• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dasar Pertimbangan Perlunya Kriminalisasi Perkawinan Di

Dalam dokumen Kriminalisasi perkawinan dibawah umur (Halaman 61-74)

BAB III PERKAWINAN DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM

B. Dasar Pertimbangan Perlunya Kriminalisasi Perkawinan Di

Dalam bab ini akan membahas tentang hal-hal yang menjadi pertimbangan untuk mempidana pelaku perkawinan di bawah umur yang di kenal dengan kriminalisasi perkawinan di bawah umur, dimana dalam mengkriminalkan perkawinan itu harus menggunakan kebijakan atau ketentuan pidana untuk mengangkat atau menetapkan atau menunjuk suatu perbuatan yang semula tidak merupakan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana (delik/tindak kriminal). Tindak pidana pada hakikatnya merupakan perbuatan yang di angkat atau perbuatan yang ditunjuk atau ditetapkan sebagai perbuatan yang dapat di pidana oleh pembuat Undang-Undang63.

Banyak hal yang perlu dipertimbangkan untuk mempidana perkawinan di bawah umur, menurut Prof. Sudarto64, disini ada beberapa kriteria yang patut di pertimbangkan dalam menentukan kriminalisasi, yaitu:

e. Tujuan hukum pidana

f. Penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki g. Perbandingan antara sarana dan hasil

h. Kemampuan aparat penegak hukum

Tidaklah mudah untuk mengkriminalkan pernikahan di bawah umur yang hal ini didasarkan pada peranggapan-peranggapan, jangan sampai terjadi adanya peraturan

63

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 295

64

yang telah susah payah dihasilkan dengan mengeluarkan biaya yang sangat banyak akhirnya tidak dapat dilaksanakan, atau yang paling buruk peraturan itu malah mendatangkan ketidak-tentraman dalam masyarkat.

Memang dalam membentuk undang-undang pidana terkesan bahwa dalam menanggulangi kejahatan dengan menggunakan hukum pidana seolah-olah dijadikan sebagai satu-satunya sarana, mengingat efek prevensi generalnya mempunyai ancaman yang tidak dapat disangkal. Hukum pidana dikatakan dapat menyaring dari sekian banyak perbuatan yang tercela, dan tindak asusila atau yang merugikan dikalangan masyarakat.

Hukum pidana digunakan untuk mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki. Sehubungan dengan tujuan hukum pada umumya ialah tercapainya kesejahteraan masyarakat baik secara materil maupun spiritual, maka perbuatan yang tidak dikehendaki ialah perbuatan yang mendatangkan kerugian bagi warga masyarakat. Dengan adanya kerugian berarti ada korban. Perlu diingat bahwa korban dari perbuatan itu tidak hanya orang lain akan tetapi dapat pula pelakunya sendiri.

Usaha untuk mencegah suatu perbuatan dengan menggunakan sarana hukum pidana dengan sangsi negatif yang berupa pidana, perlu disertai perhitungan biaya yang harus dikeluarkan dan hasil yang diharapkan akan tercapai. Yang jelas kalau undang-undang itu sudah jadi dan dilaksanakan, ia akan menggerakkan sekian banyak badan/lembaga dan orang untuk dapat diterapkan. Ada polisi, badan penuntut umum,

pengadilan, lembaga pemasyarakatan dan lain sebagainya, mereka ini masuk dalam mekanisme yang disebut sistim hukum pidana65.

Dari adanya usaha pencegahan perbuatan yang dilarang itu dengan suatu peraturan atau perundang-undangan mungkin sekali mendatangkan perasaan aman dan tentram dikalangan masyarakat. Kenapa dikatakan “mungkin sekali” karena memang pada umumnya hal tersebut tergantung pula dari sifat perbuatan yang dilarang itu dan pemilihan tersebut, apakah benar-benar tidak dikehendaki oleh seluruh rakyat66. Dalam hukum pidana masih ada lagi yang perlu diperhatikan, yaitu efek dari pidana itu sendiri terhadap terpidana. Kita juga harus memperhitungkan, bahwa hukum pidana itu sendiri bersifat kriminogen, artinya menjadi sumber timbulnya tindak pidana. Karena itu harus benar-benar dipertimbangkan akibat dari sesuatu peraturan pidana.

Jadi dari penjelasan diatas cukup jelas bahwasanya tidak mudah untuk mengkriminalkan (mempidana) pelaku perkawinan di bawah umur. Dalam kehidupan masyarakat saat ini kasus itu memang tidak asing, dengan banyaknya kasus pernikahan di bawah umur sesuai dengan hasil penelitian dari PKPA (Pusat Kajian dan Perlindungan Anak) pada tahun 2008 di kabupaten Nias yaitu angka pernikahan antara usia 13-18 tahun mencapai angka sekitar 9,4% dari 218 responden perempuan yang sudah menikah dan yang akan menikah. Angka pernikahan di usia muda bagi

65

Ibid., h. 46

66

anak perempuan 3x lebih besar dibanding dengan anak laki-laki. Di kota malang menurut catatan kantor pengadilan agama (PA), angka perkawinan di bawah usia 15 tahun meningkat dibanding pada tahun 2007, hingga bulan september 2008 tercatat terjadi 10 perkawinan yang usia pengantin perempuannya masih di bawah umur 15 tahun67.

Adanya fenomena perkawinan di usia anak-anak tidak jauh berbeda antara kota yang telah diteliti PKPA dengan kota lainnya, seperti di daerah Bantul dengan adanya data jumlah perkara dispensasi kawin di pengadilan agama bantul sampai bulan maret 2009 perkara dispensasi kawin sudah pada 23 perkara68. Dengan kenaikan sangat tinggi, tidak menutup kemungkinan pada tahun 2010 perkara dispensasi kawin akan sampai pada angka melebihi 100, mengingat fakta perilaku seksual remaja yang melakukan hubungan seks pra nikah dan sering berujung pada pernikahan dini serta kultur masyarakat indonesia yang masih memposisikan anak perempuan sebagai warga kelas dua, dan ingin mempercepat perkawinan dengan berbagai alasan diantaranya masalah ekomoni, sosial, anggapan pendidikan tinggi tidak terlalu penting bagi anak perempuan dan stigma terhadap status perempuan tua69.

67

Ahmad Sofyan, MA dan Misran Lubis. Pernikahan Dini, artikel diakses pada tanggal 18 juli 2011dari http://niaschild.multiply.com/journal PKPA Nias-indonesia

68

Lily Ahmad, Hakim dan Pernikahan Dini, artikel diakses pada 5 agustus 2011 dari http://lilyahmad.multiply.com/journal/item/26/HAKIM_DAN_PERNIKAHAN_DINI

69

Hasil dari penelitian PKPA (pusat kajian dan perlindungan anak) diatas, dapat dijadikan dasar pertimbangan tentang perlunya kriminalisasi perkawinan di bawah umur, dengan mengingat dampak-dampak yang akan timbul dari adanya perkawinan di bawah umur, jelaslah sebuah upaya hukum harus dilakukan demi melindungi hak-hak yang terzdholimi dengan adanya pernikahan di bawah umur, hal ini haruslah diperhatikan dengan sungguh-sungguh karena hal itu merupakan hal yang tidak kalah krusialnya. Sebab diantara masalah yang akan timbul dari pernikahan dini atau di bawah umur adalah dampak-dampaknya yang akan dirasakan semakin lama semakin menarik perhatian bagi banyak kalangan. Untuk mengetahui dampak dari pernikahan di bawah umur menjadi sangat penting dalam rangka upaya untuk menemukan obyektifikasi hasil penelitian ini.

Sebab dengan mengetahui dampaknya (perbuatan yang tidak dikehendaki), maka akan lebih mudah bagi kita untuk menganalisis pernikahan di bawah umur dari aspek maslahah dan mafsadahnya. Diantara dampak-dampak yang akan timbul dari adanya perkawinan di bawah umur terdapat beberapa aspek, diantaranya yaitu:

a. Dampak hukum,setiap negara mempunyai peraturan-peraturan yang terwujud dalam sebuah undang-undang. Salah satu sifat undang-undang adalah mengikat terhadap seluruh warga negaranya. Mengikat disini mengandung pengertian terdapat kewajiban bagi warga negara untuk selalu mentaati adanya peraturan (Undang-Undang) yang berlaku, dimana bagi setiap orang yang melanggarnya dikenakan sangsi bagi warga negara yang melanggar

aturan tersebut atau yang lebih tepatnya disebut dengan adanya ancaman pidana, denda atau sangsi administrasi. Dalam perkawinan di bawah umur, secara yuridis terdapat pelanggaran terhadap undang-undang dalam beberapa aspek, diantaranya adalah Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 7 ayat (1), adapun isinya bahwasannya perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencapi umur 19 tahun dan wanita 16 tahun, dan Undang-Undang no.23 tahun 2002 pasal 26 ayat 1, bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak dengan menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Amanah dari undang-undang tersebut bertujuan untuk melindungi anak, agar tetap sesuai dengan kodratnya, dan tetap memperoleh hak-haknya untuk tetap hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari perbuatan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Undang-undang merupakan salah satu bentuk representasi dari masyarakat yang di tetapkan oleh pemerintah atau pemimpin untuk mengatur masyarakatnya demi melindungi hak-hak masyarakat yang menjadi tanggungannya.

b. Dampak biologis, pernikahan di bawah umur memberikan dampak yang tidak bagus dalam tumbuh kembang anak-anak, hal ini dikarenakan jika dilihat dari kacamata biologis, anak-anak yang masih belum dewasa dan masih dalam

masa pertumbuhan baik dari segi fisik maupun mental, jika dipaksakan pernikahan tersebut akan mengganggu pertumbuhan alat reproduksinya, hal ini dikarenakan alat kelamin tersebut masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan berakibat sangat tidak baik bagi perempuan yang melangsungkan pernikahan di bawah umur tersebut, maka akan terjadi trauma ataupun gangguan fisik maupun mental, robeknya alat kelamin dan infeksi yang membayangi dan akan membahayakan organ reproduksinya dan tidak menutup kemungkinan sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan terhadap seorang anak.

c. Dampak psikis, secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis yang berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.

d. Dampak sosial, yang dimaksud dampak sosial disini adalah adanya hirarki laki-laki dengan perempuan, dan adanya ketidakstabilan dalam fungsi keluarga. Adanya hirarki antara laki-laki dengan perempuan tidak bisa lepas dari fenomena sosial, hal ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap sebagi pelengkap sex bagi orang laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk islam yang sangat menghormati perempuan.

Dampak sosial selanjutnya adalah berhubungan dengan perjalanan keluarga. Menurut Muhammad Amin Summa pernikahan tidak semata-mata tercermin pada konotasi makna biologis. Akan tetapi jauh dari pada itu pernikahan juga akan mengakibatkan hubungan psikis, kejiwaan dan perbuatan-perbuatan (tingkah laku) dibalik hubungan biologis mereka berdua. Selain itu juga akan mencerminkan hubungan-hubungan dengan orang lain yang masuk sebagai konsekuensi dari sebuah perkawinan yaitu hubungan dengan keluarga dan mertua, juga hubungan yang dilakukan dengan masyarakat sekitarnya. Sebab orang yang sudah melakukan perkawinan secara otomatis ia akan mendapatkan predikat kehormatan sejajar dengan kehormatan manusia itu sendiri.70

70

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2005), h. 49

e. Dampak perceraian, salah satu dampak pernikahan di bawah umur adalah rawan perceraian. Keluarga bahagia dan sejahtera yang menjadi tujuan dari pada pernikahan yang sudah tidak lagi menjadi acuan dan bahkan sulit di dapatkan dalam perkawinan di bawah umur. Hal ini dikarenakan ketika macam-macam permasalahan dan aneka konsekuensi pada pernikahan dan berkeluarga datang menerpa, mereka yang notabene kurang berpendidikan dan berpengalaman tidak mampu menyelesaikan permasalahan dengan baik.

Dengan maraknya wacana dampak-dampak dari perkawinan di bawah umur yang disebutkan diatas yang menjadikan adanya anggapan bahwa perlunya dilakukan sebuah tindakan terhadap pelaku perkawinan di bawah umur. Karena perkawinan di bawah umur dianggap sebagai sebuah perbuatan yang tidak dikehendaki dalam masyarakat karena pada nantinya akan menimbulkan dampak yang tidak baik dalam tatanan masyarakat.

Hal penting yang perlu diingat dalam menyikapi permasalahan perkawinan di bawah umur adalah hal ini merupakan permasalahan perdata, adalah salah ketika memasukkan masalah pernikahan di bawah umur kedalam masalah hukum pidana, berbeda halnya dengan pemaksaan untuk menikah terhadap seorang anak, yang dengan itu seorang anak merasa terintimidasi dan dilanggar hak dan privasinya untuk tetap tumbuh kembang sesuai dengan sewajarnya, dengan ini layak atas kasus ini menjadi ranah pada hukum pidana, hal ini bukan semata karena terjadinya

perkawinan tersebut tapi karena adanya unsur pemaksaan dalam proses berlangsungnya pernikahan tersebut71.

Dan hal lain yang perlu perhatikan untuk melakukan perkawinan adalah rukun dan syarat dalam perkawinan tersebut, karena rukun dan syarat menentukan sah atau tidaknya suatu perbuatan hukum. Dalam sebuah perkawinan rukun dan syarat tidak boleh tertinggal dan dipisahkan, bila dari kedua hal itu tidak lengkap maka tidak sah dari perkawinan tersebut. Keduanya mengandung arti yang berbeda tetapi terdapat sebuah kaitan yang pasti. Adapun yang dimaksud rukun adalah suatu yang berada dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada diluarnya dan tidak merupakan unsurnya72.

Dalam perkawinan perlu diperhatikan juga asas dan prinsipnya, dan yang dimaksud dengan asas dan prinsip perkawinan disini adalah ketentuan perkawinan yang menjadi dasar dan dikembangkan dalam materi batang tubuh undang-undang perkawinan. Adapun asas-asas dan prisip-prinsip yang di anut oleh undang-undang perkawinan adalah sebagaimana yang terdapat pada penjelasan umum undang-undang perkawinan itu sendiri, diantaranya sebagai berikut73:

71

Wawancara pribadi dengan Dr. H. M. Asrorun Ni’am Sholeh, MA, wakil ketua KPAI pada tanggal 21 juli 2011

72

Prof. DR. Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Croup, 2009), cet.3, h. 53

73

1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami dan istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan meteril.

2. Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan setiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta yang juga di muat dalam daftar pencatatan.

3. Undang-Undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan seorang yang lebih dari seorang, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan dapat diputuskan oleh pengadilan.

4. Undang-Undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat diwujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan

mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyata batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menetukan bahwa untuk melangsungkan kawin baik bagi pria maupun wanita ialah usia, 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.

5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan. 6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami

baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.

Jadi secara sederhananya asas dan prinsip dari perkawinan itu adalah sebagai berikut74: 1. Asas sukarela 2. Partisipasi keluarga 74 Ibid., h. 26

3. Perceraian dipersulit

4. Poligami di batsasi secara ketat 5. Kematangan calon mempelai 6. Memperbaiki derajat wanita

Dari ketentuan diatas, yang dimaksudkan sebagai asas dan prinsip dari perkawinan yang ada dalam undang-undang perkawinan yang salah satu poinnya menyebutkan bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, disini bisa diartikan bahwa kematangan umur bagi calon mempelai sangatlah relatif sesuai kondisi fisik dan mental para pelaku perkawinan, dengan inilah perlu diperketat dalam pelaksanaanya, agar nantinya dapat menjadi pintu masuk dari upaya dalam menekan angka perkawinan di bawah umur. Dikarenakan anak yang melakukan perkawinan sangatlah memerlukan kesiapan fisik dan mental yang matang untuk membina rumah tangga yang bahagia dan sejahtera.

Poin lainnya adalah untuk memperbaiki derajat wanita. Dari poin ini bisa diartikan bahwa dalam kehidupan keluarga banyak wanita yang menjadi korban perkawinan di bawah umur, terutama di daerah pedesaan. Sehingga seorang anak perempuan tidak bisa menjalani masa kanak-kanak dengan sewajarnya, dan tidak bisa menikmati pendidikan dimana pendidikan itu guna mengembangkan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka secara optimal.

C. Pandangan Hukum Islam Terhadap Hukum Positif dalam Kriminalisasi

Dalam dokumen Kriminalisasi perkawinan dibawah umur (Halaman 61-74)

Dokumen terkait