KEDUDUKAN TANAH WAKAF YANG DIDAFTARKAN
SEBELUM DIBERLAKUKAN UU NO.41 TAHUN 2004
TENTANG WAKAF
( Studi Pada Ponpes Daar el-Hikam Pondok Ranji Ciputat )
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh AHMAD PATONI NIM: 104044101387
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul KEDUDUKAN TANAH WAKAF YANG DIDAFTARKAN SEBELUM DIBERLAKUKAN UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF (Studi pada Ponpes Daar el-Hikam Pondok Ranji Ciputat) telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 31 Agustus 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Progranm Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah.
Jakarta, 31 Agustus 2010-09-21
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MH, MM NIP. 19550505 198203 1 012
PANITIA UJIAN MUNAQOSYAH
Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA (...) NIP.19500306 197603 1 001
Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH (...) NIP.19720224 199803 1 003
Pembimbing : Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA (...)
NIP.150050917
Penguji I : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA (...) NIP.19500306 197603 1 001
KEDUDUKAN TANAH WAKAF YANG DIDAFTARKAN
SEBELUM DIBERLAKUKAN UU NO.41 TAHUN 2004
TENTANG WAKAF
(Studi Pada Ponpes Daar el-Hikam Pondok Ranji Ciputat)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)
Oleh Ahmad Patoni NIM:104044101387
Di Bawah Bimbingan
Prof.Dr.H.Hasanudin AF, MA NIP: 1 5 0 0 5 0 9 1 7
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
Oleh :
RAHMAT HIDAYAT NIM : 203046101755
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A
Nomor : Istimewa Jakarta, 06 januari
Lampiran :
Perihal : Pengajuan Judul Skripsi
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI………... i
KATA PENGANTAR……… ii
DAFTAR ISI………... v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……… .. 7
D. Metode Penelitian dan tehnik penulisan……….. .. 8
E. Sistematika Penulisan………... . 11
BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Wakaf………. .. 12
B. Dasar hukum wakaf……….... 20
C. Rukun dan Syarat wakaf………. ... 27
D. Tujuan dan Hikmah Wakaf………. ... 33
BAB III GAMBARAN UMUM PONPES DAAR EL-HIKAM A. Sejarah Berdirinya……….. 34
B. Tujuan, Visi, dan Misi……….... 38
C. Struktur Yayasan……….... 40
BAB IV KEDUDUKAN TANAH WAKAF YANG DIDAFTARKAN SEBELUM TAHUN 2004
A. Kondisi dan Situasi Perwakafan Tanah di Indonesia …... . 43 B. Tanah Wakaf Tanpa Sertifikat Menurut Hukum Islam dan UU No. 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf ……….. . 50 C. Kedudukan Tanah Wakaf Yang didaftarkan Sebelum Tahun
2004……….... 61 D. Analisa Penulis………... 67 BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………. 75
B. Saran-Saran……… .... . 77
PENGHIMPUNAN DAN PEMBERDAYAAN WAKAF UANG
TUNAI MODEL DOMPET DHUAFA REPUBLIKA SEBELUM
DAN SESUDAH BERLAKU UU NO.41 TAHUN 2004 TENTANG
WAKAF
SkripsiDiajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
SYAIFUL AMRI NIM: 106044101442
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
PENGHIMPUNAN DAN PEMBERDAYAAN WAKAF UANG
TUNAI MODEL DOMPET DHUAFA REPUBLIKA SEBELUM
DAN SESUDAH BERLAKU UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG
WAKAF
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi PersyaratanMemperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Syaiful Amri NIM : 106044101442 Di Bawah Bimbingan:
Pembimbing
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 19550505 198203 1 012
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
BAB I
LATAR BELAKANG MASALAH
A. Pendahuluan
Allah SWT menurunkan Agama Islam ke Dunia ini melalui rasulnya yang mulia yaitu Muhammad SAW, sebagai Agama yang rahmatan lil alamin, dalam artian islam berlaku bagi seluruh alam tak terkecuali manusia itu sendiri yang notabene telah Allah jadikan sebagai khalifah fil ardh.
Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin, sudah barang tentu menyentuh seluruh dimensi-dimensi kehidupan manusia yang sangat kompleks. Islam juga mengatur aspek-aspek kehidupan manusia yang kadang manusia itu sendiri tidak memahaminya bahwa aspek tesebut sangat penting bagi manusia itu sendiri. Dari urusan-urusan yang bernilai kecil sampai yang bernilai besar, dari urusan bangun tidur hingga ingin tidur kembali, semuanya diatur oleh islam. Pokoknya tiada satu hal pun yang terabaikan dalam kehidupan manusia di dunia ini yang tidak diatur oleh Islam. Makanya tidak bertentangan dengan fakta dan logika, jika Islam adalah agama yang sempurna, kaffah, dan agama paripurna bagi agama sebelumnya.
Sebagai agama yang mengatur urusan dunia dan akhirat sudah pastinya semua perbuatan itu tak terlepas dari perbuatan yang bernilai ibadah, baik itu ibadah yang bersifat mahdhoh ataupun yang bersifat ghoiru mahdhoh. Atau dengan kata lain ibadah yang bersifat vertikal, antara si hamba dengan penciptanya, yang dalam
2
terminologi islam biasa disebut dengan hablum minallah, Maupun ibadah yang bersifat horizontal yaitu antara si hamba dengan sesama mahluk ciptaan sang Khalik.
Berbicara mengenai ibadah, maka sudah pastinya ibadah tersebut mempunyai tujuan pokok dan tujuan tambahan. Tujuan pokok ibadah adalah menghadapkan diri kepada Allah yang Maha Esa dan mengkonsentrasikan niat kepadanya dalam setiap keadaan. Dengan demikian seseorang akan mencapai derajat tertinggi di akhirat. Sedangkan tujuan tambahan ibadah adalah agar terciptanya kemaslahatan diri manusia dan terwujudnya usaha yang baik.1
Seperti dijelaskan diatas dalam agama Islam ada ibadah yang berimplikasi personal dan ada juga ibadah yang berimplikasi sosial, ibadah yang tergolong berimplikasi personal seperti, shalat, dzikir, puasa dan sebagainya. Sedangkan ibadah yang berimplikasi sosial diantaranya adalah wakaf, dan ibadah yang terakhir ini implikasinya adalah jika kita melakukannya, selain untuk kemaslahatan personal orang yang melakukannya juga berimplikasi bagi kemaslahatan masyarakat yang menerima dan membutuhkannya dan pesan sosialnya jelas terasa.
Salah satu ibadah yang sangat dianjurkan oleh Islam adalah wakaf. Wakaf merupakan salah satu bagian yang sangat penting dari hukum islam, ia mempunyai jalinan hubungan antara kehidupan spiritual dengan bidang sosial ekonomi masyarakat muslim. Wakaf selain berdimensi ilahiyah ubudiyah, Ia juga berfungsi sosial kemasyarakatan, ibadah wakaf merupakan manifestasi dari rasa keimanan
1
3
seseorang yang mantap dan rasa sosialitas yang tinggi terhadap sesama umat manusia. Wakaf sebagai perekat hubungan “ hablum minallah wa hablum minannas”, hubungan vertikal kepada Allah SWT dan hubungan horizontal kepada sesama manusia.2
Berbicara mengenai wakaf, banyak sekali term atau definisi tentang wakaf yang diungkapkan oleh para ulama, Undang-undang, baik yang terdapat dalam kitab klasik, kontemporer, maupun buku[buku. Dalam kitab hasyiyah baijuri, wakaf arti wakaf secara bahasa adalah al-habs (menahan), Sedangkan secara istilah adalah menahan harta yang tertentu, yang menerima pemindahan dimana memungkinkan pengambilan manfaat dari harta tersebut.yang mana harta itu tetap utuh dan tidak berkurang sedikitpun dan adanya kepastian mendayagunakan harta itu pada jalan kebaikan karena semata-mata beribadah kepada Allah SWT.3
Sedang dalam kitab fathul mu’in definisi wakaf diartikan secara lughoh atau bahasa adalah menahan, sedang secara istilah adalah menahan harta yang memungkinkan pengambilan manfaat dan hartanya tetap utuh dengan kepastian mendayagunakan atas pendayagunaan yang dibolehkan.4
2
Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Ciputat : Ciputat Press.2005) hal 3
3
Syaikh Ibrahim al-Baijuri. Hasyiyah al-Baijuri ‘ala ibni Qasim al- Guzza, (Semarang Toha Putra) hal.42
4
4
Dalam perkembangan selanjutnya praktek wakaf yang dilakukan di Indonesia masih sangat bersifat tradisionalis, ini bisa dilihat dari masih banyaknya masyarakat muslim indonesia yang dalam berwakaf masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan keagamaan, seperti kebiasaan melakukan perbuatan hukum yang dalam hal ini wakaf, masih menggunakan tradisi lisan, yang mana atas dasar saling kepercayaan semata kepada seseorang atau lembaga tertentu. Kebiasaan memandang wakaf sebagai amal saleh yang mempunyai nilai mulia dihadirat Tuhan tanpa harus melalui prosedur administratif. Dan harta wakaf dianggap milik Allah semata yang siapa saja tidak akan berani mengganggu gugat, apalagi mengambilnya tanpa seijin Allah SWT. Tradisi wakaf tersebut memunculkan berbagai fenomena yang mengakibatkan perwakafan di indonesia tidak mengalami perkembangan yang signifikan dan menggembirakan untuk kepentingan masyarakat banyak, bahkan banyak benda wakaf yang hilang atau bersengketa dengan pihak ketiga akibat tidak adanya bukti tertulis seperti ikrar wakaf, sertifikat tanah dan lain-lain. 5
Dalam masalah perwakafan banyak sekali ditemui kasus-kasus sengketa tanah wakaf, baik itu sengketa intern maupun ekstern. Misalnya dalam sengketa intern adalah karena adanya suatu kepentingan ahli waris si wakif menarik kembali tanah yang telah di wakafkan. Sehingga menimbulkan sengketa antara ahli waris dengan pihak pengelola yaitu nazhir. Kalau kita fahami mengapa kasus-kasus seperti diatas banyak terjadi, benang merahnya adalah karena ketiadaan sertifikat wakaf, sehingga
5
5
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab melihat ini sebagai sebuah peluang untuk merebut tanah wakaf yang belum atau tidak mempunyai sertifikat wakaf.
Berbicara mengenai sertifikat wakaf sudah tentunya takkan terlepas dari peraturan perundang undangan yang mengaturnya, di indonesia ada beberapa peraturan yang mengatur tentang masalah wakaf, baik berbentuk PP, Inpres dan UU bermula dari PP no.7 tahun 1977, Inpres no.21 tahun 1991 dan yang terbaru UU no.41 tahun 2004 tentang wakaf. Dengan adanya Undang-undang yang baru tersebut semakin memudahkan masyarakat yang ingin berwakaf. Tersebab adanya jaminan kepastian hukum karena ada UU yang memayunginya. Yang jadi permasalahan sekarang adalah bagaimanakah kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum berlakunya UU no.41 tahun 2004 tentang wakaf ? mungkin untuk tanah wakaf yang didaftarkan sesudah berlakunya UU ini tak jadi masalah, apakah masih terikat dengan peraturan lama, atau mengikut pada UU yang baru? apakah UU yang baru dalam hal ini UU no.41 tahun 2004 tentang wakaf mengakomodasi permasalahan ini?
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah merupakan usaha untuk menetapkan batasan-batasan dari masalah penelitian yang akan diteliti, batasan masalah ini berguna untuk identifikasi faktor mana saja yang tidak termasuk dalam ruang lingkup masalah penelitian.
Selanjutnya dalam penelitian ini, mengingat objek yang akan diteliti cakupannya sangat luas, maka penulis memberi batasan hanya pada kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum berlakunya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. 2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah ialah usaha untuk menyatakan secara tersirat pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab dan dicarikan jalan pemecahan masalahnya. Perumusan masalah merupakan identifikasi dari masalah dan pembatasan masalah, dengan kata lain perumusan masalah merupakan pertanyaan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti yang didasarkan atas identifikasi masalah dan pembatasan masalah.
7
melakukan ketentuan sebagaimana yang diharuskan dalam pasal 69 UU ini. Inilah yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini.
Selanjutnya untuk mempermudah dalam penyusunannya maka perlu dirumuskan permasalahan dalam skripsi ini yang mana tertuang dalam pernyataan sebagai berikut
1. Bagaimana konsep wakaf dalam Islam ?
2. Bagaimana konsep hukum positip mengenai tanah wakaf ?
3. Bagaimana kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum diberlakukan UU No.41 Tahun 2004 tentang wakaf ?
4. Bagaimana sertifikasi tanah wakaf ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk menjelaskan konsep wakaf dalam Islam
2. Untuk menjelaskan konsep wakaf menurut hukum Positip
3. Untuk menjelaskan kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum berlakunya UU tentang wakaf
4. untuk mengetahui sertifikasi tanah wakaf
Sedangkan manfaat yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
8
2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah khazanah ilmu pengetahuan, terutama dalam masalah perwakafan di Indonesia.
3. Secara praktis diharapkan dengan penelitian ini masyarakat mendapatkan wawasan dan pengertian tentang konsep tanah wakaf dan tanah wakaf yang kembali disengketakan serta prosedur sertifikasi tanah wakaf.
4. Melengkapi khazanah keilmuan tentang Wakaf. D. Metode penelitian dan Tehnik Penulisan
1. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis metode deskriptif, sebuah metode untuk mengungkapkan masalah dengan cara memaparkan atau menggambarkan situasi atau peristiwa dari penelitian. 2. Subjek dan Objek Penelitian
Adapun yang dijadikan objek dalam penelitian ini adalah kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum berlakunya UU No.41 tahun 2004 tentang wakaf sedangkan objek dalam penelitian ini adalah Pondok Pesantren Daar el- Hikam Pondok Ranji Ciputat
3. Sumber Data
9
a. Primer
Adalah data lapangan yang didapat dari sumber utama, misalnya hasil wawancara, dan pengamatan. Dalam data primer ini penulis melakukan sendiri pengamatan di lapangan.
b. Data Sekunder
Adalah data yang berupa dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian ini. Seperti Al-quran, Hadits, kitab-kitab klasik atau kontemporer, Undang-undang, PP, Inpres, Buku-buku, dan bahan-bahan informasi lainnya yang memiliki relevensi atau kaitan dengan penulisan skripsi ini.
4. Tehnik Pengumpulan Data
Dalam tehnik pengumpulan data dengan cara field research ini penulis menggunakan 3 instrumen pengumpulan data.
a. Observasi
Observasi adalah pengamatan langsung yaitu tehnik pengumpulan data di mana peneliti mengadakan pengamatan langsung terhadap gejala-gejala subjek yang diteliti.
b. Wawancara
10
c. Dokumentasi
Agar data-data yang telah penulis peroleh menjadi lengkap, penulis melakukan penelitian dokumentasi dengan jalan meneliti berbagai macam literatur yang terkait baik itu berupa Dokumen-dokumen tentang wakaf, buku, UU dan lain sebagainya.
5. Tehnik Analisa Data
11
E. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh, skripsi ini ditulis dengan menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Merupakan bab pendahuluan yang diawali dengan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Membahas tentang landasan teori mengenai wakaf yang meliputi : dasar hukum wakaf, rukun dan syarat wakaf, tujuan dan hikmah wakaf.
BAB III PROFIL PONPES DAAR EL HIKAM
Membahas tentang gambaran umum Ponpes Daar el-Hikam, yang menyangkut : Sejarah berdirinya, tujuan, visi, dan misi, struktur ponpes, dan program kegiatan.
BAB IV KEDUDUKAN TANAH WAKAF YANG DIDAFTARKAN SEBELUM TAHUN 2004
Membahas mengenai: kondisi dan situasi perwakafan tanah Indonesia, tanah wakaf yang tanpa sertifikat menurut hukum Islam dan UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf, kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan tahun 2004, dan analisa.
BAB V PENUTUP
BAB II
A. Pengertian Wakaf
Berbicara mengenai wakaf banyak sekali term atau definisi yang membahas,
mengungkap, mengupas mengenai wakaf baik secara terminologis (bahasa) ataupun
secara etimologis (istilah). Baik itu yang terdapat dalam kitab-kitab klasik,
kontemporer, buku-buku terjemahan dan lain sebagainya. Berikut ini akan dijelaskan
pengertian wakaf menurut Fikih dan Undang-undang yang berlaku.
1. Pengertian Wakaf Menurut Fikih
a. Wakaf Secara Bahasa
Kata wakaf sendiri berasal dari kata kerja waqafa-yaqifu-waqfan yang berarti
berhenti, berdiri, mencegah, atau menahan.1 Sedangkan wakaf dalam bahasa arab berarti ”al-habsu” yan berasal dari kata kerja habasa-yahbisu-habsan yang berarti
menahan atau memenjarakan. Kemudian berkembang menjadi “habbasa” yang
berarti mewakafkan harta karena Allah.2
Hal yang serupa dikemukakan oleh Sayyid Sabiq yang mana mengartikan
wakaf dengan al-habsu yang berarti menahan.3 Pengertian yang sama juga bisa kita dapatkan dalam kitab klasik atau yang lebih dikenal dengan kitab kuning di mana di
1
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, ( Surabaya : Pustaka Progressif, 1997 ) cet. Ke 25, hal. 1576
2
Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002 ) hal. 25
3
Sayyid Sabiq, Fiqhu Al-Sunnah, ( Daar al-Kitab al-Arabi, tanpa tahun ) juz 2, hal. 515
13
katakana wakaf artinya al-habsu yang berarti menahan, sebagaimana yang dikatakan
dalam hasyiyah Al-Baijuri wakaf diartikan dengan al-habsu yang berarti menahan.4 Hal senada juga diungkapkan oleh Wahbah Zuhaili dimana kata waqaf dan tahbis
adalah mempunyai makna yang satu yaitu menahan 5
Kalau kita perhatikan dari uraian diatas kata waqafa identik dengan kata
habasa, hal ini dikarenakan para ahli fikih dalam mengartikan wakaf secara
terminologi mereka menggunakan dua kata yaitu habas dan waqaf.6 Dalam kamus al-wasith dikatakan bahwa al-habsu artinya al-man’u ( mencegah atau melarang ) dan
al- imsak ( menahan ), hal yang senada juga diungkapkan oleh Az-Zubaidi dalam
kamus Taj Al-Arus sebagaimana dikutip oleh DR. Mundzir Qahaf dimana kata Al-
habsu artinya al- man’u dan al-imsak yang berarti menahan. 7
Kesimpulannya baik kata al-habsu maupun al-waqfu sama sama mengandung
makna al-imsak ( menahan ), al-man’u ( mencegah atau melarang ) dan at-tamakkust
( diam ). Disebut menahan karena wakaf ditahan dari kerusakan, penjualan dan semua
tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf. Sedangkan dikatakan menahan
4
Syaikh Ibrahim Al- Baajuri, Hasyiyah Al-Baijuri, (Semarang : Toha Putra, tanpa tahun) hal. 42
5
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, ( Daar El-Fikr, 2007/1428 H ) juz 10, hal. 7599
6
Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Penerjemah Muhyiddin Mas Rida, ( Jakarta : Khalifa, 2004 ) hal. 44
7
14
karena manfaat dan hasilnya ditahan dan dilarang bagi siapapun selain dari
orang-orang yang berhak atas wakaf tersebut.8 b. Wakaf Secara Istilah
Para ulama berbeda pendapat tentang arti wakaf secara istilah (hukum).
Mereka mendefinisikan wakaf dengan definisi yang beragam, sesuai dengan
perbedaan mazhab yang mereka anut. Ketika mendefinisikan wakaf para ulama
merujuk kepada para imam mazhab. Seperti Abu Hanifah, Syafi’i, Malik, Ahmad,
dan para imam-imam lainnya.9
Definisi wakaf yang dibuat oleh para ahli fikih pada umumnya memasukkan
syarat-syarat wakaf sesuai dengan madzhab yang dianutnya. Al-Minawi misalnya
mendefinisikan wakaf dengan “menahan harta benda yang dimiliki dan menyalurkan
manfaatnya dengan tetap menjaga pokok barang dan keabadiaannya yang berasal
dari para dermawan atau pihak umum selain dari harta maksiat, semata-mata
karena ingin mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala”. 10
Sementara itu Al-Kabisi mendefiniskan wakaf dengan “menahan benda
dalam kepemilikan wakif dan menyedekahkan manfaatnya kepada orang-orang
miskin dengan tetap menjaga keutuhan bendanya“.
8
Ibid. hal. 45
9
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, HUKUM WAKAF Kajian Kontemporer Pertama Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengeolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf, Penerjemah Ahrul Sani Faturrahman dan rekan-rekan, ( Jakarta : Dompet Dhuafa Republika dan IIMan Press ) cet ke 1, hal. 53
10
15
Dari dua definisi diatas Al-Minawi yang bermazhab Syafi’i dalam definisinya
mempertegas makna “keabadian” sebagimana dalam mazhab Syafi’i. sedangkan
Al-Kabisi yang bermazhab Hanafi mempertegas makna “masih berlanjutnya kepemilikan
wakif ”, sebagaimana pendapat yang dimunculkan oleh Imam Abu Hanifah.11
Sementara menurut pendapat mazhab Maliki menyebutkan wakaf adalah
“memberikan manfaat sesuatu ketika sesuatu itu ada dan bersifat lazim dalam
kepemilikan pemberinya meskipun hanya bersifat simbolis”.12
Menurut Muhammad ibn Ismail as-san’aniy wakaf adalah menahan harta yang
mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusak bendanya (‘ainnya)
dan digunakan untuk kebaikan.13
Beberapa istilah wakaf menurut istilah yang diuraikan oleh para imam
mazhab.
1. Menurut Mazhab Syafi’i
Para ulama mazhab syafi’i mendefinisikan wakaf dengan beragam definisi,
sebagai berikut :
a. Imam Nawawi dari kalangan mazhab syafi’I, mendefinisikan wakaf dengan :
menahan harta yang dapat diambil manfaatnya bukan untuk dirinya,
sementara benda itu tetap ada dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan
mendekatkan diri kepada Allah.
11
Ibid. hal. 47
12
. Ibid. hal. 48
13
16
b. Al-Syarbini Al-Khatib dan Ramli Al-Kabir mendefinikan wakaf dengan :
Menahan harta yang bisa diambil manfaatnya dengan menjaga keamanan
benda tersebut dan memutuskan kepemilikan barang tersebut dari pemiliknya
untuk hal-hal yang dibolehkan.
c. Ibn Hajar Al-Haitami dan Syaikh Umairah mendefinisikannya dengan :
menahan harta yang bisa dimanfaatkan dengan menjaga keutuhan harta
tersebut, dengan memutuskan kepemilikan barang tersebut dari pemiliknya
untuk hal yang di bolehkan.
d. Syaikh Syihabuddin Al-Qalyubi mendefinisikannya dengan : Menahan harta
untuk dimanfaatkan dalam hal yang dibolehkan, dengan menjaga keutuhan
harta tersebut.14 2. Menurut mazhab Hanafi
a. Imam Al-Syarkhasi mendefinisikan wakaf dengan : Menahan harta dari
jangkauan ( kepemilikan )orang lain.
b. Al-Murghinani memberikan definisi wakaf menurut imam Abu Hanifah
Sebagai berikut : Menahan harta dibawah tangan pemiliknya, disertai
pemberian manfaat sebagai sedekah.
14
17
c. Sedang alauddin Al-Ashfaqy, pengarang kitab Al-Dur Al-Mukhtar wakaf
adalah : penahanan harta dengan memberikan legalitas hukum milik pada si wakif
dan mendermakan manfaat harta tersebut meskipun tidak terperinci.
3. Menurut Mazhab Maliki
Menurut mazhab Maliki wakaf adalah penahanan benda wakaf dari
penggunaan secara kepemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk
tujuan kebaikan. Dengan kata lain wakaf tidak melepaskan harta yang diwakafkan
dari kepemilikan si wakif namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan
yang dapat melepaskan kepemilikannya terhadap harta tersebut. misalnya menjual
harta wakaf tersebut.15
4. Menurut Hanabilah, Syiah, dan Ja’fariyah
Ulama Hanabilah, Syiah, dan Ja’fariyah mendefinisikan wakaf sebagai
berikut:
a. Menurut ibnu Qudamah dari kalangan Hanabilah, wakaf adalah menahan
yang asal dan memberikan hasilnya.16
b. Syamsudin Al-Maqdisy dari kalangan Hanabilah juga mendefinisikan wakaf
dengan menahan yang asal dan memberikan manfaatnya.17
15
Depag, Fiqih Wakaf, ( Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, 2006 )cet ke.4, hal. 2
16
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al- Muqni, ( Daar ‘Aalim Al-Kutub ) Juz ke 6, hal. 361
17
18
c. Al-Muhaqiq Al-Huly dari kalangan Ja’fariyah mendefinisikan wakaf dengan
akad yang hasilnya adalah menahan yang asal dan memberikan manfaatnya.18 2. Pengertian wakaf menurut hukum Positif Indonesia
Ada beberapa pengertian tentang wakaf yang dirumuskan oleh hukum positif
yang mengatur masalah perwakafan di Indonesia, baik itu berupa UU, PP, maupun
Kompilasi hukum islam atau KHI.
a. Menurut PP No. 28 tahun 1977 pasal 1 (1)
Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan
melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan peribadatan atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.19 b. Menurut Kompilasi Hukum Islam ( KHI )
Perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk
selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran Islam.20
18
Ibid, hal. 59
19
Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002 ) hal. 26
20
19
c. Menurut UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan / atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna
kepentingan ibadah dan / atau kesejahteraan umum menurut syariah.21 Kalau kita cermati dari pengertian-pengertian mengenai wakaf yang
diuraikan oleh hukum positif Indonesia yang mengatur masalah wakaf khususnya,
sepertinya redaksional dari pengertian wakaf itu tidak jauh berbeda, baik itu yang ada
di PP, Inpres, KHI, maupun UU no.41 tahun 2004 itu sendiri, baik itu dari segi makna
dan tujuan dari wakaf itu sendiri.
Hal ini terjadi dikarenakan sumber pengambilan rujukan mengenai wakaf
memang berasal dari kitab-kitab klasik ulama-ulama mazhab, dan memang semua
peraturan mengenai perwakafan yang ada di Indonesia sumber pengambilan
rujukannya bersumber dari hukum Islam yang terpetakan dalam berbagai mazhab
fikih.
Dapat disimpulkan dari definisi di atas pada dasarnya mengandung makna
yang sama yaitu eksistensi benda wakaf itu haruslah bersifat tetap, artinya biarpun
faedah atau manfaat benda itu diambil, zat benda itu masih tetap ada selamanya,
sedangkan hak kepemilikannya berakhir, tidak boleh di jual, di wariskan, di hibahkan.
21
20
B. Dasar Hukum Wakaf
Berbicara mengenai dalil atau dasar hukum tentang wakaf memang tidak ada
nash al-Qur’an yang secara tersurat di temui di dalam al-Qur’an .Hal ini bisa diteliti
dari tidak adanya satupun ayat di dalam al-Qur’an yang menyinggung kata “ wakaf “
Karena dalil yang menjadi dasar disyariatkannya ibadah wakaf bersumber dari
pemahaman teks ayat al-Qur’an dan juga as-Sunnah.22
Sedangkan pendasaran ajaran wakaf dengan dalil yang menjadi dasar utama
disyariatkannya ajaran ini adalah lebih dipahami berdasarkan konteks ayat al-Qur’an,
sebagai sebuah amal kebajikan.23 Ada beberapa ayat di dalam al-Qur’an yang dipahami dan dijadikan hujjah mengenai penetapan dan pensyariatan dalam ibadah
wakaf ini, ayat-ayat tersebut tidak khusus membahas mengenai masalah wakaf,
melainkan dapat mencakup masalah wakaf, begitu menurut kebanyakan para ulama.
Ayat-ayat yang dimaksud tersebut adalah sebagaimana berikut :
“Wahai orang-orang yang beriman ruku dan sujudlah kamu dan sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan agar kamu termasuk orang-orang yang beruntung”(QS: al-Hajj:77)
22
Departemen Agama RI, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, ( Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, 2006 ) hal. 59
23
21
Selanjutnya dalam surat Ali-Imran ayat 92 :
☺
⌧
“kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.”(QS: Ali-Imran:92)
Kata (al-birr) pada mulanya adalah keluasan dalam kebajikan. Dan dari akar
kata yang sama daratan dinamai dengan al-barr, karena luasnya. Dan karena luasnya,
kebajikan mencakup segala bidang, termasuk keyakinan yang benar, niat yang tulus,
kegiatan badaniah, dan tentu saja termasuk menginfakkan harta di jalan Allah SWT
sebagaimana dikuatkan dengan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 177.24 Dalam ayat tersebut dijelaskan tentang contoh kebajikan sempurna antara lain
berupa kesediaan memberikan/mengorbankan kepentingan pribadi demi orang lain.
Dimana seseorang tidak akan sampai pada kebaikan amal dari Allah SWT dengan
memperoleh rahmat, karunia dan ridhoNya sebelum memberikan harta yang terbaik
dan yang paling ia cintai yaitu dengan jalan mewakafkan sebagian harta yang
dimilikinya kepada mereka yang membutuhkan.25
24
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, ( Jakarta : Lentera Hati, 2002 ) hal. 152
25
22
Selanjutnya Allah SWT juga berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 261 dan
267 sebagai berikut :
☺⌧
☺
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah
Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui “ (QS: Al-Baqarah :261)
☺
☺ ☺
☺
☺
⌧
☺
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan
ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS: Al-Baqarah:
23
Selain ayat-ayat al-Qur’an, dalil mengenai pensyariatan ibadah wakaf juga
terdapat dalam beberapa hadis nabi Muhammad SAW. Sebagaimana Wahbah Zuhaili
mengatakan dalam kitabnya bahwa ada dua hadis yang dijadikan sebagai dasar
pensyariatan wakaf, yaitu hadis umar yang terdahulu, “jika kau kehendaki tahanlah
olehmu asalnya dan sedekahkan olehmu hasilnya dan sabda Nabi “jika meninggal
anak adam maka terputuslah amalnya kecuali 3 hal, shodaqoh jariyah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakan orang tuanya”. 26 Berikut redaksional dari hadis yang dimaksud :
ﷲا
ﻰﱠﺻ
ﷲا
لﻮ ر
ﱠنأ
،
ﻰ
ﷲا
ﻰﺿر
ةﺮ ﺮه
ﺑأ
لﺎ
ﱠ و
:
اذإ
ثﺎ ﺛ
ﱠﻻإ
ﻄ إ
مدﺁ
ﺑا
ت
ﺎ
:
ﺔ ﺪﺻ
ﻮ ﺪ
ﺢ ﺎﺻ
ﺪ ووأ
، ﺑ
ﻔ
وأ
،ﺔ رﺎﺟ
)
اور
(
27“ Dari Abu hurairah ra,. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “ Apabila anak adam (manusia) meningal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan orang tuanya”. (HR. Muslim).
Dalam kitab Nailul Authar di jelaskan bahwa maksud dari shadaqah jariyah
tersebut adalah apa yang dikenal saat ini dengan nama wakaf, dan ibnu hajar berkata
dalam fathul bari bahwa hadis umar ini adalah asal mula disyariatkannya wakaf.28
26
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, ( Daar El-Fikr: 2007/1428 H ) juz 10, hal. 7603
27
Al-Hafidz ibnu Hajar al-‘Asqalani, Buluughul Maraam fii Adillatil Ahkam, ( Maktabah Daar Ihya al-Kutub )tt, hadis ke 951, hal. 191
28
24
Sedangkan dalam kitab Bulughul Maram karangan Ibnu Hajar Al-‘Asqalany,
dijelaskan bahwa shadaqah jariyah adalah rumah, kebun, tanah, atu apa saja yang
dapat digunakan oleh manusia sebagai wakaf, inilah yang dinamakan shadaqah
jariyah, shadaqah yang berjalan terus menerus oleh sebab ini adalah amalnya sendiri
maka ia mendapat ganjarannya selama benda yang ia wakafkan itu masih ada.29
Selain hadis diatas ada hadis yang secara tegas menggambarkan
dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi Muhammad SAW kepada Umar bin
Khattab untuk mewakafkan tanahnya yang berada di khaibar. 30
لﺎ
ﷲا
ﺿر
ﺮ
ﺑا
:
ﱠ ا
ﺄ
ﺮ ﺨﺑ
ﺎًﺿرأ
بﺎﺻأ
ﺮ
ﱠنا
ﱠ و
ﷲا
ﱠﻰ ﺻ
لﺎ
ﺎﻬ
ﺮ ﺄ
:
ﺎًﺿرأ
ﺻا
إ
ﷲا
لﻮ ر
ﺎ
لﺎ
ﺑ
ﺮ ﺄ
ﺎ
ىﺪ
ﻔ أ
ﱞﻂ
ﻻﺎ
ﺻأ
ﺮ ﺨﺑ
:
ﷲا
لﻮ ر
ﱠﺪ و
ﺎﻬ ﺻأ
ﺌﺷ
نإ
،
ﱠ و
ﷲا
ﱠﻰ ﺻ
ﺎﻬﺑ
قﱠﺪ
ﺎﻬﺑ
لﺎ
،
ثرﻮ
ﻻو
هﻮ
ﻻو
عﺎ
ﻻ
ﺎﻬﱠأ
ﺮ
:
ءاﺮ ﻔ ا
ﺎﻬﺑ
قﱠﺪ و
ﻰ
حﺎ ﺟ
ﻻ
ﱠ او
،
ﱠ ا
ﺑاو
ﷲا
و
بﺎ ﺮ او
ﻰﺑﺮ ا
يوذو
نأ
ﺎﻬ و
لﻮ
ﺮ ﻏ
ﻄ و
فوﺮ ﺎﺑ
ﺎﻬ
آﺄ
)
اور
(
31 Artinya :“Dari Ibnu Umar r.a bahwasanya Umar Khattab mendapat bagian sebidang kebun di khaibar. Lalu ia datang kepada Nabi SAW untuk meminta nasehat tentang harta itu. Ia berkata: “ya Rasulullah, aku telah memperoleh sebidang tanah
29
Ibnu Hajar Al-‘Asqalany, Bulughul Maram, terj. oleh A. Hassan, ( Bandung: CV Diponegoro, 2006 ) cet ke 27, hal. 411
30
Departemen Agama RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, ( Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2006 ) hal. 19
31
25
di khaibar yang belum aku pernah aku peroleh tanah seperti itu, apakah nasehat engkau kepadaku tentang tanah itu? Rasulullah menjawab : “jika kamu menginginkan, tahanlah aslinya dan shadakahkan hasilnya. Maka bershadakahlah Umar, tanah tersebut tidak bisa dijual, dihibahkan dan diwariskan dan menshadakahkan kepada orang-orang fakir;, budak-budak, pejuang di jalan Allah, Ibnu Sabil, dan tamu-tamu. Tidak ada dosa bagi orang yang mengurusnya (Nazir) memakan sebagian harta itu secara patut atau memberi makan asal tidak bermaksud
mencari kekayaan”. (H.R Muslim)
Mengenai hukum wakaf ini, para sahabat sepakat bahwa hukum wakaf sangat
dianjurkan dalam Islam dan tidak satu-pun diantara para sahabat yang menafikan
wakaf. Sedangkan mengenai hukum wakaf menurut shahibul mazhab ( Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal ) tidak terdapat
perbedaan yang signifikan.32
Menurut mereka kecuali ulama Hanafiyah, hukum wakaf adalah mandub
(sunah) sedang menurut Ulama Hanafiyah hukum wakaf adalah mubah (boleh).
Sebab wakaf dari non muslim pun hukumnya sah.
Semua Imam mazhab sependapat, bahwa perbuatan mewakafkan benda, yaitu
menyedekahkan manfaat dari harta yang diwakafkan itu merupakan amal saleh yang
institusinya terdapat dalam syariat islam. Mereka sependapat bahwa perbuatan itu
mempunyai efek keagamaan, yaitu pahala yang terus menerus selama benda yang
diwakafkan itu masih diambil manfaatnya (sebagai amal jariah). 33
42
Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan Dan Pengembangan Wakaf, ( Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006 ) hal.35
33
26
1. Dasar Hukum Wakaf Menurut Hukum Positif
Mengenai masalah wakaf, ada beberapa peraturan dan Undang-undang yang
melandasi atau menjadi pijakan legal atas praktek wakaf yang terjadi di Indonesia.
a. Undang-undang no 41 tahun 2004 tentang wakaf
Dalam undang-undang ini dapat dijelaskan dalam beberapa substansi di
bawah ini :
1. wakaf adalah perbuatan hokum wakif untuk memisahkan dan / atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna
keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syariah.
2. Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan ketentuan ini merupakan
paying hukum bagi perbuatan wakaf, sehingga harta benda wakaf tidak boleh
dicabut kembali atau dikurangi volumenya oleh wakif dengan alas an apapun.
3. Adapun tujuan dari perbuatan wakaf itu sendiri berfungsi untuk menggali
potensi ekonomi harta benda wakaf dan dimanfaatkan untuk kepentingan
ibadah serta untuk memajukan kesejahteraan umum.
b. Undang-undang pokok agraria (UUPA)
Dalam undang-undang pokok agrarian (UUPA) masalah perwakafan dapat
diketahui pada pasal 5 dan pasal 14 ayat 91 dan pasal 49. dimana dalam pasal UUPA
27
hokum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan republic
Indonesia yang disana-sini mengandung unsure agama yang telah diresipir dalam
lembaga hukum adat, khususnya lembaga wakaf.
Dalam rumusan pasal 14 UUPA terkandung perintah kepada pemerintah pusat
dan pemerintah daerah untuk membuat skala prioritas penyedian, peruntukan dan
penggunaan bumi, air dan ruang angkasa dalam bentuk peraturan yang dibentuk oleh
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah termasuk pengaturan tentang
penggunaan tanah untuk keperluan peribadatan dan kepentingan suci lainnya
Sedangkan dalam pasal 49 UUPA meyatakan bahwa hak milik tanah-tanah
badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang
keagamaan social, diakuai dan dilindungi. Perwakafan tanah milik dilindungi dan
diatur dengan peraturan pemerintah dan pasal ini memberikan ketegasan bahwa
soal-soal yang bersangkutan dengan peribadatan dan keperluan suci lainnyadalam hokum
aagraria akan mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya.
c. Peraturan pemerintah no 28 tahun 1977
Maksud dikeluarkannya PP No 28 tahun 1977 adalah untuk memberikan
jaminan kepastian hukum mengenai tanah wakaf serta pemanfaatannya sesuai dengan
tujuan wakaf itu sendiri. Sehingga berbagai penyimpangan dan sengketa wakaf
dengan demikian dapat dikurangi.
C. Rukun dan Syarat Wakaf
28
Secara terminologi rukun adalah sisi yang terkuat, sedang secara etimologi
rukun adalah sesuatu yang dianggap menentukan suatu disiplin tertentu, dimana ia
merupakan bagian integral dari disiplin itu sendiri.34 Menurut Abu Hanifah yang dimaksud dengan rukun adalah bagian dari sesuatu yang mana sesuatu itu tidak akan
terealisasi kecuali dengan bagian itu.35 Sedangkan menurut Jumhur ulama yang dimaksud dengan rukun adalah tidaklah sempurna sesuatu kecuali dengan sesuatu
tersebut.36
Di dalam literature kitab-kitab fikih klasik, kita dapat menemukan bahwa
rukun wakaf itu ada empat. Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan
syaratnya. Dimana rukun wakaf itu ada empat : 37
a. Wakif ( orang yang mewakafkan )
b. Mauquf bih ( harta yang diwakafkan )
c. Mauquf alaih ( pihak yang di beri wakaf / peruntukan wakaf )
d. Shighat ( ikrar wakaf )
Hal senada juga dikatakan oleh Rachmadi Usman dalam bukunya, dimana
beliau mengatakan rukun atau unsu-unsur wakaf ada 4 yaitu
34
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, HUKUM WAKAF Kajian Kontemporer Pertama Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengeolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf, Penerjemah Ahrul Sani Faturrahman dan rekan-rekan, ( Jakarta : Dompet Dhuafa Republika dan IIMan Press ) cet ke 1, hal. 87
35
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, ( Daar El-Fikr, 2007/1428 H ) juz 10, hal. 7605
36
Ibid, hal. 7606
37
29
a. adanya orng yang berwakaf (sebagai subjek wakaf) (wakif)
b. adanya benda yang diwakafkan (maukuf bih) (sebagai objek wakaf)
c. adanya penerima wakaf (sebagai subjek wakaf) (nadzir)
d. adanya ‘aqad atau lafaz atau pernyataan penyerahan wakaf dari tangan
wakif kepada orang atau tempat berwakaf (si mauquf alaih)
Lebih lanjut lagi dikatakan dalam bukunya beliau, menurut jumhur, mazhab
Syafii, Maliki, dan Hambali dikatakan bahwa rukun wakaf itu ada 4 sebagaimana
disebutkan diatas.38
Di dalam UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf, pada pasal 6, disebutkan
bahwa wakaf dapat dilaksanakan jika memenuhi unsur wakaf sebagai berikut : 39
a. Wakif
b. Nazhir
c. Harta benda wakaf
d. Ikrar wakaf
e. Peruntukan harta benda wakaf
f. Jangka waktu wakaf
Selain harus memenuhi rukun-rukun seperti yang disebutkan diatas, sahnya
wakaf juga ditentukan oleh memenuhi syarat atau tidaknya rukun wakaf tersebut.
Dalam UU wakaf yang baru, disebutkan syarat sahnya wakaf.
38
Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2009 ) hal. 59
39
30
Dalam fikih dan UU positip yang berlaku di Indonesia khususnya yang
mengatur tentang wakaf tidak ditemukan sesuatu yang bertentangan mengenai
syarat-syarat wakaf hal ini dikarenakan sumber rujukan dari UU tersebut bersumber dari
kitab-kitab fikih klasik karya para ulama terdahulu. Seperti dalam UU No.41 tahun
2004 yang mengatur tentang wakaf disebutkan secara terperinci mengenai
syarat-syarat sahnya wakif sebagai berikut:40 1. Wakif
Didalam UU ini pada pasal 7 disebutkan bahwa wakif terdiri dari tiga bentuk:
a.) perseorangan
b.) organisasi
c.) badan hukum
Didalam kitab-kitab fikih klasik tidak dikenal wakif selain wakif
perseorangan. Pada pasal 8 dijelaskan wakif peseorangan harus memiliki kriteria :
a.) dewasa
b.) berakal sehat
c.) tidak terhalang dalam melakukan pebuatan hukum
d.) pemilik sah harta benda wakaf
Syarat dalam UU tersebut sedikit berbeda dengan yang ada dalam kitab-kitab
fikih klasik, dimana dalam UU tidak diharuskan wakif harus merdeka, sedangkan
40
31
syarat yang senada dengan kitab-kitab fikih klasik adalah seperti yang terdapat dalam
buku fiqih wakaf terbitan Depag, dimana disebutkan syarat wakif itu ada empat : 41
a.) merdeka
b.) berakal sehat
c.) dewasa (baligh)
d.) tidak berada dalam pengampuan
2. Nazhir
Yang dimaksud dengan nazhir adalah pengelola wakaf yang dapat berbentuk
pengelola perseorangan, organisasi atau badan hukum.42 Mengenai nazhir perseorangan dalam pasal 10 UU wakaf disebutkan harus memenuhi syarat sebagai
berikut :43
a.) warga negara Indonesia
b.) beragama Islam
c.) dewasa
d.) amanah
e.) mampu secara rohani dan jasmani
f.) tidak terhalang melakukan perbuatan hukum
41
Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, ( Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam Depag RI, 2006 ) hal . 22
42
CSRC UIN Jakarta dan Ford Foundation, Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan (Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosal di Indonesia), ( Jakarta: CSRC UIN Syarif HIdayatullah Jakarta, 2006 ) hal. 96
43
32
c. Harta Benda Wakaf
Dalam pasal 15 disebutkan harta benda wakaf dapat diwakafkan apabila
dimiliki dan dikuasai wakif secara sah. Selanjutnya dalam pasal 16 disebutkan harta
benda wakaf terdiri dari benda bergerak dan tidak bergerak.44 Sedangkan dalam fikih dijelaskan syarat harta wakaf harus : 45
a.) harus mutaqawwam
b.) diketahui dengan yakin ketika diwakafkan (tidak ada sengketa)
c.) milik sempurna wakif
d.) terpisah, bukan milik bersama
d. Ikrar Wakaf
Ikrar dalam bahasa fikih dikenal dengan shighat, yaitu segala ucapan, tulisan
atau isyarat dari orang yang berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan
apa yang diinginkannya.46 Dalam hal ini (wakaf) berarti keinginan atau kehendak mewakafkan sesuatu yang keluar dari si wakif. Status shighat sendiri termasu
kedalam rukun wakaf.
Dalam UU wakaf, masalah ikrar diatur dalam pasal 17, dimana dinyatakan
bahwa ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nazhir dihadapan PPAIW dengan
44
Ibid, hal. 9
45
Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, ( Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam Depag RI, 2006 ) hal. 27
46
33
disaksikan oleh dua orang saksi (ayat 1). Dalam ayat 2 dijelaskan ikrar bisa berupa
lisan dan tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.
e. Peruntukan Harta Benda Wakaf
Dalam pasal 22 UU wakaf tahun 2004 dijelaskan dalam rangka mencapai
tujuan dan fungsi dari wakaf itu sendiri, maka peruntukan harta benda wakaf hanya
untuk : 47
a.) sarana dan kegiatan ibadah
b.) sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan
c.) bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa;
d.) kemajuan dan peningkatan ekonomi umat
e.) kemajuan dan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan
dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
D. TUJUAN DAN HIKMAH WAKAF
Setiap mukallaf yang melakkan suatu perbuatan pasti mempunyai tujuan dan
maksud tertentu, begitu juga dengan wakaf, ia juga mempunya tujuan dan hikmah.
Mengenai masalah tujuan dari wakaf telah dibahas dalam pasal 22 UU tentang wakaf.
Setiap perbuatan yang disyariatkan oleh Allah SWT kepada mahluknya baik
berupa perintah ataupun larangan, pasti mempunyai hikmah dan manfaat bagi
kehidupan manusia khususnya bagi umat Islam. Ibadah wakaf yang tergolong pada
47
34
perbuatan sunnah ini banyak sekali hikmah yang terkandung di dalam ibadah wakaf
ini, antara lain:48
a.) Harta benda yang diwakafkan dapat tetap terpelihara dan terjamin
kelangsungannya, tidak perlu khawatir barangnya hilang atau pindah tangan,
karena barang wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwairskan.
b.) pahala dan keuntungan akan tetap mengalir bagi si wakif, walaupu ia telah
meninggal dunia, selagi benda wakaf itu ada dan masih bisa dimanfaatkan.
c.) penopang dan penggerak kehidupan sosial kemasyarakatnumat Islam, baik
aspek ekonomi, pendidikan, sosial budaya dan lainnya yang tidak bertentanan
dengan syariat Islam.
d.) wakaf merupakan salah satu ssumber dana yang sangat penting manfaatnya
bagi kehidupan dan umat. Antara lain untuk pembangunan mental, spiritual,
dan pembangunan dari segi fisik, selain itu selain mempunyai fungsi ibadah
juga mempunyai fungsi sosial. Dimana diharapkan dengan wakaf jurang
antara si miskin dan si kaya akan semakin menipis. 49
e.) selain itu wakaf juga mempunyai fungsi sosial yaitu wakaf merupakan aset
yang sangat bernilai bagi pembangunan sosial yang tidak memperhitungkan
jangka waktu dan keuntungan materi bagi orang yang mewakafkan.
48
Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, ( Ciputat : Ciputat Press, 2005 ) hal. 40
49
35
f.) selain itu dengan dana wakaf dapat menyantuni fakir miskin dan dapat
dibangun berbagai lembaga-lembaga sosial, rumah-rumah sakit, dan
panti-panti asuhan.50
50
BAB I
LATAR BELAKANG MASALAH
A. Pendahuluan
Allah SWT menurunkan Agama Islam ke Dunia ini melalui rasulnya yang
mulia yaitu Muhammad SAW, sebagai Agama yang rahmatan lil alamin, dalam artian
islam berlaku bagi seluruh alam tak terkecuali manusia itu sendiri yang notabene
telah Allah jadikan sebagai khalifah fil ardh.
Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin, sudah barang tentu menyentuh
seluruh dimensi-dimensi kehidupan manusia yang sangat kompleks. Islam juga
mengatur aspek-aspek kehidupan manusia yang kadang manusia itu sendiri tidak
memahaminya bahwa aspek tesebut sangat penting bagi manusia itu sendiri. Dari
urusan-urusan yang bernilai kecil sampai yang bernilai besar, dari urusan bangun
tidur hingga ingin tidur kembali, semuanya diatur oleh islam. Pokoknya tiada satu hal
pun yang terabaikan dalam kehidupan manusia di dunia ini yang tidak diatur oleh
Islam. Makanya tidak bertentangan dengan fakta dan logika, jika Islam adalah agama
yang sempurna, kaffah, dan agama paripurna bagi agama sebelumnya.
Sebagai agama yang mengatur urusan dunia dan akhirat sudah pastinya semua
perbuatan itu tak terlepas dari perbuatan yang bernilai ibadah, baik itu ibadah yang
bersifat mahdhoh ataupun yang bersifat ghoiru mahdhoh. Atau dengan kata lain
terminologi islam biasa disebut dengan hablum minallah, Maupun ibadah yang
bersifat horizontal yaitu antara si hamba dengan sesama mahluk ciptaan sang Khalik.
Berbicara mengenai ibadah, maka sudah pastinya ibadah tersebut mempunyai
tujuan pokok dan tujuan tambahan. Tujuan pokok ibadah adalah menghadapkan diri
kepada Allah yang Maha Esa dan mengkonsentrasikan niat kepadanya dalam setiap
keadaan. Dengan demikian seseorang akan mencapai derajat tertinggi di akhirat.
Sedangkan tujuan tambahan ibadah adalah agar terciptanya kemaslahatan diri
manusia dan terwujudnya usaha yang baik.1
Seperti dijelaskan diatas dalam agama Islam ada ibadah yang berimplikasi
personal dan ada juga ibadah yang berimplikasi sosial, ibadah yang tergolong
berimplikasi personal seperti, shalat, dzikir, puasa dan sebagainya. Sedangkan ibadah
yang berimplikasi sosial diantaranya adalah wakaf, dan ibadah yang terakhir ini
implikasinya adalah jika kita melakukannya, selain untuk kemaslahatan personal
orang yang melakukannya juga berimplikasi bagi kemaslahatan masyarakat yang
menerima dan membutuhkannya dan pesan sosialnya jelas terasa.
Salah satu ibadah yang sangat dianjurkan oleh Islam adalah wakaf. Wakaf
merupakan salah satu bagian yang sangat penting dari hukum islam, ia mempunyai
jalinan hubungan antara kehidupan spiritual dengan bidang sosial ekonomi
masyarakat muslim. Wakaf selain berdimensi ilahiyah ubudiyah, Ia juga berfungsi
sosial kemasyarakatan, ibadah wakaf merupakan manifestasi dari rasa keimanan
1
seseorang yang mantap dan rasa sosialitas yang tinggi terhadap sesama umat
manusia. Wakaf sebagai perekat hubungan “ hablum minallah wa hablum minannas”,
hubungan vertikal kepada Allah SWT dan hubungan horizontal kepada sesama
manusia.2
Berbicara mengenai wakaf, banyak sekali term atau definisi tentang wakaf
yang diungkapkan oleh para ulama, Undang-undang, baik yang terdapat dalam kitab
klasik, kontemporer, maupun buku[buku. Dalam kitab hasyiyah baijuri, wakaf arti
wakaf secara bahasa adalah al-habs (menahan), Sedangkan secara istilah adalah
menahan harta yang tertentu, yang menerima pemindahan dimana memungkinkan
pengambilan manfaat dari harta tersebut.yang mana harta itu tetap utuh dan tidak
berkurang sedikitpun dan adanya kepastian mendayagunakan harta itu pada jalan
kebaikan karena semata-mata beribadah kepada Allah SWT.3
Sedang dalam kitab fathul mu’in definisi wakaf diartikan secara lughoh atau
bahasa adalah menahan, sedang secara istilah adalah menahan harta yang
memungkinkan pengambilan manfaat dan hartanya tetap utuh dengan kepastian
mendayagunakan atas pendayagunaan yang dibolehkan.4
2
Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Ciputat : Ciputat Press.2005) hal 3
3
Syaikh Ibrahim al-Baijuri. Hasyiyah al-Baijuri ‘ala ibni Qasim al- Guzza, (Semarang Toha Putra) hal.42
4
Dalam perkembangan selanjutnya adalah wakaf menurut Ulama-ulama fiqh,
para ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefinisikan wakaf menurut istilah,
sehingga mereka berbeda pula dalam memandang hakikat wakaf itu sendiri. Berikut
ini berbagai pandangan tentang wakaf menurut istilah5 : a. Mazhab Hanafi
Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetap milik si wakif,
dalam rangka mempergunakan manfaatnya guna untuk kebajikan. Berdasarkan
definisi tersebut maka kepemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia
dibenarkan menariknya kembali bahkan menjualnya, dan jika si wakif meninggal
dunia harta tersebut menjadi harta warisan untuk ahli warisnya. Jadi yang timbul dari
wakaf adalah menyumbangkan manfaat, oleh karenanya mazhab Hanafi
mendefinisikan wakaf dengan:
adalah tidak melakukan tindakan atas suatu benda yang berstatus tetap sebagai hak
milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial) baik
sekarang ataupun akan datang.
b. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang
diwakafkan dari kepemilikan si wakif. Namun wakaf tersebut mencegah wakif
melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannyaatas harta tersebut
kepada yang lain, dan wakif berkewajiban mnyedekahkan manfaatnya serta tidak
boleh menarik kembali manfaatnya.
5
c. Mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambal
Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan yang
diwakafkan dari kepemilikan wakif. Setelah sempurna prosedur perwakafan wakif
tidak boleh melakukan apapun terhadap harta yang diwakafkan. Jika si wakif wafat,
harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisioleh ahli warisnya. Oleh karenya
mazhab Syafii mendefinisikan wakaf dengan : tidak melakukan suatu tindakan atas
suatu benda yang berstatus milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya
kepada suatu kebajikan ( sosial ).
Kemudian dalam Undang-undang hukum positif di Indonesia ada beberapa
peraturan Perundang-undangan yang mengatur masalah wakaf seperti :
a. PP no. 28 tahun 1977 (pasal 1b)
Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari harta kekayaannya berupa tanah milik dan
melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau
kepentingan umum lainnya.6
b.UU no.41 tahun 2004 Tentang Wakaf
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
6
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah
dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.7 c. Menurut KHI pasal 215 (1)
Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan
hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk
selama-lamanya guna keperluan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan
ajaran islam. 8
Dalam perkembangan selanjutnya praktek wakaf yang dilakukan di Indonesia
masih sangat bersifat tradisionalis, ini bisa dilihat dari masih banyaknya masyarakat
muslim indonesia yang dalam berwakaf masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan
keagamaan, seperti kebiasaan melakukan perbuatan hukum yang dalam hal ini
wakaf, masih menggunakan tradisi lisan, yang mana atas dasar saling kepercayaan
semata kepada seseorang atau lembaga tertentu. Kebiasaan memandang wakaf
sebagai amal saleh yang mempunyai nilai mulia dihadirat Tuhan tanpa harus melalui
prosedur administratif. Dan harta wakaf dianggap milik Allah semata yang siapa saja
tidak akan berani mengganggu gugat, apalagi mengambilnya tanpa seijin Allah SWT.
Tradisi wakaf tersebut memunculkan berbagai fenomena yang mengakibatkan
perwakafan di indonesia tidak mengalami perkembangan yang signifikan dan
menggembirakan untuk kepentingan masyarakat banyak, bahkan banyak benda wakaf
7
Ibid, hal. 2
8
yang hilang atau bersengketa dengan pihak ketiga akibat tidak adanya bukti tertulis
seperti ikrar wakaf, sertifikat tanah dan lain-lain. 9
Dalam masalah perwakafan banyak sekali ditemui kasus-kasus sengketa tanah
wakaf, baik itu sengketa intern maupun ekstern. Misalnya dalam sengketa intern
adalah karena adanya suatu kepentingan ahli waris si wakif menarik kembali tanah
yang telah di wakafkan. Sehingga menimbulkan sengketa antara ahli waris dengan
pihak pengelola yaitu nazhir. Kalau kita fahami mengapa kasus-kasus seperti diatas
banyak terjadi, benang merahnya adalah karena ketiadaan sertifikat wakaf, sehingga
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab melihat ini sebagai sebuah peluang untuk
merebut tanah wakaf yang belum atau tidak mempunyai sertifikat wakaf.
Berbicara mengenai sertifikat wakaf sudah tentunya takkan terlepas dari
peraturan perundang undangan yang mengaturnya, di indonesia ada beberapa
peraturan yang mengatur tentang masalah wakaf, baik berbentuk PP, Inpres dan UU
bermula dari PP no.7 tahun 1977, Inpres no.21 tahun 1991 dan yang terbaru UU
no.41 tahun 2004 tentang wakaf. Dengan adanya Undang-undang yang baru tersebut
semakin memudahkan masyarakat yang ingin berwakaf. Tersebab adanya jaminan
kepastian hukum karena ada UU yang memayunginya. Yang jadi permasalahan
sekarang adalah bagaimanakah kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum
berlakunya UU no.41 tahun 2004 tentang wakaf ? mungkin untuk tanah wakaf yang
didaftarkan sesudah berlakunya UU ini tak jadi masalah, apakah masih terikat dengan
9
peraturan lama, atau mengikut pada UU yang baru? apakah UU yang baru dalam hal
ini UU no.41 tahun 2004 tentang wakaf mengakomodasi permasalahan ini?
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, penulis berpikir sungguh
sangat menarik mengkaji masalah ini lebih lanjut ke dalam sebuah penelitian dan
menuangkannya ke dalam sebuah skripsi yang berjudul: “KEDUDUKAN TANAH
WAKAF YANG DIDAFTARKAN SEBELUM BERLAKUNYA UU NO. 41
TAHUN 2004 TENTANG WAKAF ( Studi Pada Ponpes Daar el-Hikam Pondok
Ranji Ciputat )
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah merupakan usaha untuk menetapkan batasan-batasan
dari masalah penelitian yang akan diteliti, batasan masalah ini berguna untuk
identifikasi faktor mana saja yang tidak termasuk dalam ruang lingkup masalah
penelitian.
Selanjutnya dalam penelitian ini, mengingat objek yang akan diteliti
cakupannya sangat luas, maka penulis memberi batasan hanya pada kedudukan tanah
wakaf yang didaftarkan sebelum berlakunya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah ialah usaha untuk menyatakan secara tersirat pertanyaan
penelitian apa saja yang perlu dijawab dan dicarikan jalan pemecahan masalahnya.
Perumusan masalah merupakan identifikasi dari masalah dan pembatasan masalah,
mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti yang didasarkan atas identifikasi
masalah dan pembatasan masalah.
Selanjutnya untuk mempermudah dalam penyusunannya maka perlu
dirumuskan permasalahan dalam skripsi ini yang mana tertuang dalam pernyataan
sebagai berikut
1. Bagaimana konsep wakaf dalam Islam ?
2. Bagaimana konsep hukum positip mengenai tanah wakaf ?
3. Bagaimana kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum berlakunya UU
No.41 Tahun 2004 tentang wakaf ?
4. Bagaimana sertifikasi tanah wakaf ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk menjelaskan tentang konsep wakaf dalam Islam
2. Untuk menjelaskan konsep wakaf menurut hukum Positip
3. Untuk menjelaskan kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum
berlakunya UU tentang wakaf
Sedangkan manfaat yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. bagi penulis memberikan pemahaman tentang ilmu yang telah didapatkan
kepada masyarakat khususnya tentang keperdataan Islam.
2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah
khazanah ilmu pengetahuan, terutama dalam masalah perwakafan di
Indonesia.
3. Secara praktis diharapkan dengan penelitian ini masyarakat mendapatkan
wawasan dan pengertian tentang konsep tanah wakaf dan tanah wakaf yang
kembali disengketakan serta prosedur sertifikasi tanah wakaf.
4. Melengkapi khazanah keilmuan tentang Wakaf.
D. Metode penelitian dan Tehnik Penulisan
1. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif
dengan jenis metode deskriptif, sebuah metode untuk mengungkapkan masalah
dengan cara memaparkan atau menggambarkan situasi atau peristiwa dari penelitian.
2. Subjek dan Objek Penelitian
Adapun yang dijadikan objek dalam penelitian ini adalah kedudukan tanah
wakaf yang didaftarkan sebelum berlakunya UU No.41 tahun 2004 tentang wakaf
sedangkan objek dalam penelitian ini adalah Pondok Pesantren Daar el- Hikam
3. Sumber Data
Dalam penyusunan skripsi ini penulis akan menggunakan data yang terdiri
dari :
a. Primer
Adalah data lapangan yang didapat dari sumber utama, misalnya hasil
wawancara, dan pengamatan. Dalam data primer ini penulis melakukan sendiri
pengamatan di lapangan.
b. Data Sekunder
Adalah data yang berupa dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian
ini. Seperti Al-quran, Hadits, kitab-kitab klasik atau kontemporer, Undang-undang,
PP, Inpres, Buku-buku, dan bahan-bahan informasi lainnya yang memiliki relevensi
atau kaitan dengan penulisan skripsi ini.
4. Tehnik Pengumpulan Data
Dalam tehnik pengumpulan data dengan cara field research ini penulis
menggunakan 3 instrumen pengumpulan data.
a. Observasi
Observasi adalah pengamatan langsung yaitu tehnik pengumpulan data di
mana peneliti mengadakan pengamatan langsung terhadap gejala-gejala subjek yang
b. Wawancara
Wawancara adalah proses dalam mencari keterangan untuk tujuan penelitian
dengan jalan tanya jawab secara tatap muka antara penanya dan nara sumber, yang
mana dengan wawancara tersebut dapat memberikan informasi yang akurat
sehubungan dengan topik penelitian.
c. Dokumentasi
Agar data-data yang telah penulis peroleh menjadi lengkap, penulis
melakukan penelitian dokumentasi dengan jalan meneliti berbagai macam literatur
yang terkait baik itu berupa Dokumen-dokumen tentang wakaf, buku, UU dan lain
sebagainya.
5. Tehnik Analisa Data
Untuk mengolah data yang telah diperoleh penulis menggunakan metode
deskriptif analaisis, yaitu dimana penulis mendekripsikan semua data yang diperoleh
kemudian diklasifikasikan untuk kemudian dianalisis sesuai dengan rumusan masalah
E. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh, skripsi ini ditulis
dengan menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Merupakan bab pendahuluan yang diawali dengan latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Membahas tentang landasan teori mengenai wakaf yang meliputi : dasar
hukum wakaf, rukun dan syarat wakaf, tujuan dan hikmah wakaf.
BAB IIIPROFIL PONPES DAAR EL HIKAM
Membahas tentang gambaran umum Ponpes Daar el-Hikam, yang
menyangkut : Sejarah berdirinya, tujuan, visi, dan misi, struktur ponpes, dan program
kegiatan.
BAB IV KEDUDUKAN TANAH WAKAF YANG DIDAFTARKAN SEBELUM
TAHUN 2004
Membahas mengenai: kondisi dan situasi perwakafan tanah Indonesia, tanah
wakaf yang tanpa sertifikat menurut hukum Islam dan UU No. 41 tahun 2004 tentang
wakaf, kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan tahun 2004, dan analisa.
BAB V PENUTUP
Merupakan bab akhir dari skripsi ini yang berupa kesimpulan dan
BAB II
A. Pengertian Wakaf
Berbicara mengenai wakaf banyak sekali term atau definisi yang membahas,
mengungkap, mengupas mengenai wakaf baik secara terminologis (bahasa) ataupun
secara etimologis (istilah). Baik itu yang terdapat dalam kitab-kitab klasik,
kontemporer, buku-buku terjemahan dan lain sebagainya. Berikut ini akan dijelaskan
pengertian wakaf menurut Fikih dan Undang-undang yang berlaku.
1. Pengertian Wakaf Menurut Fikih
a. Wakaf Secara Bahasa
Kata wakaf sendiri berasal dari kata kerja waqafa-yaqifu-waqfan yang berarti
berhenti, berdiri, mencegah, atau menahan.10 Sedangkan wakaf dalam bahasa arab berarti ”al-habsu” yan berasal dari kata kerja habasa-yahbisu-habsan yang berarti
menahan atau memenjarakan. Kemudian berkembang menjadi “habbasa” yang
berarti mewakafkan harta karena Allah.11
Hal yang serupa dikemukakan oleh Sayyid Sabiq yang mana mengartikan
wakaf dengan al-habsu yang berarti menahan.12 Pengertian yang sama juga bisa kita dapatkan dalam kitab klasik atau yang lebih dikenal dengan kitab kuning di mana di
10
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, ( Surabaya : Pustaka Progressif, 1997 ) cet. Ke 25, hal. 1576
11
Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002 ) hal. 25
12
katakana wakaf artinya al-habsu yang berarti menahan, sebagaimana yang dikatakan
dalam hasyiyah Al-Baijuri wakaf diartikan dengan al-habsu yang berarti menahan.13 Hal senada juga diungkapkan oleh Wahbah Zuhaili dimana kata waqaf dan tahbis
adalah mempunyai makna yang satu yaitu menahan 14
Kalau kita perhatikan dari uraian diatas kata waqafa identik dengan kata
habasa, hal ini dikarenakan para ahli fikih dalam mengartikan wakaf secara
terminologi mereka menggunakan dua kata yaitu habas dan waqaf.15 Dalam kamus al-wasith dikatakan bahwa al-habsu artinya al-man’u ( mencegah atau melarang ) dan
al- imsak ( menahan ), hal yang sen