BAB I. PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Masyarakat Tionghoa di Semarang terdiri dari dua golongan, yakni Peranakan dan Totok. Menurut Suryadinata, terminologi Peranakan biasa ditujukan bagi orang-orang Tionghoa yang lahir di Indonesia dan akhirnya berasimilasi dengan kelompok masyarakat Indonesia (pribumi)30. Sumber lain mengatakan hal senada bahwa “Tionghoa Peranakan” biasa ditujukan untuk orang-orang yang lahir dari ayah Tionghoa dan ibu pribumi: ibu yang berpakaian daerah, makan makanan setempat, tidak mampu berbicara salah satu dialek dari daratan Tiongkok, dan tidak mempunyai tradisi kebudayaan leluhur dari sana31.
Menurut Suryadinata, terminologi “Tionghoa Totok” menunjuk pada orang-orang Tionghoa yang masih memegang tradisi kebudayaan dari Tiongkok32. Kebanyakan dari mereka mengikuti aliran Konfucius, maka mereka biasa menjalankan ritual di kelenteng-kelenteng33 (tanpa menutup kemungkinan bahwa ada pula yang Nasrani atau Muslim). Di dalam golongan itu, sekaligus tercakup kelompok para pendatang baru dari Tiongkok yang terdiri dari pria dan wanita.
Mereka datang dari utara (Tiongkok) ke selatan (Nusantara). Maka dari itu, mereka sering dijuluki Xin Ke (biasa dilafalkan “Singkeh” atau “Singkek”) yang berarti “tamu baru”34. Sedapat mungkin, mereka beranak cucu dengan sesama Totok, dan menghindari perkawinan campur dengan etnis lain. Bahasa yang
30 Leo Suryadinata, The Chinese Minority in Indonesia, 1-2.
31 Lembaga Studi Realino, Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa, Kanisius, Yogyakarta 1996, 14.
32 Leo Suryadinata, The Chinese Minority in Indonesia, 1.
33 Hingga saat ini (2009), ada tujuh kelenteng di kawasan Pecinan, dan empat kelenteng di luar kawasan Pecinan.
34 Agung Wijayanto, “Pastoral Orang Cina di Indonesia: Tanggung Jawab Bersama,” dalam Pijar-pijar Missioner dari Kampung Tionghoa Semarang, Buku Kenangan 70 Tahun Gereja Katolik Santo Fransiskus Xaverius Kebon Dalem, Semarang 2006, 41.
mereka pergunakan sehari-hari ialah bahasa asli dari Tiongkok yaitu bahasa “Hwa Yu” (baca: kuo-i; sekarang menjadi bahasa “Mandarin”, “Hwa Yu” yang sudah mengalami banyak penyingkatan).
Vikariat Apostolik Semarang menyapa kedua golongan masyarakat Tionghoa tersebut, sebuah etnis yang secara politik dan ekonomi tergolong marginal. Opsi Gereja terhadap kelompok marginal adalah pilihan mutlak untuk mewujudkan Kerajaan Allah di dunia. Sebagaimana Kristus datang untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, dan memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (Luk 4:18-19), demikian pula Gereja mewartakan kabar keselamatan kepada semua orang dari segala suku, bangsa dan bahasa. Aneka sekolah yang ada di Prefektur/Vikariat Apostolik Semarang menjadi wujud opsi tersebut, meskipun sekolah-sekolah tersebut tidak berada langsung di bawah pengawasan Prefektur/Vikariat Apostolik.
Opsi Gereja tersebut lebih-lebih tampak dalam pengelolaan Sekolah Yu Te.
Karya ilmiah ini akan memaparkan perjuangan Gereja dalam mempertahankan opsi-nya menyapa dan memelihara anak-anak keturunan Tionghoa Totok di kota Semarang. Pergolakan yang terjadi di Indonesia, menyangkut warga keturunan Tionghoa, sangat kental mewarnai perjuangan Gereja dalam mempertahankan opsi-nya. Bersinergi dengan kebijakan pemerintah menjadi satu-satunya pilihan dalam mempertahankan opsi tersebut. Pada tanggal 27 April 1966, Pemerintahan Militer Indonesia, melalui Penguasa Perang Daerah (Peperda) Jawa Tengah,
mengeluarkan surat keputusan yang mengatakan bahwa Sekolah-sekolah Asing Tionghoa yang berada di Daerah Tingkat (Dati) I Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dijadikan Sekolah Nasional35. Sekolah-sekolah Tionghoa, sebagaimana disebutkan dalam sub bab sebelumnya, pun ditutup oleh pengelola masing-masing. Sekolah Yu Te, the first Christian Chinese-language school36 di kota Semarang, akhirnya dilebur ke Sekolah Theresiana, sekolah Katolik berbahasa Indonesia. Peleburan ini menjadi keputusan final otoritas gerejawi berhadapan dengan perkembangan perpolitikan di Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1966. Peleburan ini pun menjadi bukti Gereja yang tetap mempertahankan opsi-nya terhadap kelompok marginal.
Tionghoa di Indonesia menjadi kelompok marginal terlebih sejak penguasa kolonial Belanda masuk ke Nusantara. Dengan sistem politik Cultuur Stelsel37 (1830-1870), masyarakat keturunan Tionghoa dikelompokkan ke dalam wilayah geografis tertentu yang kemudian disebut Pecinan38. Di samping itu, politik devide et impera yang diterapkan Belanda juga semakin memisahkan jarak antara masyarakat keturunan Tionghoa dan pribumi. Belanda menempatkan keturunan Eropa pada kelas pertama, Tionghoa pada kelas kedua, dengan istilah
“Timur Asing”, dan pribumi pada kelas ketiga39.
35 “Sekolah2 Tionghoa Asing Didjadikan Sek. Nasional”, sebuah artikel koran pada bulan April 1966.
36 Donald Earl Willmott, The Chinese of Semarang: A Changing Minority Community in Indonesia, 171.
37 Cultuur Stelsel: Siasat budidaya tanaman komoditi ekspor.
38 Aturan untuk permukiman khusus di Pecinan tersebut dicabut pada tahun 1919, namun dampaknya tetap terasakan hingga pada dekade-dekade berikutnya.
39 Lembaga Studi Realino, Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa, 16-18.
Berbeda dengan “nasib” masyarakat keturunan Tionghoa di Filipina. Pada tahun 2000, Edgar Wickberg mempublikasikan buku yang diberinya judul The Chinese in Philippine Life 1850-1898. Di dalam buku tersebut, Wickberg mengupas terbentuknya pranata sosial dan ekonomi yang mapan di Filipina yang berlangsung dalam rentang tahun 1850-1898. Wickberg hendak menggambarkan posisi ekonomi dan sosial etnis Tionghoa di Filipina menjelang tahun 1850 dan pengaruhnya bagi terlembagakannya pranata sosial dan ekonomi dalam rentang tahun 1850-1898. Tulisan Wickberg yang merupakan penelitian pertama mengenai komunitas masyarakat Tionghoa Filipina pada abad XIX ini ingin menunjukkan bahwa di Filipina tidak ada diskriminasi bagi masyarakat Tionghoa, apalagi menempatkan mereka ke dalam kelompok marginal40.
Mengetahui bagaimana Gereja mempertahankan opsi-nya terhadap kelompok marginal sekaligus mengkritisi perubahan makna marginal, inilah tujuan pokok penulisan karya ilmiah ini. Tujuan sekunder dari karya ilmiah ini adalah untuk menegaskan bahwa kekatolikan dan nasionalisme orang Katolik di Vikariat Apostolik/Keuskupan Agung Semarang dapatlah berjalan bersama demi membangun Gereja dan Negara. Penulisan ini penting, mengingat bahwa Sekolah Yu Te merupakan satu-satunya sekolah Tionghoa yang pernah dimiliki oleh Vikariat Apostolik/Keuskupan Agung Semarang sepanjang sejarah. Penelitian ini pun merupakan penelitian pertama akan eksistensi sekolah Tionghoa Katolik di Vikariat Apostolik/Keuskupan Agung Semarang. Dengan melakukan penelitian terhadap surat-surat hierarki Gereja dan Pemerintah, pustaka dan wawancara,
40 Edgar Wickberg, The Chinese in Philippine Life 1850-1898, Ateneo De Manila University Press, Manila 2000, xiv.
sumber-sumber penting penelitian sejarah ini diolah dan dirumuskan secara sistematis. Penelitian dan penulisan ini menjadi salah satu bentuk tanggung jawab pada sejarah Gereja Keuskupan Agung Semarang. Selain itu, tulisan ini juga dimaksudkan untuk membangun konsientisasi masyarakat Indonesia tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terbangun atas kemajemukan budaya dan suku bangsa. Terakhir, tujuan dari penulisan karya ilmiah ini ialah juga sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menempuh ujian pendadaran Magister Teologi di Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.