• Tidak ada hasil yang ditemukan

DASAR PENGENAAN PAJAK DAN PERHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAKPENGHASILAN KENA PAJAK

Dalam dokumen PAJAK PENGHASILAN DI MASA COVID 19 (Halaman 138-147)

PAJAK PENGHASILAN UMUM

F. DASAR PENGENAAN PAJAK DAN PERHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAKPENGHASILAN KENA PAJAK

Untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang, terlebih dahulu harus diketahui dasar pengenaan pajaknya. Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang menjadi dasar pengenaan pajaknya adalah penghasilan kena pajak (PKP).

Sedangkan bagi Wajib Pajak Luar Negeri dasar pengenaan pajaknya adalah penghasilan bruto.

Penghasilan Kena Pajak (PKP) merupakan dasar penghitungan untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang.

Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan dikenal dua golongan Wajib Pajak, yaitu Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri. Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghitungan dengan cara biasa (pembukuan) dan penghitungan dengan menggunakan Norma Penghitungan.

Selain itu terdapat cara penghitungan dengan mempergunakan Norma Penghitungan Khusus, yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak tertentu yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Bagi Wajib Pajak luar negeri penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak dibedakan antara:

1. Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia; dan 2. Wajib Pajak luar negeri lainnya.

PENGHASILAN KENA PAJAK WAJIB PAJAK DALAM NEGERI

Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara

mengurangi penghasilan bruto dengan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, biaya penyusutan, iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, kerugian, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), dan cadangan yang diperbolehkan sebagai pengurang penghasilan.

Bagi Wajib Pajak dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan cara penghitungan biasa.

PENGHASILAN KENA PAJAK BENTUK USAHA TETAP

Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan biaya yang berkaitan dengan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap dari penghasilan yang diperoleh dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki dan penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan di Indonesia.

Bentuk usaha tetap berkewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan, sehingga Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan cara penghitungan biasa.

Contoh:

- Peredaran bruto 10.000.000.000,00

- Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan

(Rp 8.000.000.000,00)

- Laba usaha (penghasilan neto usaha)

2.000.000.000,00

- Penghasilan bunga 50.000.000,00

- Penjualan langsung barang yang sejenis dengan barang yang dijual bentuk usaha tetap oleh kantor pusat

2.000.000.000,00

- Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan

lainnya tersebut

(Rp1.500.000.000,00)

500.000.000,00 - Dividen yang diterima atau

diperoleh kantor pusat yang mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap neto

1.000.000.000,00

3.550.000.000,00

- Biaya-biaya (Rp 450.000.000,00)

- Penghasilan Kena Pajak 3.100.000.000,00 PEMBUKUAN VERSUS NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO

Perhitungan besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

1. menggunakan Pembukuan (Cara Perhitungan Biasa), 2. menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

Akan tetapi, selain itu terdapat cara perhitungan dengan menggunakan Norma Penghitungan Khusus yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak tertentu berdasarkan keputusan Menteri Keuangan.

Menggunakan Pembukuan

Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting dalam penghitungan pengenaan pajak yang

adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak.

Untuk dapat menyajikan informasi tersebut, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun, tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan.

Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Akan tetapi, Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan.

Besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak badan adalah sebesar penghasilan netonya (penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang boleh dikurangkan). Sedangkan bagi Wajib Pajak orang pribadi adalah sebesar penghasilan neto dikurangi dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Contoh cara perhitungannya adalah sebagai berikut.

Bagi Wajib Pajak Badan

Peredaran bruto Rp300.000.000,00

Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan

memelihara penghasilan (Rp255.000.000,00)

Rp45.000.000,00

Penghasilan lainnya Rp 5.000.000,00

Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan

memelihara penghasilan lainnya tersebut (Rp 3.000.000,00) Rp 2.000.000,00 Jumlah seluruh penghasilan neto Rp47.000.000,00

Kompensasi kerugian (Rp 2.000.000,00)

Penghasilan Kena Pajak (bagi Wajib Pajak badan)

Rp 45.000.000,00

Bagi Wajib Pajak orang pribadi

Peredaran bruto Rp300.000.000,00

Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan

(Rp255.000.000,00)

Rp 45.000.000,00

Penghasilan lainnya Rp 5.000.000,00

Biaya untuk mendapatkan,

menagih, dan memelihara penghasilan lainnya

(Rp 3.000.000,00)

Rp 2.000.000,00 Jumlah seluruh penghasilan neto Rp47.000.000,00

Kompensasi kerugian (Rp 2.000.000,00)

Pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak orang pribadi (K/3)

(Rp21.120.000,00)

Penghasilan Kena Pajak (bagi Wajib Pajak orang pribadi)

Rp23.880.000,00

Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto

Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Namun, Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.

Norma Penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan terus-menerus. Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal:

1. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik berupa pembukuan yang lengkap, atau

2. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar.

Norma Penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain serta memperhatikan kewajaran.

Norma Penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.

Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya. Pencatatan tersebut bertujuan untuk memudahkan penerapan norma dalam menghitung penghasilan neto.

Penyelenggaraan pencatatan harus meliputi catatan-catatan mengenai:

1. peredaran dan/atau penerimaan bruto yang diterima secara tunai dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang penghasilannya merupakan objek pajak yang tidak dikenai pajak bersifat inal;

2. penghasilan bruto yang diterima dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang penghasilannya merupakan objek pajak yang tidak dikenai pajak bersifat inal, termasuk biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut;

3. penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat inal, baik yang berasal dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas maupun dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas;

4. harta dan kewajiban, baik yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas maupun yang tidak digunakan untuk melaksanakan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas.

Pencatatan harus:

1. dibuat dalam suatu tahun pajak, yaitu jangka waktu 1 tahun kalender mulai tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember;

2. dibuat secara kronologis dan sistematis berdasarkan urutan tanggal diterimanya peredaran dan/atau penerimaan bruto;

3. dilakukan dengan menggunakan mata uang Rupiah sebesar nilai yang sebenarnya terjadi dan disusun dalam bahasa Indonesia;

4. diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan yang sebenarnya serta didukung dengan dokumen yang menjadi dasar pencatatan.

Catatan dan dokumen yang menjadi dasar pencatatan harus disimpan di tempat tinggal Wajib Pajak dan/atau tempat kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas selama 10 tahun terhitung sejak berakhirnya Tahun Pajak.

Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang bermaksud untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tidak memberitahukannya kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, Wajib Pajak tersebut dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.

Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, wajib menyelenggarakan pencatatan, atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi:

1. tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan, atau

2. tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya pada waktu dilakukan pemeriksaan sehingga mengakibatkan peredaran bruto dan penghasilan neto yang sebenarnya tidak diketahui, maka peredaran bruto Wajib Pajak yang bersangkutan dihitung dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

Norma Penghitungan Penghasilan Neto dikelompokkan menurut wilayah sebagai berikut.

1. Sepuluh (10) ibu kota provinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak;

2. ibukota provinsi lainnya; dan 3. daerah lainnya.

Norma Penghitungan Penghasilan Neto dapat dilihat pada Lampiran 3.2.

Penghitungan penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan bebas, dilakukan terhadap masing-masing jenis usaha dengan memperhatikan pengelompokan wilayah sebagaimana tercantum dalam Lampiran 3.2 Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha adalah penjumlahan penghasilan neto dari masing-masing jenis usaha atau pekerjaan bebas.

Penghasilan neto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan angka persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan peredaran bruto atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam 1 tahun.

Penghasilan neto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan angka persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan peredaran bruto atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam 1 tahun. Dalam menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak orang pribadi, terlebih dahulu dihitung Penghasilan Kena Pajaknya dengan mengurangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dari penghasilan neto. Baru setelah itu, dilakukan penerapan tarif umum.

Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang berhak untuk tidak menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

NORMA PENGHITUNGAN KHUSUS

Ketentuan ini mengatur tentang Norma Penghitungan Khusus untuk golongan Wajib Pajak tertentu, antara lain perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah (build, operate, and transfer).

Untuk menghindari kesukaran dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu tersebut, berdasarkan pertimbangan praktis atau sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalam bidang-bidang usaha tersebut, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan Norma Penghitungan Khusus guna menghitung besarnya penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu tersebut.

G. PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN

Dalam dokumen PAJAK PENGHASILAN DI MASA COVID 19 (Halaman 138-147)