• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III GAMBARAN UMUM PONPES DAAR EL-HIKAM

D. Program Kegiatan

Seperti pada umumnya sebuah pesantren yang memiliki program kajian ilmu- ilmu keislaman maka pondok pesantren Daar el-Hikam juga memiliki program- program kegiatan harian mingguan dan tahunan. Seperti diketahui sebelumnya pondok ini menitik beratkan pada pengajaran kitab-kitab kuning karena memang pesantren ini adalah pesantren salafiyah yang ditujukan untuk mahasiswa yang sedang menempuh S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1.Program kegiatan harian Pondok Pesantren Daar el-Hikam Program pengajian rutin kitab kuning

a. Ba’da Subuh

1. Kitab Tauhid ( Jauhar at-Tauhid ) 2. Kitab Fiqh ( kifayatul Akhyar ) 3. Kitab Tasawuf ( Syarah Hikam ) b. Ba’da Ashar

1. Kitab Hadis ( Shahih Muslim ) 2. Kitab Ilmu Hadis ( Baiquni )

3. Kitab Ushul Fiqh ( Lathoiful Isyaraat ) c. Ba’da Maghrib

1. Kitab Ilmu Nahwu ( Ajurumiyah ) 2. Kitab Ilmu Sharaf ( Kailani ) 3. Kitab Ilmu Sharaf ( Matan bina )

d. Ba’da Isya

1. Kitab Ihya ‘Ulumiddin

2. Kitab Tafsiir (Tafsiir Jalalain ) 3. Kitab Nahwu (Mutamimah ) 4. Kitab Nahwu ( Nadzom Imriti)

2. Selain itu ada juga program setoran hafalan harian.

1. Malam senin, selasa, rabu, kamis dan sabtu hafalan Nadzom Imriti 2. Ahad pagi setoran hafalan Nadzmul Maqsud

3. Program Mingguan

1. Pengajian mingguan bapak-bapak. 2. Dzikiran tiap kamis malam

4. Program Tahunan

1. Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw 2. Peringatan Isra dan Mi’raj

3. Penyebaran Hewan Qurban

BAB IV

A. Kondisi dan Situasi Perwakafan Tanah di Indonesia

Sejak Islam datang ke Indonesia berabad-abad lalu yang mana banyak sekali mempengaruhi sendi-sendi kehidupan sosial dan religius masyarakat Indonesia, dalam bidang kehidupan beragama misalnya adalah praktek wakaf. Praktek perwakafan yang sudah lama dianut oleh masyarakat islam Indonesia.

1. Sebelum Kemerdekaan Indonesia

Sejak dan setelah datangnya Islam, sebagian besar masyarakat Indonesia melaksanakan wakaf berdasarkan faham keagamaan yang dianut yaitu faham Syafi’iyah dan adat kebiasaan setempat. Pada waktu itu perwakafan tanah masih menggunakan tradisi lisan atas dasar saling percaya, karena kebiasaaan memandang wakaf sebagai amal saleh yang mempunyai nilai mulia dihadirat tuhan tanpa harus melalui prosedur administratif dan harta wakaf dianggap sebagai milik Allah SWT semata yang siapa saja tidak ada yang berani mengganggu gugat tanpa seijin Allah SWT. 61

Pada masa pra kemerdekaan Republik Indonesia, lembaga perwakafan sering dilakukan oleh masyarkat yang beragama Islam. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari banyaknya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Seperti kerajaan Demak, Samudera Pasai dan sebagainya. Sejak masa dahulu praktek wakaf ini telah diatur

61

Ahmad Djunaidi dan Thobieb al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, Sebuah Upaya Progresif Untuk Kesejahteraan Umat, ( Jakarta : Mitra Abadi Press, 2006 ) hal. 47

oleh hukum adat yang sifatnya tidak tertulis dengan berlandaskan ajaran yang bersumber dari nilai-nilai Islam. Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia masalah perwakafan sendiri telah mendapatkan perhatian dari pihak kolonialisme belanda.

Hal ini dikarenakan untuk menyikapi banyaknya praktek perwakafan yang dilakukan oleh umat Islam Indonesia. 62 Di antara peraturan-peraturan tersebut adalah sebaagai berikut :

1. Surat edaran Governemen pertama tertanggal 31 januari 1905 No.436 yang termuat dalam bijblad 1905 No. 6196. dimana dalam surat edarannya ini pihak colonial tidak menghalangi atau melarang praktek wakaf yang dilakukan umat islam untuk memenuhi keagamaannya.

2. Surat edaran dari sekretaris Governemen tanggal 04 januari 1934 1361/A yang termuat dalam bijblad 1931 No. 125/A. inti dari surat edaran ini adalah untuk bisa mewakafkan harta benda harus ada persetujuan dari Bupati, dimana Bupati akan menilai permohonan tersebut dari segi tempat dan maksud dari pendirian itu. Tujuannya tidak lain agar tanah tersebut terdaftar.

3. Surat edaran sekretaris Governemen tertanggal 24 desember 1934 No. 3088/A yang termuat dalam bijblad tahun 1934 No. 13390. isi dari surat edaran ini sifatnya hanya mempertegas apa yang telah disebutkan dalam surat edaran sebelumnya. Dimana memberikan wewenang kepada Bupati untuk

62

Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, ( Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006 ) hal. 25

menyelesaikan perkara jika terjadi perselisihan atau persengketaan tentang tanah-tanah wakaf tersebut.

4. Surat edaran sekretaris Governemen tertanggal 27 mei 1933 No. 1273/A yang termuat dalam bijblad 1935 No. 13480. sama seperti surat edaran sebelumnya, surat edaran ini pun bersifat penegasan terhadap surat-surat edaran sebelumnya, dimana diatur mengenai tata cara perwakafan sebagai realisasi dari bijblad No. 6169/1905 yang menginginkan registrasi dari tanah-tanah wakaf tersebut.63

2. Setelah Kemerdekaan dan Sebelum PP No. 28 Tahun 1977

Ketika bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya pada tanggal 17 Agustus 1945, maka berakhirlah era kolonialisme belanda di Indonesia, akan tetapi tidak berarti semua peraturan-peraturan peninggalan mereka hengkang pula dari tanah air tercinta. Ada pula yang masih dipergunakan, seperti peraturan-peraturan tentang perwakafan pada masa belanda masih berlaku ketika Indonesia merdeka. Berdasarkan pasal II aturan peralihan UU 1945 yang berbunyi “ segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku sebelum diadakan yang baru menurut UUD ini ”. 64

Selanjutnya pemerintah pada waktu itu, dengan tujuan untuk menyesuaikan dengan alam kemerdekaan Negara Republik Indonesia, maka dikeluarkanlah

63

Ibid, hal 27

64

Departemen Agama RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, ( Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2006 ) hal. 5

beberapa petunjuk tentang perwakafan seperti petunjuk dari Departemen Agama Republik Indonesia pada tanggal 22 desember 1953 tentang petunjuk-petunjuk mengenai wakaf. Dalam perkembangan selanjutnya, dikarenakan pada waktu itu masih dalam masa euphoria kemerdekaan dimana sendi-sendi peraturan dan pemerintahan masih belum stabil, maka peraturan perwakafan tanah tersebut dirasakan kurang memadai dan masih banyak kelemahan-kelemahannya, seperti belum memberikan kepastian hukum mengenai tanah-tanah wakaf.65

Berdasarkan hal tersebut makanya tak heran jika permasalahan mengenai perwakafan tanah ini mendapat perhatian yang khusus, dalam pasal 49 UU No. 5 tahun 1960 Tentang peraturan dasar pokok-pokok agrarian ( UUPA ) yang berbunyi seperti berikut : 66

1. hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi. Badan tersebut dijamin pada akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.

2. untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai.

3. perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah.

65

Ibid, hal. 5

66

Bisa disimpulkan dari ketentuan pasal 49 ayat (3) tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam rangka menertibkan dan melindungi tanah-tanah wakaf, pemerintah harus memberikan pengaturannya yang tertuang dalam bentuk suatu peraturan pemerintah. Akan tetapi peraturan pemerintah yang dikeluarkan oleh pasal 49 ayat (3) tersebut baru ada pada 17 tahun kemudian sehingga praktis pada periode ini mau tidak mau digunakan juga peraturan yang ada sebelumnya.

3. Setelah berlakunya PP No. 28 Tahun 1977

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa peraturan-peraturan yang mengatur tentang perwakafan tanah di Indonesia masih belum memenuhi kebutuhan maupun belum dapat memberikan kepastian hukum dalam rangka rangka melindungi tanah-tanah wakaf yang ada, dalam artian peraturan-peraturan tersebut belum secara sempurna dan komprehensif didalam menghandle permasalahan perwakafan tanah yang kompleks. 67

Berangkat dari hal tersebut maka sesuai dengan ketentuan pasal 49 ayat (3) UUPA maka pemerintah pada tanggal 17 Mei 1977 menetapakan PP No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.

Dalam mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun1977, pemerintah mempunyai beberapa pertimbangan yang dapat dinyatakan sebagai berikut :

1. bahwa wakaf adalah suatu lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan, khususnya umat yang beragama Islam dalam rangka mencapai kesejahteraan

67

spiritual dan material menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

2. bahwa perundang-perundangan yang ada sekarang ini yang mengatur tentang perwakafan tanah milik, selain belum memenuhi kebutuhan akan cara-cara perwakafan juga membuka kemungkinan timbulnya hal-hal yang tidak di inginkan disebabkan tidak adanya data-data yang nyata dan lengkap mengenai tanah wakaf yang diwakafkan.

Seiring dengan berlakunya peraturan pemerintah nomer 28 tahun 1977 ini, maka semua peraturan prundang-undangan tentang perwakafan sebelumnya sepanjang bertentangan dengan PP nomer 28 tahun 1977 ini dinyatakan tidak berlaku lagi. Sedangkan hal-hal yang belum diatur akan diatur lebih lanjut oleh Menag dan Mendagri sesuai bidangnya masing-masing.

4. Setelah berlakunya UU No.41 Tahun 2004 tentang wakaf

Perbincangan mengenai wakaf memang tiada habisnya, hal ini terjadi seiring dengan berkembangnya sistem perekonomian dan pembangunan yang memunculkan inovasi-inovasi baru.68 Pada medio tahun 2000 hingga tahun 2004 isu yang paling menonjol adalah ketika Prof. M.A. Mannan, seorang ekonom asal Bangladesh, menggulirkan gagasan wakaf tunai.69 Yang disampaikan Mannan pada tahun 2001

68

Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, ( Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, 2006 ) hal. 31

69

Departemen Agama RI, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, ( Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, 2006 ) hal. 6

yang mana dipresentasikan dalam forum Internasional di Harvard University. Dimana konsep wakaf ini sudah secara sukses dipraktekkan secara sukses di Bangladesh.70

Makanya tak heran ketika wacana wakaf tunai digulirkan oleh M.A. Mannan, seolah memecah kebekuan pemahaman dunia perwakafan tanah air yang selama ini terkerangkeng pada salah satu mazhab fikih yang selama ini dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia.

Maka muncullah berbagai seminar dan pembahasan-pembahasan mengenai penerapan wakaf tunai di Indonesia. Dan wakaf tunai adalah salah satu unsur yang diakomodasi dalam UU No.41 Tahun 2004 ini, dimana dalam PP No.28 Tahun 1977 tidak dibahas mengenai jenis wakaf ini.

Selanjutnya perkembangan mengenai wakaf setelah adanya dan berlakunya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf adalah adanya payung Hukum yang jelas dan legal didalam melakukan kegiatan perwakafan dengan kata lain semakin jelas dan kuatnya peraturan yang mengatur tentan perwakafan khususnya tentang wakaf tanah di Indonesia.

Hal ini menjadi penting karena PP No.28 tahun 1977 masih belum sempurna ditambah lagi dengan kebiasaan masyarakat Islam Indonesia yang masih menggunakan tradisi lisan dalam berwakaf dimana mengabaikan aspek administrasi yang saat ini menjadi unsur yang sangat penting didalam perwakafan tanah.

70

PSTTI-UI, Wakaf Tunai Inovasi Islam, Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat, ( Jakarta : PSTTI-UI, 2006 ) hal. 6

B. Tanah Wakaf Tanpa Sertifikat Menurut Hukum Islam Dan UU No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

Berbicara mengenai aspek legal dalam praktek perwakafan dalam hal ini mengenai administrasi perwakafan tanah yang menyangkut keabsahan wakaf dimata hukum positif memang sangat menarik, seperti yang kita ketahui dalam hukum Islam tidak diatur mengenai aspek prosedural administrasi dalam berwakaf. Dalam hukum Islam, wakaf dianggap sah jika telah terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya dan tidak memerlukan prosedur administrasi seperti didalam hukum positif.

Hal inilah yang terjadi pada masyarakat Indonesia, dimana sejak dan setelah datangnya Islam ke Indonesia masyarakat kita melaksanakan wakaf berdasarkan paham keagamaan yang dianut, yaitu paham Syafi’iyyah dan adat kebiasaan setempat. Dimana perwakafan tanah dilakukan secara tradisi lisan atas dasar saling percaya kepada seseorang atau lembaga tertentu. Dan menganggap bahwa perbuatan wakaf sebagai amal shaleh tanpa harus melalui prosedur administratif dan harta wakaf dianggap milik Allah semata yang siapa saja tidak akan berani mengganggu gugat tanpa seizin Allah Swt.71

Paham masyarakat Indonesia tersebut terlihat sangat lugu karena tingginya sikap jujur dan saling percaya antara satu dengan yang lain. Praktek pelaksanaan wakaf semacam ini, pada paruh perjalanannya harus diakui memunculkan persoalan mengenai validitas legal tentang harta wakaf yang berujung pada timbulnya

71

Ahmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif (Sebuah Upaya Progresif untuk Kesejahteraan Umat), ( Jakarta : Mitra Abadi Press, 2006 ) hal. 47

persengketaan-persengketaan karena ketiadaan bukti tertulis dan legal yang menunjukkan bahwa harta tersebut telah diwakafkan.72 Dalam kaitannya dengan hal tersebut maka ada beberapa hal yang perlu diketahui, yaitu bagaimana perwakafan tanah procedural administratif menurut Islam dan UU No.41 Tahun 2004 tentang wakaf.

1. Tanah wakaf tanpa sertifikat menurut hukum Islam

Berbicara mengenai tanah wakaf tanpa sertifikat, berarti kita harus berbicara juga mengenai hukum pendaftaran tanah wakaf menurut hukum Islam. Di dalam fikih Islam tidak banyak membicarakan prosedur dan tata cara pelaksanaan wakaf secara rinci,73 berbeda halnya dengan hukum positif yang telah mengatur masalah perwakafan dalam bentuk Peraturan Perundang-undangan yang berupa Peraturan Pemerintah yakni PP No28 Tahun 1977 Maupun dalam bentuk Peraturan yang baru yaitu Undang-undang No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

Kenapa dalam fikih Islam tidak dibahas mengenai urgensi pendaftaran tanah wakaf, karena memang dalam Islam wakaf sudah dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya tanpa adanya prosedural pendaftaran seperti yang terdapat dalam hukum positif. Karena pandangan masyarkat muslim saat itu masih sangat religius dan mempunyai kepercayaan yang sangat tinggi sehingga menganggap tanah wakaf adalah milik Allah SWT dan berpikir tidak akan ada orang yang berani

72

Ibid, hal. 48

73

Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktik, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada ) hal. 37

mengganggu gugat apalagi sampai memperjual belikan tanah wakaf yang notabene adalah milik Allah SWT.

Akan tetapi zaman terus berubah dan permasalahan kehidupan semakin kompleks begitu juga dengan permasalahan perwakafan tanah yang semakin kompleks seiring dengan modernnya zaman ditambah lagi dengan kehidupan era ekonomi kapitalis global yang saat ini sungguh dominan dirasakan sehingga memunculkan orang-orang dengan watak kapitalis yang tak lagi mengindahkan nilai- nilai Agama. Dan tanah wakaf yang tak mempunyai legalitas resmi sungguh sangat riskan terhadap oknum-oknum yang tak bertanggung jawab seperti itu, dan perwakafan tanah dengan tradisi lisan berdasarkan Hukum Islam dirasa belum cukup karena tidak mempunyai kekuatan hukum jika sewaktu-waktu terjadi sengketa.

Masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Islam sudah lama mengenal lembaga wakaf, tujuan pokok yang menjadi common basic idie wakaf sebagai salah satu lembaga keagamaan Islam adalah sebagai sarana pendukung pengembangan kehidupan keagamaan, dan sejak Islam datang ke Indonesia, peraturan perwakafan diatur menurut hukum agama Islam (fiqih). Tata cara perwakafan cukup dengan ikrar dari wakif bahwa dia mewakafkan miliknya, seperti tanah, sawah, rumah dan lain- lain untuk kepentingan agama atau masyarakat, dengan tidak usah ada Kabul menurut kitab kuning dari semua mazhab fikih.74

74

Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2009 ) hal. 118

Sesungguhnya dalam perspektif pengaturan masalah perwakafan ini tidak hanya menyangkut masalah dibidang keagamaan Islam belaka, namun kini menyangkut pelaksanaan tugas-tugas keagrariaan, sehingga wakaf sebagai sebuah lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana guna pengembangan kehidupan beragama, khususnya bagi umat yang beragama Islam.75

Dalam hukum Islam sendiri tidak ada ketentuan khusus yang mengharuskan pendaftaran tanah wakaf apalagi pensertifikasian tanah wakaf, karena memang dalam Islam sendiri praktek wakaf dianggap sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya76 tanpa adanya syarat-syarat administrasi seperti yang dimaksud dan dituntut dalam hukum positif dalam hal ini Undang-undang No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

Dan harus kita akui bahwa ketika Ulama-ulama fikih menyusun kitab-kitab fikih terutama yang membahas masalah wakaf tidak sebutkan dan dicatatkan mengenai pembahasan masalah pendaftaran dan pensertifikasian tanah wakaf karena kehidupan umat ketika itu belum kompleks seperti saat ini, dan tingkat keimanan masyarakat muslim saat itu masih tinggi, tidak seperti saat ini dimana tingkat keimanan masyarkat muslim sangat memprihatinkan, ditambah lagi berkembangnya

75

Ibid, hal. 119

76

Depag RI, Fiqih Wakaf, ( Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, Depag RI, 2006 ) hal.21

faham kapitalisme dan materialisme yang mengubah cara berpikir mereka mengenai hal-hal kebendaan.

Seperti sudah kita ketahui dalam hukum Islam tidak ada ketentuan khusus yang mengharuskan pencatatan, pendaftaran dan pensertifikasian tanah wakaf, dalam praktek wakaf. Begitu juga para ulama fiqih terutama para Imam mazhab yang empat tidak mencantumkan keharusan pengadministrasian dalam praktek berwakaf. Akan tetapi dengan keadaan sekarang ini banyak terjadi persengketaan dalam wakaf maka selayaknya kita lihat Firman Allah SWT, yaitu

“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah yang tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya “ (QS. Al- baqarah: 282)

Ayat ini menegaskan keharusan mencatat kegiatan transaksi muamalah seperti jual beli, sewa menyewa, hutang-piutang dan lain sebagainya. Selanjutnya Adijani al-alabij meyatakan bahwa berwakaf adalah suatu kegiatan penyerahan hak yang tak kalah pentingnya dengan kegiatan muamalah lainnya seperti jual beli, sewa menyewa dan sebagainya, seperti yang dimaksud dalam ayat diatas, mengingat penyerahan wakaf menyangkut status hak atas tanah wakaf untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Jika untuk muamalah lainnya Allah memerintahkan untuk

mencatatkannya maka secara analogi untuk wakaf pun seyogyanya harus ditulis juga. Karena jiwa yang terkandung dalam ayat tersebut adalah agar dibelakang hari tidak terjadi sengketa atau gugat menggugat diantara para pihak yang bersangkutan.77 Walaupun secara eksplisit ayat ini tidak menegaskan keharusan pencatatan wakaf akan tetapi jika kita mengacu pada kondisi saat ini akan kerawanan harta benda wakaf yang tidak memiliki bukti tertulis, maka ayat ini bisa dijadikan sandaran untuk pencatatan dan pengadministrasian harta benda wakaf agar terhindar dari penyelewengan, persengketaan dikemudian hari.

Selain itu ada beberapa kaidah fiqhiyyah yang senada dengan pendapat diatas yaitu: kaidah (adh-dharaaru yuzaalu) yang berarti “kemudharatan harus

dihilangkan” dan kaidah (dar ul mafaasid wa jalbul mashaalih) yang berarti

menolak kemudharatan dan menarik maslahah” dimana penyelewengan dan

persengketaan akibat tidak adanya pengadministrasian tanah wakaf adalah mudharat yang harus dihilangkan.

Oleh karenanya berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa para Imam mazhab tidak memberikan keterangan atau membahas mengenai pengadministrasian tanah wakaf. Akan tetapi dengan pertimbangan argument- argumen diatas yaitu surah al-baqarah ayat 282 dan beberapa kaidah fiqhiyyah bahwa sebenarnya pencatatan dan pengadministrasian tanah wakaf adalah sangat dianjurkan dan bisa disimpulkan bahwa berdasarkan alasan tersebut tanah wakaf yang

77

tidak dicatatkan dan didaftarkan adalah tidak sah menurut ketentuan tersebut. Maka berdasarkan hal tersebut status tanah wakaf tanpa sertifikat menurut hukum Islam sejauh dia sudah terdaftar dan tercatat pada instansi yang berwenang maka tanah tersebut telah memiliki kekuatan dimata hukum. Karena hal ini senada seperti dinyatakan dalam Undang-undang Nomer 41 tahun 2004 tanah wakaf adalah sah apabila telah dicatatkan dan didaftarkan, adapun mengenai apakah tanah tersebut sudah memiliki sertifikat tanah wakaf atau belum dalam Undang-undang ini tidak dibahas apalagi dalam hukum Islam.

2. Tanah Wakaf Tanpa Sertifikat Menurut UU Nomer 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

Dalam Undang-undang wakaf yang baru ini, dijelaskan bahwasanya tanah wakaf dinyatakan sah dan legal dalam artian mempunyai kekuatan hukum apabila telah diikrarkan dan didaftarkan menurut mekanisme dan peraturan yang berlaku dalam hal ini adalah Undang-undang tentang wakaf yang baru yaitu Undang-undang Nomer 41 tahun 2004 tentang wakaf. Adapun tata cara pendaftaran tanah wakaf menurut UU dan prosedur yang berlaku adalah :

a. Telah melakukan Ikrar Wakaf di hadapan pejabat pembuat akta ikrar wakaf (PPAIW), dalam hal ini adalah pegawai KUA setempat. Selanjutnya dalam UU Nomer 41 tahun 2004 diatur dan dijelaskan mengenai ikrar wakaf dalam bagian ketujuh pasal 17,18,19,20 dan pasal 21 sebagai berikut :

Pasal 17

1. Ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nadzir di hadapan PPAIW dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.

2. Ikrar wakaf sebagai mana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.

Pasal 18

Dalam hal wakif tidak dapat melakukan ikrar wakaf secara lisan atau tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alas an yang dibenarkan oleh hukum, wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi.

Pasal 19

Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakif atau kuasanya menyerahkan surat dan/atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PPAIW.

Pasal 20

Saksi dalam ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan :

b. beragama Islam c. berakal sehat

d. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum

Pasal 21

1. Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf.

2. Akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat :

a. nama dan identitas Wakif b. nama dan identitas Nadzir

c. data dan keterangan harta benda wakaf d. peruntukan harta benda wakaf

e. jangka waktu wakaf

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat 2 (dua) diatur dengan peraturan pemerintah.

b. setelah melakukan ikrar wakaf di depan PPAIW maka langkah selanjutnya sesuai dengan UU ini adalah seperti diatur dalam pasal berikut:

PPAIW atas nama Nadzir mendaftarkan harta benda wakaf kepada instansi yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditandatangani.

Pasal 33

Dalam hal pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimksud dalam pasal

Dokumen terkait