• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dasar Hukum Hak Prerogatif Presiden Indonesia

BAB II HAK PREROGATIF PRESIDEN INDONESIA

D. Dasar Hukum Hak Prerogatif Presiden Indonesia

Dasar hukum yang mengatur hak prerogative Presiden diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1645 yang terdapat dalam beberapa pasal yang mengatur tentang hak prerogative presiden tersebut dan lebih rincinya terdapat juga dalam undang-undang yang mengatur mengenai hak prerogative presiden, yaitu:

1. Kekuasaan Presiden Yang Mendiri.

a. Presiden Sebagai Penguasa Tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.

61 Chirisdianto Eko Purnomo, Pembatasan Konstitusional Presiden., 154

Dasar hukum yang mengatur tentang hal ini terdapat dalam Pasal 10 Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 35 ayat (2) sampai dengan ayat (5) undang-undang No. 20 tahun 1982 yang mengatur tentang ketentuan-ketentuan pokok pertahanan keamanan negara Republik Indonesia.

b. Kekuasaan Mengangkat Duta dan Konsul Serta Menerima Duta Negara Lain.

Dasar Hukum yang mengaturnya ialah Pasal 13 Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 dan Keppres No 51 Tahun 1976 tentang pokok-pokok organisasi perwakilan negara Republik Indonesia di luar Negeri.

c. Kekuasaan Mengangkat Menteri-menteri.

Dasar hukum yang mengatur tentang ini ialah, Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

d. Kekuasaan Mengangkat dan Memberhentikan Jaksa Agung Republik Indonesia.

Dasar hukum yang mengatur hal ini tercantum di dalam Pasal 19 Undang-undang No. 5 tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

2. Kekuasaan Presiden atas Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat a. Kekuasaan Menyatakan Perang dan Membuat Perdamaian.

Dasar hukum mengatur mengenai ini adalah Pasal 11 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 41 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 20 Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertahanan keamanan negara Republik Indonesia.

b. Kekuasaan Membuat Perjanjian Dengan Negara Lain.

Diatur di dalam Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

c. Kekuasaan Membentuk Undang-Undang.

Diatur di dalam Pasal 5 Ayat 91) Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan secara operasional diatur di dalam Keppres No. 188 Tahun 1998.

d. Kekuasaan Menetapkan Anggaran Pembelanjaan badan Negara.

Diatur di dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang No. 9 tahun 1968 tentang cara pengurusan dan pertanggungjawaban keuangan Republik Indonesia.

3. Kekuasaan Presiden Dengan Konsultasi.

a. Kekuasaan Memberi Grasi.

Dasar hukum kekuasaan ini adalah di dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan diatur lebih rinci di dalam Undang-undang No. 3 tahun 1950 lalu diubah

kedalam Undang-undang No 2 tahun 2002 dan diperbaharui di dalam Undang-undang No. 5 tahun 2010 tentang grasi.

b. Kekuasaan memberi Amnesty dan Abolisi.

Dasar hukum yang mengaturnya adalah pada Pasal 14 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 tentang amnesty dan abolisi.

c. Kekuasaan Memberikan Rehabilitasi.

Diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tenang Rehabilitasi.

d. Kekuasaan Memberi Gelar.

Diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

e. Kekuasaan Memberi Tanda Jasa dan tanda Kehormatan lainya.

Diatur di dalam Pasal 15 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatur lebih lanjut di dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) dan Pasal 10 ayat (2) Undang-undang No. 4 tahun1959.62

62 Pegi Haslamina, Tinjauan Fiqih syiasah.,35-38

64 BAB III

PEMIKIRAN IBNU ABI RABI’

A. BIOGRAFI IBNU ABI RABI'

Nama lengkapnya adalah Syihab al-Din Ahmad Ibn Muhammad Ibn Abi Rabi’, yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Abi Rabi’.63 Ibnu Abi Rabi’

hidup di Bghdad pada masa pemerintahan Mu’tasim Billah Khalifah Dinasti Abbasiyah yang ke delapan dan putra Khalifah Harun al-Rasyid dan yang menggantikan abangnya, al-Makmum. Tentang sosok pemikir politik muslim ini al-Munawir Sjadzali menjelaskan bahwa tidak banyak diketahui tentang Ibnu Abi Rabi’ selain sebagai penulis buku yang berjudul suluk Al-Malik fi Tadbir al-Mamalik (kebijakan raja dalam mengelola pemerintahan).64

Masa hidup atau tanggal lahir dan wafat Ibnu Abi Rabi’ tidak sempat tercatat dalam sejarah. Akan tetapi dari keterangan yang ada dalam kitab itu dapat diketahui bahwa kitab itu ditulis pada masa al-Mu’tasim (218-227/833-842) Khalifah kedelapan dari dinasti Abbasiyah yang memerintah pada abad kesembilan masehi. Kitab itu sendiri dipersembahkan untuk Khalifah al-Mu’tasim tersebut. Sebenarnya banyak yang tidak diketahui mengenai Ibnu Abi Rabi, data-data yang ada amatlah terbatas, hanya itu biografi yang bisa di

63Hutomo Satyo Prawiro, Abi Rabi, 2

64 Ibid., 3

dapatkan mengenai Ibnu Abi Rabi’ . hal ini karena banyak yang tidak mengetahui data-data mengenai Ibnu Abi Rabi’.65

B. KARYA-KARYA IBNU ABI RABI’

Pada era pemerintahan Dinasti Abbasiyah ilmu pengetahuan dalam berbagai cabang spealisasinya mendapatkan tempat dan perhatian serius, baik oleh para peneliti dan pemikir islam dan bahkan mendapatkan dukungan besar dari para penguasa saat itu. Aktivitas inilah kemudian memunculkan perhatian besar minat tinggi di kalangan para pemikir politik islam untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kenegaraan secara rasional.

Kemudian setelah itu bermunculan sejumlah pemikir islam yang mengemukakan gagasan atau konsepsi politik mereka melalui karya-karya yang ditulisnya.

Sarjana muslim yang dianggap pertama yang menuangkan gagasan teori politiknya dalam karnyanya yaitu Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik (kebijakan raja dalam mengelola pemerintahan). Buku ini dipersembahkan kepada al-Mu’tasim, khalifah Dinasti Abbasiyah ke delapam yang memerintah saat itu untuk dipergunakan sebagai guiding book dalam mentadbir atau mengelola peemrintahan. Oleh karena itu buku ini diperuntukan oleh Ibnu Abi Rabi’ kepada kepala negara yang berkuasa pada

65 Nurrohman, Dimensi Etik dalam Pemikiran Politik, 62

saat itu.66 Buku ini dimaksudkan agar dipergunakan sebagai manual atau petunjuk pleh Kepala Negara itu, seperti halnya pada awal abad XVI niecolo Machiavelli menulis buku berjudl II Princepe (sang pangeran) dan dipersembahkan kepada Lorenzo Dimedici, penguasa di Florence Italia.

Sebagaimana dengan judul buku Ibnu Abi Rabi’ sebagian besar dari buku itu berupa nasihat-nasihat kepada Khalifah-khalifah tentang bagaimana mengangani masalah-masalah kenegaraan dan terdapat pula mengenai alur-alur pemikiran tentang tata negara Ibnu Abi Rabi’.67

C. HAK ISTIMEWA KEPALA NEGARA MENURUT IBNU ABI RABI’

Menurut Ibnu Abi Rabi’ asal mula tumbuhnya kota atau terbentuknya negara, berasal dari ketidak berdayaan manusia untuk hidup sendiri dalam mencukupi segala kebutuhan hudupnya, tanpa bantuan orang lain.

Ketergantungan kepada orang lain, inilah mendorong manusia untul saling membantu dan berkumpul, serta menetap di satu tempat. Dari sinilah, tumbuh sebuah komunitas kota, yang akhirnya berkembang menjadi sebuah negara.68

Keperluan dan hajat hidup yang dibutuhkan manusia dalam interaksinya dengan sesama mereka, mendorong mereka untuk berkumpul,

66 Sirojuddin Aly, Pemikiran Politik Islam, 371

67Hutomo Satyo Prawiro, Abi Rabi, 3

68 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UII Press cet.ke V, 1993), 42

bermasyarakat, dan akhirnya membentuk organisasi kekeuasaan negara.

Keperluan dan hajat hidup yang dibutuhkan sebagai berikut:

1. Pakaian (al-libas) untuk melindungi diri dari rasa sakit udara panas, udara dingin.

2. Kebutuhan terhadap makanan yang menajdikan jasmani kuat untuk beraktivitas dan bekerja.

3. Tempat tinggal untuk penjagaan dan pertahanan dari ancaman bahaya.

4. Reproduksi untuk menjamin kelangsungankehadiran manusia di muka bumi ini.

5. Pelayanan kesehatan untuk menjaga kestabilan tubuh.69

Allah menciptakan manusia dengan wataknya yang cendrung berkumpul dan bermasyarakat, dan tidak mungkin dapat hidup sendiri untuk memenuhi semua kebutuhannya tanpa bantuan orang lain, dan ketika manusia itu bermasyarakat (berkumpul) di suatu kota, serta melakukan kerjasama dan berintraksi, sementara kecendrungan pemikiran mereka berbeda-beda, dan bahkan terjadi kezaliman karena mungkin saja ada rasa mementingkan diri sendiri, di antara meraka, maka untuk menjamin kerukunan dan keserasian hubungan antara sesama mereka. Allah, meletakkan peraturan-peraturan sebagai dasar pijakan yang harus mereka patuhi, maka kemudian Allah pun

69 Ibnu Abi Rabi’, Suluk al-Malik Fiy Tadbir al-Mamamali, (Kaito: T, pt, 1283 H), 101

menjadikan para penguasa yang lahir dari mereka sendiri. Penguasa inilah yang akan melaksanakan peraturan-peraturan tersebut dan menerapkannya demi menjaga ketertiban kehidupan masyarakat dan untuk memenuhi kebutuhan mereka masing-masing, serta untuk mencegah terjadinya pelanggaran dan penganiayaan anatara sesama anggota masyarakat.70

Pandangan ini mengandung beberapa makna. Pertama, kecendrungan alami manusia untuk berkumpul disuatu tempat dalam rangka kerjasama memenuhi kebutuhan mereka, karena ciptaan Allah pada diri manusia. Kedua, Allah meletakkan peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban bagi mereka yang harus mereka patuhi dalam hidup kebersamaan itu. Ketiga, untuk memelihara pelaksanaan peraturanitu Allah mengangkat seorang pemimpin mereka. Ia harsus mengelola urusan mereka serta bertinndak sebagai hakim untuk menyelesaikan perselisihan diantara mereka sehingga tidak ada penganiayaan, dan keutuhan mereka terjamin. Dengan demikian Ibn Abi Rabi’ dalam memahami menusia sebagai makhluk sosial, ia kaitkan dengan keyakinan dan paham agama yang ia anut. Dan sumber kekuasaan bagi seorang pemimpin masyarakat atau kepala Negara berasal dari Tuhan.71

Setelah terbentuk kota atau Negara melalui proses dari satu tahap ketahap berikutnya, maka selanjutnya persoalan yang muncul adalah siapakah

70 Ibid., 102

71 Suyuthi Pulungan, Fiqih Syiasah Ajaran dan Pemikiran, (Jakarta: PT RajaGarafindo Persada, cet.ke 5, 2002), 218

yang akan memimpin negara yang mengatur yang berfungsi sebagai pengelola dan mengatur kehidupan umat atau masyarakat, sekaligus yang memberikan pengayoman dan melindungi warga masyarakatnya dari berbagai ganggugan dan bahaya yang mengancam keberadaan warga masyarakat, karena tidak mungkin Negara terwujud tanpa ada yang memimpin.

Sebagaimana Plato, seperti dijelaskan Munawir Sjadzali, Ibnu Abi Rabi’ juga berpendapat bahw seorang pemimpin itu adalah seorang yang termulia di masyarakatnya. Oleh karena itu seseorang yang mau melarang orang lain dari berbuat sesuatu yang dianggap melanggar peraturan dan tatanan kehidupan, serta memerintahkan warganya untuk berbuat sesuatu yang mendapatkan manfaat yang dapat dirasakan bersama oleh masyarakat, haruslah orang yang dapat memberikan contoh agar menjadi panutan dan orang terdepan (iman).72

Seyogyanya, orang yang memimpin adalah orang yang paling unggul diantara mereka karena orang yang melarang atau memerintahkan sesuatu dia wajib melaksanakan dulu untuk dirinya sebelum untuk orang lain. Dan karenanya banyaknya pemimpin akan merusak syiasah dan akan menimbulkan kesulitan dalam bergerak maka sebuah kota atau berbagai kkota membutuhkan satu orang pemimpin. Para pembantunya mesti berasal dari kawan-kawannya yang mau mendengarkan, mengikuti dan melaksanakan

72 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 46

perintahnya sehingga mereka seperti nggota badan dalam satu tubuh yang bisa diperlakukan sesu kehendak pemimpinnya. Memang dunia ini memerlukan kusir dan pengendali untuk menolak kejelekan yang terjadi anatara sebagian yang lain. Dengan demikian masing-masing orang bisa berkarya secara optimal untuk kebaikan dirinya dan kebaikan orang lain dan terciptanya suasana tolong menolong untuk kemaslahatan bersama.

Raja tidak mungkin mampu sendirian mengelola urusan kerajaan.

Karenanya ia membutuhkan orang-orang yang membantunya dalam pengelolaan urusan negara dan rakyat. Oleh sebab itu, kepala negara membutuhkan menteri yang berpengetahuan, sekretaris yang arif bijaksana, qadi yang warak, hakim yang adil, pegawai yang baik, militer yang kuat dan cendekiawan yang berpengalaman, kehadiran pembantu raja dalam melaksanakan tugasnya adalah sebagai cerminan raja atau sebagai pelaksana kebijakan-kebijakan yang telah digarsikan raja. Bahwasanya seorang pemimpin/raja ada beberapa tipe manusia yang harus dihadapi dengan hati-hati diantaranya ialah orang jelek yang selalu menampakkan diri sebagai orang baik.

Raja adalah orang yang mendapat keistimewaan dari Allah, bahwa Allah telah memberikan keistimewaan kepada raja-raja dengan karamahNya, dan memberi mereka kedudukan di negeri mereka, rakyat memberi

kepercayaan kepada mereka, dan Allah mewajibkan para ulama untuk mengikuti dan memuliakan mereka serta taat kepada perintah mereka.73

Ibnu Abi Rabi’ menyakini adanya pancaran Ilahy kepada para penguasa. Dengan karahmaNya mereka memproleh kedudukan di negeri mereka dan hak memerintah rakyat kebayakan, dan yang tersebut terakhir harus taat kepada penguasa. Untuk dasar otoritas pendapat tersebut, Rabi’

mengutip ayat-ayat al-Qur’an. Dan Dia (Allah) yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meningggikan sebahagian kamu atas sebahagian beberapa derajat (Q.S al-An’am: 165). Hai orang-orang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul serta kepada pemimpin kamu (Q.S al-Nisa’: 59).74

Seorang raja setidaknya harus memenuhi 6 kriteria sebagai yaitu.

Pertama, dari segi keturunan, ia harus berasal dari keluarga raja dan dekat hubungan kekerabatannya dengan raja sebelumnya. Kedua, mempunyai cita-cita yang tinggi, yang dapat dibina melalui pendidikan akhlak. Ketiga, berpendirian tegas, yang bisa dibina melalui penelaahan dan pembahasan tentang pola-pola pengelolaan negara yang dilakukan oleh para raja sebelumnya. Keempat, tegar saat menghadapi kesulitan. Kelima, memiliki sumber finansial yang cukup. Keenam, dan mempunyai pembantu-pembantu

73 Ibnu Abi Rabi’, Suluk al-Malik, 214

74 Suyuthi Pulungan, Fiqih Syiasah, 225

yang jujur. Sebuah negara dapat tegak, tegas jika komponen-komponen penting diperhatikan. Yaitu, raja, rakyat, keadilan dan pengelolaan pemerintahan (administrasi negara).75

Seorang penguasa harus bisa menghindari sifat negatif seperti boros,

‘ujub, mengikuti hawa nafsu dan sebagainya. Oleh karena itu ia harus senantiasa membiasakan tidak marah, tidak suka bermain-main, tidak hasut dan tidak tergantung pada dunia. Dia harus selalu berusaha selalu melakukan hal-hal yang posotif seperti adil, menahan diri, pemaaf dan tegas dalam menjatuhkan hukuman. Dalam pasal ketiga yaitu berbagai jenis Prilaku, dalam pasal tersebut Ibnu Abi Rabi’ mengungkapkan sebagian pendapat ulama yang memberi makhluk hidup menjadi empat. Pertama, makhluk yang mempunyai akal tapi tidak mempunyai syahwat yaitu malaikat. Kedua, makhluk yang memiliki tabi’at dan syahwat tapi tidak mempunyai akal dan hikmah yaitu binatang. Ketiga, makhluk yang tidak mempunyai akal, hikmah, tabi’at dan syahwat mereka adalah benda-benda dan tumbuh-tumbuhan.

Keempat makhluk yang memiliki akal, hikmah, tabi’at dan syahwat mereka itu adalah manusia.76 Pada pasal kedua yaitu akhlak, pasal kedua ini yaitu perbedaan prinsip antara manusia sebagai satu jenis dengan hewan dan hewan-hewan lainnya. Bahwasanya manusia berbeda dengan hewan yang lain karena nalar yang dimilikinya serta kemampuannya untuk memilih dan

75 Ibnu Abi Rabi’, Suluk al-Malik, 214

76 Ibid., 71

mebedakan. Oleh karena itu dalam berbagai hal manusia mesti mamilih yang paling utama. Manusia menjadi utama bila ia rela menjalani budi pekerti yang terpuji dan menjauhi budi pekerti yang tercela. Seseorang mestri selalu melakukan intropeksi karena boleh jadi sesuatu yang nampak bermanfaat pada hakekatnya tidak memiliki nilai manfaat dalam jangka panjang. Akhlak sebagai kondisi jiwa yang mendorong untuk melakukan aktifitas atas dasar nalar dan pertimbangan. Bila seseorang menggunakannya secara benar, ai akan dipandang sebagai orang yang memiliki pemikiran atau akal sehat. Bila ia menggunakannya tidak sesuai dengan proporsinya berlebih atau berkurang maka ia akan dipandang sebagai orang licik atau bodoh. Darisinilah timbulnya istilah akhlak mahmudah dan akhlak madzmumah.77

D. TINJAUAN ATAS PEMIKIRAN IBNU ABI RABI’ HAK ISTIMEWA KEPALA NEGARA

Munawir Sjadzali menyatakan bahwa pemikiran Ibnu Abi Rabi’ bahwa pengaruh keyakinan agama dan loyalitas kepada Dinasti Abbasiyah sangat jelas pada pendapat Ibnu Abi Rabi’ tentang dasar kekuasaan raja. Selanjutnya menurut Munawir Sjadzali lagi bahwa Ibnu Abi Rabi’ dalam kaitannya kewenangan raja, dan hak istimewa raja dari ajaran agama. Oleh karenanya Ibnu Abi Rabi’ menegaskan bahwa Allah telah memberikan keistimewaan kepada para raja dengan kokoh, mempercayakan hamba-hambanya kepada

77 Ibid., 48

mereka, kemudian Allah mewajibkan para Ulama untuk menghormati, mengagungkan dan mentaati perintah mereka. Dalam kaitan ini Ibnu Abi Rabi’ mengenmukakan dua ayat al-Qur’an. Yaitu, Dan Dia (Allah) yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumu dan Dia (Allah) meninggikan harkat dan martabat sebagian dari kalian atas sebagian (yang lain) beberapa tingkat (Q.S al-An’am ayat 165). Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan pemimpin-pemimpinj (Ulil Amri) kalian (Q.S al-Nisa’ ayat 59).

Dari apa yang disampaikan Ibnu Abi Rabi’ diatas, bahwasanya menurut Ibnu Abi Rabi’ dasar kekuasaan dan otoritas raja adalah mandar dari Allah yang telah memberinya kedudukan istimewa kepada mereka dengan keunggulan dan keutamaan, telah mengkokohkan kekuaasaan mereka di negera mereka untuk memerintahkan hamba-hambaNya dari senua tingkatan untuk taat kepada mereka demi kesejahteraan negara.78

Dalam kaitannya dengan bentuk atau model peemrintahan, Ibnu Abi rabi’

lebih memilih bentuk peemrintahan yang berdasarkan monarki atau kerajaan, yaitu yang dipimpin oleh seorang raja berdasarkan warisan alur keturunan.

Oleh karena itu, Ibnu Abi Rabi’ tidak memilih model-model pemerintahan lain, seperti Aristokrasi, Oligargi, Demokrasi. Dalam konteks ini Ibnu Abi Rabi’ memberikan argumentasi terkait pemikirannya tentang model

78 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 47-48

pemerintahan dalam bentuk monarki, yaitu bahwa jika sebuah negara dipimpin oleh banyak pemimpin, maka perpolitikan akan kacau, banyak konflik yang menyebabkan negara selalu gonjang-ganjing (tidak stabil). Atas dasar argumentasi ini warga masyarakat merasa perlu seorang pemimpin tunggal dalam pemerintahan kerajaannya.79

Hak istimea yang dimiliki kepala negara dimasa dahulu, terutama di abad-abad kalsik dan pertengahan, bahkan sebelum itu., sudah menjadi tradisi di kalangan kepala negara (khalifah, sultan, atau raja). Dengan hak istimewa ini para kepala negara berpotensi menjadi penguasa yang absolut, tirani dan dictator, karena mereka berkeyakinan bahwa negara miliknya, termasuk di dalamnya rakyatnya, sehingga mereka bisa bertindak sewenang-wenangnya dan melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya. Al-Qur’an sendiri menyebutkan salah satu dari sekian banyak kepala negara yang berperilaku absolut dan dictator, diantaranya yaitu raja Firaun yang hidup pada masa Nabi Musa yang digambarkannya sebagai seorang penguasa yang absolut dan dikatator.80

Pada hakekatnya pemikiran politik Ibnu Abi Rabi’ hak istimewa kepala negara ini didasarkan pada teorinya bahwa model pemerintahan yang terbaik adalah bentuk monarki atau kerajaan di bawah pimpinan seorang raja sebagai

79 Sirojuddin Aly, Pemikiran Politik Islam, 378

80 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Kencana, 2014) 241

penguasa tunggal. Pandangan Ibnu Abi Rabi’ sebenarnya didasarkan pada realitas perpolitikan yang tengah berjalan di era Dinasti Abbasiyah yang pada hakekatnya berbentuk monarki (kerjaan), karena ketika terjadi pergantian kepemimpinan (raja atau sultan) dilakukan berdasarkan mekanisme pengangkatan secara langsung dan turun temurun oleh raja atau sultan yang sedang bertahta kepada putranya yang kemudian berkedudukan sebagai putra mahkota. Hal ini menurut Munawir Sjadzali memberikan alasan rasional terhadap kekuasaan dan hak istimewa raja yang memiliki segala keutamaan yang serba lebih dara pada warga negara yang lain. Hak istimewa ini menurutnya lagi, seorang raja atau sultan tidak dianggap sebagai warga negara, dalam arti bahwa seorang raja tidak haruis tunduk kepada hukum dan undang-undang maka raja seorang kebal hukum, tidak dapat diajukan ke pengadilan atau tuntutan hukum kepadanya, ini karena raja dianggap sumber dan pelaksana hukum. Oleh karena raja dianggap memiliaki serba lebih dalam berbagai hal, dan dianggap memiliki kemampuan dalam memanaj politik maka raja berhak memaksa kehendaknya dan perintahnya untuk dilaksanakan.

Kebal hukum dan dampak yang muncul darinya sebagai hak istimewa para raja, sebenarnya faham yang berlebihan. Konsep Ibnu Abi Rabi’ tentang hak istimewa bagi para raja atau sultan tidak sampai pada tahap kebal hukum.

Karena hukum tetap berlaku kepada siapa saja, tanpa melihat status atau martabat. Bahwa Allah memberikan keistimewaan kepada para raja dengan segala keuitamaan. Hak ini menurut Ibnu Abi Rabi’ menjadikan kedudukan

meraka di atas bumi semakin kokoh, keistimewaan yang berlebihan yang dimiliki seorang raja dalam memerintah negaranya sebenarnya dalam islam yang benar berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan.81

Ibnu Abi Rabi’ sangat mengutamakan konteks agama dalam jiwa seorang pemimpin. Karena dapatdipahami, bahwa baginya agama adalah aspek yang dapat melindungi manusia dari perbuatan atau kehendak yang menyeleweng juga merupakan salah satu tugas penting seorang pemimpin ialah menjaga agama. Untuk itu, pemimpin selaku kepala negara dipilih untuk merealisasikan perintah-perintah, kaidah-kaidah, dan hukum-hukum ilahi.

Terkait kebijakan politik yang diberikan oleh pemimpin negara harus berdasarkan apa yang diperintahkan oleh Allah.82

Sebagaimana dikatakan Ibnu Abi Rabi’ bahwasanya pemimpin mendapatkan suatu keistimewaan dari Allah swt untuk menjaga dan menyelesaikan segala permasalahan masyarakat, sehingga Allah memerinthakan Ulama berserta warga negara supaya mengikuti atau mentaati pemimpinnya, oleh karena itu seorang pemimpin adalah suatu hal yang penting dalam sebuah negara untuk membuat peraturan untuk demi kemaslahatan warganya. Maka dari itu supaya tidak terjadi

kesewenng-81 Sirojuddin Aly, Pemikiran Politik Islam, 391

82 Farhan, Ahmad, Prinsip Etika Politik Pemimpin Dalam Islam, Jurnal Dauliyah, vol 4, no 2, (2019), 74-75

wenangan atas hak istimewa atau kekuasaan yang telah diberikan Allah kepada raja atau pemimpin, seorang pemimpin harus mempunyai perilaku atau akhlak yang terpuji sebagaimana Ibnu Abi Rabi’ menyebutkan salah satu kriteria pemimpin yaitu Pemimpin harus budi pekerti yang luhur, hal ini dapat

wenangan atas hak istimewa atau kekuasaan yang telah diberikan Allah kepada raja atau pemimpin, seorang pemimpin harus mempunyai perilaku atau akhlak yang terpuji sebagaimana Ibnu Abi Rabi’ menyebutkan salah satu kriteria pemimpin yaitu Pemimpin harus budi pekerti yang luhur, hal ini dapat

Dokumen terkait