BAB II PENGATURAN PERJANJIAN KREDIT DENGAN AGUNAN
F. Dasar Hukum Perjanjian Kredit dengan Agunan Dalam Rangka
Dalam menyalurkan kreditnya, pemberi kredit senantiasa harus memperhatikan faktor kehati-hatian dan perlindungan kepentingan kreditur dengan memperhatikan aspek hukum kredit. Dasar hukum pemberian suatu kredit adalah:
1. Kontrak kredit 2. Undang-undang
3. Peraturan Perundang-undangan lainnya. 4. Yurisprudensi tentang perkreditan 5. Kebiasaan, terutama kebiasaan.85
Dasar hukum pelaksanaan kredit tanpa agunan ini dapat dilihat dalam Keputusan Presiden Nomor: 124/2001 jo. 8/2002, jo. 34/2002, Inpres Nomor 5/2003, Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-05/MBU/2007 tentang “Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan”.
Kewajiban menyertakan agunan dalam kredit tidaklah merupakan syarat mutlak dalam pemberian kredit sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor. 10 tahun 1998.
Dalam prakteknya, bentuk perjanjian kredit dibuat dalam bentuk baku (standart contract). Mengenai isi (klausula) perjanjian baku ini sendiri telah banyak
85
Munir Faudy,.Pengantar HukumBisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Cetakan I, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, , 2002, hal. 112
menimbulkan pro dan kontra tentang keabsahan dan kedudukannya dalam hukum perdata. Dengan demikian, klausula-klausula dalam perjanjian kredit telah ditentukan sedemikian rupa oleh kreditur, sehingga beberapa pakar hukum berpendapat bahwa terdapat ketidak-adilan dan ketidak-seimbangan hak dan kewajiban terhadap pihak debitur. Rahmani Usman menyatakan kedudukan para pihak yang tidak seimbang itulah yang dimanfaatkan oleh pihak pemberi kredit untuk membuat klausula-klausula yang memberatkan nasabah debitur, sebaliknya pihak pemberi kredit terlindung oleh karenanya pihak nasabah debitur dibebani dengan sejumlah kewajiban dan merupakan hak-hak pemberi kredit yang mesti dipenuhinya. Dengan kelemahan kedudukan nasabah debitur itulah pihak pemberi kredit memanfaatkan dengan lebih banyak membuat klausula-klausula yang tidak wajar dan tidak adil.86
Sutan Remy Sjahdeini memberikan contoh-contoh beberapa klausula-klausula yang secara tidak wajar sangat memberatkan nasabah debitor, yaitu : Kewenangan pemberi kredit untuk sewaktu-waktu tanpa alasan apapun dan tanpa pemberitahuan sebelumnya secara sepihak menghentikan izin tarik kredit; 87
1. Kewenangan pemberi kredit untuk secara sepihak menentukan harga jual dari barang agunan dalam hal dilakukan penjualan barang agunan karena kredit nasabah debitur macet;
2. Kewenangan pemberi kredit untuk secara sepihak sewaktu-waktu mengubah tingkat suku bunga kredit;
86
Rahmadi Usman, Op.Cit., hal. 275 87Ibid
3. Kewajiban nasabah debitur untuk tunduk kepada segala petunjuk dan peraturan pemberi kredit yang telah ada dan yang masih akan ditetapkan kemudian oleh pemberi kredit;
4. Keharusan nasabah debitur untuk tunduk kepada syarat-syarat dan ketentuan- ketentuan umum hubungan rekening koran dari pemberi kredit yang bersangkutan, namun tanpa sebelumnya nasabah debitur diberi kesempatan untuk mengetahui dan memahami syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan umum hubungan rekening koran tersebut;
5. Kuasa nasabah debitur yang tidak dapat dicabut kembali kepada pemberi kredit untuk dapat melakukan segala tindakan yang dipandang perlu oleh pemberi kredit;
6. Kuasa nasabah debitur kepada pemberi kredit untuk mewakili dan melaksanakan hak-hak nasabah debitur dalam setiap Rapat Umum Pemegang Saham.
7. Pembuktian kelalaian nasabah debitur secara sepihak oleh pihak pemberi kredit semata;
8. Pencantuman klausula-klausula eksemsi yang membebaskan pemberi kredit dari tuntutan ganti kerugian oleh nasabah debitur atas terjadinya kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat tindakan pemberi kredit.
Pembinaan usaha kecil oleh BUMN dilaksanakan sejak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan
Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroan (Persero). Pada saat itu, biaya pembinaan usaha kecil dibebankan sebagai biaya perusahaan. Dengan terbitnya keputusan Menteri Keuangan No.:1232/KMK.013/1989 tanggal 11 Nopember 1989 tentang Pedoman Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi melalui Badan Usaha Milik Negara, dana pembinaan disediakan dari penyisihan sebagian laba sebesar 1%-5% dari laba setelah pajak. Nama program saat itu lebih dikenal dengan Program Pegelkop.
Pada Tahun 1994, nama program diubah menjadi Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi (Program PUKK) berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.:316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994 tentang Pedoman Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi melalui Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba Badan Usaha Milik Negara. Memperhatikan perkembangan ekonomi dan kebutuhan masyarakat, pedoman pembinaan usaha kecil tersebut beberapa kali mengalami penyesuaian, yaitu melalui Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN/Kepala Badan Pembina BUMN No.:Kep-216/M-PBUMN/1999 tanggal 28 September 1999 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN, Keputusan Menteri BUMN No.:Kep- 236/MBU/2003 tanggal 17 Juni 2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, dan terakhir melalui Peraturan Menteri Negara BUMN No.: Per-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Kemudian
Surat Edaran Menteri Negara BUMN No. SE-14/MBU/2008 tentang Optimalisasi Dana Program Kemitraan Melalui Kerjasama Penyaluran.
Pembinaan Usaha Kecil yang dilakukan BUMN tidak terlepas dari beberapa peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil.
Penjelasan Pasal 16 : “...Lembaga pembiayaan menyediakan dukungan modal untuk pembinaan dan pengembangan usaha kecil antara lain meliputi skim modal awal, modal bergulir, kredit usaha kecil, kredit program dan kredit modal kerja usaha kecil, kredit kemitraan, modal ventura, dana dari bagian laba Badan Usaha Milik Negara, anjak piutang dan kredit lainnya.”88
2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Pasal 2 : “...Salah satu tujuan pendirian BUMN adalah turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.”
Pasal 88 ayat (1) :“...BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/ koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN.”89
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas.
88
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil, Pasal 16
89
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara Pasal 2 dan Pasal 8
Pasal 74 ayat (1) : “…Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/ atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan…”.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
Pasal 21 : “...Badan Usaha Milik Negara dapat menyediakan pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan yang dialokasikan kepada usaha mikro dan kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya”.90
Pengaturan pelaksanaan pemberian pinjaman kemitraan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Negara BUMN No: Per-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.
Adapun dana Program Kemitraan diberikan kepada usaha kecil dalam bentuk:91
1. Pinjaman untuk membiayai modal kerja dan atau pembelian aktiva tetap dalam rangka meningkatkan produksi dan penjualan;
90
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 21 dan Pasal 74 ayat (1)
91
Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, Pasal 11 ayat (1)
2. Pinjaman khusus untuk membiayai kebutuhan dana pelaksanaan kegiatan usaha mitra binaan yang bersifat pinjaman tambahan dan berjangka pendek dalam rangka memenuhi pesanan dari rekanan usaha mitra binaan;
3. Beban Pembinaan:
a Untuk membiayai pendidikan, pelatihan, pemagangan, pemasaran, promosi, dan hal-hal lain yang menyangkut peningkatan produktivitas mitra binaan serta untuk pengkajian/ penelitian yang berkaitan dengan program kemitraan;
b Beban pembinaan bersifat hibah dan besarnya maksimal 20% (dua puluh persen) dari dana program kemitraan yang disalurkan pada tahun berjalan; c Beban Pembinaan hanya dapat diberikan kepada atau untuk kepentingan
mitra binaan.
BAB III
PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT DENGAN AGUNAN DALAM RANGKA PINJAMAN PROGRAM KEMITRAAN