik: dari “ketidakadaan masa depan”, gelombang kekerasan, sampai momok fasisme. Dalam banyak hal, itu menyerupai pandangan Nick Land mengenai akselerasi apokaliptik – yang digambarkan sebagai korupsi pemerintahan yang dilakukan oleh “narco-capital”, pengalihan kekuatan militer ke sebuah sindrom borderline-Nazisme sebagai organisasi yang menjamin keamanan swasta”, dan juga “warscape perkotaan”.18

(49)

48

Semua hal ini sudah terjadi, mulai dari perang terhadap narkoba yang mengubah Meksiko menjadi negara gagal, bantuan perang dari perusahaan Blackwater yang menyediakan jasa tentara bayarannya di Irak dan New Orleans, sampai kebangkitan Golden Dawn dan peperangan kotanya dengan banyak kelompok Antifa di Yunani ... Dari sinilah Nick Land tampak berbeda dengan Nietzsche, seperti yang diklaim Fisher dan Antonin Artaud, Land mampu memasukkan krisis dalam kegilaan prekognitifnya yang ia gunakan untuk mewarnai seni gerakan akselerasi-apokaliptik, sementara secara simultan ia juga menunjukkan jalan untuk melakukan eksodus, melalui lorong-lorong gelap peradaban menuju ke bagian luar logika sistem. Mengutip anggota CCRU yang lain, Robin MacKay, “para akademisi berbicara tanpa henti tentang bagian luar kesadaran sosial, tetapi tidak ada yang pernah pergi ke sana. Nick Land, dengan kontras dan patut dicontoh, membuat percobaan untuk menuju ke sebuah tempat yang tidak diketahui namun tidak dapat dihindari...”19

(50)

49

Anti-Oedipus, melalui pendapat MacKay dan Fisher, adalah cara untuk: “Menghirup udara segar, dan menjalin sedikit hubungan dengan dunia luar, karena hanya itu yang dipertanyakan oleh skizoanalisis.”20

Di mana letak bagian luar itu, dimanakah Yang Lain berada? Seperti yang telah disebutkan, dalam neoliberalisme pasca-Fordis, ini adalah proses pelenyapan, neoliberalisme hanya ada sebagai paket deteritorialisasi. Ia memberikan paradoks mendasar – Hardt dan Negri, dalam penjabaran akselerasi mereka sendiri, berulang kali memberi tau kita bahwa kita harus mendorong Kekaisaran ini ke “sisi yang lain” (namun di mana sisi lain ini?), bahwa eksodus dari sistem yang berlaku merupakan strategi vital (namun eksodus ke mana?). Walau begitu, tujuan eksodus peradaban kita tidak mungkin dapat mendiami sisi luar sistem kapitalisme, sehingga satu-satunya tempat eksodus yang dapat kita temui adalah suatu tempat Umelec Magazine, January, 2012

20

Mark Fisher dan Robin MacKay, “PomoPhobia”, dalam Jurnal Abstract Culture, Swarm 1

(51)

50

yang juga ada di bagian dalam – baik dalam perubahan di ruang sosial kapitalisme maupun perubahan manusia sebagai individu itu sendiri. Sekali lagi, pemikiran nomaden, mampu melintasi bahkan eksterioritas dari diri dan sistem yang mengatur seseorang. Tetapi meskipun begitu, kita tidak dapat melarikan diri menuju sebuah pemikiran yang berada di luar secara murni, ini akan menjadikan peradaban kita mengawang-awang seperti konsep para surealis yang terlempar diantara kumpulan fantasi dan mimpi yang tak disadarinya – sayangnya, dapatkah peradaban kita berjalan dengan hal itu? Namun terlepas dari hal itu, surealisme dapat menunjukkan kepada kita, mengenai bagaimana seni berfikir yang mengawang-awang melalui suasana pikiran mampu menciptakan bentuk-bentuk tertentu dalam dunia fisik: “Seni memang tidak dapat mengubah dunia, tetapi dapat berkontribusi untuk mengubah kesadaran dan dorongan baik laki-laki dan perempuan yang dapat mengubah dunia.”21 Mari kita

21

Herbert Marcuse, dikutip dari Franklin Rosemont “Herbert Marcuse and Surrealism” Arsenal no.4, 1989

(52)

51

gabungkan gagasan ini dengan George Jackson, melalui pernyataan dalam Anti-Oedipus: “Saya dapat mengambil rute pelarian, tetapi sementara saya melarikan diri, saya juga akan mencari senjata.”22

Kita sekarang dapat mengaitkan ini kembali ke salah satu titik awal, yang mana Deleuze-Guattari membahas mengenai proses rekomposisi dari pikiran bawah sadar sebagai pabrik yang dipenuhi oleh mesin hasrat. Hasrat belum tentu libidinal (bersifat seksual), seperti yang dijabarkan Freud dan pengikutnya; pada dasarnya, hasrat adalah kekuatan kreatif. Jika kapitalisme telah menarik hasrat dan memasukannya ke dalam proses deteritorialisasi dan reteritorialisasi itu sendiri selama ini, maka metode gerakan akselerasi yang tepat tidak mengharuskan kita menjadi kapitalisme itu sendiri, lebih jauhnya kita akan: melepaskan kreativitas rizomatik yang terpendam didalamnya. Tantangannya tentu adalah menemukan jawaban dari pertanyaan:

(53)

52

Bagaimana kita bisa menghindari hierarki komando dan sentralisasi yang mengejar kita?

Akselerasi versi Nick Land, dalam arti spekulatif dan konteks pasar, memperjelas dirinya dengan satu hal: mendorong kapitalisme itu sendiri melewati batas-batasnya. Di sini Bifo mencatat bahwa di tahun 90-an, kapitalisme mengalami percepatan langsung ke apa yang diprediksi oleh CCRU – keruntuhan finansial beserta hubunga sosial yang dipenuhi oleh nuansa apokaliptik. Dalam alur pemikiran yang sama, ia menguraikan sebuah tesis bahwa bentuk solidaritas tradisional, dan bentuk perlawanan, adalah suatu kemustahilan, yang lebih baik dilempar ke tempat sampah nostalgia. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana sebuah gerakan sosial dapat membuat denyut jantung sistem kapitalisme terus berdetak kencang. Sehingga penting untuk melakukan apapun yang bisa dilakukan untuk memperkencang denyut jantung kapitalisme ini – termasuk mendukung gerakan revolusioner – agar pembuluh darah dari jantungnya pun pecah dan ia harus meninggal di meja operasi.

(54)

53

Sistem kapitalisme, dalam perkembangan sejarahnya turun ke sirkulasi kosong dari penggunaan tanda-tanda dan simbol-simbol linguistik abstrak. Sekarang yang harus kita lakukan, kita mesti dapat mengacak-acak standar linguistik yang digunakannya lebih lanjut, merebut dan menyesuaikan, serta menggunakannya untuk mencari syarat baru demi membentuk sistem yang berdiri berdasarkan solidaritas. Solidaritas yang Bifo usulkan adalah solidaritas yang bekerja layaknya puisi, “pembukaan kembali potensi yang tidak terbatas, tindakan ironis melampaui makna kata-kata yang sudah mapan.” Saya ingat kembali pada Magritte dan karya surealisnya yang paling terkenal, penjajaran gambar pipa dengan kata-kata: „ini bukan pipa‟ – ini menunjukkan bahwa pengacakan kode yang dimaksud oleh Bifo tidak hanya berupa puisi, tetapi bentuk estetika apa pun.

Gambar 4: Tulisannya: ini bukan pipa!

(55)

54

Jika penjungkirbalikkan linguistik-estetika ini kelihatannya belum meyakinkan, anggaplah kemampuan berbahasa itu sendiri membentuk komponen batu bata yang berfungsi untuk membangun subjektivitas; sehingga strategi skizofreniknya adalah dengan mendeklarasikan bahwa: “Saya adalah Yang Lain, dan banyak dari Yang Lain tercecer di persimpangan-persimpangan makna yang terletak pada sebagian komponen pengucapan, serta, melanggar semua sisi identitas individu dan tubuh sosial yang terorganisir.”23 Guattari membagi bentuk-bentuk pengucapan ini berdasarkan dampak yang dibawanya, menempatkannya di samping suatu sistem penandaan “bahasa yang dikosongkan” dari perintah dan kontol. Ambillah contoh menara gading akademis yang ditentang oleh Nick Land, kebenaran politik perbudakan yang dilakukan para ahli di masing-masing bidang, semua telah memberikan keseragaman satu arah dalam tubuh mahasiswa, yang akhirnya membuat

23

Felix Guattari Chaosmosis: An Ethico-Aesthetic Paradigm, Indiana University Press, 1995, hal. 83

(56)

55

mereka dapat melestarikan serta meneruskan hierarki ini dalam karier mereka selanjutnya. Oleh karenanya bahasa dan semua yang diperlukannya bertindak sebagai sistem kontrol yang berfungsi untuk mereplikasi diri sendiri, dan apa yang dipertaruhkan adalah otonomi subjektivitas dalam masyarakat itu sendiri.

Mari kita lihat contoh lain dari CCRU: Budaya Rave, menurut Sadie Plant, muncul terkait dengan runtuhnya paradigma gerakan perburuhan Inggris di bawah revolusi neoliberal Thatcher sebagai metode untuk menemukan bentuk kolektivitas baru. Anehnya, ini menyerupai konsep meshwork yang diutarakan deLanda: awalnya berkembang di bawah tanah, dihubungkan oleh industri rumahan dan menyebar dari mulut ke mulut, kode rahasia dan peta yang menunjukkan jalan menuju lokasi pesta. Musik

patchwork, dibuat dari berbagai sumber dan dicampur

menjadi campuran alkimia, membentuk ruang sonik yang halus di mana rave berlangsung, tetapi DJ atau MC, bekerja sama dengan para raver, menggunakan

(57)

56

pengucapan polifonik (ooh dan ahh) untuk menciptakan kemunculan subjektivitas yang kualitasnya jauh lebih kolektif daripada individu:

Dalam memoarnya Nobody Nowhere, Donna Williams sebagai seorang yang autis, menggambarkan bagaimana seorang anak sepertinya akan menarik diri dari realitas yang mengancam, menuju ke ruang mimpi preverbal pribadi yang dipenuhi warna ultravivid; dia bisa terpaku berjam-jam dengan gerakan warna-warni di udara yang hanya bisa dirasakannya sendiri. Dengan lampu psikotropisnya yang memukau, denyut nadi soniknya, budaya Rave bisa dibilang merupakan bentuk autisme kolektif.

Secara harfiah deteritorialisasi dalam arti yang sebenarnya – dan yang mengikuti lintasan percepatan modal – oleh budaya rave dengan cepat direteritorialisasi oleh kapitalisme dan negara: penumpasan terhadap pihak-pihak ilegal, penciptaan undang-undang baru, sentralisasi kekuasaan di tangan promotor perusahaan, serangan terhadap MDMA,

(58)

57

semua ini telah memindahkan sebuah budaya „terpinggir‟ untuk masuk ke arus utama. Dimana sebuah jalur pelarian yang sebelumnya terdiri dari pengucapan, estetika dan gerakan deteritorial, akhirnya berakhir pada proses konsumtif dunia tontonan, walaupun ada beberapa komite deteritorialisasi dalam budaya Rave yang masih berpegang pada nilai-etos awal untuk melawan kekuatan kapitalisme transnasional. Disini kita akan berbicara tentang sebuah program aksi langsung bertajuk “Reclaim the Streets” (RTS). Kemunculan partai Rave dan protes atas sentralisasi itu sendiri saling bertabrakan bersama-sama di berbagai jalan dan ruang kota, sebuah bentuk dimana pembuluh darah kapitalisme postmodern dibuat terus berdenyut.

(59)

58

Gerakan Reclaim the Streets

Dengan menduduki jalanan dan mengubahnya menjadi pasar umum, pusat sosial dan pesta dansa, sebuah bentuk baru kolektivitas sosial telah dihasilkan. Fakta bahwa RTS dan gerakan rave-awal melekat pada konstruksi teoritis yang sama dari Hakim Bey – Temporary Autonomous Zone (TAZ)24 - dan bahwa Hardt dan Negri percaya pada konsep Common akan melakukan percepatan Empire menuju ke luar, membuat kita bisa memetik pelajaran penting: apa yang diperhatikan di sini bukan hanya masalah ruang fisik, meskipun itu penting. Dalam kasus budaya Rave ini yang menurut saya menjadi menarik adalah

24

Simon Reynolds Generation Ecstasy: Into the World of Techno and Rave Culture, Routledge, 1999 hal. 248

(60)

59

subjektivitas yang dibangun di sepanjang garis-garis rangkap, hiruk-pikuk silang kegilaan dan bentuk-bentuk deteritorialisasi afektif.

(61)

60

Bagian 5. Prinsip Kekacauan

Pada bulan November di tahun 2011, saya menemukan diri saya ikut berjalan di sepanjang jalan New York City, bergerak dan bergabung sebagai individu dalam kerumunan massa yang mengalir melalui jalan-jalan di distrik yang menjadi pusat finansial – sebuah peristiwa yang tidak terbayangkan, ketika saya menyaksikan rapat internal dari gerakan Occupy Wall Street, sebuah gerakan yang memiliki landasan jaringan rizomatik dari banyak kelompok, terdiri dari dewan juru bicara, majelis umum dan ruang internet, saat itu saya pun akhirnya dikejutkan dengan beberapa pemikiran tertentu. Tidak mudah menempatkan kapitalisme dan oposisinya dalam skema biner yang bisa dijelaskan, karena kapitalisme, seperti orang-orang yang secara aktif menentangnya, adalah sistem yang juga sedang dalam masa-masa berkembang. Setiap orang yang ada di sana dibawa ke gerakan Occupy Wall Street oleh kompleksitas arus informasi kapitalisme, dimana mereka memanfaatkan arus itu untuk mengubahnya

(62)

61

menjadi sesuatu yang berbeda – sebuah gerakan perubahan. Dalam gerakan itu, tidak ada sekelompok orang yang berniat untuk menguasai Amerika – dapat kita katakan semua orang dalam gerakan sosial tersebut terombang-ambing di antara sesama individu maupun kelompok yang dipertemukan oleh seruan yang beredar dalam wadah teknologi komunikasi informasi – dan menjungkirbalikkan kekuasaan; gerakan itu adalah komposisi menarik dari banyak konsep dan keluhan, harapan dan analisis, niat dan pengalaman, pengaruh dan ucapan.

(63)

62

Karenanya sampai kini saya percaya bahwa gerakan itu bukanlah sebuah kegagalan atau semacam aktivisme semata, karena didalamnya tidak ada identitas tunggal yang dapat dihasilkan, maupun platform untuk melakukan revolusi atau reformasi berbasis organisasi sentral seperti partai. Mereka tidak bermain secara klandestin, karena mereka tidak menghentikan kompleks media telekomunikasi mainstream untuk mencoba meliputnya. Namun saya cukup skeptis dengan slogan “Make yourself a signifier! (jadikan dirimu sendiri penanda!) – mereka meneriakkan, menginginkan, dan berharap untuk menjadi hal itu. Mereka mungkin tidak mengerti bahwa negara-negara itu sendiri secara kolektif juga ingin menghindari “penanda kosong” dan bentuk negara abu-abu yang lamban sebagai sesuatu yang datang sejak proses deteritorialisasi neoliberal terjadi. Mereka juga mungkin tidak mengerti bahwa kekacauan yang dihasilkan oleh neoliberalisme menghasilkan kekacauan jenis lain, kekacauan yang interaktif dan membengkak dari bawah ke atas struktur itu sendiri.

(64)

63

Mungkin “kekacauan” bukanlah pilihan kata terbaik, karena kita harus mendefinisikan diri kita melalui suatu hal yang terpisah dari jenis kekacauan terorganisir dan eksploitatif yang dimiliki neoliberalisme. Kembali ke Deleuze dan Guattari, kali ini melalui karya Bifo tentang puisi: “Seni bukanlah kekacauan, tetapi komposisi kekacauan yang menghasilkan persepsi atau sensasi, sehingga ia membentuk, seperti kata Joyce, chaosmos.”25

Jalanan akan menemukan kegunaannya sendiri untuk chaosmos, seperti yang diproklamirkan oleh para cyberpunk. Dimana itu akan terjadi di berbagai bidang secara halus dimulai sejak dalam dunia virtual, karena didalam dunia itu ada potensi tak terbatas untuk melakukan pelarian sambil mencari senjata perang, sebuah dunia yang terdiri dari berbagai cabang koneksi yang dapat mendorong manusia untuk menemukan kreasi baru. Prinsip kekacauan harus bekerja untuk mendorong sebuah potensi baru yang dapat mempersenjatai sumber-sumber perubahan dan

25

Franco “Bifo” Berardi The Uprising: On Poetry and Finance, Semiotext(e), 2012, hal. 158

(65)

64

juga bekerja dengan cara menghindari proses reteritorialisasi sebanyak mungkin – sehingga tidak ada lagi sintesis final...

Yang menjadi penting dalam proses kekacauan ini bukanlah hanya terletak pada konfrontasinya terhadap bentuk-bentuk pengekspresian baru, tetapi juga kekacauan berjalan melalui serangkaian konstitusi kompleks subjektivitas: pertukaran ganda antara mesin, kelompok, dan individu. Kompleks subjektivitas ini sebenarnya menawarkan seseorang beragam kemungkinan untuk mengkomposisi ulang keberadaan jasmani mereka, dan, dengan cara tertentu, untuk keluar dari kebuntuan yang dicipakan sistem pengkondisian oleh mekanisme disiplin selama ini ... Kita tidak dihadapkan dengan subjektivitas yang diberikan dalam dirinya sendiri, tetapi dengan proses dari realisasi otonomi atas penciptaan sistem autopoesis selanjutnya di masa depan...26

26

Felix Guattari Chaosmosis: An Ethico-Aesthetic Paradigm, Indiana University Press, 1995. hal.7

(66)

65

Ceritanya seperti ini: ketika kita berbicara tentang otonomi, otonomi subjek, tentang pengucapannya dan hubungannya dengan pengalaman kolektif, kita berbicara tentang sesuatu yang diklaim oleh neoliberalisme terberi untuk dirinya sendiri, tetapi ia bahkan tidak pernah benar-benar memilikinya: sebuah pluralitas. Dengan demikian, membuat pemberontakan di zaman neoliberal itu sendiri tidak bisa menjadi platform tunggal yang ketat; karena prinsip-prinsip otonomi, estetika kolektif, dan kekacauan berjalan bertentangan dengan penunggalan cara apapun. Tidak ada utopia di ujung jalan, tidak ada realitas ala komunis mesianis yang mengetuk di depan pintu kami. Tetapi ini tidak mendiskualifikasi perlawanan. Kami memiliki kemampuan untuk menciptakan otonomi ketika kami menolak, dan apa yang kami tuntut adalah ruang – ruang geofisika, afektif, dan mental. Commons, jika kita memilihnya, paling tidak adalah opsi dan kemampuan dimana hidup bebas dari perintah dan kontrol terealisasi.

(67)

66

Pada penutupan esai yang menggantung ini, yang tidak akan pernah selesai, saya ingin menutup sejenak dengan kutipan terakhir dari Felix Guattari, ketika dia melihat pemberontakan demokratis Brazil pada awal tahun 1980-an. Saya yakin ini adalah tipe sentimen dan kepekaan yang harus kita coba percepat:

“Ya, saya percaya bahwa ada banyak orang, orang-orang yang juga sekaligus mutan, yang dirinya terbentuk dalam serangkaian acara sosial, sastra, dan musik ... Saya tidak tahu, mungkin saya hanya mengoceh , tapi saya pikir kita berada dalam periode produktivitas, proliferasi, penciptaan, revolusi yang sangat luar biasa dari sudut pandang kemunculan masyarakat. Itu adalah revolusi molekuler: itu bukan slogan atau program, itu adalah sesuatu yang saya rasakan, yang saya jalani, dalam sebuah pertemuan, dan beberapa perdebatan, yang akhirnya membawa saya dalam beberapa refleksi penting.27

27

Felix Guattari Molecular Revolution in Brazil Semiotext(e), 2007, hal. 9

(68)

67 Catatan: ____________________________________________ ____________________________________________ ____________________________________________ ____________________________________________ ____________________________________________ ____________________________________________ ____________________________________________ ____________________________________________ ____________________________________________ ____________________________________________ ____________________________________________ ____________________________________________ ____________________________________________ ____________________________________________ ____________________________________________ ____________________________________________ ____________________________________________ ____________________________________________ ____________________________________________ ____________________________________________

Gambar

Gambar 1: Delueze dan Guattari
Gambar 2: Terorisme Sayap Kiri Kelompok Baader Meinhoff
Gambar 4: Tulisannya: ini bukan  pipa!

Referensi

Dokumen terkait

Diantara pemikirannya adalah mengenai konsep falah, hayyah thayyibah, dan tantangan ekonomi umat Islam, kebijakan moneter, lembaga keuangan syariah yang lebih ditekankan kepada

Seorang wanita, usia 50 tahun, datang ke puskesmas dengan keluhan kaki tidak dapat berjalan sejak 3 minggu yang lalu. Riwayat sebelumnya pasien sering keputihan berbau

- HOSR pada BTS Huawei memiliki persentase tingkat keberhasilan melakukan handover lebih tinggi 3,96% dibandingkan dengan persentase BTS Nokia Siemens

Ketidakmampuan manusia dalam menjalankan kehidupan sehari- hari akan mendorong manusia untuk selalu mengadakan hubungan timbal balik dengan sesamanya serta bertujuan

Hasil diatas menyimpulkan bahwa komunikasi yang dilakukan menggunakan MSN Messenger melalui jaringan internet bebas tidak aman, karena dapat dengan mudah di baca oleh pihak yang

Hasil pengujian parameter kualitas limbah cair keluaran IPAL (Outlet) ditabulasikan pada Tabel 2.11 dan menunjukkan bahwa secara umum kualitas air limbah yang dihasilkan oleh

Merendam sampel ayam broiler dengan berbagai konsentrasi ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava L.) varietas putih yang telah diencerkan dengan aquades selama 30 menit..

Juga dari tata guna lahan yang ada di sepanjang aliran sungai pun terdapat pertanian dan perkebunan yang memungkinkan terdapat kandungan pestisida yang masuk ke badan air, yang