• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN PERJANJIAN KREDIT DENGAN AGUNAN

B. Perjanjian Kredit Yang Berlaku Umum

Mengenai kedudukan Perjanjian Kredit dalam KUH Perdata ini ada beberapa pandangan pakar hukum yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Perjanjian kredit sebagai perjanjian pinjam pakai habis 2. Perjanjian kredit sebagai perjanjian khusus60.

60

Munir Faudy,.Pengantar HukumBisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, (Cetakan I Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hal 117

Perjanjian kredit dipandang sebagai perjanjian khusus, dimana yang berlaku dalam perjanjian kredit adalah ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam KUH Perdata, disamping klausul-klausul yang disepakati kedua belah pihak. Jika perjanjian kredit dipandang sebagai perjanjian pinjam pakai habis, maka disamping berlaku ketentuan umum dalam perjanjian KUH Perdata, juga berlaku ketentuan perjanjian pinjam pakai habis.

R. Subekti menyatakan bahwa: “Dalam bentuk apa pun juga pemberian kredit itu diadakan, dalam semuanya itu pada hakikatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754 sampai Pasal 1769”.61

Selanjutnya Marhainis Abdul Hary mengatakan bahwa “Perjanjian kredit adalah identik dengan perjanjian pinjam-meminjam yang dikuasai oleh ketentuan Bab XIII Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”. Mariam Darus Badrulzaman lebih mempertajam lagi kedudukan Perjanjian Kredit sebagai perjanjian peminjaman uang yang mana Didalam Undang-undang Perbankan mengenai perjanjian kredit, dapat disimpulkan bahwa dasar perjanjian kredit adalah perjanjian pinjama meminjam di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754. perjanjian pinjam meminjam ini juga mengandung makna yang luas yaitu objeknya adalah benda yang menghabis jika verbruiklening termasuk di dalamnya uang. Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam ini, pihak penerima pinjaman menjadi pemilik yang

61

Rahmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Cetakan Kedua, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal 261

dipinjam dan kemudian harus dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak yang meminjamkan. Karenanya perjanjian kredit ini merupakan perjanjian yang bersifat rill, yaitu bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh “penyerahan” uang oleh bank kepada nasabah. Pendapat Marhainis Abdul Hary dan Mariam Darus Badrulzaman diatas dibantah oleh Sutan Remy Sjahdeni yang menyatakan bahwa : “....sifatnya yang konsensual dari suatu perjanjian kredit bank itulah yang merupakan ciri pertama yang membedakan dari perjanjian peminjaman uang yang bersifat rill”. Menurut Sutan Remy Sjahdeni dalam perjanjian kredit tercantum syarat-syarat tangguh yang tidak dapat dibantah lagi. Walaupun perjanjian kredit telah ditanda- tangani akan tetapi debitur belumlah berhak menggunakan atau melakukan penarikan kredit. Jadi penanda-tanganan kredit belum menimbulkan kewajiban pada kreditur untuk menyediakan kredit. 62

Ciri lain yang membedakan perjanjian kredit dengan perjanjian peminjaman uang adalah bahwa kredit yang diberikan oleh pemberi kredit kepada penerima kredit tidak dapat digunakan secara leluasa untuk keperluan atau tujuan yang tertentu oleh penerima kredit, seperti yang dilakukan oleh peminjam uang (debitur) pada perjanjian peminjaman uang biasa. Pada perjanjian kredit, kredit harus digunakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di dalam perjanjian dan pamakaian yang menyimpang dari tujuan itu menimbulkan hak kepada pemberi kredit untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak, maka berarti penerima kredit bukan pemilik mutlak dari kredit yang diperolehnya berdasarkan perjanjian kredit itu, sebagaimana bila seandainya

62Ibid

perjanjian kredit itu adalah perjanjian peminjaman uang. Penekanan dalam hal ini adalah tiadanya kebebasan debitur peminjam kredit untuk mempergunakan dana pinjaman tanpa persetujuan dari kreditur. Apa yang diperjanjikan sebelumnya mengenai tujuan penggunaan kredit adalah dibawah pengawasan kreditur. Penyimpangan tujuan dapat dipandang sebagai tindakan wanprestasi yang berakibat dapat dibatalkannya perjanjian secara sepihak oleh kreditur.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa menurutnya perjanjian kredit bukanlah merupakan perjanjian pinjam meminjam uang sebagaimana yang dimaksud dalam KUH Perdata. Dengan demikian perjanjian kredit tidak tunduk pada ketentuan perjanjian pinjam meminjam uang dalam KUH Perdata, akan tetapi tergantung pada kesepakatan dan perjanjian antara pihak debitur dengan pihak kreditur.

Perjanjian yang ditandatangani oleh para pihak merupakan sumber perikatan dan mengikat kedua belah pihak atau yang menandatanganinya sejak tanggal ditandatanganinya perjanjian tersebut. Perikatan yang terjadi melalui perjanjian itu dapat diuraikan dibawah ini.

Dalam buku III B.W. berjudul “Perihal Perikatan” dinyatakan perkataan perikatan (vebintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan perjanjian, sebab dalam buku III itu, diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatigedaad) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan

persetujuan (zaakwaarneming). Tetapi sebagian besar dari buku III ditujukan pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan perikatan oleh buku III B. W itu ialah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Buku III mengatur perihal hubungan- hubungan hukum antara orang dengan orang (hak-hak perseorangan), meskipun mungkin yang menjadi obyek juga suatu benda. Oleh karena sifat hukum yang termuat dalam Buku III itu selalu berupa suatu tuntut-menuntut, maka isi Buku III itu juga dinamakan “hukum perhutangan”. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau ”“kreditur”, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau “debitur”. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan “prestasi”, yang menurut undang-undang dapat berupa:

1. menyerahkan suatu barang 2. melakukan suatu perbuatan 3. tidak melakukan suatu perbuatan

Dalam Buku III KUH tidak ada memberikan suatu defenisi dari perikatan namuh beberapa pihak memberikan defenisi perikatan sebagai berikut: “perikatan adalah hubungan yang terjadi di antara dua orang atau lebih, yang terletak didalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.

Sementara itu menurut J. Satrio mengatakan mengenai istilah verbintenis

terjemaahannya dalam bahasa Indonesia masih belum ada kesatuan pendapat. Ada yang menggunakan istilah “perutangan”, ada yang menggunakan istilah “perikatan”, ada yang menggunakan kedua istilah tersebut bersama-sama, malahan ada yang mengusulkan istilah “perjanjian” untuk mengganti verbintenis, sekalipun diberikan arti yang luas, meliputi juga yang muncul dari hukum adat dan pada segi lain lebih sempit dari verbintenis yang selama ini dikenal, karena tidak meliputi yang lahir dari undang-undang saja (uit dewet allen) dan yang lahir dari onrechtmatigedaad.

Dari uraian-uraian diatas memberikan kejelasan bagi kita bahwa suatu perjanjian yang dibuat itu telah menimbulkan perikatan bagi pihak-pihak yang membuatnya dan hak serta kewajiban dengan sendirinya harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak; seperti halnya dalam perjanjian kredit dengan agunan si berhutang (debitur) berhak mendapatkan dana yang diperjanjikan dengan menyerahkan aguan sekaligus berkewajiban membayar sejumlah uang pada waktu yang disepakati hingga lunas, di sisi lain pihak pemberi hutang (kreditur) berhak menagih hutang dan berkewajiban menyerahkan agunan bila telah lunas.

Dokumen terkait