• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEOR

B. Dasar hukum wakaf

Berbicara mengenai dalil atau dasar hukum tentang wakaf memang tidak ada nash al-Qur’an yang secara tersurat di temui di dalam al-Qur’an .Hal ini bisa diteliti dari tidak adanya satupun ayat di dalam al-Qur’an yang menyinggung kata “ wakaf “ Karena dalil yang menjadi dasar disyariatkannya ibadah wakaf bersumber dari pemahaman teks ayat al-Qur’an dan juga as-Sunnah.22

Sedangkan pendasaran ajaran wakaf dengan dalil yang menjadi dasar utama disyariatkannya ajaran ini adalah lebih dipahami berdasarkan konteks ayat al-Qur’an, sebagai sebuah amal kebajikan.23 Ada beberapa ayat di dalam al-Qur’an yang dipahami dan dijadikan hujjah mengenai penetapan dan pensyariatan dalam ibadah wakaf ini, ayat-ayat tersebut tidak khusus membahas mengenai masalah wakaf, melainkan dapat mencakup masalah wakaf, begitu menurut kebanyakan para ulama. Ayat-ayat yang dimaksud tersebut adalah sebagaimana berikut :

“Wahai orang-orang yang beriman ruku dan sujudlah kamu dan sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan agar kamu termasuk orang-orang yang beruntung”(QS: al-Hajj:77)

22

Departemen Agama RI, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, ( Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, 2006 ) hal. 59

23

21

Selanjutnya dalam surat Ali-Imran ayat 92 :

“kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.”(QS: Ali- Imran:92)

Kata (al-birr) pada mulanya adalah keluasan dalam kebajikan. Dan dari akar kata yang sama daratan dinamai dengan al-barr, karena luasnya. Dan karena luasnya, kebajikan mencakup segala bidang, termasuk keyakinan yang benar, niat yang tulus, kegiatan badaniah, dan tentu saja termasuk menginfakkan harta di jalan Allah SWT sebagaimana dikuatkan dengan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 177.24

Dalam ayat tersebut dijelaskan tentang contoh kebajikan sempurna antara lain berupa kesediaan memberikan/mengorbankan kepentingan pribadi demi orang lain. Dimana seseorang tidak akan sampai pada kebaikan amal dari Allah SWT dengan memperoleh rahmat, karunia dan ridhoNya sebelum memberikan harta yang terbaik dan yang paling ia cintai yaitu dengan jalan mewakafkan sebagian harta yang dimilikinya kepada mereka yang membutuhkan.25

24

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, ( Jakarta : Lentera Hati, 2002 ) hal. 152

25

Syekh Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, ( Bandung: CV Rosda Karya, 1987 ) juz 3, hal. 275

22

Selanjutnya Allah SWT juga berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 261 dan 267 sebagai berikut :

☺⌧

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah

Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui “ (QS: Al-Baqarah :261)

☺ ☺

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan

ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS: Al-Baqarah:

23

Selain ayat-ayat al-Qur’an, dalil mengenai pensyariatan ibadah wakaf juga terdapat dalam beberapa hadis nabi Muhammad SAW. Sebagaimana Wahbah Zuhaili mengatakan dalam kitabnya bahwa ada dua hadis yang dijadikan sebagai dasar pensyariatan wakaf, yaitu hadis umar yang terdahulu, “jika kau kehendaki tahanlah olehmu asalnya dan sedekahkan olehmu hasilnya dan sabda Nabi “jika meninggal anak adam maka terputuslah amalnya kecuali 3 hal, shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakan orang tuanya”. 26

Berikut redaksional dari hadis yang dimaksud :

ﷲا

ﻰﱠﺻ

ﷲا

لﻮ ر

ﱠنأ

،

ﷲا

ﻰﺿر

ةﺮ ﺮه

ﺑأ

لﺎ

ﱠ و

:

اذإ

ثﺎ ﺛ

ﱠﻻإ

ﻄ إ

مدﺁ

ﺑا

ت

:

ﺔ ﺪﺻ

ﻮ ﺪ

ﺢ ﺎﺻ

ﺪ ووأ

، ﺑ

وأ

،ﺔ رﺎﺟ

)

اور

(

27

“ Dari Abu hurairah ra,. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “ Apabila anak adam (manusia) meningal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan orang tuanya”. (HR. Muslim).

Dalam kitab Nailul Authar di jelaskan bahwa maksud dari shadaqah jariyah tersebut adalah apa yang dikenal saat ini dengan nama wakaf, dan ibnu hajar berkata dalam fathul bari bahwa hadis umar ini adalah asal mula disyariatkannya wakaf.28

26

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, ( Daar El-Fikr: 2007/1428 H ) juz 10, hal. 7603

27

Al-Hafidz ibnu Hajar al-‘Asqalani, Buluughul Maraam fii Adillatil Ahkam, ( Maktabah Daar Ihya al-Kutub )tt, hadis ke 951, hal. 191

28

Terjemah Nailul Authar, Himpunan Hadis-hadis Hukum, Penerjemah Mu’ammal Hamidi, Imran A.M, Umar Fanani, ( Surabaya: PT Bina Ilmu, 2001) Jilid ke 5, cet ke 3, hal. 2004

24

Sedangkan dalam kitab Bulughul Maram karangan Ibnu Hajar Al-‘Asqalany, dijelaskan bahwa shadaqah jariyah adalah rumah, kebun, tanah, atu apa saja yang dapat digunakan oleh manusia sebagai wakaf, inilah yang dinamakan shadaqah jariyah, shadaqah yang berjalan terus menerus oleh sebab ini adalah amalnya sendiri maka ia mendapat ganjarannya selama benda yang ia wakafkan itu masih ada.29

Selain hadis diatas ada hadis yang secara tegas menggambarkan dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi Muhammad SAW kepada Umar bin Khattab untuk mewakafkan tanahnya yang berada di khaibar. 30

لﺎ

ﷲا

ﺿر

ﺑا

:

ﱠ ا

ﺮ ﺨﺑ

ﺎًﺿرأ

بﺎﺻأ

ﱠنا

ﱠ و

ﷲا

ﱠﻰ ﺻ

لﺎ

ﺎﻬ

ﺮ ﺄ

:

ﺎًﺿرأ

ﺻا

إ

ﷲا

لﻮ ر

لﺎ

ﺮ ﺄ

ىﺪ

ﻔ أ

ﱞﻂ

ﻻﺎ

ﺻأ ﺮ ﺨﺑ

:

ﷲا

لﻮ ر

ﱠﺪ و

ﺎﻬ ﺻأ

ﺌﺷ

نإ

،

ﱠ و

ﷲا

ﱠﻰ ﺻ

ﺎﻬﺑ

قﱠﺪ

ﺎﻬﺑ

لﺎ

،

ثرﻮ

ﻻو

هﻮ

ﻻو

عﺎ

ﺎﻬﱠأ

:

ءاﺮ ﻔ ا

ﺎﻬﺑ

قﱠﺪ و

حﺎ ﺟ

ﱠ او

،

ﱠ ا

ﺑاو

ﷲا

و

بﺎ ﺮ او

ﻰﺑﺮ ا

يوذو

نأ

ﺎﻬ و

لﻮ

ﺮ ﻏ

ﻄ و

فوﺮ ﺎﺑ

ﺎﻬ

آﺄ

)

اور

(

31 Artinya :

“Dari Ibnu Umar r.a bahwasanya Umar Khattab mendapat bagian sebidang kebun di khaibar. Lalu ia datang kepada Nabi SAW untuk meminta nasehat tentang harta itu. Ia berkata: “ya Rasulullah, aku telah memperoleh sebidang tanah

29

Ibnu Hajar Al-‘Asqalany, Bulughul Maram, terj. oleh A. Hassan, ( Bandung: CV Diponegoro, 2006 ) cet ke 27, hal. 411

30

Departemen Agama RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, ( Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2006 ) hal. 19

31

25

di khaibar yang belum aku pernah aku peroleh tanah seperti itu, apakah nasehat engkau kepadaku tentang tanah itu? Rasulullah menjawab : “jika kamu menginginkan, tahanlah aslinya dan shadakahkan hasilnya. Maka bershadakahlah Umar, tanah tersebut tidak bisa dijual, dihibahkan dan diwariskan dan menshadakahkan kepada orang-orang fakir;, budak-budak, pejuang di jalan Allah, Ibnu Sabil, dan tamu-tamu. Tidak ada dosa bagi orang yang mengurusnya (Nazir) memakan sebagian harta itu secara patut atau memberi makan asal tidak bermaksud

mencari kekayaan”. (H.R Muslim)

Mengenai hukum wakaf ini, para sahabat sepakat bahwa hukum wakaf sangat dianjurkan dalam Islam dan tidak satu-pun diantara para sahabat yang menafikan wakaf. Sedangkan mengenai hukum wakaf menurut shahibul mazhab ( Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal ) tidak terdapat perbedaan yang signifikan.32

Menurut mereka kecuali ulama Hanafiyah, hukum wakaf adalah mandub (sunah) sedang menurut Ulama Hanafiyah hukum wakaf adalah mubah (boleh). Sebab wakaf dari non muslim pun hukumnya sah.

Semua Imam mazhab sependapat, bahwa perbuatan mewakafkan benda, yaitu menyedekahkan manfaat dari harta yang diwakafkan itu merupakan amal saleh yang institusinya terdapat dalam syariat islam. Mereka sependapat bahwa perbuatan itu mempunyai efek keagamaan, yaitu pahala yang terus menerus selama benda yang diwakafkan itu masih diambil manfaatnya (sebagai amal jariah). 33

42

Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan Dan Pengembangan Wakaf, ( Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006 ) hal.35

33

Ismail Muhammad Syah dkk, Filsafat Hukum Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara dan Direktorat Jenderal pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Depag, 1992 ) hal. 241

26

1. Dasar Hukum Wakaf Menurut Hukum Positif

Mengenai masalah wakaf, ada beberapa peraturan dan Undang-undang yang melandasi atau menjadi pijakan legal atas praktek wakaf yang terjadi di Indonesia. a. Undang-undang no 41 tahun 2004 tentang wakaf

Dalam undang-undang ini dapat dijelaskan dalam beberapa substansi di bawah ini :

1. wakaf adalah perbuatan hokum wakif untuk memisahkan dan / atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syariah.

2. Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan ketentuan ini merupakan paying hukum bagi perbuatan wakaf, sehingga harta benda wakaf tidak boleh dicabut kembali atau dikurangi volumenya oleh wakif dengan alas an apapun. 3. Adapun tujuan dari perbuatan wakaf itu sendiri berfungsi untuk menggali

potensi ekonomi harta benda wakaf dan dimanfaatkan untuk kepentingan ibadah serta untuk memajukan kesejahteraan umum.

b. Undang-undang pokok agraria (UUPA)

Dalam undang-undang pokok agrarian (UUPA) masalah perwakafan dapat diketahui pada pasal 5 dan pasal 14 ayat 91 dan pasal 49. dimana dalam pasal UUPA dinyatakan bahwa hokum adatlah yang menjadi dasar hokum agraria Indonesia, yaitu

27

hokum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan republic Indonesia yang disana-sini mengandung unsure agama yang telah diresipir dalam lembaga hukum adat, khususnya lembaga wakaf.

Dalam rumusan pasal 14 UUPA terkandung perintah kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk membuat skala prioritas penyedian, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa dalam bentuk peraturan yang dibentuk oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah termasuk pengaturan tentang penggunaan tanah untuk keperluan peribadatan dan kepentingan suci lainnya

Sedangkan dalam pasal 49 UUPA meyatakan bahwa hak milik tanah-tanah badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan social, diakuai dan dilindungi. Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah dan pasal ini memberikan ketegasan bahwa soal- soal yang bersangkutan dengan peribadatan dan keperluan suci lainnyadalam hokum aagraria akan mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya.

c. Peraturan pemerintah no 28 tahun 1977

Maksud dikeluarkannya PP No 28 tahun 1977 adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum mengenai tanah wakaf serta pemanfaatannya sesuai dengan tujuan wakaf itu sendiri. Sehingga berbagai penyimpangan dan sengketa wakaf dengan demikian dapat dikurangi.

Dokumen terkait