• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. KONSEP TRANSAKSI VALAS DALAM TINJAUAN SYARIAH

B. Dasar Hukum Bai’ al-Sharf

Dasar hukum keabsahan melakukan jual beli uang (sharf) terdapat dalam al- Qur’an. Firman Allah SWT:

Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS.Al- Baqarah:275) Ayat ini menegaskan halalnya akad jual beli dan haramnya riba. Berdasarkan ketentuan ini, jual beli mata uang (al-sharf) adalah dapat dibenarkan dan telah mendapatkan pengakuan dari syara’ selama dalam jual beli tersebut tidak ada unsur riba dan oleh karena itu lembaga keuangan syariah dapat menerapkan dalam operasionalnya.28

27 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata hukum Perbankan

Indonesia, Cet. III, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007), h. 88 28

Tim Penulis DSN-MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 28 Tahun 2002, h. 576

Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli itu dapat dikatakan sah oleh syara’. Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli ada empat, yaitu:29

a. ada orang yang berakad (penjual dan pembeli) b. ada ijab qabul

c. ada barang yang dibeli

d. ada nilai tukar pengganti barang

Dan syarat-syarat jual beli adalah sebagai berikut:

a. Syarat orang yang berakad, yaitu berakal dan yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda. Artinya, seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus pembeli. Misalnya, Ahmad menjual sekaligus membeli barangnya sendiri. Jual beli seperti ini adalah tidak sah.

b. Syarat yang terkait dengan ijab qabul, yaitu dengan melakukan ijab qabul maka ada kerelaan kedua pihak dalam bertransaksi.

c. Syarat barang yang dijualbelikan:

1. barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tetapi penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu. Misalnya, barang di gudang dan dalam proses pabrik ini dihukumkan sebagai barang yang ada.

29

2. Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. oleh sebab itu, bangkai, khamar dan darah tidak sah menjadi obyek jual beli karena dalam pandangan syara’ benda-benda seperti itu tidak bermanfaat bagi muslim. 3. Milik seseorang. Barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang tidak

boleh dijualbelikan, seperti memperjualbelikan ikan di laut atau emas dalam tanah, karena ikan dan emas itu belum dimiliki penjual.

4. Boleh diserahkan saat akad berlangsung, atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.

d. Syarat-syarat nilai tukar (harga barang):

1. Harga yang disepakati kedua belah pihak, harus jelas jumlahnya.

2. Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum, seperti pembayaran dengan cek atau kartu kredit. Apabila harga barang itu dibayar kemudian (berutang), maka waktu pembayarannya harus jelas. 3. Apabila jual beli itu saling mempertukarkan barang, maka barang yang

dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan syara’, seperti babi dan khamar, karena kedua jenis benda initidak bernilai dalam syara’. Dasar hukum keabsahan jual beli mata uang (sharf) juga terdapat pada hadis Nabi SAW. sebagai berikut:30

30

Muhammad Nashhiruddin Al Albani, Mukhtashar Shahih Muslim Buku 1, Cet.I, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2003), h. 666

! " #

$#%& "'$ ($ " )*+ )*+ " ,-. ,-.

/ 0 / 0 " $01 $01 " $#%&

23# 43ی 26 7 46 8 29:0 4;:

23# 43ی < = > !1?ﺵ A#= %# B C ﺹD E.- + 1F >GB

H

! 7 E "

I

Dari Ubadah bin Shamit r.a. beliau berkata: Rasulullah saw. bersabda: emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, padi ditukar dengan padi, kurma ditukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam dalam jumlah yang sama dan serah terimanya pada saat itu juga. Apabila jenisnya berbeda-beda, maka juallah sesuka hatimu asalkan dengan tunai dan langsung serah terimanya. Diriwayatkan oleh muslim.

(Muslim:5/45)

Jelas sekali penegasan dengan sabdanya, ”harus sama ukurannya, dan sama nilainya” itu. Dalam hadits tersebut terdapat dalil yang menunjukkan pengharaman lebih sesuatu yang sama jenisnya dari enam macam yang disebutkan dalam nash hadits tersebut. Adapun haramnya riba bagi semuanya itu menjadi pendapat ulama seluruhnya.

Jual beli antara barang-barang ribawi sejenis hendaklah dilakukan dalam jumlah dan kadar yang sama, dan harus diserahkan pada saat transaksi. Misalnya, antara mata uang rupiah lembaran Rp 50.000 (lima puluh ribu rupiah) ditukar dengan uang rupiah lembaran Rp 5.000 (lima ribu rupiah). Atau uang kertas ditukar dengan uang logam atau sebaliknya.

Adapun jika barang yang dijualbelikan tersebut berlainan jenis, maka diperbolehkan dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat akad, misalnya jual beli mata uang Rupiah dengan mata uang Dollar dengan kurs yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan diserahkan pada akad berlangsung. Sedangkan jual beli antara barang ribawi dengan barang yang bukan ribawi tidak disyaratkan untuk diserahkan pada saat akad.

Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Hurairah r.a.:31

$ی$- J

# ﺹ

829:0 4;: 2<K 4ﻥK" ,-. ,-. ! "

)*+ )*+ "

"

2<K 4ﻥK

MB N1 " K 0B 29:0 4;:

4

HO

! 7 E "

I

Dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata: Rasulullah saw. bersabda:”emas dengan emas, yang sama timbangannya, yang sama jenisnya, perak dengan perak yang sama timbangannya dan sama jenisnya. Barangsiapa yang melebihkannya atau meminta tambah, maka itu adalah riba.” Diriwayatkan oleh Muslim.

Dalam hadits tersebut terdapat dalil yang menunjukkan kepada penentuan kadar dengan penimbangan bukan dengan kira-kira dan penafsiran saja. Akan tetapi, harus penentuannya dengan penimbangan itu. Sabdanya, “barangsiapa yang menambah” yaitu memberikan tambahan atau kelebihan atau

31

Drs. Abubakar Muhamad, Terjemahan SubulussalamIII, (Surabaya: Al Ikhlas, 1995), h. 130-131

minta tambah, maka dia sudah berbuat riba yaitu mengerjakan perbuatan yang diharamkan dan sama-sama berdosa baik yang mengambil riba itu maupun yang memberinya.

Landasan hukum positif atas akad al-Sharf dalam praktik perbankan syariah ini dapat kita lihat dalam ketentuan pasal 37 ayat (1) huruf a PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yang intinya menyatakan bahwa bank syariah dapat pula melakukan kegiatan dalam valuta asing berdasarkan akad sharf.32

Akad sharf dipraktikkan oleh bank syariah dalam produk jasa berupa tukar menukar mata uang asing dengan mendasarkan pada akad kurs jual dan kurs beli suatu mata uang. Pihak bank akan mendapatkan imbalan berupa selisih antara kurs jual dan kurs beli yang ada, ditambah dengan biaya-biaya administrasi yang besarnya ditentukan sesuai dengan kebijakan bank yang bersangkutan.33

Dokumen terkait