• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. KONSEP TRANSAKSI VALAS DALAM TINJAUAN SYARIAH

C. Syarat-syarat Bai’ al-Sharf

Menurut Syaikh 'Isa bin Ibrahim ad-Duwaisy, syarat-syarat sahnya jual beli sharf adalah sebagai berikut:34

1. Adanya Taqabudh, yaitu kedua belah pihak harus melakukan transaksi secara langsung pada tempat akad sebelum berpisah. Yang dimaksud taqabudh ialah

32

Abdul Ghofur Anshori, Perbankan syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), h. 163

33Ibid

., h. 165 34

Syaikh 'Isa bin Ibrahim ad-duwaisy, Jual beli yang Dibolehkan dan yang Dilarang, Cet. Pertama, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2005), h. 28-30

kedua belah pihak harus bertransaksi (menerima barang) secara langsung sebelum keduanya berpisah. Hal ini untuk mencegah terjadinya riba nasi'ah, yaitu riba yang timbul karena adanya penangguhan penyerahan dan penerimaan barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Dalam perbankan konvensional, riba nasi'ah dapat ditemui dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan, dan giro.

2. Kadar atau ukurannya harus sama. Yang dimaksud dengan kadarnya harus sama adalah apabila satu jenis dijual dengan jenis yang sama, seperti emas dijual dengan emas atau perak dijual dengan perak, sehingga adanya tamatsul

(kesamaan kadar) disyaratkan dalam jual beli ini, karena jual beli ini tidak boleh dilakukan kecuali jika kadarnya sama dan timbangannya pun sama. Adapun mata uang-mata uang yang ada pada saat ini seperti Riyal, Dinar dan Junaih ataupun lainnya, maka ini bertingkat-tingkat sesuai dengan harga tukarnya. Misalnya Riyal ditukar dengan harga yang lebih sedikit atau lebih banyak dari mata uang lainnya dengan syarat pembeli menerima barang secara langsung di tempat transaksi (qabadh).

3. Tidak ada khiyar (menentukan pilihan lebih tinggi atau lebih rendah), yaitu tidak boleh memberi syarat khiyar antara dua orang yang bertransaksi dalam jual beli ini, karena sudah ada qabadh yang merupakan syarat mutlak sahnya jual beli ini.

Menurut ulama fikih, persyaratan yang harus dipenuhi dalam jual beli mata uang adalah sebagai berikut:35

1. Nilai tukar yang diperjualbelikan harus dikuasai langsung oleh masing-masing pihak. Nilai tukar yang diperjualbelikan harus telah dikuasai, baik oleh pembeli maupun penjual, sebelum keduanya berpisah badan. Penguasaan itu dapat berbentuk penguasaan secara material maupun secara hukum. Penguasaan secara material, misalnya pembeli langsung menerima dollar Amerika Serikat yang dibeli dan penjual langsung menerima uang rupiah. Sedangkan penguasaan secara hukum, misalnya pembayaran dengan menggunakan cek. Menurut para ahli fikih, syarat ini diperlukan untuk menghindari terjadinya riba An-nasi'ah (penambahan pada salah satu alat tukar). Apabila keduanya berpisah sebelum menguasai masing-masing uang penukaran berdasarkan nilai tukar yang diperjualbelikan, maka menurut mereka, akadnya batal karena syarat penguasaan terhadap obyek transaksi sharf itu tidak terpenuhi. Berpisah badan dalam hal ini harus benar-benar berpisah sebagaimana layaknya perpisahan antara seorang yang pergi dan yang tinggal. Apabila perpisahan itu dilakukan dengan pulang bersama, menurut ahli fikih, perpisahan belum dianggap sempurna, karena masih memungkinkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan oleh syara' (hukum Islam).

35

Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Cet.III, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007), h. 89-90

2. Kualitas dan kuantitas valuta yang diperjualbelikan harus sama bagi penukaran valuta yang sejenis. Apabila mata uang atau valuta yang diperjualbelikan itu dari jenis yang sama, maka jual beli mata uang itu harus dilakukan dalam mata uang sejenis yang kualitas dan kuantitasnya sama, sekalipun model dari mata uang itu berbeda. Misalnya, antara mata uang rupiah lembaran Rp 50.000 (lima puluh ribu rupiah) ditukar dengan uang rupiah lembaran Rp 5.000 (lima ribu rupiah). Atau uang kertas ditukar dengan uang logam atau sebaliknya.

3. Khiyar syarat dilarang diperjanjikan dalam akad sharf; syarat itu menjadi batal bila diperjanjikan. Khiyar ru'yah dan khiyar 'aib tidak dilarang diperjanjikan. Dalam Sharf, tidak boleh dipersyaratkan dalam akadnya adanya hak khiyar syarat (khiyar) bagi pembeli. Yang dimaksudkan dengan khiyar syarat itu adalah hak pilih bagi pembeli untuk dapat melanjutkan jual beli mata uang tersebut setelah selesai berlangsungnya jual beli yang terdahulu atau tidak melanjutkan jual beli itu, yang syarat itu diperjanjikan ketika berlangsungnya transaksi terdahulu tersebut. Alasan tidak diperbolehkannya

khiyar syarat itu adalah selain untuk menghindari riba, juga karena hak khiyar

membuat hukum akad jual beli menjadi belum tuntas. Sedangkan salah satu syarat jual beli sharf adalah penguasaan valuta yang dipertukarkan sesuai dengan nilai tukar keduanya oleh masing-masing pihak. Dalam hal pada akad

sharf diperjanjikan suatu khiyar syarat, maka syarat tersebut tidak sah. Berbeda halnya dengan khiyar ru'yah (hak pilih bagi pembeli untuk

membatalkan jual beli ketika pembeli telah melihat barang yang akan dibeli, sedangkan ketika akad berlangsung ia belum melihat barang tersebut sama sekali), dan khiyar 'aib (hak pilih bagi pembeli untuk membatalkan akad jual beli karena adanya cacat tersembunyi pada barang yang dibeli). Kedua bentuk

khiyar yang disebut terakhir ini tidak menimbulkan hal-hal yang dilarang

syara' (hukum Islam), karena tidak menghambat pemilikan dan penguasaan terhadap objek jual beli. Oleh sebab itu, apabila salah satu pihak menggunakannya, maka akad sharf itu tetap sah.

4. Penguasaan objek akad harus dilakukan secara tunai. Dalam akad sharf tidak boleh terdapat tenggang waktu antara penyerahan mata uang yang saling dipertukarkan, karena bagi sahnya sharf penguasaan objek akad harus dilakukan secara tunai (harus dilakukan seketika itu juga dan tidak boleh diutang) dan perbuatan saling menyerahkan itu harus telah berlangsung sebelum kedua belah pihak yang melakukan jual beli valuta itu berpisah badan. Akibat hukumnya, apabila salah satu pihak mensyaratkan tenggang waktu, maka akad sharf tersebut tidak sah, karena berarti terjadi penanggguhan pemilikan dan penguasaan objek akad sharf yang saling dipertukarkan itu.

Menurut Mustafa Ahmad Az-Zarqa (ahli fikih) dua syarat terakhir terkait erat dengan syarat pertama atau dalam hal terjadi tenggang waktu penyerahan.

Oleh sebab itu, ada beberapa akibat hukum yang ditimbulkan oleh syarat penguasaan objek akad secara tunai tersebut adalah sebagai berikut:36

Pertama, ibra (pengguguran hak) atau hibah. Apabila seseorang menjual dollarnya dengan rupiah, kemudian setelah pembeli menerima dollarnya, penjual menyatakan ibra atau menghibahkan haknya (rupiah dari pembeli), maka dalam hal ini terdapat dua kemungkinan, yaitu:

1.) Apabila pembeli menerima ibra atau hibah tersebut, maka gugurlah kewajibannya untuk menyerahkan rupiah sebagai alat untuk membeli dollar tersebut dan akad sharf pun menjadi batal. Karena salah satu objek sharf tidak bisa dikuasai, sehingga syarat akad sharf tidak terpenuhi.

2.) Apabila pembeli tidak mau menerima ibra atau hibah tersebut, maka ibra atau hibahnya tidak sah, sedangkan hukum sharf-nya tetap berlaku. Artinya, pihak pembeli wajib menyerahkan uang rupiahnya untuk membayar dollar tersebut. Namun, bila penjual enggan untuk menerima haknya tersebut, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa ia harus dipaksa menerimanya.

Kedua, apabila salah satu pihak memberikan sesuatu yang melebihi kewajibannya dalam pertukaran objek sharf, menurut ulama fikih hal itu tidak boleh, karena merupakan riba.

Ketiga, apabila terjadi pengalihan utang kepada orang lain (hiwalah), misalnya salah satu pihak menunjuk orang lain menerima dan menguasai objek

36

Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, h. 91-92

sharf secara langsung di majelis akad, menurut ulama fikih, hukumnya boleh karena penguasaan terhadap objek sharf tersebut memenuhi syarat secara sempurna. Demikian juga hukumnya, apabila dalam menerima dan menguasai objek sharf yang menjadi hak salah satu pihak, dilakukan melalui seorang kafil

(penanggung jawab utang).

Keempat, terjadi saling pengguguran hak atau utang (Al Muqasah). Misalnya, seseorang menjual uang US$106 kepada pembeli dengan Rp 220.000. tetapi penjual tidak menerima uang sebesar Rp 220.000 tersebut, karena ia berutang kepada pembeli sejumlah itu. Dalam kasus seperti ini, apabila keberadaan utang penjual itu terjadi sebelum akad sharf, maka menurut jumhur ulama, hukumnya boleh bila disetujui oleh kedua belah pihak. Akan tetapi, Zufar Bin Qais, ulama fikih mazhab Hanafi, menyatakan tidak sah, karena unsur penguasaan terhadap objek sharf tidak nyata dan tidak terpenuhi. Namun, apabila utang terjadi setelah akad sharf, misalnya penjual menarik kembali uangnya secara paksa dan mengklaimnya sebagai utang kepada pembeli, maka menurut ulama fikih mazhab Hanafi, seperti Imam Sarakhsi (ahli ushul fikih), akad sharf

menjadi tidak sah karena pengguguran hak atau utang hanya berlaku bagi hak atau utang yang telah ada. Berbeda dengan pendapat tersebut, kebanyakan ahli fikih membolehkan pengguguran hak atau utang dalam akad sharf, seperti tersebut di atas, dengan cara memperbarui akad sharf, karena pada dasarnya akad

dengan cara saling menggugurkan hak atau utang sesuai dengan kesepakatan yang telah diambil kedua belah pihak.

Dokumen terkait