iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah yang kudus, kudus dan berkuasa, kudus dan kekal. Atas kerahiman ilahi-Nya, penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Banyak pihak turut berperan dalam penyelesaian tesis ini. Maka dari itu, penulis menghaturkan terimakasih yang tiada berhingga, khususnya kepada:
1. Pastor Dr. A. Budi Susanto SJ dan Pastor Dr. Fl. Hasto Rosariyanto SJ, yang telah membimbing penulis dalam penyusunan tesis ini.
2. Kuria Keuskupan Agung Semarang, yang meneguhkan penulis selama proses penyusunan tesis ini.
3. Staf Keuskupan Agung Semarang, staf Yayasan Bernardus dan Direktorat Sekolah Theresiana Semarang, dan staf Perpustakaan Seminari Tinggi St.
Paulus Yogyakarta, yang telah meminjamkan arsip dan buku referensi.
4. Para narasumber: Bapak Hubertus Hendro Prabowo (Gan Hoo Ie), Bapak Martin Hadi Susilo (Khoe Kiem Liong), Ibu F. Kusmayati (Koo Hiang Hwa), Ibu Margaretha Indrijati, Ibu Anna Maria Endang Susilowati (Oei Kiok Hwa) dan Bapak Nicolaus Sularno, yang rela berbagi kisah sejarah.
5. Bapak dan Simbah di Surga. Ibuk; Mas Yust, Ayu‟, Clara, Celine, Mbak Tri; Mas Whin, Lia, Ana, Tika, Mbak Rin; Mas Mon, Rian, Vian, Mbak Tut; yang telah mendukung penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.
6. Rekan-rekan imam Angkatan (2007), Komunitas (Seminari Tinggi, Vianney dan Pringwulung) serta Rayon Kota Jogja.
7. Keluarga “23409” – KoNsIsTeN!
iv
Peran serta, doa, sapaan dan kehadiran Anda telah meneguhkan dan menggairahkan semangat penulis dalam menyusun dan menyelesaikan tesis ini.
Berkat Allah yang Mahakudus, Mahakuasa dan Kekal berlimpah untuk Anda.
Penulis menyadari bahwa sebagai karya ilmiah, tesis ini tentu belumlah sempurna. Masih ada banyak kisah sejarah yang mungkin terlewatkan dalam tulisan ini. Maka dari itu, saran dan kritik amatlah diharapkan demi menemukan sebuah kebenaran sejati atas peristiwa monumental dalam sejarah pendidikan di Keuskupan Agung Semarang: Sekolah “Yu Te,” The First Christian Chinese- Language School menjadi Sekolah Nasional Theresiana.
Yogyakarta, 23 April 2010
Matheus Sukmawanto
v
TESIS ini dipersembahkan kepada:
† Kerahiman Ilahi-Nya yang Tak Berhingga †
† Santa Theresia Lisieux †
† Santa Faustina †
* Umat Allah Keuskupan Agung Semarang *
* Warga Keturunan Tionghoa di Indonesia *
vi ABSTRAK
Penelitian ini menegaskan bahwa pada awal kehidupan Negara Kesatuan Republik Indonesia, hal keagamaan dan nasionalitas orang Katolik di Keuskupan Agung Semarang dapatlah berjalan bersama demi membangun Gereja dan Negara. Pendidikan menjadi sarana Gereja menyentuh kelompok marginal, apalagi pada kalangan yang sering disebut “bukan pribumi.” Di Vikariat Apostolik/Keuskupan Agung Semarang, sejak 2 Mei 1950, Sekolah Yu Te adalah Sekolah Katolik berbahasa Tionghoa pertama untuk kelompok marginal tersebut.
Penelitian ini mengkaji surat menyurat hierarki Gereja dengan Pemerintah, studi pustaka dan wawancara dengan sejumlah pihak yang terkait dengan peristiwa sejarah tersebut. Hasilnya dapat memberi alternatif terhadap pandangan sepihak selama ini bahwa “People without History” ataupun “History without People.”
Mgr. A. Soegijapranata SJ, sebagai pemegang otoritas tertinggi Vikariat Apostolik Semarang, mendukung penuh opsi yang terwujud dalam Sekolah Yu Te tersebut demi memberi kesempatan secara positif kepada anak-anak “asing” untuk dapat mengikuti pengajaran sendiri yang berdasarkan kebudayaan kebangsaan mereka dan pula menurut dasar keagamaan. Namun demikian, bersama bangsa Indonesia yang memperjuangkan nasionalismenya, Mgr. A. Soegijapranata SJ juga turut mengarahkan agar murid-murid (non pribumi) di Sekolah Yu Te mempunyai rasa hormat dan setia kepada nasionalitas di Indonesia.
Pada masa post peristiwa 1965 yang terkenal dalam sejarah bangsa Indonesia, Pangdam VII/Diponegoro memutuskan “menutup semua Sekolah Asing” (27 April 1966) yang berakibat “Sekolah Yu Te dilebur ke Sekolah Nasional Theresiana” pada tanggal 20 Mei 1966. Gereja, sebagai sebuah komunitas universal, hadir sebagai pembela hak-hak dasariah manusia berhadapan dengan Pemerintah yang belum stabil, dan mampu menghindari eksklusivitas SARA yang rawan terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
vii ABSTRACT
This research is to corroborate that in the initial establishment of the Republic of Indonesia, aspects related to religious life and nationality of the Catholic people in Archdiocese of Semarang could go hand in hand to develop the Church and Nation. Education was one instrument to reach out the marginalized, particularly addresed to those who were often named “non natives.” In Apostolic Vicariate or Archdiocese of Semarang since 2 May 1950, Yu Te School was the first Catholic School which used Chinese language for that marginalized group.
This research examines the correspondences between the Church and the Government, as well as library study and interviews with several people related to that historical events. The results could bring the alternative insights regarding the one-sided perspective of “People without History” or “History without People.”
Mgr. A. Soegijapranata SJ, as the highest authority of Apostolic Vicariate in Semarang, fully supported the option manifested in Yu Te School in the attempt to open a positive opportunity for the “foreign” children to attain education which was based on their own culture and yet still followed the religious basis. However, with the Indonesian people fighting for nationalism, Mgr. A. Soegijapranata SJ also directed the „non-native‟ students at Yu Te School to attain the respect and allegiance to nationality in Indonesia.
During post-1965, a famous event in the history of the Indonesian nation, the Commander of District VII/Diponegoro decided to “close down all foreign schools” (27 April 1966) in which brought consequences: “Yu Te School was merged into Theresiana National School” on 20 May 1966. The Church, as a universal community, was present as the defender of the most fundamental human rights dealing with the volatile government, hence this could preclude the exclusivity of „SARA‟ (meaning: ethnic, religion, race and groups) which is susceptible to explode in the Republic of Indonesia.
viii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………. i
HALAMAN PENGESAHAN ……….. ii
KATA PENGANTAR ……….. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN……… v
ABSTRAK……….… vi
ABSTRACT ……….. vii
HALAMAN DAFTAR ISI ………... viii
BAB I. PENDAHULUAN……… 1
1.1 Latar Belakang……….………… 1
1.2 Tujuan ………. 10
1.3 Pemfokusan ……….…… 14
1.4 Metodologi dan Sistematika……… 16
1.5 Referensi……….. 21
BAB II. AWAL NASIONALITAS REPUBLIK INDONESIA: KOMITMEN VIKARIAT APOSTOLIK SEMARANG DALAM PENDIDIKAN UNTUK KELOMPOK MARGINAL…... 25
2.1 Keterlibatan Misionaris dalam Sekolah-sekolah di Vikariat Apostolik Semarang………..……… 26
2.2 Kebon Dalem, Lahan Subur Pastoral untuk Keturunan Tionghoa……… 28
2.2.1 Kebon Dalem: Riwayatnya ………..… 28
2.2.2 Proyek Agung Pastor Simon Beekman SJ bagi Warga Tionghoa Semarang ……..……… 33
2.2.3 Membeli Tanah untuk Misi ………. 36
2.3 Sekolah Yu Te, The First Christian Chinese-Language School ……….. 42
2.3.1 Asas dan Dasar Pendirian Sekolah Yu Te ……… 46
2.3.2 Sekolah Theresiana, Pendulum bagi Yu Te ……….. 51
ix
2.4 Yayasan Bernardus, Yayasan Nasional milik Vikariat
Apostolik Semarang …...……….. 54
2.5 Simpulan ……….. 56
BAB III. INDONESIANISASI SEKOLAH YU TE (1950-1966):
KONSENSUS UNIVERSALITAS GEREJA
DAN NASIONALITAS NEGARA ……..………. 60
3.1 Status SD Yu Te Dipertanyakan Pemerintah .……… 61 3.2 Darurat Perang Pasca 30 September 1965 ………..……… 68 3.3 Dilematis: Ditutup? Dijadikan Sekolah Nasional?
Diserahkan kepada Pemerintah?..……… 71
3.4 Simpulan ………...……….. 81
BAB IV. INDONESIANISASI ORDE BARU 1965-AN:
DARI YU TE KE THERESIANA………. 86
4.1 Dilema Meruncing: Tawar-menawar Uskup Agung Semarang
dengan Penguasa Perang Daerah ..…..………...… 89 4.2 Puncak Dilema: Tarik Ulur antara Pengurus dan Pelaksana
Yayasan Bernardus. Lewat “Pintu Belakang” …..………..…… 100 4.3 Keputusan Final: “Sekolah Yu Te” menjadi “Sekolah Theresiana” …..…. 107
4.4 Simpulan ……….……… 110
V. KESIMPULAN: KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG:
GEREJA INKLUSIF, MENDIDIK BERSAMA
KALANGAN YANG LEMAH ……….………. 115
1. Visi, Gereja Misionaris: Gereja KLMT ………..……… 116 2. Ajaran Sosial Gereja yang Mewujud ………..……… 120 3. Pejuang-pejuang Nasionalis Gereja di Keuskupan Agung Semarang …… 125 3.1 Pastor Simon Beekman SJ (1893-1974):
“mengandung welas asih dan kesutjian”
… “jang peramah, tadjam dan djernih pandangannja”….…………..… .. 127
x
3.2 Pastor Rochus Chang Peng Tu Pr (1922-1997):
Pejuang tangguh dari Daratan Tiongkok ……….... 130 3.3 Mgr. A. Soegijapranata SJ (1896-1963):
Pribumi yang Piawai Melobi ..……… 131 3.4 Mgr. J. Darmojuwono (1914-1994):
Humble Decision Maker ………. 133
3.5 Pastor Lim Sik Hok SJ (1921-1995):
Kritikus yang Visioner dan Misioner ……….. 133 3.6 Pastor L. Moerabi SJ (1912-1979):
Cekatan Mengambil Tindakan …..….………...……….. 135 3.7 Pastor G. van Delft SJ (1929-1992):
Menyikapi dengan Hati .….……….……… 137
4. Nasionalisme Gerejani: Peleburan Sekolah Tionghoa Yu Te
ke Sekolah Nasional Theresiana ………. 138
DAFTAR PUSTAKA……..……….. 142
LAMPIRAN 1
Surat Vikaris Apostolik Semarang, Mgr. A. Soegijapranata SJ, kepada Ketua Yayasan Bernardus, No. 816/B/VIII/58,
perihal Sekolah Yu Te; 14 November 1958 ……….. 149
LAMPIRAN 2
Surat Uskup Agung Semarang, Mgr. J. Darmojuwono,
kepada Kepala Biro Pendidikan Asing Jakarta, No. 294/B/VIII/a/10/64,
perihal Status SD Yu Te/Jajasan Bernardus; 13 Juni 1964……… 150
LAMPIRAN 3
Surat Keputusan „Perubahan Susunan Pengurus “Jajasan Bernardus”‟;
30 Agustus 1965……… 151
xi LAMPIRAN 4
“Sekolah Yu Te tetap asing atau menjdadi nasional?”……….. 152
LAMPIRAN 5
“Sekolah2 Tionghoa Asing Didjadikan Sek. Nasional”……… 153
LAMPIRAN 6
Surat Sekretaris Keuskupan Agung Semarang, Pastor G. van Delft SJ, kepada Komandan Komando Distrik Militer 0733 Semarang;
27 April 1966………. 154
LAMPIRAN 7
Surat Uskup Agung Semarang, Mgr. J. Darmojuwono,
kepada Panglima KODAM VII/Diponegoro, No. 284/B/VIII/a/10/66, perihal STK dan SD Yu Te asing Katolik
dari Yayasan Nasional Katolik; 4 Mei 1966……….. 155
LAMPIRAN 8
Surat Komandan Pembantu Pelaksana Kuasa Perang (Pepekuper)
Komando Distrik Militer 0733 Semarang kepada Uskup Agung Semarang, No. B-144/5/1966, perihal penjegelan dan pendaftaran
barang2 inventaris Sekolah Milik Tionghoa Asing; 5 Mei 1966 ……….. 157
LAMPIRAN 9
Surat pribadi Pastor L. Moerabi SJ
kepada Pastor G. van Delft SJ, 17 Mei 1966………. 158
LAMPIRAN 10
Surat Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Semarang, Pastor C. Carri SJ, kepada Pengurus Yayasan Bernardus, No. 310/B VIIIa 11/66,
perihal “Kebidjaksaan tentang TK dan SD Yu Te”, 17 Mei 1966………. 160
xii LAMPIRAN 11
Surat Yayasan Bernardus kepada Menteri P.D. dan K, melalui Perwakilan Departemen P.D dan K Jawa Tengah, No. 29/syt/jb/66, perihal perubahan Sekolah Yu Te
menjadi sekolah Nasional, 19 Mei 1966 .……….. 161
LAMPIRAN 12
Akte Pendirian “Jajasan BERNARDUS” ………. 162
LAMPIRAN 13
Akta Pendirian SD Theresiana 1
Jl. Gajah Mada No. 91 Semarang, No: 51/A-1/YB/92……….. 167
LAMPIRAN 14
Laporan Tahunan Pengawasan SR/SMP Theresiana dan Yu-Te …...………... 168
LAMPIRAN 15
Transkrip wawancara dengan F. Kusmayati (Koo Hiang Hwa)……… 169
LAMPIRAN 16
Transkrip wawancara dengan Hubertus Hendro Prabowo (Gan Hoo Ie) ……. 170
LAMPIRAN 17
Transkrip wawancara dengan Martin Hadi Susilo ……… 172
LAMPIRAN 18
Transkrip wawancara dengan Anna Maria Endang Susilowati………. 175
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tema kekatolikan dan nasionalisme begitu hangat dibicarakan, bahkan sejak Negara Kesatuan Republik Indonesia belum berdiri. Monseigneur (Mgr.) Albertus Soegijapranata SJ, yang diangkat menjadi Vikaris Apostolik Semarang per 1 Agustus 19401, pun amat terkenal dengan semboyan ironisnya, “100%
Katolik, 100% Indonesia”. Semboyan itu diungkapkan dalam konteks orang Katolik Indonesia yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya sebagai bangsa Indonesia. Di bawah pimpinan Mgr. A. Soegijapranata SJ, Vikariat Apostolik Semarang yang berdiri sejak 25 Juni 1940 pun berpartisipasi aktif dalam perjuangan tersebut.
Kekatolikan dan nasionalisme menjadi tema yang sangat menarik. Hal ini mengingat bahwa agama Katolik, di satu sisi, merupakan agama yang datang bersamaan dengan para misionaris Belanda, bahkan oleh Jepang dituduh sebagai agama kolonial2; dan di sisi lain, Gereja Katolik di Indonesia merupakan bagian dari Gereja Katolik Roma, sehingga menimbulkan kesan mengabdi dua tuan, Vatikan dan Indonesia. Maka, tidak heran apabila nasionalisme orang Katolik Indonesia dipertanyakan, apakah mengabdi Belanda, Vatikan, ataukah Indonesia.
1 Boelaars, Huub, J.W.M. OFM Cap., Indonesianisasi-dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Kanisius, Yogyakarta 2005, 112.
2 G. Budi Subanar SJ, Soegija, Si Anak Betlehem van Java, Kanisius, Yogyakarta 2003, 140.
Pada tanggal 3 Januari 1961, Paus Yohanes XXIII mendirikan hierarki di Indonesia3. Hal ini menandai berakhirnya status daerah misi, dan dimulainya
“Gereja Katolik Indonesia” yang mandiri. Ditetapkan, sejumlah enam keuskupan agung4 dan sembilan belas keuskupan sufragan5. “Vikariat Apostolik Semarang”
ditetapkan sebagai “Keuskupan Agung Semarang,” dan Mgr. A. Soegijapranata SJ menjadi Uskup Agung Semarang yang pertama. Selanjutnya, dalam tulisan ilmiah ini, terminologi “Keuskupan Agung Semarang” dipergunakan dalam konteks Gereja Katolik Semarang pasca 3 Januari 1961. Terminologi “Vikariat Apostolik Semarang” dipergunakan dalam konteks Gereja Katolik Semarang antara 25 Juni 1940 dan 3 Januari 1961. Sebelum 25 Juni 1940, Semarang masih di bawah Vikariat Apostolik Batavia.
Para misionaris di Semarang melayani aneka etnis dan bahasa. Etnis yang mayoritas terdapat di Semarang adalah Eropa, Tionghoa dan Pribumi. Dalam kurun waktu ini, yang dimaksud Eropa tidak lain ialah Eurasia6, orang-orang keturunan campuran Eropa dan Asia. Yang dimaksud Tionghoa adalah orang- orang Tionghoa Totok dan Tionghoa Peranakan, sedangkan yang dimaksud Pribumi adalah orang-orang keturunan Jawa. Karya pendidikan menjadi salah satu wadah yang dipilih sebagai sarana untuk menyapa berbagai etnis tersebut, di
3 Boelaars, Huub, J.W.M. OFM Cap., Indonesianisasi-dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, 139.
4 Enam Keuskupan Agung tersebut adalah Semarang (dengan tiga Keuskupan Sufragan:
Purwokerto, Surabaya dan Malang), Jakarta (dengan dua Keuskupan Sufragan: Bandung dan Bogor), Pontianak (dengan empat Keuskupan Sufragan: Banjarmasin, Samarinda, Ketapang dan Sintang), Makassar (dengan dua Keuskupan Sufragan: Manado dan Amboina), Medan (dengan empat Keuskupan Sufragan: Palembang, Pangkal Pinang, Tanjung Karang dan Padang), Ende (dengan empat Keuskupan Sufragan: Atambua, Larantuka, Ruteng dan Denpasar).
5 Boelaars, Huub, J.W.M. OFM Cap., Indonesianisasi-dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, 142-143.
6 Joachim van der Linden FIC, Donum Desursum (Anugerah dari Atas) Kongregasi FIC di Indonesia 1920-1980, Semarang 1993, 85.
samping karya-karya karitatif lainnya, seperti kursus-kursus dan Rumah Yatim (dan Piatu)7. Tujuannya yakni supaya warta keselamatan sampai kepada semua orang. Maka dari itu, didirikanlah sekolah-sekolah Katolik bagi keturunan Eropa:
ELS (Europese Lagere School, Sekolah Rendah Eropa), MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, Pengajaran Rendah Lebih Luas), Kweekschool (Sekolah Pendidikan Guru). Menurut kemampuan ekonomi, disediakan dua sekolah, Sekolah Santo Yusup, bagi yang berkecukupan, dan Sekolah Xaverius, bagi yang tidak berkecukupan. Didirikan pula sekolah untuk keturunan Tionghoa, yakni HCS (Hollands Chinese School, Sekolah Tionghoa Belanda), satu di antaranya ialah Saint Mary’s Hall, Sekolah setingkat Taman Kanak-kanak8. Di samping itu, bagi warga pribumi disediakan HIS (Hollands Indie School, Sekolah Hindia Belanda) Katolik bersubsidi, di Kobong, dan ada pula HIS tidak bersubsidi di Jomblang. Kedua HIS tersebut dikelola oleh Yayasan Kanisius9.
Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 1920, warga keturunan Tionghoa di Semarang berjumlah 19.727 jiwa, dua kali lebih besar dibandingkan tahun 190010. Sepuluh tahun kemudian, 1930, jumlah tersebut menjadi 27.423 jiwa11 dari jumlah total penduduk kota Semarang 217.775 jiwa12. Jumlah warga keturunan Tionghoa di Semarang tersebut semakin bertambah, lebih-lebih karena
7 Simon Beekman SJ, Kebon Dalem – Semarang, 1961, 3-4.
8 Simon Beekman SJ, Kebon Dalem – Semarang, 4.
Buku Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan, 2000, 15.
9 Joachim van der Linden FIC, Donum Desursum (Anugerah dari Atas) Kongregasi FIC di Indonesia 1920-1980, 84-85.
10 Donald Earl Willmott, The Chinese of Semarang: A Changing Minority Community in Indonesia, Cornell University Press, London 1960, 8.
11 Donald Earl Willmott, The Chinese of Semarang: A Changing Minority Community in Indonesia, 8.
12 Joachim van der Linden FIC, Donum Desursum (Anugerah dari Atas) Kongregasi FIC di Indonesia 1920-1980, 81.
kota Semarang merupakan salah satu kota di daerah pesisir utara Pulau Jawa yang menjadi sentral perniagaan antara warga pribumi dan pendatang. Yang dimaksud pendatang di sini tidak lain adalah para saudagar dari Tiongkok yang masuk dan keluar kota Semarang dengan membawa rempah-rempah dan barang dagangan lainnya13. Tidak jarang, para saudagar tersebut menetap sekian waktu lamanya di kota Semarang.
Selain urusan perniagaan, migrasi dari Tiongkok ke Semarang juga dipicu oleh keadaan politik di Tiongkok tahun 1940-1950. Pada tahun 1942-1945, Jepang menduduki Tiongkok dan memunculkan gerakan-gerakan revolusioner di kalangan warga Tiongkok sendiri14. Emigrasi terbesar kemudian terjadi dalam kurun waktu tahun 1946 hingga 1950. Mereka yang datang dalam kurun waktu tersebut adalah orang-orang Tiongkok pro Kuomintang yang kalah dalam “perang saudara”15. Interaksi dengan warga yang telah terlebih dahulu menetap di Semarang membawa mereka pada perkawinan. Buah dari perkawinan mereka, lahirlah anak-anak keturunan Tionghoa.
Jumlah warga Tionghoa yang semakin besar berimbas pada semakin banyaknya jumlah anak-anak keturunan Tionghoa di kota Semarang. Fenomena itu membuat orang-orang Tionghoa Semarang berpikir mengenai masa depan
13 Tembakau, gula, kopra, karet, kapuk, ketela, kayu jati, kopi, coklat.
Joachim van der Linden FIC, Donum Desursum (Anugerah dari Atas) Kongregasi FIC di Indonesia 1920-1980, 81.
14 Donald Earl Willmott, The Chinese of Semarang: A Changing Minority Community in Indonesia, 8.
15 Kuomintang ialah Partai Nasionalis Cina yang berseteru dengan Partai Komunis Cina pasca terbentuknya Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada tahun 1911. Perseteruan memuncak pasca pendudukan Jepang atas RRT (1942-1945), dan berakhir dengan kemenangan Partai Komunis Cina pimpinan Mao Ze-tung pada tahun 1949.
keturunan mereka. Mulailah mereka mendirikan sekolah-sekolah sebagai tempat pewarisan nilai-nilai budaya leluhur.
Bagi masyarakat Tionghoa, pendidikan itu penting. W.F. Loudon, wakil konsulat Inggris di Semarang, pada tanggal 16 September 1936 menulis demikian16, “Education trains and disciplines the mind and so helps towards the formation of a worthy character.” Pendidikan membuat otak terlatih dan tertata, sehingga mendukung pembentukan karakter manusia. “The educated individual who is ruled by animal instincs is of far less value to the world than the totally ignorant labourer imbued with the spirit of service and sacrifice.” Seorang terpelajar yang hidupnya dikendalikan oleh insting kebinatangan tidaklah lebih berharga daripada seorang buruh tidak berpendidikan yang penuh semangat pelayanan dan pengorbanan. “Service and sacrifice, these are the keystones to progress.” Pelayanan dan pengorbanan inilah yang menjadi kata kunci perkembangan. Loudon menekankan pentingnya pendidikan dalam kaitannya dengan kebangsaan. Semakin terpelajar sebuah bangsa, semakin baguslah integritas dan masa depannya. “Education must be considered to form one of the foundation stones of national life. The higher educated the nation, the keener its prosperity and integrity.”
Tercatat bahwa pada tahun 1904, di kota Semarang telah didirikan Sekolah Tiong Hoa Hwee Kwan (T.H.H.K.). Sekolah ini merupakan wujud kepedulian organisasi dagang Tionghoa bernama Tiong Hoa Hwee Kwan itu sendiri. Sekolah
16 Tulisan tersebut dimuat dalam Buku Kenangan Chinese English School Jubilee Number 1916- 1936, dalam rangka memperingati ulangtahun ke-20 berdirinya (15 Maret) Hwa Ing di Semarang.
Hwa Ing Tiong Hak, Chinese English School Jubilee Number 1916-1936, Semarang 1936, 9.
T.H.H.K. adalah sekolah Tionghoa pertama dengan kurikulum modern17. Sekolah ini berkiblat ke Tiongkok, dan menggunakan bahasa Mandarin. Dalam perkembangannya, Sekolah T.H.H.K. ini menjadi sangat besar18. Sekolah ini kemudian didukung dengan sebuah Yayasan yaitu Hak Boe Tjong Hwe, sebuah Yayasan yang bertujuan memajukan pendidikan di kalangan masyarakat Tionghoa dengan membuat program pendidikan bagi Sekolah-sekolah T.H.H.K.
Sekolah T.H.H.K hanyalah satu dari sekian banyak sekolah Tionghoa lain yang juga berbahasa Tionghoa dan berkiblat ke Tiongkok. Sumber dari UNESCO mencatat bahwa di Indonesia, pada tahun 1950, ada 1000 sekolah Tionghoa dengan 200.000 murid19. Dari semua sekolah Tionghoa yang ada di Semarang, tiga di antaranya berorientasi ke Peking (Beijing). Sekolah-sekolah itu bukanlah sekolah komunis, bahkan mereka kebanyakan non-komunis, meskipun bersimpati kepada Mao Tze-tung20. Sebagian Chinese English School (CES) juga berorientasi ke Peking21, sedangkan sekolah Tionghoa pro komunis di Semarang ialah Sin You She School (kini SMP Negeri 32 Semarang). Ada pula tiga sekolah Tionghoa pro Kuomintang, yakni “Sekolah Kuomintang,” mengambil nama Partai Nasionalis Tionghoa.
17 Donald Earl Willmott, The Chinese of Semarang: A Changing Minority Community in Indonesia, 26.
18 Pada tahun 1911, jumlah Sekolah T.H.H.K. di Jawa ada 93 unit. Pada tahun 1920, jumlah tersebut berkembang menjadi 442 unit dengan jumlah total murid hampir 20.000 anak.
Donald Earl Willmott, The Chinese of Semarang: A Changing Minority Community in Indonesia, 26, 169.
19 Donald Earl Willmott, The Chinese of Semarang: A Changing Minority Community in Indonesia, 26.
20 Donald Earl Willmott, The Chinese of Semarang: A Changing Minority Community in Indonesia, 35.
21 Donald Earl Willmott, The Chinese of Semarang: A Changing Minority Community in Indonesia, 172.
Menurut Earl Willmott, apabila digolongkan menurut penyelenggara dan menurut bahasa pengantar yang dipergunakan, ada empat kategori sekolah Tionghoa. Pertama, sekolah berbahasa Tionghoa yang diselenggarakan oleh Tionghoa. Kedua, sekolah berbahasa Indonesia yang diselenggarakan oleh Tionghoa. Ketiga, sekolah Tionghoa Kristen. Keempat, sekolah milik pemerintah22. Namun demikian, ada satu CES yang sekaligus masuk dalam dua kategori; mengingat ada yang disampaikan dalam bahasa Indonesia, dan ada pula yang disampaikan dalam bahasa Tionghoa.
Dalam suasana politik sesudah peristiwa 30 September 1965 dan melihat sedemikian banyaknya sekolah Tionghoa, bahkan berhaluan komunis, Gereja tidak mau apabila anak-anak keturunan Tionghoa dididik dengan sistem Tiongkok. Hal ini dapat diketahui dari surat tanggapan Uskup Agung Semarang, Mgr. J. Darmojuwono, atas surat keputusan Pangdam VII/Diponegoro, 27 April 1966, yang menetapkan bahwa, salah satunya, sekolah-sekolah asing Tionghoa dijadikan Sekolah Nasional. “Mgr. A. Soegijapranata SJ sedjak dulu memperhatikan bahaja bahwa pendidikan anak2 Tionghoa asing di Semarang akan mendjadi monopoli dari pihak ateis materialis menurut sistim RRT”23. Gereja merasa berkewajiban untuk turut memberikan kesempatan kepada anak- anak Tionghoa ini supaya dapat mengikuti pengajaran sendiri yang berdasarkan kebudayaan kebangsaan mereka, sekaligus menurut dasar keagamaan24. Surat
22 Donald Earl Willmott, The Chinese of Semarang: A Changing Minority Community in Indonesia, 172.
23 Surat Uskup Agung Semarang, Mgr. J. Darmojuwono, kepada Pangdam Diponegoro, No.
284/B/VIII/a/10/66.
24 Surat Vikaris Apostolik Semarang, Mgr. A. Soegijapranata SJ, kepada Ketua Yayasan Bernardus, No. 816/B/VIII/58.
Mgr. J. Darmojuwono ini sekaligus menjadi pertanggungjawaban Gereja atas Sekolah Yu Te yang didirikan oleh Pastor Simon Beekman SJ pada tanggal 2 Mei 1950. Sekolah Yu Te ini diselenggarakan oleh Yayasan Bernardus. Baik Sekolah maupun Yayasan ini berada di bawah pengawasan langsung Keuskupan Agung Semarang25. Bahasa pengantar yang dipergunakan tidak lain ialah bahasa Mandarin.
Pada awalnya, Sekolah Yu Te ini dimaksudkan untuk memungut anak- anak terlantar di kawasan Pecinan Semarang. Pemrakarsa Sekolah ini adalah seorang Pastor Jesuit berkebangsaan Belanda, Simon Beekman SJ26. Pastor Simon Beekman SJ mendirikan Sekolah Yu Te di kawasan Pecinan Kebon Dalem, Semarang. Sekolah setingkat Taman Kanak-kanak ini kemudian berkembang ke tingkat pendidikan dasar. Sekolah Yu Te tingkat sekolah dasar didirikan pada tahun 1952. Mulai pada tahun 1952 ini pula, proses belajar-mengajar di Sekolah Yu Te dilaksanakan di bawah koordinasi dua orang Pastor yang didatangkan dari Keuskupan Honan, Tiongkok, yakni Pastor Joseph Ting Shu Yen Pr dan Pastor Rochus Chang Peng Tu Pr27.
25 Surat Uskup Agung Semarang, Mgr. J. Darmojuwono, kepada Kepala Biro Pendidikan Asing Jakarta, No. 294/B/VIII/a/10/64
26 Simon Beekman SJ lahir pada tanggal 12 Maret 1893 di Limmen, Netherland. Simon Beekman bergabung dengan Serikat Jesus pada bulan September 1912. Pada tanggal 10 Agustus 1922, Simon Beekman SJ menerima tahbisan imam di Maastricht. Simon Beekman SJ tiba di Semarang pada tanggal 16 Januari 1925.
27 Pastor Joseph Ting Shu Yen Pr lahir di Kirin (Jilin) pada tanggal 3 November 1921.
Pastor Rochus Chang Peng Tu Pr lahir di Heilungkiang (Heilongjiang) pada tanggal 11 Oktober 1922. Keduanya menerima tahbisan imam dari tangan Uskup Yuan di Keuskupan Honan pada tanggal 8 Maret 1952. Pastor Joseph Ting Shu Yen Pr dan Pastor Rochus Chang Peng Tu Pr tiba di Semarang pada tanggal 25 Maret 1952.
Buku Kenangan Pesta Perak Rochus Chang Peng Tu Pr, Semarang 1977, 8.
Buku Kenangan 40 Tahun Imamat Rochus Chang Peng Tu Pr, Semarang 1992, 7-8.
Pada tahun 1958, Pastor Rochus Chang Peng Tu Pr, sebagai pelaksana Yayasan Bernardus, mendirikan Sekolah Nasional Theresiana. Sekolah Nasional ini didirikan untuk menampung anak-anak keturunan Tionghoa berbahasa Indonesia. Hal ini dilakukan mengingat bahwa Pemerintah Indonesia, melalui PP No.10 tanggal 6 November 1957, menghendaki supaya Warga Negara Indonesia tidak menjalani pendidikan di sekolah swasta asing28. Pada awalnya, Sekolah Nasional Theresiana ini terdiri dari satu unit sekolah Taman Kanak-kanak, satu unit sekolah tingkat dasar, dan satu unit sekolah lanjutan tingkat pertama. Delapan tahun berselang, dua windu setelah Sekolah Yu Te berdiri, masing-masing unit sekolah tersebut bertambah, tidak terbatas di Kota Semarang, melainkan juga di luar Kota Semarang29.
Seiring dengan bertambahnya usia Sekolah Theresiana, tulisan sistematis mengenai pilar-pilar sejarah perkembangannya semakin mendesak untuk disusun.
Hal ini sangat penting mengingat perlunya dokumentasi itu bagi langkah pengembangan Sekolah Theresiana. Mengingat bahwa tulisan ini disusun berdasarkan sejumlah kesaksian lisan, sejumlah surat menyurat penting yang telah tersimpan selama separuh abad di Kantor Arsip Keuskupan Agung Semarang, serta sejumlah karya-karya ilmiah pendukung, tulisan ini pun diharapkan dapat menjadi sumbangan penting bagi Gereja di dalam memperjuangkan opsinya terhadap kelompok marginal.
28 Leo Suryadinata, The Chinese Minority in Indonesia, Chopmen Enterprises, Singapore 1978, 26.
29 Sekolah Theresiana didirikan pula di Bandungan, Bedono, Sumowono, Weleri dan Salatiga.
1.2 Tujuan
Masyarakat Tionghoa di Semarang terdiri dari dua golongan, yakni Peranakan dan Totok. Menurut Suryadinata, terminologi Peranakan biasa ditujukan bagi orang-orang Tionghoa yang lahir di Indonesia dan akhirnya berasimilasi dengan kelompok masyarakat Indonesia (pribumi)30. Sumber lain mengatakan hal senada bahwa “Tionghoa Peranakan” biasa ditujukan untuk orang-orang yang lahir dari ayah Tionghoa dan ibu pribumi: ibu yang berpakaian daerah, makan makanan setempat, tidak mampu berbicara salah satu dialek dari daratan Tiongkok, dan tidak mempunyai tradisi kebudayaan leluhur dari sana31.
Menurut Suryadinata, terminologi “Tionghoa Totok” menunjuk pada orang-orang Tionghoa yang masih memegang tradisi kebudayaan dari Tiongkok32. Kebanyakan dari mereka mengikuti aliran Konfucius, maka mereka biasa menjalankan ritual di kelenteng-kelenteng33 (tanpa menutup kemungkinan bahwa ada pula yang Nasrani atau Muslim). Di dalam golongan itu, sekaligus tercakup kelompok para pendatang baru dari Tiongkok yang terdiri dari pria dan wanita.
Mereka datang dari utara (Tiongkok) ke selatan (Nusantara). Maka dari itu, mereka sering dijuluki Xin Ke (biasa dilafalkan “Singkeh” atau “Singkek”) yang berarti “tamu baru”34. Sedapat mungkin, mereka beranak cucu dengan sesama Totok, dan menghindari perkawinan campur dengan etnis lain. Bahasa yang
30 Leo Suryadinata, The Chinese Minority in Indonesia, 1-2.
31 Lembaga Studi Realino, Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa, Kanisius, Yogyakarta 1996, 14.
32 Leo Suryadinata, The Chinese Minority in Indonesia, 1.
33 Hingga saat ini (2009), ada tujuh kelenteng di kawasan Pecinan, dan empat kelenteng di luar kawasan Pecinan.
34 Agung Wijayanto, “Pastoral Orang Cina di Indonesia: Tanggung Jawab Bersama,” dalam Pijar- pijar Missioner dari Kampung Tionghoa Semarang, Buku Kenangan 70 Tahun Gereja Katolik Santo Fransiskus Xaverius Kebon Dalem, Semarang 2006, 41.
mereka pergunakan sehari-hari ialah bahasa asli dari Tiongkok yaitu bahasa “Hwa Yu” (baca: kuo-i; sekarang menjadi bahasa “Mandarin”, “Hwa Yu” yang sudah mengalami banyak penyingkatan).
Vikariat Apostolik Semarang menyapa kedua golongan masyarakat Tionghoa tersebut, sebuah etnis yang secara politik dan ekonomi tergolong marginal. Opsi Gereja terhadap kelompok marginal adalah pilihan mutlak untuk mewujudkan Kerajaan Allah di dunia. Sebagaimana Kristus datang untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, dan memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (Luk 4:18-19), demikian pula Gereja mewartakan kabar keselamatan kepada semua orang dari segala suku, bangsa dan bahasa. Aneka sekolah yang ada di Prefektur/Vikariat Apostolik Semarang menjadi wujud opsi tersebut, meskipun sekolah-sekolah tersebut tidak berada langsung di bawah pengawasan Prefektur/Vikariat Apostolik.
Opsi Gereja tersebut lebih-lebih tampak dalam pengelolaan Sekolah Yu Te.
Karya ilmiah ini akan memaparkan perjuangan Gereja dalam mempertahankan opsi-nya menyapa dan memelihara anak-anak keturunan Tionghoa Totok di kota Semarang. Pergolakan yang terjadi di Indonesia, menyangkut warga keturunan Tionghoa, sangat kental mewarnai perjuangan Gereja dalam mempertahankan opsi-nya. Bersinergi dengan kebijakan pemerintah menjadi satu-satunya pilihan dalam mempertahankan opsi tersebut. Pada tanggal 27 April 1966, Pemerintahan Militer Indonesia, melalui Penguasa Perang Daerah (Peperda) Jawa Tengah,
mengeluarkan surat keputusan yang mengatakan bahwa Sekolah-sekolah Asing Tionghoa yang berada di Daerah Tingkat (Dati) I Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dijadikan Sekolah Nasional35. Sekolah-sekolah Tionghoa, sebagaimana disebutkan dalam sub bab sebelumnya, pun ditutup oleh pengelola masing-masing. Sekolah Yu Te, the first Christian Chinese-language school36 di kota Semarang, akhirnya dilebur ke Sekolah Theresiana, sekolah Katolik berbahasa Indonesia. Peleburan ini menjadi keputusan final otoritas gerejawi berhadapan dengan perkembangan perpolitikan di Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1966. Peleburan ini pun menjadi bukti Gereja yang tetap mempertahankan opsi-nya terhadap kelompok marginal.
Tionghoa di Indonesia menjadi kelompok marginal terlebih sejak penguasa kolonial Belanda masuk ke Nusantara. Dengan sistem politik Cultuur Stelsel37 (1830-1870), masyarakat keturunan Tionghoa dikelompokkan ke dalam wilayah geografis tertentu yang kemudian disebut Pecinan38. Di samping itu, politik devide et impera yang diterapkan Belanda juga semakin memisahkan jarak antara masyarakat keturunan Tionghoa dan pribumi. Belanda menempatkan keturunan Eropa pada kelas pertama, Tionghoa pada kelas kedua, dengan istilah
“Timur Asing”, dan pribumi pada kelas ketiga39.
35 “Sekolah2 Tionghoa Asing Didjadikan Sek. Nasional”, sebuah artikel koran pada bulan April 1966.
36 Donald Earl Willmott, The Chinese of Semarang: A Changing Minority Community in Indonesia, 171.
37 Cultuur Stelsel: Siasat budidaya tanaman komoditi ekspor.
38 Aturan untuk permukiman khusus di Pecinan tersebut dicabut pada tahun 1919, namun dampaknya tetap terasakan hingga pada dekade-dekade berikutnya.
39 Lembaga Studi Realino, Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa, 16-18.
Berbeda dengan “nasib” masyarakat keturunan Tionghoa di Filipina. Pada tahun 2000, Edgar Wickberg mempublikasikan buku yang diberinya judul The Chinese in Philippine Life 1850-1898. Di dalam buku tersebut, Wickberg mengupas terbentuknya pranata sosial dan ekonomi yang mapan di Filipina yang berlangsung dalam rentang tahun 1850-1898. Wickberg hendak menggambarkan posisi ekonomi dan sosial etnis Tionghoa di Filipina menjelang tahun 1850 dan pengaruhnya bagi terlembagakannya pranata sosial dan ekonomi dalam rentang tahun 1850-1898. Tulisan Wickberg yang merupakan penelitian pertama mengenai komunitas masyarakat Tionghoa Filipina pada abad XIX ini ingin menunjukkan bahwa di Filipina tidak ada diskriminasi bagi masyarakat Tionghoa, apalagi menempatkan mereka ke dalam kelompok marginal40.
Mengetahui bagaimana Gereja mempertahankan opsi-nya terhadap kelompok marginal sekaligus mengkritisi perubahan makna marginal, inilah tujuan pokok penulisan karya ilmiah ini. Tujuan sekunder dari karya ilmiah ini adalah untuk menegaskan bahwa kekatolikan dan nasionalisme orang Katolik di Vikariat Apostolik/Keuskupan Agung Semarang dapatlah berjalan bersama demi membangun Gereja dan Negara. Penulisan ini penting, mengingat bahwa Sekolah Yu Te merupakan satu-satunya sekolah Tionghoa yang pernah dimiliki oleh Vikariat Apostolik/Keuskupan Agung Semarang sepanjang sejarah. Penelitian ini pun merupakan penelitian pertama akan eksistensi sekolah Tionghoa Katolik di Vikariat Apostolik/Keuskupan Agung Semarang. Dengan melakukan penelitian terhadap surat-surat hierarki Gereja dan Pemerintah, pustaka dan wawancara,
40 Edgar Wickberg, The Chinese in Philippine Life 1850-1898, Ateneo De Manila University Press, Manila 2000, xiv.
sumber-sumber penting penelitian sejarah ini diolah dan dirumuskan secara sistematis. Penelitian dan penulisan ini menjadi salah satu bentuk tanggung jawab pada sejarah Gereja Keuskupan Agung Semarang. Selain itu, tulisan ini juga dimaksudkan untuk membangun konsientisasi masyarakat Indonesia tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terbangun atas kemajemukan budaya dan suku bangsa. Terakhir, tujuan dari penulisan karya ilmiah ini ialah juga sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menempuh ujian pendadaran Magister Teologi di Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
1.3 Pemfokusan
Penelitian ini akan berfokus pada proses peleburan Sekolah Yu Te ke Sekolah Theresiana yang secara definitif terjadi pada tanggal 20 Mei 196641. Kebijakan meleburkan Sekolah Yu Te, “satu2nja sekolah di Semarang jang sampai kini mendjundjung tinggi Ketuhanan dan tjita2 Pantja Sila dikalangan orang Tiong Hoa bukan WNI di Semarang42,” ke Sekolah Theresiana ini merupakan bukti usaha Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang untuk mempertahankan opsi-nya pada kelompok marginal. Usaha tersebut diketahui dari arsip korespondensi otoritas tertinggi Gereja Keuskupan Agung Semarang dengan Yayasan Bernardus dan dengan pemerintah Republik Indonesia melalui instansi terkait. Dalam pembahasan nanti akan tampak, betapa tidak mudah mempertahankan opsi Gereja tersebut berhadapan dengan peraturan-peraturan
41 Surat Yayasan Bernardus kepada Menteri P.D. dan K, melalui Perwakilan Departemen P.D dan K Jawa Tengah, No. 29/syt/jb/66, perihal perubahan Sekolah Yu Te menjadi Sekolah Theresiana.
42 Surat Uskup Agung Semarang, Mgr. J. Darmojuwono kepada Panglima KODAM VII/DIP.
pemerintah yang tidak lain merupakan imbas dari dinamika perpolitikan di Indonesia pada tahun 1965-1966.
Menjadikan sekolah Tionghoa ke sekolah nasional bukanlah perkara mudah. Vikaris Apostolik/Uskup Agung Semarang, sebagai pemegang otoritas tertinggi Vikariat Apostolik/Keuskupan Agung Semarang, pun turun tangan dalam peristiwa monumental tersebut. Demikian pula Yayasan Bernardus sebagai pengelola Sekolah Yu Te dan Sekolah Theresiana. Tarik ulur antara Pengurus dan Pelaksana Yayasan Bernardus pun mewarnai proses peleburan tersebut. Tawar- menawar dengan Penguasa Perang Daerah pun dilakukan oleh Gereja sebelum akhirnya memutuskan meleburkan Sekolah Yu Te ke Sekolah Theresiana. Ini pula yang akan menjadi pokok pembahasan penelitian ini.
Tesis karya ilmiah ini berjudul PENDIDIKAN BERBASIS NASIONALITAS GEREJANI SEKOLAH KATOLIK TIONGHOA “YU TE” DI KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG (1950-1966). Judul tersebut mengambil subyek pokok Gereja Keuskupan Agung Semarang yang mempertahankan opsi- nya terhadap kelompok marginal (baca: Sekolah Yu Te) dengan cara bersinergi dengan Pemerintah Republik Indonesia. Sarana pendidikan dipilih untuk memperjuangkan opsi terhadap kelompok marginal tersebut.
Dalam tesis ini, “Gerejani” menunjuk pada Ajaran Sosial Gereja yang memperjuangkan hak-hak kaum papa miskin. Sekolah Yu Te (1950-1966) adalah sekolah kelompok marginal, anak-anak “asing” keturunan Tionghoa Totok.
Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, rentang tahun 1950-1966 itu sendiri merupakan awal nasionalisme. Dalam periode ini, nasionalisme Gereja di
Keuskupan Agung Semarang terkait erat dengan Mgr. A. Soegijapranata SJ dalam semboyan “100% Katolik, 100% Indonesia;” menjadi orang Katolik, sekaligus menjadi bangsa Indonesia. Dengan kata lain, nasionalisme itu tidak terkotak-kotak pada Sosial, Agama, Rasial (SARA). “Nasionalitas Gerejani” dipergunakan dalam perbandingannya dengan nasionalitas yang tidak Gerejani yang diperjuangkan oleh para Pahlawan Nasional pada umumnya. Dalam konteks pendidikan, penanaman nasionalitas yang tidak gerejani itu tampak di Sekolah-sekolah milik Pemerintah, “Sekolah Negeri,” dengan semangat Soempah Pemoeda 1928. Dalam kaitannya dengan orang-orang Tionghoa, istilah Nasionalis menunjuk pada non- komunis, sebagaimana tampak dalam Partai Nasionalis Kuomintang (KMT) dalam perbandingannya dengan Partai Komunis Cina (PKC).
1.4 Metodologi dan Sistematika
Pertama-tama, proses penyusunan karya ilmiah ini akan mengikuti alur historis-kronologis. Hal ini penting untuk menempatkan peristiwa peleburan Sekolah Yu Te ke Sekolah Theresiana itu pada konteks historisnya. Maka dari itu, setelah data-data yang dikumpulkan melalui proses studi pustaka dan studi lapangan dianggap representatif, metode deskriptif kualitatif akan ditempuh.
Tulisan ini juga dilengkapi dengan kesaksian sejumlah pihak yang terkait dengan peristiwa sejarah tersebut. Hal ini merupakan alternatif pandangan sepihak selama ini bahwa “People without History” dan “History without People.” Sebab, pada dasarnya setiap manusia mempunyai kisah, dan kisah itulah yang menyejarah dalam bentuk tradisi lisan. Di samping itu, kisah tidak dapat dipisahkan dari
manusia. Maka dari itu, manusia tidak dapat dipisahkan dari sejarah. Singkatnya, manusia punya sejarah.
Selanjutnya, penulisan karya ilmiah ini akan mengikuti sistematika sebagai berikut. Bab pertama berisi tentang latar belakang, tujuan, pemfokusan, metode dan sistematika serta referensi penulisan karya ilmiah ini. Hal ini dituliskan untuk memberikan gambaran awal mengenai isi karya ini.
Bab kedua berisi tentang komitmen Gereja Keuskupan Agung Semarang dalam pendidikan untuk anak asing pada awal nasionalitas Republik Indonesia. Di dalam bab ini, akan dibahas asas dan tujuan Vikariat Apostolik Semarang mendirikan Sekolah Yu Te, sebuah Sekolah Katolik berbahasa Tionghoa, di kawasan Pecinan Kebon Dalem, Semarang. Asas dan tujuan ini didasarkan pada surat Vikaris Apostolik Semarang, Mgr. A. Soegijapranata SJ, kepada Ketua Yayasan Bernardus, L. Moerabi SJ, Nomor 816/B/VIII/58. Riwayat berdirinya Kebon Dalem, sebagai pusat aktivitas orang-orang Tionghoa di Pecinan Semarang, dipaparkan dalam bab ini. Di dalam bab dua ini pula, akan dibahas alasan pendirian Sekolah Nasional Theresiana pada tanggal 1 Januari 1958.
Bab ketiga membicarakan konsensus antara universalitas Gereja dan nasionalitas Negara. Bab ini berisi pembahasan tentang dilema eksistensi Sekolah Yu Te di tengah “kekacauan” perpolitikan Indonesia. Berawal dari insiden politik 30 September 1965, pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berada dalam keadaan darurat perang. Pernyataan ini berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Komando Operasi Tertinggi, Nomor:
140/Koti/1965, tanggal 1 November 1965, tentang Pernyataan Keadaan Perang bagi Wilayah Daerah Tingkat I Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Keputusan Presiden tersebut menjadi salah satu dasar Panglima Daerah Militer VII/Diponegoro, selaku Penguasa Perang Daerah Tingkat I Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, mengeluarkan surat keputusan bahwa sekolah- sekolah asing Tionghoa yang berada di Dati I Jateng dijadikan Sekolah Nasional.
Bagi Sekolah Yu Te, surat keputusan itu menimbulkan sebuah wacana, apakah Sekolah Yu Te akan ditutup atau dijadikan sekolah nasional atau diserahkan sepenuhnya kepada (kebijakan) pemerintah. Singkatnya, soal Katolik dan internasionalitas dibahas dalam bab ketiga karya ilmiah ini. Maka dari itu, dokumen-dokumen gerejani dan perpolitikan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi acuan utama pembahasan bab ini.
Bab keempat akan membahas bagaimana keputusan final Gereja Keuskupan Agung Semarang terhadap eksistensi Sekolah Yu Te diambil.
Bersinergi dengan pemerintah, menjadi rumusan kunci bab ini. Dengan menganalisa surat menyurat antara Ketua Yayasan Bernardus dan Keuskupan Agung Semarang, akan tampak bagaimana keputusan final itu akhirnya diambil demi mempertahankan opsi Gereja kepada kelompok marginal. Kepedulian pada kelompok marginal ini memperlihatkan kekatolikan dan nasionalisme kerakyatan.
Dalam bab ini, secara eksplisit akan ditegaskan momen penting dalam sejarah Gereja Keuskupan Agung Semarang yang sekaligus merupakan momen terpenting dalam sejarah Sekolah Theresiana Semarang: Sekolah Yu Te dilebur ke Sekolah Theresiana. Peng-Indonesia-an Sekolah Yu Te ini sezaman pula dengan berdirinya
Bina Sosial KAS, yang kemudian diambil alih oleh Gerakan-gerakan Pancasila Dijkstra, Jakarta. Maka, dokumen gerejani dan kamus nasional menjadi referensi bab ini.
Bab kelima berisi kesimpulan dari pokok-pokok pembahasan dalam bab- bab sebelumnya. Sejalan dengan opsi Gereja Universal, Gereja Keuskupan Agung Semarang, sebagai Gereja yang inklusif, pun membela kaum miskin. Magisterium Gereja Katolik telah mengajarkan bagaimana Gereja harus bersikap di tengah zaman-nya. Melalui pemimpin tertingginya, Sri Paus, Ajaran Sosial Gereja diterbitkan demi memberi visi-misi yang perlu sebagai pedoman bagi perutusan Gereja. Dalam pengelolaan Sekolah Yu Te dan Theresiana, Ajaran Sosial Gereja tersebut mewujud.
Keberpihakan kepada yang lemah musti menjadi opsi mutlak Gereja Keuskupan Agung Semarang. Opsi tersebut berdasar pada teologi eskatologis.
Teologi eskatologis mengatakan bahwa ada hidup sesudah hidup ini, yang bukan merupakan proyeksi dari realitas duniawi aktual. Oleh pertemuan dengan Allah, dunia ditransformasi. Paham eskatologi demikian membedakannya dengan paham futurisme dan apokaliptik43. Berkenaan dengan tema eskatologi dalam kaitannya dengan kristianitas, Karl Barth menyatakan dengan amat tegas, “A Christianity which is not wholly eschatology and nothing but eschatology has absolutely nothing to do with Christ”44. Opsi Gereja Keuskupan Agung Semarang terhadap kelompok marginal menunjukkan ciri eskatologis Gereja. Benedict Anderson membahasakannya dengan istilah “imagined community,” komunitas terbayang.
43 Jacobs, Tom, 2007, Syalom-Salam-Selamat, Kanisius, Yogyakarta 2007, 11.
44 Joseph Ratzinger, Eschatology, Death and Eternal Life, Wahington DC: Catholic University of American Press 1988, 47.
Dalam konteks nasionalisme, gagasan nasion bukan dipahami sebagai “political community” akan tetapi “an imagined political community45.”
Dalam diri Sekolah Yu Te, opsi kepada yang lemah tersebut tampak sejak pendiriannya. Demikian pula dalam diri Sekolah Theresiana, keberpihakan kepada yang lemah itu tampak jelas. Korespondensi Vikariat Apostolik/Keuskupan Agung Semarang dengan pemerintah Republik Indonesia dalam mengelola Sekolah Yu Te pun semakin tegas memperlihatkan opsi tersebut. Menjadikan Sekolah Asing Yu Te Sekolah Nasional Theresiana merupakan sumbangan Gereja Keuskupan Agung Semarang yang positif ke arah pengintegrasian semua golongan masyarakat46. Dengan kata lain, peleburan Sekolah Yu Te tersebut dimaksudkan untuk mengantar anak-anak keturunan Tionghoa Totok pada kesadaran sebagai bangsa Indonesia. Mereka yang sebelumnya hanya berbahasa Tiongkok, sehingga menjadikan mereka tersisih dari masyarakat pada umumnya, kemudian dikondisikan untuk berbahasa Nasional Indonesia. Inilah semangat nasionalisme dan komunitas yang terbayangkan (imagined community) yang ingin ditanamkan dan diperjuangkan Gereja Katolik melalui Sekolah Nasional Theresiana.
45 Benedict Anderson menjelaskan, pengertian nasion sebagai “an imagined political community”
hanya boleh dipahami bersama dengan kelanjutannya ketika di sana dikatakan “Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali pun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka.” Benedict Anderson, Komunitas- komunitas Terbayang (terjemahan dari Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism edisi Kedua/Revisi), INSIST Press, Yogyakarta 2001, xxxi.
46 Surat Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Semarang, Pastor C. Carri SJ, kepada Pengurus Yayasan Bernardus, No. 310/B VIIIa 11/66, perihal “Kebidjaksaan tentang TK dan SD Yu Te”, 17 Mei 1966.
1.5 Referensi
Tulisan ini disusun berdasarkan beberapa referensi pokok dan referensi pendukung. Referensi pokok yang dimaksud adalah surat-surat penting dari Keuskupan Agung Semarang dan dari Yayasan Bernardus Semarang yang sangat menentukan peleburan Yu Te ke Theresiana. Surat-surat dari Keuskupan Agung Semarang tersebut meliputi Surat Vikaris Apostolik Semarang No.816/B/VIII/58, tanggal 14 November 1958, perihal Sekolah Yu Te. Surat Uskup Agung Semarang No.294/B/VIII/a/10/64, tanggal 13 Juni 1964, perihal Status SD Yu Te. Surat Uskup Agung Semarang No.284/B/VIII/a/10/66, tanggal 4 Mei 1966, perihal STK dan SD Yu Te asing. Surat Sekretaris Keuskupan Agung Semarang kepada Komandan Komando Distrik Militer (Kodim) 0733 Semarang, tanggal 27 April 1966, perihal penjelasan status STK dan SD Yu Te. Surat Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Semarang kepada Pengurus Yayasan Bernardus, tanggal 17 Mei 1966, perihal kebijaksanaan terhadap TK dan SD Yu Te. Surat dari Yayasan Bernardus meliputi surat pribadi Ketua Yayasan Bernardus kepada Sekretaris Keuskupan Agung Semarang, tanggal 17 Mei 1966, tentang penasionalan Sekolah Yu Te. Juga, Surat Keputusan Pengurus Yayasan Bernardus, tanggal 20 Mei 1966, mengenai perubahan Sekolah Yu Te ke Sekolah Theresiana.
Yang dimaksud referensi pendukung adalah aneka sumber yang memuat informasi penting menyangkut proses perubahan Sekolah Yu Te ke Sekolah Theresiana dan situasi politik yang melatarbelakanginya. Referensi tersebut berupa surat-surat, peraturan pemerintah, berita di surat kabar, buku-buku sejarah dan buku-buku ilmiah. Surat-surat yang dimaksud ialah Surat Komandan Kodim
0733 Semarang No.B-144/5/1966, tanggal 5 Mei 1966, tentang penyegelan dan pendaftaran barang-barang inventaris Sekolah milik Tionghoa Asing. Peraturan pemerintah yang dimaksud ialah PP No.10, tanggal 6 November 1957, perihal larangan bagi Warga Negara Indonesia supaya tidak bersekolah di sekolah swasta asing.
Berita di surat kabar yang dimaksud ialah berita mengenai Surat Keputusan Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) VII/Diponegoro, Mayor Jenderal TNI Soerono, selaku Penguasa Perang Daerah (Peperda) Tingkat I Jateng/Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk menjadikan sekolah-sekolah asing Tionghoa yang berada di Dati I Jateng Sekolah Nasional. Koran berbahasa Belanda yang juga menjadi referensi berjudul Kebon Dalem “Betlehem”
Jaarverslag Tehuis Chineesche Kinderen. Selain itu, majalah misi Claverbond dan Missienieuws Der Nederlandse Jezuieten juga akan digunakan sebagai referensi. Buku-buku sejarah yang dimaksud meliputi sejarah Gereja Santo Yusuf Gedangan, sejarah Gereja Santo Fransiskus Xaverius Kebon Dalem, sejarah misi para Bruder FIC (1920-1980) serta buku-buku peringatan Sekolah Theresiana.
Buku-buku ilmiah yang juga melengkapi penyusunan tesis ini adalah tulisan Donald Earl Willmott berjudul The Chinese of Semarang: A Changing Minority Community in Indonesia yang akan menjadi sumber ilmiah utama dalam penulisan karya tulis ini. Buku ini diterbitkan oleh Cornel University Press pada tahun 1960. Selain itu, buku berjudul The Chinese Minority in Indonesia yang ditulis oleh Leo Suryadinata dan diterbitkan oleh Chopmen Enterprises pada tahun 1978 juga akan semakin melengkapi karya ilmiah ini. Kemudian, untuk sedikit
mengetahui kebijakan pemerintah Tiongkok terhadap warganya yang berada di luar daratan Tiongkok (“Policies Towards the Chinese Abroad”), akan digunakan buku berjudul China and The Overseas Chinese; A Study of Peking’s Changing Policy karangan Stephen Fitzgerald. Buku ini diterbitkan pada tahun 1972 oleh Cambridge University Press. Untuk memberi kerangka pemahaman mengenai nasionalisme, dipergunakan buku karangan Benedict Anderson, berjudul Komunitas-komunitas Terbayang (terjemahan dari Imagined Communities:
Reflections on the Origin and Spread of Nationalism edisi Kedua/Revisi), yang diterbitkan oleh INSIST Press Yogyakarta pada tahun 2001.
Untuk memberi kerangka teologis, dikutip gagasan Karl Barth sebagaimana dikutip oleh Joseph Ratzinger dalam bukunya, Eschatology, Death and Eternal Life. Buku ini diterbitkan pada tahun 1988 di Wahington DC oleh Catholic University of American Press. Di samping itu, untuk menelaah opsi Vikariat Apostolik/Keuskupan Agung Semarang terhadap kelompok marginal, dikutip beberapa ensiklik Ajaran Sosial Gereja yang dimaklumkan oleh Sri Paus dalam kurun waktu tahun 1931-1967, yaitu Quadragesimo Anno (15 Maret 1931), Mater et Magistra (Mei 1961), Pacem in Terris (11 April 1963) dan Populorum Progressio (26 Maret 1967). Dokumen Konsili Vatikan II yang paling penting dalam tradisi sosial Gereja, Gaudium et Spes (1965), semakin melengkapi telaah teologis opsi Gereja Keuskupan Agung Semarang terhadap kelompok marginal tersebut. Dalam konteks Gereja di kawasan Asia, tulisan Thomas C. Fox, Pentecost In Asia, A new Way of Being Church, (Claretian Publications, Philippines, 2002) juga akan semakin melengkapi referensi tesis ini.
Dari pengarang Indonesia, akan dipergunakan buku karangan Amen Budiman berjudul Semarang Riwayatmu Dulu. Buku ini diterbitkan pada tahun 1978 oleh Penerbit Tanjung Sari, Semarang. Selain karangan Amen Budiman, juga akan dipergunakan buku karangan Benny G. Setiono berjudul Tionghoa dalam Pusaran Politik. Buku ini diterbitkan di Jakarta oleh Penerbit Elkasa pada tahun 2003. Sebuah monografi dari Lembaga Studi Realino, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, berjudul Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa, juga akan dipergunakan sebagai referensi. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Kanisius, Yogyakarta, pada tahun 1996.
Di samping segala sumber tertulis di atas, penyusunan tesis ini juga dilengkapi dengan sumber lisan, yakni hasil wawancara dengan sejumlah narasumber yang terkait dengan Sekolah Yu Te dan Sekolah Theresiana.
Kesaksian mereka yang merupakan “sejarah lisan,” seringkali terkesampingkan oleh “sejarah tertulis” yang ada. Maka, memberi ruang bagi mereka, diharapkan dapat menepis pandangan yang menyatakan bahwa “People without History” juga pandangan bahwa “History without People.”
BAB II
AWAL NASIONALITAS REPUBLIK INDONESIA:
KOMITMEN VIKARIAT APOSTOLIK SEMARANG DALAM PENDIDIKAN UNTUK KELOMPOK MARGINAL
Pokok pembahasan bab ini ialah asas dan tujuan Vikariat Apostolik Semarang yang pada tahun 1950-an mendirikan Sekolah Yu Te, sebuah sekolah Katolik berbahasa Tionghoa untuk anak-anak keturunan Tionghoa Totok yang telah bertempat tinggal di kawasan Pecinan Kebon Dalem, Semarang, sejak lebih dari dua abad sebelumnya. Asas dan tujuan ini didasarkan pada surat Vikaris Apostolik Semarang, Mgr. A. Soegijapranata SJ, kepada Ketua Yayasan Bernardus, L. Moerabi SJ, Nomor 816/B/VIII/58. Asas dan tujuan tersebut menjadi pokok pertama dalam bab ini. Pokok ke dua di dalam bab ini ialah pembahasan tentang alasan pendirian Sekolah Nasional Theresiana pada tanggal 1 Januari 1958. Sebelum sampai pada kedua pokok pembahasan tersebut, akan dipaparkan beberapa karya pendidikan di Vikariat Apostolik Semarang yang didirikan untuk melayani anak-anak keturunan asing dan pribumi. Setelah paparan tersebut, akan dibahas pula riwayat Kebon Dalem, tempat Sekolah Yu Te didirikan.
2.1 Keterlibatan Misionaris dalam Sekolah-sekolah di Vikariat Apostolik Semarang
Sejak masih berbentuk Vikariat Apostolik, Gereja Keuskupan Agung Semarang telah “memiliki” sekolah-sekolah di mana para misionaris terlibat di dalamnya. Secara khusus di kota Semarang, sekolah-sekolah tersebut dikelola oleh ordo dan kongregasi para bruder, suster atau imam yang melaksanakan tugas misioner-nya di pusat Vikariat Apostolik tersebut. Ordo dan kongregasi itu adalah Ordo Suster-suster Santo Fransiskus (OSF), Ordo Serikat Yesus (SJ), Kongregasi Para Bruder Santa Perawan Maria Yang Terkandung Tak Bernoda (FIC), Kongregasi Suster-suster Penyelenggaraan Ilahi (PI) dan Kongregasi Bruder- bruder Santo Aloysius (CSA).
Keterlibatan misionaris Katolik dalam menyediakan sarana pendidikan bagi anak-anak keturunan Asing sangatlah besar. Kepedulian yang besar ini juga dipengaruhi oleh besarnya jumlah warga keturunan Eropa. Dilihat dari kuantitas orang Katolik Eropa di Pulau Jawa, Semarang masuk dalam lima besar jumlah terbanyak. Menurut catatan Jaarboek 1940, sebagaimana dikutip oleh Karel Steenbrink, jumlah orang Katolik Eropa di Batavia 33.998 jiwa, menyusul Bandung (16.194 jiwa), Surabaya (14.246 jiwa), Malang (9.855 jiwa)1 dan Semarang (6.700 jiwa)2. Meskipun menduduki peringkat ke lima, para misionaris Eropa memilih Semarang sebagai tempat penyebaran Misi mereka karena Semarang merupakan pusat ekonomi dan politik Jawa Tengah. Di Jawa Tengah,
1 Karel Steenbrink, Orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1942, Pertumbuhan yang Spektakuler dari Minoritas yang Percaya Diri 1903-1942 (jilid 2), Ledalero, Maumere 2006, 592.
2 Karel Steenbrink, Orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1942, Pertumbuhan yang Spektakuler dari Minoritas yang Percaya Diri 1903-1942 (jilid 2), 597.
Semarang dipandang lebih kondusif bagi penyebaran Misi apabila dibandingkan dengan dua kota lain, Yogyakarta dan Surakarta, yang merupakan takhta para penguasa Muslim lokal3. Bagi para misionaris, karya pendidikan menjadi salah satu pilar penyangga Misi di Vikariat Apostolik/Keuskupan Agung Semarang.
Mereka menyediakan tempat-tempat pendidikan dari tingkat dasar hingga tingkat menengah. Kepedulian akan masa depan Gereja Katolik di kota Semarang ditampakkan oleh para misionaris Eropa tersebut. Berikut ini adalah ordo dan kongregasi beserta sekolah-sekolah yang mereka kelola di kota Semarang.
Pengelola Tahun Jenis Sekolah Suster-suster
Fransiskanes (OSF)
1908
1908
1909
ELS (Europese Lagere School, Sekolah Rendah Eropa)4
Kweekschool (Sekolah Pendidikan Guru)
MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, Pengajaran Rendah Lebih Luas)
Bruder-bruder
Santo Aloysius (OSA) (Oudenbosch)
- ELS khusus untuk anak-anak penghuni Rumah Piatu
Bruder-bruder FIC5 1929
1937
1938
HCS (Hollands Chinese School, Sekolah Tionghoa Belanda)
Sekolah Xaverius untuk anak-anak yang tidak berkecukupan
Sekolah Santo Yusup untuk anak-anak
3 Karel Steenbrink, Orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1942, Pertumbuhan yang Spektakuler dari Minoritas yang Percaya Diri 1903-1942 (jilid 2), 601.
4 Ada 3 ELS di kota Semarang bawah.
5 Joachim van der Linden FIC, Donum Desursum (Anugerah dari Atas) Kongregasi FIC di Indonesia 1920-1980, Semarang 1993, 84-85.
yang berkecukupan Yayasan Kanisius6 1928
1929
HIS (Hollands Indie School, Sekolah Hindia Belanda) bersubsidi, di Kobong
HIS tidak bersubsidi, di Jomblang
2.2 Kebon Dalem, Lahan Subur Pastoral untuk Keturunan Tionghoa
Berdasarkan catatan majalah Berichten Uit Java tahun 1953, halaman 144, di Indonesia terdapat sekitar dua juta jiwa warga keturunan Tionghoa. Sejumlah 200.000 jiwa ada di Jakarta, sedangkan 60.000 jiwa di Semarang. Di Semarang, warga Tionghoa terkonsentrasikan di kompleks Pecinan, sebuah areal permukiman padat berjarak empat kilometer dari bibir Laut Jawa.
Setelah sedikit mengetahui aneka macam sekolah yang ada di Vikariat Apostolik Semarang sekaligus pengelolanya, kini akan diulas secara khusus Sekolah Asing Yu Te yang didirikan di kompleks Pecinan Kebon Dalem, Semarang. Sebelum sampai pada ulasan tersebut, akan dipaparkan apa dan bagaimana Kebon Dalem itu sehingga Sekolah Yu Te didirikan di kompleks itu.
2.2.1 Kebon Dalem: Riwayatnya
Sesuai dengan namanya, Kebon Dalem itu berupa sebidang tanah berwujud taman dengan luas sekitar 17.000m2 yang terletak di tengah-tengah kompleks Pecinan di kota Semarang7. “Kebon Dalem”, apabila diucapkan menurut Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) sebenarnya
6 Joachim van der Linden FIC, Donum Desursum (Anugerah dari Atas) Kongregasi FIC di Indonesia 1920-1980, 85.
7 Pastor Simon Beekman SJ: “Missiewerk Onder de Chinezeen” dalam Claverbond, 1937, 145;
“Zilveren Jubilaris” dalam Missienieuws Der Nederlandse Jezuiten, 1958, 282; dan Kebon Dalem – Semarang, 1961, 6.
berbunyi “Kebun Dalam.” Akan tetapi, warga sekitarnya (Tionghoa) dan warga Semarang pada umumnya (Belanda dan Pribumi) telah melafalkannya secara khas menjadi Kebon (cara Pribumi membaca “kebun”) Dalem (cara Tionghoa atau Belanda membaca “dalam”).
Kompleks Kebon Dalem ini dibelah oleh sungai, yang kini dikenal dengan nama Kali Semarang. Meskipun tidak terlalu lebar, sungai ini bertahun-tahun menjadi jalur pelayaran perahu-perahu dari Tiongkok yang mengangkut barang dagangan masuk-keluar kota Semarang yang berlangsung sejak sebelum abad ke- 19. Di atas sungai ini, ada sebuah jembatan yang menjadi penghubung, dan persis di pinggir jembatan itu ada pos pengawas perahu-perahu yang keluar dan masuk daerah Pecinan.
Kebon Dalem didirikan oleh Tuan Be Ing Tjioe (ejaan lain menuliskan Tjoe) pada tahun 1838, sesudah ia meletakkan jabatan Kapiten (Kapten) dari Brehekelan, lalu naik pangkat menjadi Mayor Tituler di kota Semarang. Be Ing Tjioe adalah seorang yang kaya dan tersohor karena kemampuan berdagangnya yang luar biasa. Tanah di kompleks Kebon Dalem itu (tanah yang terletak di sebelah kiri Gang Pinggir) sebelumnya dipenuhi dengan rumah-rumah warga Tionghoa dan Pribumi. Rumah dan tanah itu dibeli oleh Tuan Be Ing Tjioe, kemudian didirikan gedung yang indah di situ. Corak gedung ini mirip dengan sebuah Gedung Gula yang dibangun oleh Mayor Tan Tiong Tjhing yang sudah ada terlebih dahulu (tidak disebutkan tahunnya). Kedua gedung itu menjadi gedung paling bagus di kota Semarang yang dimiliki oleh orang Tionghoa. Tuan Be Ing Tjioe menggunakan gedung itu tiga tahun lamanya. Tanah di sebelah