• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III Piutang Negara dalam Hukum Positif

A. Dasar Hukum Penyelesaian Piutang Negara Macet dan

Dasar atau landasan hukum bagi DJKN dan PUPN dalam melakukan pengurusan piutang negara adalah Undang-undang Nomor 49 Prp. 1960 jo. Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 1976 jo. Keputusan presiden Nomor 21 tahun 1991. Dengan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006, eksistensi dan kewenangannya semakin ditegaskan. Dengan landasan hukum tersebut, DJKN atau PUPN dalam melakukan penyelesaian piutang negara masih dilengkapi oleh berbagai peraturan pelaksanaan lainnya antara lain Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 tanggal 24 Oktober 2007 tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah diubah dengan

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 88/PMK.06/2009 tanggal 30 April 200920

Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 mengatur bahwa PUPN bertugas mengurus piutang negara yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum akan tetapi Penanggung Hutang tidak mau melunasi hutangnya sebagaimana mestinya. Selanjutnya Pasal 8 dan pasal 12 ayat (1) Undang- undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 mengatur bahwa instansi-instansi pemerintah dan Badan-badan Negara yang dimaksud dalam Pasal 8 peraturan ini diwajibkan menyerahkan piutang-piutangnya yang adanya dan besarnya telah pasti menurut

.

20

hukum akan tetapi Penanggung Hutang tidak mau melunasi hutangnya sebagaimana

mestinya kepada negara21

Untuk memperoleh kepastian penyelesaian piutang negara oleh Penanggung Hutang maka PUPN mengadakan suatu Pernyataan Bersama dengan Penanggung Hutang yang memuat pengakuan hutang kepada negara dan syarat-syarat penyelesaiannya. Pernyataan Bersama ini mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti suatu putusan hakim dalam perkara perdata yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan pasti. Dalam hal Pernyataan Bersama tidak dapat dibuat karena Penanggung Hutang tidak memenuhi panggilan atau menolak menandatangani Pernyataan Bersama tanpa alasan yang sah atau Penanggung Hutang tidak dikenal tempat kediamannya (menghilang) maka jumlah piutang negara yang wajib diselesaikan oleh Penanggung Hutang akan ditentukan sendiri oleh PUPN melalui Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN)

.

22

Dalam pelaksanaan operasionalnya, keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh PUPN akan diselenggarakan oleh DJKN. Keberadaan lembaga DJKN sendiri semakin diakui eksistensinya. Hal ini dapat dilihat dari perubahan organisasinya yang semakin dilengkapi. Pada mulanya lembaga DJKN bernama BUPN yang dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976. Pada tahun 1991 BUPN direorganisasikan menjadi BUPLN sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 21

. 21 Ibid 22 Ibid.

46

tahun 1991. Perubahan Terakhir adalah melalui peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2006.

Pembentukan lembaga DJKN sebagai instansi pemerintah dalam melakukan pengamanan keuangan negara, khususnya yang berhubungan dengan pengurusan dan penyelesaian piutang dan lelang negara, merupakan antisipasi yang tepat oleh pemerintah untuk menjawab persoalan piutang negara yang semakin kompleks baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Piutang negara macet yang saat ini ditangani oleh PUPN dan DJKN sekitar 15 Triliyun Rupiah. Belum lagi piutang negara macet lainnya yang ditangani oleh lembaga BPPN yang konon berjumlah 700 Trilyun Rupiah. Jumlah piutang negara yang macet ini sudah sangat mengganggu kondisi perekonomian dan pembangunan nasional.

Disamping peraturan-peraturan tersebut di atas, DJKN dan PUPN dalam pengurusan piutang negara masih dilengkapi dan ditunjang oleh peraturan-peraturan lainnya, baik itu berupa Keputusan Menteri Keuangan maupun melalui Keputusan Direktur Jenderal DJKN atau Ketua PUPN Pusat.

Didalam KUHPerdata/BW, dasar hukum dari pelaksanaan piutang negara ini adalah Pasal 1338 yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”, Pasal 1131 yang berbunyi “segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”. Pasal ini mengartikan bahwa seluruh harta kekayaan debitur, baik yang bergerak maupun tidak, baik yang sudah ada maupun

akan ada, semuanya menjadi jaminan untuk seluruh perutangannya. Selain itu Pasal 1132 juga menjadi dasar hukum piutang negara. Dalam pasal ini dapat diartikan bahwa harta kekayaan itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur-kreditur, pendapatan penjualan dari benda-benda itu dibagi-bagi besar kecilnya piutang masing- masing.

Kaitan antara piutang negara dengan KUHPerdata/BW adalah sangat banyak. Dalam hal kesepakatan misalnya, dalam piutang negara terdapat banyak kesepakatan yang secara terang dan pasti didasari oleh pasal- pasal perikatan mulai dari Pasal 1233, syarat sahnya suatu perjanjian tersebut yang diatur oleh pasal 1320. Selain itu, objek yang menjadi jaminan misalnya, yaitu benda, baik benda bergerak maupun tidak bergerak, ketentuan mengenai benda ini diatur didalam KUHPerdata/BW dimulai dari Pasal 499. Dalam upaya mempercepat proses piutang negara macet, DJKN atau PUPN dapat melakukan Pengusutan / pemeriksaan terhadap harta kekayaan lainnya selain dari harta yang menjadi jaminan atau agunan. Tindakan DJKN atau PUPN melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang meskipun harta kekayaan lain tersebut tidak dicantumkan sebagai agunan hutang atau jaminan hutang. Penyitaan terhadap harta kekayaaan lain ini dimungkinkan dengan ketentuan pasal 10 ayat (3) Undang-undang Nomor 49 Prp. 1960 beserta peraturan pelaksanaannya, hal ini sejalan dengan asas dalam hukum perdata yang mengemukakan bahwa segala harta benda orang yang berhutang baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian harim menjadi jaminan untuk segala perikatan seseorang sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1131 KUHPerdata/BW.

48

Selain itu penyelesaian piutang negara juga melaksanakan Pasal 1178 ayat (2)

KUHPerdata/BW23

B.1. Pengertian Piutang Negara

. Tujuan penggunaan Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata adalah memberikan kuasa kepada kreditur sebagai Pemegang Hipotek atau Hak Tanggungan untuk menjual barang jaminan di muka umum tanpa persetujuan atau bantuan Pengadilan Negeri, apabila hutang pokok atau bunga tidak dibayar oleh Penanggung Hutang sebagaimana mestinya.

Dengan demikian, untuk pelaksanaannya tidak lagi memerlukan penyitaan dan juga tidak perlu adanya grosse akta. Namun pelaksanaan pasal dimaksud harus dilakukan dengan memperhatikan Pasal 1211 KUHPerdata yaitu harus melalui bantuan kantor lelang.

Piutang negara yang macet atau kredit macet pada hakikatnya adalah suatu keadaan dimana seorang debitur tidak mampu membayar lunas kredit bank tepat pada waktunya. Dalam hukum perdata, keadaan yang sedemikian disebut wan prestasi atau ingkar janji. Sebagaimana telah diketahui bahwa kredit merupakan perjanjian pinjam uang, maka debitur yang tidak dapat membayar lunas hutangnya setelah jangka waktunya habis, adalah wanprestasi. Hal ini bertentangan dengan Pasal 1234 mengenai Prestasi. Jadi debitur tersebut, tidak dapat melaksanakan Pasal 1234 KUHPerdata/BW ini.

Dokumen terkait