BAB II. AWAL NASIONALITAS REPUBLIK INDONESIA:
2.3 Sekolah Yu Te, The First Christian Chinese-Language School
2.3.1 Asas dan Dasar Pendirian Sekolah Yu Te
Harapan dan permohonan Pastor Simon Beekman SJ agar didatangkan pastor yang berlatar belakang pendidikan di Tiongkok akhirnya mendapat
32 Donald Earl Willmott, The Chinese of Semarang: A Changing Minority Community in Indonesia, 171.
33 Donald Earl Willmott, The Chinese of Semarang: A Changing Minority Community in Indonesia, 172.
34 Donald Earl Willmott, The Chinese of Semarang: A Changing Minority Community in Indonesia, 171.
35 Donald Earl Willmott, The Chinese of Semarang: A Changing Minority Community in Indonesia, 230.
36 Pada halaman 5 dan 3 buku Gudie to Chinese Catholic Diaspora terbitan Singapore Catholic Centre Bureau (S.C.C.B.) tahun 1971, disebutkan bahwa di Indonesia hanya ada dua Sekolah Tionghoa, Yu Te-Theresiana School (Semarang) dan School Kolese Santo Josep (Malang).
jawaban pada tahun 1952. Pada tanggal 25 Maret 1952, dua orang Pastor Diosesan dari Keuskupan Honan, Tiongkok, tiba di Semarang. Kedua pastor itu adalah Pastor Joseph Ting Shu Yen Pr dan Pastor Rochus Chang Peng Tu Pr.
Maka, sejak 25 Maret 1952 itulah, pengelolaan Sekolah Yu Te diserahkan kepada dua orang pastor tersebut. Dalam perjalanan waktu, tepatnya tahun 1956, satu di antara dua Pastor tersebut mendapat tugas perutusan baru di Singapura, yakni Pastor Joseph Ting Shu Yen Pr. Di Singapura, Pastor Joseph Ting Shu Yen Pr berkarya di kantor cabang Singapore Catholic Centre Bureau (S.C.C.B.), sebuah biro Katolik yang mengurusi imam-imam Tionghoa di perantauan37. Maka, sejak tahun 1956 itulah Sekolah Yu Te dipegang oleh Pastor Rochus Chang Peng Tu Pr sebagai Pelaksana Yayasan Bernardus38.
Pendirian Sekolah Yu Te tidak lepas dari figur Pastor Simon Beekman SJ.
Menurut realitas historisnya, Sekolah Yu Te ini jelas-jelas didirikan oleh Misionaris Jesuit yang peduli terhadap keturunan Tionghoa Totok di Semarang.
Demikian pula pengelolaan Sekolah Yu Te, tidak dapat dipisahkan dari figur 2007, pukul 18.30-20.30 WIB, di Perumahan Puri Anjasmoro Semarang).
Lampiran 18, halaman 175.
Menurut sumber lisan pula, salah satu penyebab perpindahan Pastor Joseph Ting Shu Yen Pr ke Singapura tersebut adalah karena ada ketidakcocokan Pastor Joseph Ting Shu Yen Pr dengan Pastor Rochus Chang Peng Tu Pr dalam aneka kebijakan tentang Sekolah Yu Te. Pastor Joseph Ting Shu Yen Pr kemudian disarankan oleh Mgr. A. Soegijapranata SJ untuk meninggalkan Semarang. Kepergian Pastor Joseph Ting Shu Yen Pr ke Singapore Catholic Centre Bureau dengan kata lain adalah suatu “penarikan.”
(Wawancara dengan Sr. Helena PI [lahir 17 Juli 1930], alumnus Rumah Yatim-Piatu
“Betlehem” Kebon Dalem Semarang, pada tanggal 4 Februari 2005, pukul 16.00-17.30 WIB, di Susteran PI “Betlehem” Kebon Dalem, Semarang).
Pastor Rochus Chang Peng Tu Pr, imam diosesan asal Tiongkok. Namun demikian, Vikariat Apostolik Semarang, sebagai penanggung jawab utama Sekolah Yu Te, tidak pernah cuci tangan. Ketika situasi Negara tidak kondusif dan mengancam eksistensi Sekolah Yu Te, otoritas Vikariat Apostolik Semarang pun turun tangan. Vikariat Apostolik Semarang sungguh mempertanggungjawabkan keberadaan Sekolah Tionghoa tersebut. Hal ini dapat diketahui dari surat Vikaris Apostolik Semarang, Mgr. A. Soegijapranata SJ, Nomor 816/B/VIII/58, tanggal 14 November 195839. Surat ini dibuat, “Mengingat kesukaran-kesukaran jang mungkin dihadapi oleh Sekolah Yu Te.”
Di dalam surat yang ditujukan kepada Ketua Yayasan Bernardus tersebut, Mgr. A. Soegijapranata SJ mengingatkan kembali asas dan tujuan pendirian Sekolah Yu Te. Dijelaskan bahwa Sekolah Yu Te didirikan supaya Gereja Katolik dapat
“turut memberikan kesempatan kepada anak-anak asing untuk dapat mengikuti pengadjaran sendiri jang berdasarkan kebudajaan kebangsaan mereka dan pula menurut dasar keigamaan supaja dengan demikian orang-orang tua, jang menginginkannja, akan dapat mengirimkan anak-anak mereka untuk beladjar ke sekolah Katolik.”
Dari isi surat itu tampak bahwa Sekolah Yu Te didirikan supaya orangtua yang ingin tetap memelihara kebudayaan mereka, sekaligus mendapatkan dasar keagamaan, dapat menyekolahkan anak-anak-nya di Sekolah Yu Te.
Mgr. A. Soegijapranata SJ juga mengingatkan Yayasan Bernardus yang diserahi tanggung jawab mengelola Sekolah Yu Te demikian, “Pengadjaran harus
39 Lampiran 1 halaman 149.
diarahkan jang sedemikian rupa supaja murid-murid itu mempunjai rasa hormat, serta setia pula kepada hukum-hukum negeri di mana mereka bertempat tinggal sekarang.” Dari situ, tampak bahwa teknis pelaksanaan pengajaran di Sekolah Yu Te haruslah didasari oleh rasa hormat dan setia pada hukum di Indonesia yang menjunjung Pancasila sebagai dasar Negara. Menjadi jelas bahwa selain dapat memelihara kebudayaan Tionghoa, anak-anak yang belajar di Sekolah Yu Te ini pun tetap menjunjung Pancasila dan dasar-dasar keagamaan, bukan ateisme.
“Atas dasar itulah maka Sekolah Yu Te telah didirikan,” demikian penegasan Mgr. A. Soegijapranata SJ. Kebudayaan dan keagamaan menjadi dasar pendirian Sekolah Tionghoa tersebut. Sikap hormat dan setia kepada hukum di Indonesia menjadi orientasi pengajaran di Sekolah Yu Te ini. Maka dari itu, Mgr.
A. Soegijapranata SJ selanjutnya menekankan, “Sekolah itu berdiri lepas dari dan di atas segala aliran politik.” Dengan kata lain, Sekolah Yu Te ini bersifat supranasional. Pendirian dan keberadaannya tidak terkontaminasi oleh aliran politik manapun.
Pada bagian akhir surat tersebut, Mgr. A. Soegijapranata SJ, selaku pemegang otoritas tertinggi Vikariat Apostolik Semarang, memberikan dukungan bagi Yayasan Bernardus, “Maka dengan ini kami berharap agar supaja Jajasan Bernardus meneruskan Sekolah Yu Te ini,” sekaligus catatan penting, “selama Pemerintah masih mengizinkan perkembangan pengadjaran bagi anak-anak asing.”
Sebagaimana disebut di atas, surat ini dibuat, “Mengingat kesukaran-kesukaran jang mungkin dihadapi oleh Sekolah Yu Te.” Peringatan Vikariat
Apostolik Semarang ini dilatarbelakangi oleh kekacauan politik di Indonesia.
Pada tahun 1958, Pemerintahan Sipil diganti dengan Pemerintahan Militer yang kemudian dikenal dengan istilah SOB40. Perubahan ini diambil karena terjadi pemberontakan di beberapa daerah di wilayah Indonesia yang mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia41. Pemerintahan Militer itu, di satu pihak, sangat menguntungkan Yayasan Bernardus karena memudahkan pemindahan para penghuni liar di kampus baru Sekolah Yu Te, Kampung Kali. Bahkan, dituliskan dengan jelas bahwa pemindahan itu dapat terlaksana atas bantuan Letnan (Purn) Susilo beserta para tentara42. Namun, di lain pihak, Pemerintahan Militer ini juga membawa kemungkinan terburuk bagi keberadaan Sekolah Yu Te, terlebih apabila melihat catatan penting pada bagian akhir surat tersebut, “selama Pemerintah masih mengizinkan perkembangan pengadjaran bagi anak-anak asing.”
Dengan kata lain, sejak tahun 1958, Vikariat Apostolik Semarang telah mewaspadai situasi tidak kondusif yang akan mengancam eksistensi Sekolah Tionghoa tersebut. Peringatan itu sekaligus sebagai penegasan akan asas dan tujuan Gereja Katolik mendirikan sekolah bagi anak-anak keturunan Tionghoa Totok di Semarang. Dengan peringatan dan penegasan tersebut, Yayasan Bernardus, sebagai pengelola Sekolah Yu Te, diharapkan dapat turut mempertanggungjawabkan, di hadapan Pemerintah, alasan dan tujuan didirikannya sekolah itu.
40 SOB, keadaan darurat perang. Pemberlakuan keadaan darurat perang ini memungkinkan tentara untuk tumbuh, bukan saja sebagai kekuatan politik, melainkan juga kekuatan ekonomi.
Lembaga Studi Realino, Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa, Kanisius, Yogyakarta 1996, 77.
41 Leo Suryadinata, The Chinese Minority in Indonesia, 26.
42 Pastor Simon Beekman SJ. Kebon Dalem – Semarang, 10.
2.4 Sekolah Theresiana, Pendulum bagi Yu Te
Pada tanggal 6 November 1957, Pemerintah Indonesia membuat peraturan bagi Warga Negara Asing (WNA), khususnya Tionghoa. Peraturan Pemerintah (PP) ini dikeluarkan oleh Menteri Pertahanan, Ir. Djuanda43. Dalam peraturan itu, disebutkan bahwa Warga Negara Indonesia (WNI) dilarang bersekolah di sekolah swasta asing (Sekolah Tionghoa). Yang dimaksud WNI di sini bukan hanya orang pribumi, melainkan juga orang asing yang sudah berkewarganegaraan Indonesia.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah itu, otomatis warga Tionghoa yang telah menjadi WNI tidak berani menyekolahkan anaknya ke sekolah Tionghoa atau sekolah asing lainnya. Bagi Sekolah Yu Te, hal itu berarti bahwa Sekolah Yu Te tidak dapat menerima WNI meskipun dia keturunan Tionghoa. Dengan kata lain, Sekolah Yu Te hanya boleh menerima WNA (Tiongkok). Peraturan Pemerintah itu sangat mempengaruhi perkembangan Sekolah-sekolah Tionghoa di Indonesia. Leo Suryadinata mencatat bahwa hingga akhir tahun 1957, di Indonesia masih ada 2.000 Sekolah Tionghoa dengan 425.000 murid. Pada bulan Juli 1958, delapan bulan setelah PP No. 10 Tahun 1957 dikeluarkan, jumlah Sekolah Tionghoa menyusut menjadi 850 unit dengan 150.000 murid saja.
Kesemua murid di Sekolah-sekolah itu pun berkewarganegaraan Tiongkok.
Penempatan Sekolah-sekolah itu ditentukan oleh Menteri Pendidikan44.
Melihat situasi demikian, pengelola Sekolah Yu Te kemudian mengambil inisiatif untuk mendirikan sekolah yang dapat menerima Warga Negara Indonesia.
Oleh karena itulah, pada tanggal 1 Januari 1958 (satu bulan sesudah PP
43 Leo Suryadinata, The Chinese Minority in Indonesia, 26.
44 Leo Suryadinata, The Chinese Minority in Indonesia, 27.
dikeluarkan), Yayasan Bernardus mendirikan sekolah nasional dengan nama
“Theresiana”. Sekolah baru ini terdiri atas tiga jenjang sekaligus: Sekolah Taman Kanak-kanak (STK), Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Dengan demikian, lahirlah Sekolah Nasional Theresiana yang kemudian cukup disebut “Sekolah Theresiana”. Nama “Theresiana” itu sendiri diambil dari nama pelindung sekolah (tepatnya: pelindung misi Tionghoa Totok di Semarang) yakni Santa Theresia Lisieux. Sekolah Theresiana ini menempati gedung-gedung di atas kompleks Kampung Kali.
Keputusan untuk mendirikan sekolah nasional ini sangatlah tepat, terlebih apabila mengingat dan mempertimbangkan keputusan/peraturan pemerintah pada tahun-tahun kemudian. Pada tanggal 27 April 1966, Pemerintah menutup semua sekolah Tionghoa asing. Keputusan tersebut diteguhkan dengan Tap. MPRS No.
XXXII/1966 dan Undang-undang No. 11/1968 yang menyatakan bahwa anak Tionghoa harus disekolahkan di sekolah-sekolah nasional dengan 60% anak-anak WNI serta dengan kurikulum nasional dan guru-guru yang harus mendapat izin dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, serta pelajaran Bahasa Tionghoa hanya sebagai matapelajaran tambahan saja45.
Meski demikian, pada tahun 1967, Pemerintah memberi izin pendirian sekolah-sekolah asing bagi kepentingan keluarga dan korps diplomatik dan konsuler kedutaan. Izin tersebut dituangkan dalam Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/In/6/1967. Izin tersebut tidak sertamerta berarti mewajibkan anak-anak WNA bergabung dengan sekolah tersebut. Sebab, mereka pun tetap dianjurkan
45 Hidajat, Z.M., Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia, Tarsito, Bandung 1977, 168.
menjadi murid-murid sekolah nasional, baik negeri maupun swasta, di mana pada setiap kelas harus lebih banyak jumlah murid nasional-nya daripada asing-nya46. Di lain pihak, Peraturan Presiden No. B12/Pres/I/1968 tetap mengizinkan adanya sekolah-sekolah yang disponsori oleh kelompok-kelompok swasta di dalam masyarakat-masyarakat Tionghoa47.
Pada tahun 1967, Sekolah Theresiana mulai didirikan di luar kota Semarang. Sekolah Theresiana yang pertama kali didirikan di luar kota Semarang adalah SMP Theresiana Bandungan. Pada bulan Januari 1969, didirikan SMP Theresiana di Sumowono48 dan Sekolah Farming Menengah Atas (SFMA) Theresiana di Bandungan. Anak-anak yang masuk di sekolah-sekolah tersebut adalah anak-anak pribumi. Dengan mendirikan Sekolah Theresiana “pribumi” ini, otomatis prosentase murid asing dan murid nasional di Sekolah Theresiana menjadi seimbang dan memenuhi Tap. MPRS No. XXXII/1966 dan Undang-undang No. 11/1968.
Sikap Vikariat Apostolik/Keuskupan Agung Semarang yang senantiasa terbuka pada perkembangan politik Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadikan sekolah nasional itu ada. Kepekaan melihat tanda-tanda zaman menjadi modal utama Vikariat Apostolik/Keuskupan Agung Semarang untuk mempertahankan opsinya bagi kelompok marginal. Peraturan-peraturan yang
46 Hidajat, Z.M., Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia, 178.
47 Leo Suryadinata, Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1988, 33.
48 Sumowono ialah sebuah kecamatan yang posisi geografisnya lebih tinggi daripada Bandungan.
Di antara Bandungan dan Sumowono itu terdapat sebuah peninggalan budaya, yakni Candi Gedongsongo, yang kini menjadi tempat rekreasi andalan di Kabupaten Semarang, selain Bandungan itu sendiri, karena udara di kedua tempat itu relatif dingin. SMP Theresiana Sumowono itu berada dalam satu kompleks dengan Kapel Sumowono, sebuah kapel yang pengelolaannya berada di bawah Paroki Ambarawa.
diterbitkan Pemerintah, baik berupa PP, Tap MPRS maupun berupa Undang-undang, tampak jelas bertujuan untuk semakin meminggirkan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Bagi Vikariat Apostolik/Keuskupan Agung Semarang, peraturan-peraturan itu justru semakin memperkuat perjuangannya untuk berpihak kepada masyarakat Tionghoa yang semakin tidak mendapat tempat. Pendirian Sekolah Theresiana di luar kota Semarang tidak dimaksudkan untuk kemudian menutup Sekolah Theresiana yang berada di dalam kota, yang mayoritas peserta didiknya adalah anak-anak keturunan Tionghoa. Sekolah Theresiana ”Pribumi”
tersebut didirikan bukan karena Vikariat Apostolik/Keuskupan Agung Semarang takut kalau-kalau Sekolah Theresiana “Tionghoa” ditutup oleh pemerintah.
Pendirian Sekolah tersebut justru sebagai sarana untuk menyelamatkan Sekolah Theresiana di dalam kota, lebih-lebih apabila mengingat Tap. MPRS No.
XXXII/1966 dan Undang-undang No. 11/1968.
2.5 Yayasan Bernardus, Yayasan Nasional milik Vikariat Apostolik Semarang
Pada tahun 1952, pemerintah Indonesia memaklumkan peraturan (PP) yang salah satunya menyebutkan bahwa sekolah-sekolah harus dikelola oleh suatu yayasan dan harus didaftarkan kepada Menteri Pendidikan49. Hingga pada tahun 1953, Sekolah Yu Te tidak bernaung di bawah suatu yayasan pun, mengingat sekolah asing ini berbeda dengan sekolah-sekolah asing lain di Vikariat Apostolik
49 Departemen Pendidikan, Pengadjaran, dan Kebudajaan, Pengawasan Pengadjaran Asing, Jakarta 1952, 50-56.
Semarang yang dikelola oleh ordo/kongregasi dengan yayasan-nya masing-masing. Dengan kata lain, Sekolah Yu Te ini mandiri. Seiring dengan perkembangan kenegaraan dan perkembangan Sekolah Yu Te itu sendiri, Vikariat Apostolik Semarang mendirikan sebuah yayasan supaya dapat mengelola Sekolah Yu Te secara lebih intensif. Yayasan ini dinamakan Yayasan Bernardus.
Yayasan Bernardus didirikan pada hari Kamis, 2 April 1953, di Semarang.
Akte pendirian “Nomor 3” itu dibuat oleh Tan A Sioe, seorang Notaris Pengganti dari Kantor Notaris “Joost Hofstede” di Semarang50. Seperti tertulis pada pasal 1 Akte tersebut, “Jajasan BERNARDUS” ini berkedudukan di Semarang dan didirikan untuk waktu yang tidak ditentukan lamanya. Tujuan dari pendirian
“Jajasan” tersebut pertama ialah mendirikan dan mengurus lembaga-lembaga perguruan, pendidikan, dan kesosialan beserta lembaga-lembaga lain yang berhubungan dengan lembaga-lembaga itu. Kedua, pada waktu menetapkan uang sekolah, akan diperhatikan bahwa “Jajasan” ini melulu bertujuan demi kepentingan umum. Dan ketiga, “Jajasan” ini akan mencapai tujuannya dengan menggunakan segala daya upaya yang sah. Yayasan Bernardus ini mulai bekerja pada hari itu juga (Kamis, 2 April 1953). Sebagai ketua Yayasan Bernardus untuk pertama kalinya, diangkat Pastor Chrysologus Soetopanitro SJ. Penulis (Sekretaris) dan Bendahara dijabat oleh Pudjoatmoko, sedangkan Anggota dijabat oleh Suparman dan Mudjilan51.
50 Akte Pendirian “Jajasan BERNARDUS”, Lampiran 12, halaman 162-166.
51 Pastor Chrysologus Seotopanitro SJ bertugas di Gereja Gedangan sebagai Pastor Pembantu (1948-1963). Pudjoatmoko ialah seorang anggota Pemerintah Daerah (Pemda) Kota Besar Semarang. Suparman ialah seorang guru Sekolah Menengah Atas, sedangkan Mudjilan ialah seorang pegawai pada “Jajasan Canisius” (Yayasan Kanisius). Keempat orang itulah yang
Kesemua pengurus Yayasan Bernardus itu adalah para Warga Negara Indonesia (WNI) pribumi. Hal itu bukanlah tanpa arti. Hal yang tersirat di dalamnya ialah demikian: Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, hak-hak yang dimiliki Warga Negara Asing (WNA) di Indonesia semakin berkurang, termasuk hak-hak untuk terlibat di dalam pendirian dan pelaksanaan lembaga formal (sekolah). Para pastor, bruder, dan suster yang berkarya di Indonesia pada zaman itu mayoritas berasal dari luar Indonesia, dan kewarganegaraan mereka pun masih asli dari tanah airnya. Maka dari itu, demi kerjasama yang hendak dibangun dengan Pemerintah Indonesia, kepengurusan Yayasan Bernardus diserahkan kepada pastor dan awam pribumi.
2.6 Simpulan
Dukungan dari sebuah komunitas sangatlah penting bagi sebuah eksistensi. Kebon Dalem sebagai bagian dari kompleks Pecinan Semarang telah menjadi lahan subur pastoral bagi kelompok masyarakat Tionghoa Semarang. Di atas kompleks tersebut, berhasil didirikan gedung Gereja, biara suster, rumah yatim dan gedung sekolah yang dikelola oleh Gereja. Dukungan dari umat Tionghoa Peranakan Semarang, terutama para pioner penganut iman Katolik di Pecinan Semarang, antara lain Goh Boen Toh, Liem Eng Chee, Kam Tjong Sien, Hoo Ik Toen, dan Liem Ing Tjiauw (alumni St. Joseph’s College Singapore yang telah mengenal agama Katolik melalui Bruder-bruder Irlandia), telah memuluskan
menghadap Notaris Pengganti Tan A Sioe untuk mendirikan “Jajasan BERNARDUS” (Yayasan Bernardus).
Misi Katolik di tengah kelompok masyarakat Tionghoa Semarang. Pastor Simon Beekman SJ, sebagai misionaris Jesuit yang secara khusus menangani karya misi tersebut, menjadi perpanjangan tangan Gereja Katolik yang menyentuh kalangan Tionghoa di Semarang. Terlebih melalui pendirian Sekolah Yu Te yang diperuntukkan bagi anak-anak keturunan Tionghoa Totok, karya misi Gereja semakin menyentuh kelompok marginal di Vikariat Apostolik Semarang.
Dukungan dari otoritas juga merupakan unsur penting bagi sebuah opsi terhadap kelompok marginal. Mgr. A. Soegijapranata SJ, sebagai pemegang otoritas tertinggi Vikariat Apostolik Semarang, mendukung penuh opsi tersebut demi memberi kesempatan kepada anak-anak asing untuk dapat mengikuti pengajaran sendiri yang berdasarkan kebudayaan kebangsaan mereka dan pula menurut dasar keagamaan. Bersama bangsa Indonesia yang memperjuangkan nasionalismenya, Mgr. A. Soegijapranata SJ turut mengarahkan pengajaran di Sekolah Yu Te agar murid-murid di Sekolah Yu Te mempunyai rasa hormat dan setia kepada hukum-hukum di Indonesia. Dukungan otoritas tertinggi Vikariat Apostolik Semarang tersebut dilengkapi pula dengan sebuah catatan penting,
“selama Pemerintah masih mengizinkan perkembangan pengajaran bagi anak-anak asing,” sebuah pesan yang bermakna amat dalam: memperjuangkan opsi Gereja terhadap kelompok marginal dengan rasa hormat dan taat pada hukum Negara.
Penuh siasat dan strategi; itulah kata kunci yang patut disandangkan kepada Vikariat Apostolik Semarang di dalam memperjuangkan opsi-nya bagi kelompok marginal. Sekolah Theresiana, yang didirikan pada tanggal 1 Januari
1958, pada mulanya menjadi sekolah nasional bagi Warga Negara Indonesia, baik keturunan Tionghoa maupun keturunan Pribumi. Pendirian Sekolah Nasional ini menjadi jawaban kebutuhan anak-anak keturunan Tionghoa yang telah menjadi WNI untuk dapat mengikuti pengajaran dengan bahasa setempat. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di Sekolah ini semakin menunjukkan komitmen Vikariat Apostolik Semarang untuk membawa peserta didiknya pada semangat nasionalisme, hormat dan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada akhir tahun 1966, Sekolah Theresiana ini menjadi tempat penampungan anak-anak buangan dari Sekolah-sekolah Tionghoa yang ditutup oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 27 April 1966.
Situasi Negara semakin tidak kondusif pasca peristiwa 30 September-1 Oktober 1965. Anak-anak keturunan Tionghoa semakin tidak mendapat tempat pasca penutupan Sekolah-sekolah Tionghoa. Mereka yang melanjutkan sekolah di Sekolah-sekolah Nasional pun tidak kunjung merasa aman. Peraturan Pemerintah susul-menyusul mengatur kebijakan tentang pendidikan bagi mereka. Ketetapan MPRS No. XXXII/1966 dan Undang-undang No. 11/196852 semakin mempersempit ruang gerak anak-anak keturunan Tionghoa di Indonesia.
Komposisi 60% anak-anak WNI dan 40% anak-anak WNA bagi mereka yang bersekolah di Sekolah-sekolah Nasional berpengaruh pula pada Sekolah Theresiana sebagai salah satu Sekolah Nasional. Demi menyelamatkan anak-anak keturunan Tionghoa yang masuk di Sekolah Theresiana di lingkup dalam kota Semarang, baik pra maupun pasca 27 April 1966, Keuskupan Agung Semarang
52 Hidajat Z.M., Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia, 168.
mendirikan Sekolah Theresiana di luar kota Semarang. Daerah pertama yang menjadi tempat pendirian Sekolah Theresiana ialah Bandungan, Kabupaten Semarang, pada tahun 1967, menyusul Sumowono dan Bedono pada tahun 1969.
Pendirian Sekolah tersebut menjadi jawaban kebutuhan masyarakat setempat yang memang membutuhkan sarana pendidikan formal. Di samping itu, dengan mendirikan Sekolah Theresiana di luar kota tersebut, komposisi 60% anak-anak WNI dan 40% anak-anak WNA menjadi terpenuhi di Sekolah Theresiana.
BAB III
INDONESIANISASI SEKOLAH YU TE (1950-1966):
KONSENSUS UNIVERSALITAS GEREJA DAN NASIONALITAS NEGARA
Peristiwa 30 September 1965 membawa dilema bagi Sekolah Yu Te.
Insiden politik 30 September-1 Oktober 1965 tersebut memicu Pemerintah Republik Indonesia untuk mengeluarkan pernyataan bahwa Negara Republik Indonesia berada dalam keadaan perang. Pernyataan ini berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Komando Operasi Tertinggi, Nomor: 140/Koti/1965, tanggal 1 November 1965, tentang Pernyataan Keadaan Perang bagi Wilayah Daerah Tingkat I Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Keputusan Presiden tersebut menjadi salah satu dasar Panglima Daerah Militer VII/Diponegoro, selaku Penguasa Perang Daerah Tingkat I Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, mengeluarkan surat keputusan bahwa Sekolah-sekolah Asing Tionghoa yang berada di Dati I Jateng dijadikan Sekolah Nasional. Bagi Sekolah Yu Te, surat keputusan itu menimbulkan sebuah wacana, apakah Sekolah Yu Te akan ditutup atau dijadikan sekolah nasional atau diserahkan sepenuhnya kepada (kebijakan) pemerintah?
Wacana itu menjadi pembicaraan hangat sejak Surat Keputusan tersebut ditetapkan. Akan tetapi, Sekolah Yu Te sebenarnya telah menjadi perhatian Biro
Pendidikan Asing Pusat sejak tahun 1964. Perhatian itu tampak dalam pertanyaan perihal status SD Yu Te dan Jajasan Bernardus yang diajukan melalui Kepala Inspeksi Pendidikan Asing Semarang. Mgr. J. Darmojuwono, sebagai Uskup Agung Semarang, memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, sekaligus menegaskan kembali dasar-dasar serta maksud Wali Gereja mendirikan SD Yu Te tersebut. Pada akhirnya, Indonesianisasi Sekolah Yu Te ke Sekolah Nasional Theresiana merupakan konsensus antara universalitas Gereja dan nasionalitas
Pendidikan Asing Pusat sejak tahun 1964. Perhatian itu tampak dalam pertanyaan perihal status SD Yu Te dan Jajasan Bernardus yang diajukan melalui Kepala Inspeksi Pendidikan Asing Semarang. Mgr. J. Darmojuwono, sebagai Uskup Agung Semarang, memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, sekaligus menegaskan kembali dasar-dasar serta maksud Wali Gereja mendirikan SD Yu Te tersebut. Pada akhirnya, Indonesianisasi Sekolah Yu Te ke Sekolah Nasional Theresiana merupakan konsensus antara universalitas Gereja dan nasionalitas