BAB III PERKAWINAN DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Perkawinan di Bawah Umur:
1. Perspektif Hukum positif
Pengertian perkawinan sebagaimana dimaksudkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 disebutkan: perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Maha Esa31. Hal ini mendapat perhatian dan pemahaman oleh masyarakat, karena Undang-Undang ini merupakan landasan pokok dari hukum perkawinan. Begitu juga dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dengan perkataan ikatan lahir dan batin itu dimaksudkan bahwa suami dan istri tidak boleh semata-semata hanya berupa ikatan lahiriah saja, dengan makna seoarang pria dan wanita hidup bersama sebagai suami istri dalam suatu ikatan formal saja. Tetapi kedua-duanya juga harus membina ikatan batin berupa cinta dan kasih sayang yang mendalam. Sehingga perkawinan dalam Undang-Undang ini tidak semata-semata hubungan hukum saja antara seorang pria dengan seorang wanita, akan tetapi juga mengandung aspek-aspek lainya yaitu, aspek agama, biologis, sosial dan juga masyarakat.
31
Apabila akad nikah telah berlangsung dan sah menurut syarat dan ketentuan rukun-rukunya, maka akan menimbulkan akibat hukum (hak-hak dan kewajiban) selaku suami dan istri dalam keluarga. Jika suami istri sama-sama menjalankan hak-hak dan kewajibannya, sesuai dengan tanggung jawab masing-masing maka akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati sehingga sempurnalah kebahagiaan hidup dalam berumah tangga.
Sebelum membahas tentang pengertian perkawinan di bawah umur, terlebih dahulu penulis akan mendefinisikan tentang maksud dari anak di bawah umur. Adapun yang dimaksud dengan anak di bawah umur yaitu, anak yang belum
mumayyiz atau belum bisa dibebani tanggung jawab, karena kurang cakapnya dalam bertindak. Adapun patokan dalam bertindak yaitu akal, apabila akal seseorang masih kurang maka ia belum bisa dibebani kewajiban.
Adapun yang dimaksud anak di bawah umur dalam perspektif Undang-Undang adalah anak yang usianya masih di bawah 18 tahun, sesuai yang tertulis dalam Undang-Undang perlindungan anak. Berdasarkan hubungan ini, yang dimaksud perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh salah satu calon mempelai atau keduanya yang belum memenuhi syarat umur yang telah ditentukan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, sebagaimana ketentuan yang ditegaskan pada pasal 6 ayat (2) “untuk melangsungkan
perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua”32.
Dengan berpegangan pada pasal 6 ayat (2) diatas, secara umur dapat diartikan bahwa untuk melaksanakan perkawinan seseorang harus berumur lebih dari 21 tahun, sedangkan seorang yang belum mencapai umur ini harus mendapatkan izin dari orang tua. Untuk membatasi agar tidak semua umur dengan mudah dapat melakukan perkawinan hanya dengan mendapat izin orang tua, maka selanjutnya pada pasal 7 Undang-Undang yang sama menjelaskan dan memberikan batasannya lebih jelas. Pasal tersebut menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
Dasar hukum positif di Indonesia di atas, memakai Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang terdapat dalam pasal 7 ayat (2) dan (3) yang menyatakan bahwa dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak, baik dari pihak pria maupun wanita. Sedangkan ayat selanjutnya dengan pasal yang sama menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4), Undang-Undang ini berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut, ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud pasal 6 ayat (6).
32
Masih berkaitan dengan ketentuan hukum positif yang dapat dijadikan dasar hukum pernikahan/perkawinan di bawah umur, di Indonesia adalah pasal 15 KHI. Walaupun sebenarnya KHI merupakan penguat dari Undang-Undang perkawinan, tentang masalah syarat umur ini tetap di jelaskan. Pasal tersebut menyatakan bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 7 ayat (1) yakni: perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun33.
Apabila dibandingkan dengan batasan umur bagi calon mempelai dibeberapa negara muslim, negara Indonesia secara definitif belum yang tertinggi, berikut data komparatif34:
NEGARA Usia laki-laki Usia perempuan
Algeria 21 18 Banglades 21 18 Mesir 18 16 Irak 18 18 Yordania 16 15 Libanon 18 17 33
Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: fokus media, 2005), h. 10
34
H. M. Atho’ Muzdhar dan Khairudin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: studi perbandingan dan keberanjakan UU modern dari kitab-kitab fiqih, cet.1, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 209-210
Libia 18 16 Malaysia 18 16 Maroko 18 15 Yaman utara 15 15 Pakistan 18 16 Somalia 18 18 Yaman selatan 18 16 Syiria 18 17 Tunisia 19 17 Turki 17 15
Secara rinci syarat-syarat perkawinan bagi mereka yang masih muda atau di bawah umur dan ingin melangsungkan perkawinan, maka di bawah ini diuraikan prosedur persyaratannya, diantaranya adalah sebagai berikut35:
1. Para pihak mengajukan perkawinan terlebih dahulu pada Kantor Urusan Agama (KUA) setempat;
2. Dari KUA diberi formulir untuk di isi dan kemudian diajukan pada Pengadilan Agama;
3. Menunggu penetapan dari Pengadilan Agama dan dengan berbagai sidang;
35
4. Menyerahkan izin kepada KUA jika telah di dapatkan dan jika tidak maka perkawinan dibatalkan;
5. Pelangsungan oleh KUA.
Dengan demikian, selain syarat-syarat melangsungkan perkawinan secara umum, khusus dalam persyaratan umur bagi pelaku perkawinan di bawah umur di indonesia adalah mendapatkan izin dari pengadilan agama (PA) dan kantor urusan agama (KUA), karena keduanya adalah lembaga yang dapat memberikan izin dispensasi tersebut. Namun demikian umumnya harus mendapatkan penetapan izin terlebih dahulu dari pengadilan agama dimana mereka hendak melangsungkan perkawinannya.
Dan untuk pelaksanaannya tidak jauh berbeda dengan prosedur pelaksanaan perkawinan pada umumnya. Dengan catatan bahwa syarat-syarat secara keseluruhan telah terpenuhi, termasuk di dalamnya adanya syarat-syarat mendapatkan izin dari pengadilan agama setempat.
Dari persyaratan yang telah disebutkan, setidaknya memberikan kelonggaran kapada hakim yang sedang dimintakan izin untuk mengabulkan permintaan kawin dari calon mempelai baik dari laki-laki maupun perempuan yang masih di bawah umur.