• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kriminalisasi perkawinan dibawah umur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kriminalisasi perkawinan dibawah umur"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

DiajukanUntukMemenuhiPersyaratanMemperoleh

Gelar SarjanaSyari’ah (S.Sy)

Oleh

MOCHAMAD ABDUL ROCHIM

NIM: 104043201371

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)

i

SWT yang tidak ada habisnya melimpahkan Rahmat dan Ridho-Nya. Dan tidak lupa

Shalawat serta salam tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW,

akhirnya, jerih payah, dan kesabaran bertemu dengan kepastian yang telah digariskan

oleh Sang Penguasa waktu. Tanpa kehendak-Nya, niscaya skripsi ini tidak mungkin

dapat diselesaikan penulis.

Perkenankan, di pengantar skripsi ini penulis menaburkan untaian terima kasih

kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik semasa penulis berkuliah

maupun semasa penulis mengerjakan hingga menyelesaikan skripsi ini. Dengan

segala ketulusan dan kerendahan hati dari penulis, ucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Summa, S.H, MH, MM, selaku dekan Fakultas

Syari’ah dan Hukum

2. Dr. H. Muhammad Taufiqi M.Ag selaku ketua program studi Perbandingan

Madzhab dan Hukum sekaligus dosen pembimbing skripsi, yang telah banyak

meluangkan waktu ditengah kesibukannya untuk memberikan arahan dan

bimbingan selama penulis dalam menyelesaikan penelitian dalam penulisan

skripsi ini.

3. Bapak Fahmi Ahmadi, M.Si selaku sekertaris program studi Perbandingan

(5)

ii

perbandingan madzhab dan hukum yang tidak bisa penulis sebutkan satu

persatu, telah mendidik dan membagi-bagikan ilmu dan pengalamannya

secara tulus dan penuh keikhlasan.

5. Pimpinan serta staf dan jajaran pegawai akademik fakultas, pimpinan

perpustakaan dan stafnya, baik perpustakaan fakultas dan perpustakaan utama

yang telah banyak membantu penulis dalam memperoleh berbagai refrensi

dalam menyelesaikan skripsi.

6. Kedua Orang tua dengan penuh kesabaran dan keikhlasan yang selalu

mendidik, membimbing, memberikan nasehat dan dukungan serta do’anya

dimanapun penulis berada.

7. Adeku dan orang yang selalu menyemangati aku, kalianlah yang kumiliki dan

slalu ada disaat ku butuh.

8. Sahabat-sahabat AL-BARKAH INSTITUT: Fatkhurrahman alias ndomen,

Habibullah Siregar, Kurnia Aswaja, Kurnia Majid, Nasihin Aziz Raharjo

S.Kom.i. Ana Mulyana, Ali Syahbana, Kamal Fuadi S.Pd, Syarif Zakky Azizi,

Fajar Mahbub, imam fitri R. dan fahmi

9. Sahabat-sahabat ku yang ada di jogja makasih atas semuanya telah banyak

membantu

10.Teman-teman kelas PH dan PMF terutama angkatan 2004 maaf jika selama

(6)

iii

dapat bermanfaat bagi semua pihak yang menggeluti bidang hukum, minimal bagi

diri penulis sendiri. Akhirnya hanya kepada Allah SWT jua segala sesuatu penulis

kembalikan. Wallaahu A’lamu Bi As Shawab.

Ciputat, 17 Agustus 2011

(7)

iv

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Tinjauan Pustaka dan Kajian Terdahulu ... 7

C. Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 9

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

E. Metode Penelitian ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II KRIMINALISASI DALAM PERSPEKTIF PEMIDANAAN ... 13

A. Pengertian Kriminalisasi ... 13

B. Kriminalisasi dalam hukum keluarga ... 21

BAB III PERKAWINAN DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF ... 28

A. Pengertian Perkawinan di Bawah Umur: ... 28

1. Perspektif Hukum positif ... 29

(8)

v

BAB IV PEMIDANAAN BAGI PELAKU PERKAWINAN DI BAWAH

UMUR ... 44

A. Kebijakan Hukum Pada Saat ini Dalam Rangka Menanggulangi Perkawinan di Bawah Umur ... 44

B. Dasar Pertimbangan Perlunya Kriminalisasi Perkawinan Di Bawah Umur ... 53

C. Pandangan Hukum Islam Terhadap Hukum Positif dalam Kriminalisasi Perkawinan di Bawah Umur ... 66

BAB V PENUTUP ... 68

A. Kesimpulan ... 68

B. Saran-saran ... 70

(9)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah salah satu masa yang sangat penting bagi sejarah perjalanan

hidup umat manusia, dimana dengan adanya pernikahan diharapkan akan munculnya

generasi penerus dari keluarga tersebut, selain itu perkawinan merupakan salah satu

cara dalam bersilaturahmi sesama manusia, karena pada hakekatnya perkawinan

adalah mempertemukan dua keluarga yang berbeda.

Adapun salah satu tujuan dari perkawinan adalah membawa kedua mempelai

untuk melewati ke tahap jenjang kehidupan dari proses kehidupan sebelumnya,

dengan diberlangsungkannya perkawinan secara otomatis nantinya akan merubah

status kedua insan yang melangsungkan perkawinan menjadi suami istri dimana

dengan adanya perubahan status tersebut dihalalkan baginya hal-hal yang dulunya

dilarang antara laki-laki dan perempuan.

Dengan perkawinan seseorang juga akan memperoleh keseimbangan hidup baik

secara biologis, psikologis, maupun secara sosial. Dari semua hal yang telah

disebutkan, kedua mempelai juga akan menerima atau mengemban beban dan

tanggung jawab yang sangat berat sesuai hak-hak dan kewajibannya masing-masing

sebagai seorang suami istri.

Perlu dicatat betapa besarnya tanggung jawab, baik bagi seorang suami maupun

(10)

menjalani bahtera rumah tangga, baik kesiapan secara fisik maupun psikis. Hal ini

dikarenakan tanggung jawab seorang suami atau istri tidak mungkin terlaksana

dengan persiapan yang asal-asalan dan kondisi fisik maupun psikis yang buruk. Jadi

diperlukan persiapan yang cukup untuk menempuh kehidupan rumah tangga yang

baik, sebab mempertahankan bahtera rumah tangga merupakan sebuah perjuangan

tersendiri yang sangat berat.

Misalnya bagi seorang laki-laki, dibutuhkan ketahanan dalam berjuang baik

dalam mencari nafkah bagi keluarga maupun dalam menjaga keutuhan sebuah rumah

tangga, dari segi ketahanan fisik seorang suami dituntut harus lebih kuat dari seorang

perempuan karena laki-laki adalah sebagai pemimpin bagi istri dan anak dalam

keluarganya. Seorang laki-laki dituntut untuk bisa mengolah segala potensi dan

kreatifitas yang ada untuk mencukupi kebutuhan hidup bagi istri dan anak-anaknya

dari keperluan sandang, pangan, serta perlindungan dari segala bentuk ancaman.

Selain itu tidak kalah pentingnya bagi seorang wanita, harus mampu

mempertahankan dan menjaga kehormatan suami dan keluarganya. Seorang wanita

juga harus mempunyai ketahanan fisik yang kuat untuk melakukan rutinitas urusan

rumah tangga yang sangat berat, dari mengurus dirinya sendiri, urusan rumah tangga,

mengurus dan melayani kebutuhan suami, baik lahir maupun batin. Belum lagi kalau

sudah dikaruniai keturunan, hal ini tentunya akan menambah pekerjaan bagi seorang

istri sebagai ibu rumah tangga.

Berawal dari sebuah kasus yang telah lama tidak terdengar lagi, beritanya yang

(11)

elektronik. Yaitu kasus pernikahan Pujiono Cahyo Widianto atau yang lebih kita

kenal sebagai puji, seorang pengusaha dan pimpinan sebuah pondok pesantren

Miftahul Jannah di Semarang. Berita perihal perkawinan Puji dengan seorang anak

yang masih di bawah umur, dimana hal ini menjadi hal yang kontroversial dalam

pemberitaannya diberbagai media yaitu, Lutfiana Ulfa seorang gadis yang masih di

bawah umur yang akhir-akhir ini banyak menjadi bahasan diberbagai kalangan

masyarakat. Karena ulahnya tersebut Puji dianggap telah menikahi seorang

perempuan yang umurnya belum patut untuk menikah.

Dari peristiwa tersebut Puji mendapat panggilan dari pihak kepolisian untuk

diperiksa bersama ayah dari Lutfiana Ulfa yang bernama Suroso dengan surat

panggilan bernomor 029 PGL/431/II/2009/Reskrim tertanggal 28 februari 20091.

Dalam hal ini Puji di panggil untuk dimintai keterangan perihal perbuatannya

tersebut, puji dijadikan saksi dalam kasus eksploitasi anak atas pernikahan sirri yang dilakukannya sebagaimana pasal 81 dan pasal 88 Undang-Undang no. 23 tahun 2002

tentang perlindungan anak jo pasal 290 ayat (2) KUHP.

Pada akhirnya kasus perkawinan sirri puji disidangkan di pengadilan negeri Ungaran atas tuntutan pasal 81 dan pasal 88 Undang-Undang no. 23 tahun 2002

tentang perlindungan anak jo pasal 290 ayat (2) KUHP. Pada tanggal 23 oktober 2010

Pujiono Cahyo Widianto dalam sidang dinyatakan bebas dalam putusan sela2 dengan

1

Luxboy, Syekh Puji menghadiri persidangan,, artikel diakses pada 17 maret 2011 dari

(12)

nomor perkara 233/Pid.B/2009/PN.Ung yang dibacakan majelis hakim yang dipimpin

oleh ketua majelis hakim Hari Mulyanto dengan dua anggota masing-masing Salman

Alfaris dan Aris Gunawan3. Setelah adanya putusan sela dari Pengadilan Negeri (PN)

Ungaran, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan Verzet4atas putusan itu, selain itu kuasa hukum dari Puji juga mengajukan upaya hukum kasasi5 ke Mahkamah Agung.

Namun pada akhirnya Mahkamah Agung (MA) menolak pengajuan kasasi oleh

kuasa hukum dari puji terhadap putusan sela tersebut, setelah MA menolak upaya

kasasi dari pihak puji, Mahkamah Agung memutuskan untuk melanjutkan perkara

puji yang kemudian salinannya telah diterima oleh Kejaksaan Tinggi (KEJATI)

Semarang dengan nomor 325 K/Pid.Sus/2010. Dan pada akhirnya hasil dari

kelanjutan sidang tersebut, Puji divonis 4 (empat) tahun penjara dengan denda Rp 60 (enam puluh) juta6.

2

Yang dimaksud dalam kamus istilah aneka hukum C.S.T Kansil dan Cristine S.T Kansil dikatakan putusan sela adalah putusan sementara, biasanya untuk menambahkan pemeriksaan karena dianggapnya kurang cukup; setelah setelah didapatkannya bahan-bahan tambahan itu, barulah pengadilan memberikan putusan akhir (eind-vonnis),

3

Admin, Putusan sela, syeh puji bebas, artikel diakses pada 17 maret 2011 dari http://radar pekalongan.com/putusan sela-syeh-Puji-bebas

4

Yang dim aksud verzet dalam kamus istilah aneka hukum C.S.T Kansil dan Cristine S.T Kansil dikatakan verzet adalah perlawanan, yang dapat diajukan terhadap putusan verstek yaitu putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya pelawan.

5

Yang dimaksud kasasi dalam kamus hukum B.N Marbun dikatakan kasasi arti awalnya adalah pembatalan, pemecatan. Suatu instrumen hukum yang hanya dimiliki oleh Mahkamah Agung untuk memeriksa kembali keputusan-keputusan pengadilan bawahan (pengadilan negeri, pengadilan tinggi) tentang sudah tepat atau tidaknya penerapan hukum.

6

(13)

Dari contoh kasus di atas, terdapat sesuatu hal menarik bagi penulis yang masih

perlu untuk dikaji ulang dan difahami secara mendalam dalam permasalahan

perkawinan yang diasumsikan masih di bawah umur, yang mana hal ini cukup

menarik untuk dibahas. Pada prinsipnya perkawinan merupakan sebuah ikatan yang

sakral, dimana dengan terjadinya hal tersebut dihalalkan hubungan intim antara

seorang laki-laki dengan seorang perempuan layaknya seorang suami istri, dan untuk

membentuk suatu keluarga yang bahagia.

Jadi dalam permasalahan perkawinan di bawah umur pada kenyataannya belum

ada kepastian hukum yang mengatur atasnya dengan jelas, di era sekarang masih

adanya pemidanaan terhadap pelaku perkawinan di bawah umur merupakan sebuah

hal yang kontroversial. Pada prinsipnya perkawinan itu sendiri mempunyai

syarat-syarat dan rukun yang harus dipenuhi bagi kedua mempelai yang akan melakukan

perkawinan yang dimana hal ini saling terikat satu dengan yang lain dan tak mungkin

terpisah-pisah dalam syarat, rukun dan pelaksanaannya.

Tidak hanya dalam aturan agama yang didalamnya terdapat ketentuan

syarat-syarat dan rukun yang harus dipenuhi dalam melakukan perkawinan, tetapi terdapat

persyaratan yang sangat penting yang ditetapkan kepada kedua mempelai yang di

dalamnya juga harus memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dan

mengatur keduanya, karena pada prinsipnya kita hidup dalam suatu negara hukum. Di

indonesia berlaku undang-undang yang mengatur tentang perkawinan yaitu

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai salah satu

(14)

Selain kedua undang-undang tersebut di atas, perlu adanya perhatian lain yang

harus diperhatikan agar tidak terjadi pertentangan antara undang-undang yang satu

dengan undang-undang lain yang mungkin masih terdapat keterkaitan dengan

perkawinan di bawah umur. Diantaranya undang-undang perlindungan anak no. 23

tahun 2002. Jika undang-undang ini tidak diperhatikan mungkin akan banyak terjadi

perkawinan di bawah umur dimana perkawinan di bawah umur tersebut merupakan

salah satu sebab terjadinya perceraian, karena hal ini dimungkinkan kurang siapnya

mental dari calon mempelai dalam menjalani bahtera hidup rumah tangga.

Selain itu ada suatu pokok bahasan yang tidak kalah penting mengenai

perkawinan di bawah umur yaitu, kejelasan aturan hukum, dan apakah pernikahan di

bawah umur itu merupakan suatu kriminalisasi hukum? hal ini yang menjadi suatu

pembahasan yang menarik untuk di teliti. Sehubungan dengan permasalahan tersebut

di atas, penulis bermaksud untuk melakukan penelitian dalam bingkai penulisan

skripsi dengan judul “KRIMINALISASI PERKAWINAN DI BAWAH UMUR”.

B. Tinjauan (Review) Kepustakaan Terdahulu

1. Implikasi nikah di bawah umur terhadap reproduksi perempuan

(Analisa pasal 7 UU NO 1 1974). Fakultas Syari’ah oleh Fatimatuz Zahro’. Tahun 2009. dalam skripsi ini peneliti membahas tentang hak reproduksi

perempuan dengan menggunakan analisa pasal 7 UU NO 1 1974 dan

penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum sosiologis atau

(15)

2. Manipulasi usia perkawinan (Analisa kritis pasal 7 UU NO 1 1974)

Fakultas Syari’ah 2009 oleh Debi Zulkarnain. Skripsi ini adalah hasil

penelitian lapangan yang mengungkapkan praktik manipulasi usia

perkawinan calon pengantin yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu

sehingga berakibat nikah di bawah umur. Dalam hal usia perkawinan,

penulisnya cenderung terhadap intruksi Mendagri no 27 tahun 1983 yang

mendukung program KB dalam rangka menekan laju kependudukan.

3. Dispensasi nikah di bawah umur (Studi putusan pengadilan Agama Jakarta Selatan no: 082/pdt.p/2008/pajs). Fakultas Syari’ah. oleh Amri Yusar. Tahun 2009 dalam skripsi ini menggunakan penelitian lapangan

yang hanya menekankan tentang dispensasi nikah di bawah umur dan

ketentuan usianya.

4. Dispensasi nikah bagi perkawianan di bawah umur (studi analisis putusan no 008/PDT.p/2006/PAJP). Fakultas Syari’ah. Oleh Boy Valdi. Tahun 2008. Dalam skripsi ini penulis membahas prosedur pengajuan

permohonan dispensasi nikah dan prosesnya dipengadilan agama jakarta

pusat serta pertimbangan apa saja yang di ambil oleh Hakim dalam

memberikan dispensasi nikah. Penelitian ini menggunakan deskriptif

analisis, yaitu metode yang menggambarkan dan memberikan analisa

terhadap kenyataan dilapangan.

(16)

2009, dari skripsi ini penulis membahas adakah sanksi hukum yang

ditentukan dalam hukum Islam dan hukum positif terhadap praktek

perkawinan di bawah umur, disitu juga dibahas tentang usia perkawinan dari

hukum positif dan hukum Islam.

6. Perkawinan usia muda dan pengaruhnya terhadap tingkat perceraian (studi kasus pada masyarakat desa jatisari kec. Cileungsi kab. Bogor). Fakultas Syari’ah, oleh Hilmah Ismail. Tahun 2007. Peneliti dalam skripsi

ini membatasi permasalahan yang dibahas adalah pengaruh perkawinan usia

muda terhadap tingkat perceraian, penulis dalam skripsi ini menggunkan

metode penelitian deskriptif.

7. Pernikahan usia muda terhadap pembentukan keluarga sakinah (Studi kasus kec. Rajeg kab. Tangerang). Fakultas Syari’ah, oleh Ahmad

Hidayat. Tahun 2008. Yang diangkat dalam skripsi ini adalah pengaruh

pernikahan di usia muda terhadap pembentukan keluarga sakinah termasuk

bahasan poin usia muda.

8. Perkawinan di bawah umur di desa pantai bahagia kec. Muara

gembonng kab. Bekasi menurut hukum Islam dan hukum positif.

Fakultas Syari’ah, oleh Achmad Saprudin. Tahun 2007. Yang dibahas

dalam skripsi ini yaitu faktor-faktor penyebab dan dampak terjadinya

perkawinan di bawah umur. Penelitian ini mengunakan metode kepustakaan

(17)

C. Pembatasan dan Rumusan masalah

1. Pembatasan masalah

Pembatasan masalah disini dimaksudkan agar masalah lebih terfokus dan

spesifik. Dalam pembatasan masalah ini peneliti hanya membahas seputar

perkawinan di bawah umur dan apakah pernikahan di bawah umur merupakan

sebuah kriminalisasi.

2. Rumusan masalah

Berdasarkan alasan dari judul di atas, maka yang menjadi pokok pembahasan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Apakah yang dimaksud dengan perkawinan di bawah umur?

b. Bagaimanakah pemidanaan perkawinan di bawah umur dalam hukum

positif sebagai kriminalisasi?

c. Bagaimanakah pandangan hukum islam terhadap kriminalisasi

perkawinan di bawah umur?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Adapun Tujuan yang ingin didapatkan dari penelitian ini mempunyai

beberapa tujuan diantaranya:

a. Untuk mengetahui seluk beluk perihal apakah yang dimaksud dengan

(18)

b. Untuk mengetahui apakah perkawinan di bawah umur merupakan

suatu bentuk kriminalisasi dan eksploitasi terhadap anak.

c. Untuk mengetahui sudut pandang islam tentang kriminalisasi.

2. Manfaat penelitian

Adapun manfaat yang ingin dicapai oleh penulis dari penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Manfaat teoritis:

Secara teoritis hasil dari penelitian ini diharapkan bisa memberikan kegunaan

bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang hukum

perkawinan dan perlindungan terhadap anak.

b. Manfaat praktis:

Secara praktis hasil dari penelitian ini dapat menjadi suatu informasi yang

penting dan terbaru bagi masyarakat yang dimana di daerahnya banyak terjadi

pernikahan/perkawinan di bawah umur, dan sebagai sebuah pedoman dan

informasi bahwasanya perkawinan di bawah umur bisa menjadi salah satu faktor

penyebab terjadi maraknya perceraian karena disebabkan tidak siapnya mental

seoarang anak untuk menjalani dan membentuk bahtera keluarga yang sakinah.

Dan dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi

masyarakat umum dan pemerintah dalam sosialisasi perlindungan anak dari

segala bentuk kekerasan, perdagangan anak, dan berbagai bentuk eksploitasi

(19)

E. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian hukum

normatif yaitu, penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau data sekunder7.

2. Sumber data

a. Data primer yaitu, yang terdiri dari bahan-bahan hukum yang sifatnya

mengikat secara pasti diantaranya adalah perundang-undangan

b. Data sekunder yaitu, berisi bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan dari hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian,hasil

karya dari kalangan hukum dan jurnal yang masih terkait serta

wawancara dengan narasumber seorang ahli hukum atau orang yang

ahli tentang kehidupan anak untuk memberikan pendapat hukum

tentang suatu fenomena yang terkait dengan penelitian

F. Sistematika Penulisan

Untuk memahami dan mengetahui substansi dari skripsi ini secara sistematis dan

tersusun dengan baik, serta untuk memperoleh kejelasan dalam pembahasannya,

maka peneliti menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:

7

(20)

BAB I: Pendahuluan; merupakan bab yang menguraikan tentang latar belakang

masalah, tinjauan (review) kajian terdahulu, rumusan dan pembatasan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta metode yang dipakai

dalam penelitian ini.

BAB II: Membahas tentang pengertian kriminalisasi dan kriminalisasi dalam

hukum keluarga.

BAB III: Bab ini berisikan bahasan apa itu perkawinan di bawah umur, dan anak

menurut hukum Islam dan Undang-Undang perlindungan anak,

diantaranya tentang Pengertian anak dan batas usianya menurut hukum

Islam dan hukum positif.

BAB IV: Bab ini merupakan bab yang berisikan hasil dari penelitian dan analisa

terhadap ada atau tidaknya kriminalisasi dalam perkawinan di bawah

umur, dan dampak pernikahan di bawah umur

(21)

13

KRIMINALISASI DALAM PERSPEKTIF PEMIDANAAN

A. Pengertian Kriminalisasi

1. Kriminalisasi dalam Perespektif Hukum Positif

Sebelum memberikan penjelasan perihal kriminalisasi kita perlu pelajari ilmu

kriminologi sebagai komponen dalam memahami kriminalisasi, karena kriminalisasi

merupakan salah satu bagian dari ilmu kriminologi. Dimana kata kriminologi berasal

dari kata crimen yang berarti kejahatan, dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi kriminologi adalah pengetahuan tentang kejahatan yang secara umum berarti

ilmu untuk mempelajari kajahatan dari berbagai aspek sehingga diharapkan dapat

memperoleh pemahaman mengenai fenomena kejahatan dengan baik.

Adapun hal yang dipelajari dari fenomena-fenomena kejahatan tersebut dalam

masyarakat dinamakan sebagai “kriminalitas atau kajahatan” dengan syarat-syarat dan kriterianya yaitu8:

a. Merupakan perbuatan atau perilaku manusia;

b. Melanggar norma hukum pidana, terutama yang telah di undangkan dan

sebagai materi studinya yang belum dituangkan sebagai kejahatan namun

terasa “itu perbuatan jahat”;

c. Perilaku manusia yang “jahat” ini ditandai dengan:

8

(22)

1) Mengakibatkan kerugian-kerugian material maupun non-material

2) Membawa korban baik individual, kelompok maupun aparatur

pemerintahan.

d. Oleh karena itu harus dicegah dan diberantas atau ditanggulangi. Untuk

itu di undangkanlah hukum pidana, hal ini dimaksudkan untuk melakukan

pencegahan agar orang tidak berbuat. Hal ini berarti bahwasannya hukum

pidana berfungsi sebagai sarana “prevensi umum”, dan yang termasuk prevensi khususnya adalah mencegah mereka yang terpidana agar tidak

kambuh menjadi “jahat” lagi. Dalam prevensi khusus ini lebih diperlukan metode pembinaan yang mengarahkan pada “pemasyarakatan”. Untuk ini perlu pula adanya pembinaan terhadap masyarakat yang akan menerima

mereka yang telah menjalani pemasyarakatan.

Adapun objek dari studi kriminologi tersebut adalah mencakup perihal kejahatan,

pelaku kejahatan, dan reaksi masyarakat terhadap kejahatan. Kajian pokok dari

kriminologi adalah kejahatan yang termuat dalam hukum pidana, dan keberadaannya

sangat berkaitan dengan hukum pidana, dimana kedua disiplin ilmu ini saling

berkaitan dan saling bergantung antara satu dengan yang lainnya, bahkan sebelumnya

kriminologi dianggap sebagai bagian dari hukum pidana. Dalam perkembangannya

(23)

dalam perkembangannya sekarang kriminologi sudah menjadi disiplin ilmu yang

berdiri sendiri9.

Dalam kamus hukum internasional dan indonesia, kriminalisasi adalah suatu

proses memperhatikan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana

tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat,10 sedangkan

dalam kamus hukum lain mendefinisikan bahwa kriminalisasi adalah proses semakin

banyaknya sikap yang dianggap sebagai kejahatan oleh hukum pidana atau

perundang-undangan.11

Sedangkan Abdussalam dalam bukunya “kriminologi” menjelaskan bahwa pengertian kriminalisasi adalah pandangan serta tanggapan masyarakat terhadap

perbuatan atau gejala yang timbul di masyarakat yang dipandang sebagai suatu

peristiwa yang bisa merugikan atau membahayakan masyarakat luas tetapi

undang-undang belum mengaturnya.12 Adapun kebijakan dalam penyusunan kriminalisasi

mengambil dari tiga sumber bahan yang sudah ada yaitu terdiri dari:

1. KUHP (Wvs) yang masih berlaku;

2. Konsep BAS tahun 1977;

3. Undang-Undang diluar KUHP.13

9

Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, (Bandung: Nusa Media, 2010), h. 17

10

Soesilo Prajogo, Kamus Hukum Internasional dan Indonesia, (Jakarta: Wacana Intelektual, 2007), h. 266

11

Kamus Hukum, (Bandung : Citra Umbara 2008), h. 231

12

(24)

Kebijakan kriminalisasi pada hakikatnya merupakan suatu bagian dari kebijakan

kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), dalam kriminalisasi itu sendiri harus melakukan harmonisasi dengan sistem hukum pidana

atau aturan pemidanaan umum yang sedang berlaku saat ini, yang bertujuan agar

kebijakan kriminalisasi dapat diterima oleh masyarakat.14

Pada dasarnya kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam

menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak

pidana, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal dengan

menggunakan sarana hukum pidana.15

Adapun upaya kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan

kejahatan tidak terlepas dari kebijakan sosial yang terdiri dari kebijakan atau

upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial dan kebijakan upaya-upaya-upaya-upaya perlindungan

masyarakat, adapun aspek yang sangat penting untuk kesejahteraan atau perlindungan

masyarakat karena adanya nilai-nilai, kepercayaan, kebenaran, kejujuran, dan

keadilan. Untuk menanggulangi kejahatan dapat dilakukan juga dengan pendekatan

secara integral yang dilakukan dengan menyeimbangkan sarana penal dan non

penal.16

13

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan KUHP Baru (Jakarta: kencana, 2008), h. 232

14

Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan (Bandung : Citra Aditya Bhakti, 2005), h. 126

15

(25)

Selain kriminalisasi ada juga upaya pembaharuan hukum dengan penalisasi, yang

penentuanya sebagaimana pengertian kriminalisasi, dan penalisasi tidak jauh berbeda.

Hanya penekenannya pada crime dan “penalisasi” saja. Sebagaimana diketahui kriminalisasi adalah proses penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dapat

dipidana. Penalisasi yang semula berupa tindakan tercela dibidang hukum perdata atau hukum administrasi, tetapi kemudian dipandang perlu untuk diancamkan pidana

kepada petindaknya.

Jika dilihat dalam sejarahnya kriminalisasi di Indonesia sudah berlangsung sejak

zaman proklamasi kemerdekaan dan hingga kini masih tetap berlangsung,

sehubungan dengan penetapan kriminalisasi, dibutuhkan kriteria tertentu, namun

bukan suatu hal yang mudah untuk menetukan kriteria ini secara pasti. Meskipun

demikian menurut Prof. Sudarto, ada beberapa kriteria yang patut di pertimbangkan

dalam menentukan kriminalisasi ini yaitu17:

a. Tujuan hukum pidana

b. Penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki

c. Perbandingan antara sarana dan hasil

d. Kemampuan aparat penegak hukum

Dalam prinsip-prinsip kriminalisasi ada hal-hal yang perlu diperhatikan

diantaranya Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)

dengan memperhatikan berbagai variasi pengaturan yang ada diberbagai negara yang

16

Bukhori, Nurani Kriminalisasi Tindak Pidana Teroris (Palembang: Fakultas Syari’ah IAIN Raden Patah, 2004), h. 113

17

(26)

telah berusaha membuat bentuk mode law yang diharapkan dapat dijadikan pedoman oleh berbagai negara untuk mengatur criminal privacy protection, menurut OECD asas-asas tersebut mencakup18:

a. Ultima ratio principle. Hukum pidana disiapkan sebagai sarana terakhir atau senjata pamungkas.

b. Precision principle. Ketentuan hukum pidana harus tepat dan teliti menggambarkan suatu tindak pidana, perumusan hukum pidana yang

bersifat samar harus dihindari.

c. Clearness principle. Tindakan yang dikriminalisasikan harus digambarkan secara jelas dalam ketentuan hukum pidana.

d. Princip of differentiation. Prinsip pembedaan harus jelas anatara yang satu dengan yang lain. Untuk hindarkan perumusan yang bersifat global.

e. Priciple of intent. Tindakan yang dikriminalisasikan harus dengan dolus

(itention), sedangkan untuk tindakan culpa harus dinyatakan dengan syarat khusus untuk memberikan pembenaran kriminalisasinya.

Metode penentuan kriminalisasi dalam rangka pembaharuan hukum pidana di

indonesia ada beberapa metode pendekatan, diantaranya dapat dilakukan dengan cara:

Metode Evolusioner, metode ini dilakukan dengan cara perbaikan, penyempurnaan dan amandemen terhadap peraturan-peraturan yang sudah ada dalam KUHP, Metode Global, metode ini diterapkan dengan membuat suatu pengaturan tersendiri diluar

18

(27)

KUHP misal UU TIPIKOR, dan Metode Kompromis, penggunaan metode ini ialah menambah bab tersendiri dalam KUHP mengenai tindak pidana tertentu. Dan hal ini

sudah dibuktikan lewat berbagai penambahan yang diadakan selama ini terhadap

KUHP (WvS yang ada pada tanggal 8 maret 1942)19.

2. Kriminalisasi dalam Perspektif Hukum Islam

Kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan

yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana sementara itu

kriminalisasi dalam perspektif hukum islam tidak ada pembahasan secara tersendiri,

namun dalam hukum pidana islam ketetntuan kriminal dapat dikategorikan menjadi

beberapa macam jenis sesuai dengan aspek berat dan ringannya hukuman yang

ditegaskan atau tidaknya oleh al-Qur’an dan al-Hadis. Atas dasar itu, para ulama

membaginya menjadi tiga, yaitu (1) jarimah hudud, (2) jarimah qisâs/diyât, dan (3) jarimah ta‘zîr.

Jarimah hudud mencakup sejumlah tindak pidana yakni pencurian, perzinaan,

qadzaf (tuduhan palsu zina), konsumsi khamar, hirâbah (perampokan), bugât

(pemberontakan), dan riddah (murtad). Nass-nass jarimah hudûd ini sudah jelas dan tegas, baik menyangkut tindak pidananya maupun sanksi pidananya. Sedangkan

jarimah qisâs/diyât meliputi tindak pidana pembunuhan (penghilangan nyawa) dengan kesengajaan, pembunuhan (penghilangan nyawa) semi sengaja, pembunuhan

(penghilangan nyawa) karena kesalahan atau kealpaan, pelukaan dengan kesengajaan,

19

(28)

pelukaan semi sengaja, dan pelukaan karena kesalahan atau kealpaan. Nass-nass

jarimah qisâs/diyât ini juga sudah jelas dan tegas, baik tindak pidananya maupun sanksi pidananya20.

Adapun jarimah ta‘zîr mencakup semua tindak pidana yang tidak termasuk dalam jarimah hudûd dan jarimah qisâs/diyât. Kerangka acuan identifikasi tindak pidana jarimah ta‘zîr merujuk pada salah satu dari empat acuan berikut ini21:

1. Perbuatan pidana yang masuk jarimah hudûd tetapi dalam proses terjadinya mengandung unsur syubhat;

2. Perbuatan yang dikualifisir maksiat oleh agama;

3. Perbuatan yang tidak dilarang agama tetapi dikualifisir oleh ulil amri yang

dapat mendatangkan mafsadah/madarrah atau merusak maslahah;

4. Perbuatan yang dikualifisir oleh ulil amri melanggar peraturan

perundangan-undangan (siyâsah syar’iyyah) yang diterbitkan olehnya. Berdasarkan beberapa acuan yang tersebut pada point ketiga jelaslah bahwa ulil

amri berdasarkan pertimbangan maslahah dapat menetapkan perbuatan-perbuatan tertentu sebagai perbuatan pidana berikut sanksi pidananya, misalnya larangan

merokok di dalam ruang fasilitas publik.

20

H. A. Djazuli, Fiqih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, cet. 3, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 12-13

21

(29)

B. Kriminalisasi dalam Hukum Keluarga

Sebagaimana telah dibahas di atas, yang dimaksud dengan kriminalisasi adalah

proses memperhatikan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana

tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat22, jadi yang

dimaksud dengan kriminalisasi dalam hukum keluarga adalah proses yang semula

tidak dianggap sebagai suatu peristiwa pidana dalam hukum keluarga, tetapi dalam

perkembangan hukum kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh

masyarakat.

Ada beberapa ketentuan kriminalisasi dalam hukum keluarga diberbagai negara

islam karena adanya tuntutan pembaharuan hukum yang akan merubah hukum lama

dengan hukum baru, diantaranya kasus poligami, nikah sirri atau di bawah tangan.

Salah satu fenomena penting yang muncul di dunia muslim sejak awal abad ke-20

adalah adanya upaya reformasi hukum keluarga di negara-negara berpenduduk

mayoritas muslim. Turki tercatat sebagai negara pertama yang melakukan reformasi

hukum keluarga. Adapun tujuan usaha reformasi dalm hukum keluarga yang berbeda

antara satu negara dengan negara lain, secara umum dapat dikelompokkan menjadi

tiga kategori diantaranya23:

22

Marbun B. N., Kamus Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 2006). h. 148

23

(30)

1. Negara yang bertujuan untuk unifikasi hukum perkawinan. Usaha

unifikasi ini dilakukan karena ada sejumlah madzhab yang diikuti di

negara yang bersangkutan, yang boleh jadi terdiri atas

madzhab-madzhab di kalangan Sunni, atau antara Sunni dan Syi’i. Bahkan, untuk

kasus Tunisia, unifikasi hukum perkawinan ditujukan untuk semua

warga negara tanpa memandang perbedaan agama.

2. Bertujuan untuk peningkatan status wanita. Meskipun tujuan ini tidak

disebutkan secara eksplisit, dari situ dapat dilihat dari sejarah

legislasinya, yang diantaranya untuk merespon tuntutan-tuntutan

peningkatan status wanita. Undang-Undang perkawinan Mesir dan

Indonesia adalah contoh yang masuk dalam kelompok kedua ini.

3. Bertujuan untuk merespon perkembangan dan tuntutan zaman, karena

doktrin fiqih tradisional dianggap kurang mampu menjawabnya. Dapat

dikatakan bahwa tujuan ketiga ini merupakan tujuan dari reformasi

undang-undang perkawinan dimayoritas negara-negara muslim,

meskipun tidak menutup kemungkinan dibeberapa negara mencakup

beberapa tujuan sekaligus.

Menurut penelitian dari Tahir Mahmood, ada tiga belas aspek dalam

undang-undang hukum keluarga di dunia muslim kontemporer yang mengalami reformasi

yakni: batasan umur minimal boleh kawin, pembatasan peran wali dalam perkawinan,

pembatasan kebolehan poligami, nafkah keluarga, pembatasan hak cerai suami,

(31)

hak kewalian orang tua, hak waris keluarga dekat, wasiyyah wâjibah, dan pengelolaan wakaf24.

Berkaitan dengan reformasi hukum keluarga dalam rangka pembaharuan hukum

yang perlu direfesi, dilakukan dengan cara mengkriminalkan perilaku yang pada

awalnya bukan suatu perbuatan pidana tetapi kemudian digolongkan sebagai

peristiwa pidana atau dikenal dengan kriminalisasi. Ada beberapa pembaharuan

dalam hukum keluarga yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu tentang

perkawinan, diantaranya poligami.

Kriminalisasi dalam kasus poligami terdapat pada negara-negara islam di dunia,

diantaranya Turky, Tunisia, Pakistan. Mengenai kriminalisasi poligami, dengan

merujuk pada penelitian yang dicatat oleh Tahir Mahmood dalam hukum keluarga

Turki (Turkish Code ofPersonal Status 1926) dapat dikemukakan sebagai berikut25:

Undang-Undang hukum perdata Turki menyatakan bahwa tidak seorang pun boleh menikah untuk kedua kalinya jika ia tidak bisa membuktikan perkawinannya yang pertama telah putus karena kematian suami/isteri atau karena perceraian atau karena putusan pembatalan oleh Pengadilan. Dinyatakannya pula bahwa suatu perkawinan yang kedua yang dilakukan seseorang dapat dianggap tidak sah oleh Pengadilan berdasarkan alasan bahwa orang tersebut masih terikat perkawinan dengan pasangannya yang pertama.

24

Ibid. h. 2 dikutip dari Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: Times Press, 1987), h. 11-12.

25

(32)

Sedangkan dalam hukum perkawinan Tunisia, kriminalisasi poligami diatur

dalam The Tunisian Code of Personal Status 1956 seperti dipaparkan dalam pasal 18 ayat (i) menyatakan26:

Memiliki lebih dari satu orang isteri atau poligami adalah dilarang. Siapa saja yang sudah menikah dan pernikahannya itu secara hukum belum putus melakukan pernikahan lagi, akan dipidana dengan pidana kurungan selama satu tahun atau dengan pidana denda sebesar 240.000 malims atau dengan kombinasi pidana kurungan dan pidana denda tersebut, dan bahkan perkawinannya yang terkemudian dianggap melanggar ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini.

Dalam hukum keluarga Pakistan, kriminalisasi poligami diatur dalam The Muslim Family Laws Ordinance 1961 seperti yang dipaparkan dalam pasal 6 ayat (1) The Muslim Family Laws Ordinance 1961 menyatakan27:

Seorang laki-laki, selama masih terikat dengan perkawinan yang ada, tidak boleh, kecuali memiliki izin tertulis terlebih dahulu dari Majelis Arbitrase melakukan akad perkawinan dengan perempuan lain atau akad perkawinan tanpa ada izin tertulis tersebut juga tidak dapat dicatat menurut undang-undang ini.

Dalam pasal ini memuat ketentuan bahwa siapa saja yang hendak melakukan

poligami, harus terlebih dahulu memiliki izin tertulis dari Majelis Arbitrase.

Ditegaskan juga bahwa perkawinan poligami yang dilakukan tanpa memiliki izin

dimaksud tidak diakui secara hukum atau tidak sah secara hukum.

26

Ibid. h. 17 dikutip dari teks UU dimaksud merujuk kepada Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis, h. 153

27

(33)

Sedangkan di indonesia dalam undang-undang perkawinan tidak memuat adannya

kriminalisasi poligami ataupun ketentuan pidana, dalam Undang-Undang no. 1 tahun

1974 pada dasarnya menganut azas monogami, sebagaimana disebutkan dalam pasal

3 ayat (1) dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri.

Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, namun di ayat (2) disebutkan

pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari

seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Pengadilan akan

memberi izin apabila pelaku poligami mengajukan permohonan dengan ketentuan–

ketentuan yang sangat ketat sebagaimana tertulis pada pasal 5 ayat (1), untuk

mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4

ayat (1) undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut28:

a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istrinya;

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan

hidup istri-istri dan anak-anak mereka;

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan

anak-anak mereka.

Ketentuan izin dari pengadilan juga disebutkan dalam pasal 4 ayat (2), pengadilan

dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini hanya memeberikan izin kepada seorang suami

yang akan beristri lebih dari seorang apabila29:

28

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 142

29

(34)

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiabnya sebagai istri;

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c. Istri tidak dapat melahirkan.

Dari beberapa ketentuan kriminalisasi dalam hukum keluarga di dunia Islam

kontemporer diantarannya, Turki, Tunisia, dan Pakistan. Diantara negara yang

melakukan kriminalisasi terhadap poligami diatas, hanya negara pakistanlah yang

menyantumkan ketentuan izin dari majelis arbitrase bagi seorang yang hendak

berpoligami.

Beberapa ketentuan aturan yang mengatur tentang hal yang berkaitan dengan

perkawinan yang ada di indonesia tidak ada yang memuat ketentuan pidana, tidak

seperti halnya di negara Turki, Tunisia yang mengkriminalkan poligami, di indonesia

hanya dalam Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU

No. 1 Tahun 1974 Bab IX yang terdapat ketentuan pidana, diantaranya Pasal 45

yaitu30:

(1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan

yang berlaku maka:

a. Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3,

10 ayat (3), 40 peraturan pemerintah ini dihukum dengan hukuman

denda setinggi-tingginya Rp 7500 (tuju ribu limaratus);

30

(35)

b. Pegawai pencatat yang melanggar ketetuan yang diatur dalam pasal

6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13 dan 44 peraturan pemerintah ini

dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan atau

denda setingggi-tingginya Rp7500.

(2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) diatas merupakan

(36)

28

A. Pengertian Perkawinan di Bawah Umur

Permasalahan perkawinan di bawah umur bukanlah suatu hal yang baru di

indonesia. Praktek ini sudah lama terjadi dengan begitu banyak pelaku, tidak di

kota-kota besar saja tapi di pedalaman desa juga ada. Sebabnya pun bervariasi, diantaranya

karena masalah ekonomi, rendahnya pendidikan, pemahaman budaya dan nilai-nilai

agama tertentu, karena hamil terlebih dahulu (married by accident) dan lain-lain.

Selain menimbulkan masalah sosial, perkawinan di bawah umur bisa menimbulkan

masalah hukum. Perkawinan Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa yang sempat dibahas

di bab satu membuka ruang kontroversi bahwa perkara perkawinan di bawah umur

ternyata disikapi secara berbeda oleh hukum islam dan hukum nasional. Kenyataan

ini melahirkan minimal dua permasalahan hukum. Pertama : harmonisasi antar sistem hukum yang satu dengan yang lain. Kedua : tantangan terhadap legislasi hukum perkawinan di Indonesia terkait dengan perkwinan yang dilaksanakan oleh

orang di bawah umur.

Dalam persepektif agama dan negara terjadi perbedaan dalam memaknai dimensi

perkawinan di bawah umur. Negara memaknai perkawinan di bawah umur di lihat

(37)

perkawinan di bawah umur ialah perkawinan yang dilakukan oleh orang yang belum

baligh.

Dari penjelasan di atas dikatakan adanya perbedaan sikap dari hukum islam dan

hukum positif yang ada di Indonesia, maka dari itu akan kita bahas secara terpisah

apa itu perkawinan di bawah umur dalam perspektif hukum positif dan hukum islam.

1. Perspektif Hukum Positif

Pengertian perkawinan sebagaimana dimaksudkan dalam UU No. 1 Tahun 1974

tentang perkawinan pasal 1 disebutkan: perkawinan ialah ikatan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Maha Esa31.

Hal ini mendapat perhatian dan pemahaman oleh masyarakat, karena

Undang-Undang ini merupakan landasan pokok dari hukum perkawinan. Begitu juga dengan

Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dengan perkataan ikatan lahir dan batin itu

dimaksudkan bahwa suami dan istri tidak boleh semata-semata hanya berupa ikatan

lahiriah saja, dengan makna seoarang pria dan wanita hidup bersama sebagai suami

istri dalam suatu ikatan formal saja. Tetapi kedua-duanya juga harus membina ikatan

batin berupa cinta dan kasih sayang yang mendalam. Sehingga perkawinan dalam

Undang-Undang ini tidak semata-semata hubungan hukum saja antara seorang pria

dengan seorang wanita, akan tetapi juga mengandung aspek-aspek lainya yaitu, aspek

agama, biologis, sosial dan juga masyarakat.

31

(38)

Apabila akad nikah telah berlangsung dan sah menurut syarat dan ketentuan

rukun-rukunya, maka akan menimbulkan akibat hukum (hak-hak dan kewajiban)

selaku suami dan istri dalam keluarga. Jika suami istri sama-sama menjalankan

hak-hak dan kewajibannya, sesuai dengan tanggung jawab masing-masing maka akan

terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati sehingga sempurnalah kebahagiaan

hidup dalam berumah tangga.

Sebelum membahas tentang pengertian perkawinan di bawah umur, terlebih

dahulu penulis akan mendefinisikan tentang maksud dari anak di bawah umur.

Adapun yang dimaksud dengan anak di bawah umur yaitu, anak yang belum

mumayyiz atau belum bisa dibebani tanggung jawab, karena kurang cakapnya dalam bertindak. Adapun patokan dalam bertindak yaitu akal, apabila akal seseorang masih

kurang maka ia belum bisa dibebani kewajiban.

Adapun yang dimaksud anak di bawah umur dalam perspektif Undang-Undang

adalah anak yang usianya masih di bawah 18 tahun, sesuai yang tertulis dalam

Undang-Undang perlindungan anak. Berdasarkan hubungan ini, yang dimaksud

perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh salah satu

calon mempelai atau keduanya yang belum memenuhi syarat umur yang telah

ditentukan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan,

(39)

perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua”32.

Dengan berpegangan pada pasal 6 ayat (2) diatas, secara umur dapat diartikan

bahwa untuk melaksanakan perkawinan seseorang harus berumur lebih dari 21 tahun,

sedangkan seorang yang belum mencapai umur ini harus mendapatkan izin dari orang

tua. Untuk membatasi agar tidak semua umur dengan mudah dapat melakukan

perkawinan hanya dengan mendapat izin orang tua, maka selanjutnya pada pasal 7

Undang-Undang yang sama menjelaskan dan memberikan batasannya lebih jelas.

Pasal tersebut menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah

mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

Dasar hukum positif di Indonesia di atas, memakai Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang perkawinan yang terdapat dalam pasal 7 ayat (2) dan (3) yang

menyatakan bahwa dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat

meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua

orang tua pihak, baik dari pihak pria maupun wanita. Sedangkan ayat selanjutnya

dengan pasal yang sama menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai keadaan

seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4), Undang-Undang

ini berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut, ayat (2) pasal ini dengan

tidak mengurangi yang dimaksud pasal 6 ayat (6).

32

(40)

Masih berkaitan dengan ketentuan hukum positif yang dapat dijadikan dasar

hukum pernikahan/perkawinan di bawah umur, di Indonesia adalah pasal 15 KHI.

Walaupun sebenarnya KHI merupakan penguat dari Undang-Undang perkawinan,

tentang masalah syarat umur ini tetap di jelaskan. Pasal tersebut menyatakan bahwa

untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan

oleh mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 7 ayat (1) yakni: perkawinan hanya diizinkan jika

pihak pria sudah mencapai 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun33.

Apabila dibandingkan dengan batasan umur bagi calon mempelai dibeberapa

negara muslim, negara Indonesia secara definitif belum yang tertinggi, berikut data

komparatif34:

NEGARA Usia laki-laki Usia perempuan

Algeria 21 18

Banglades 21 18

Mesir 18 16

Irak 18 18

Yordania 16 15

Libanon 18 17

33

Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: fokus media, 2005), h. 10

34

(41)

Libia 18 16

Malaysia 18 16

Maroko 18 15

Yaman utara 15 15

Pakistan 18 16

Somalia 18 18

Yaman selatan 18 16

Syiria 18 17

Tunisia 19 17

Turki 17 15

Secara rinci syarat-syarat perkawinan bagi mereka yang masih muda atau di

bawah umur dan ingin melangsungkan perkawinan, maka di bawah ini diuraikan

prosedur persyaratannya, diantaranya adalah sebagai berikut35:

1. Para pihak mengajukan perkawinan terlebih dahulu pada Kantor Urusan

Agama (KUA) setempat;

2. Dari KUA diberi formulir untuk di isi dan kemudian diajukan pada

Pengadilan Agama;

3. Menunggu penetapan dari Pengadilan Agama dan dengan berbagai sidang;

35

(42)

4. Menyerahkan izin kepada KUA jika telah di dapatkan dan jika tidak maka

perkawinan dibatalkan;

5. Pelangsungan oleh KUA.

Dengan demikian, selain syarat-syarat melangsungkan perkawinan secara umum,

khusus dalam persyaratan umur bagi pelaku perkawinan di bawah umur di indonesia

adalah mendapatkan izin dari pengadilan agama (PA) dan kantor urusan agama

(KUA), karena keduanya adalah lembaga yang dapat memberikan izin dispensasi

tersebut. Namun demikian umumnya harus mendapatkan penetapan izin terlebih

dahulu dari pengadilan agama dimana mereka hendak melangsungkan

perkawinannya.

Dan untuk pelaksanaannya tidak jauh berbeda dengan prosedur pelaksanaan

perkawinan pada umumnya. Dengan catatan bahwa syarat-syarat secara keseluruhan

telah terpenuhi, termasuk di dalamnya adanya syarat-syarat mendapatkan izin dari

pengadilan agama setempat.

Dari persyaratan yang telah disebutkan, setidaknya memberikan kelonggaran

kapada hakim yang sedang dimintakan izin untuk mengabulkan permintaan kawin

dari calon mempelai baik dari laki-laki maupun perempuan yang masih di bawah

umur.

2. Perspektif Hukum Islam

Ajaran dalam agama Islam sangatlah universal, fleksibel dan rasional, yang

(43)

masyarakat, baik berkaitan dengan masalah ibadah, akhlak, muamalah, maupun

berkaitan dengan aturan (hukum) diantarnya tentang pernikahan (munakahat).

Dalam hukum Islam terdapat maqasidu syari’ah yang isinya ada lima prinsip

perlindungan diantaranya perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan

akal. Dari kelima prinsip islam ini satu diantaranya adalah menjaga jalur keturunan

(hifdzu al nasl) agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Pada dasarnya, hal ini tidak disebutkan

dalam hukum Islam (kitab fiqih) yaitu mengenai pengertian dari perkawinan di bawah umur, hal ini dalam hukum islam juga tidak ditemukan pembahasan secara khusus

baik itu sebagai suatu kajian yang mandiri maupun dalam satu bab yang mandiri pula.

Hal ini disebabkan karena tidak adanya dalil yang membatasi secara jelas pada usia

berapa seorang boleh menikah. Untuk itu, masalah batasan umur seseorang untuk

melaksanakan perkawinan ini termasuk kedalam wilayah ijtihadiyyah.

Dalam fiqih menyebutkan adanya perkawinan muda atau kawin belia dengan

istilah nikah ash-shaghir/ash-shaghirah secara literal berarti kecil, namun yang dimaksud dengan shaghir/shaghirah disini adalah anak laki-laki atau perempuan yang belum baligh36. Ketentuan baligh antara seorang laki-laki dan seorang perempuan berbeda. Pada anak laki-laki, ketentuan baligh tersebut ditandai dengan

ihtilam, yakni mimpi yang mengakibatkan keluarnya sperma (air mani), sedangkan anak perempuan, ketentuan baligh ditandai dengan menstruasi atau haid.

36

(44)

Dalam fiqih Asy-Syafi’i, usia haid minimal dapat terjadi pada usia 9 tahun. Abu

Hanifah berpendapat bahwa usia baligh bagi anak laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan untuk anak perempuan adalah 17 tahun. Sementara Abu Yusuf,

Muhammad Bin Hasan, dan Asy-Syafi’i menyebutkan usia 15 tahun sebagai tanda

baligh, baik untuk anak laki-laki maupun anak perempuan37.

Berdasarkan penjelasan ini dapat disimpulkan bahwasannya perkawinan di bawah

umur adalah perkawinan antara seorang mempelai yang salah satu atau keduanya

belum mencapai umur 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.

Pengertian inilah yang dimaksud dalam penelitian ini dengan istilah perkawinan di

bawah umur. Adapun perkawinan yang dilakukan pada umur diatas (19 tahun bagi pria, dan 16 tahun bagi wanita) walaupun masih di bawah umur 21 tahun tetap dianggap sebagai perkawinan yang layak dan bukan perkawinan usia dini.

Dasar hukum perkawinan di bawah umur dalam hukum islam adalah al-Qur’an

dan sunnah, tentang perkawinan di bawah umur ini, para ulama berbeda pendapat,

ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan, masing-masing saling

memberikan alasannya.

Para ulama yang membolehkan perkawinan di bawah umur beralasan dengan

beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan masalah perkawinan. Berikut beberapa

dasar yang membolehkan kawin dalam usia muda atau perkawinan di bawah umur,

yakni:

37

(45)



























38

“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid”. (QS. Ath-Thalaq 05: 4)

Pada dasarnya ayat ini berbicara mengenai masa iddah (masa menunggu) bagi perempuan yang sudah menopaose dan bagi perempuan yang belum haid. Masa iddah

bagi kedua kelompok perempuan ini adalah 3 (tiga) bulan. Secara tidak langsung,

ayat ini juga dapat dipahami mengandung pengertian bahwa perkawinan bisa

dilaksanakan pada perempuan belia (usia muda) karena iddah hanya bisa dikenakan kepada orang-orang yang sudah kawin dan bercerai39.

Husein Muhammad memberikan alasan lain terhadap ayat ini, ia mengartikan

bahwa masa tunggu bagi wanita yang diceraikan untuk melakukan perkawinan lagi

adalah tiga bulan, baik itu telah mengalami menstruasi atau belum. Kata lam yahid

menunjukkan bahwa yang belum menstruasi, jika diceraikan harus menunggu tiga

bulan untuk melangsungkan perkawinannya yang kedua kalinya. Muhammad

38

Ath-Thalaq (05): 4

39

(46)

menjelaskan bahwa secara tidak langsung ayat ini mengandung pengertian bahwa

perkawinan dapat dilaksanakan bagi perempuan belia (belum mengalami menstruasi), karena iddah hanya dapat dikenakan bagi seorang yang telah melangsungkan perkawinan40.

Disamping mengambil dalil pada ayat-ayat di atas, yang sering dijadikan alasan

untuk menikahkan seorang anak pada usia muda atau belia adalah mengambil dari

peristiwa perkawinan Nabi dengan Aisyah r.a yang masih belia dan mengambil

peristiwa sahabat yang menikahkan putra-putrinya. Sebagaimana ungkapan Aisyah

r,a berikut ini:

ﺎﮭﺑ ﻰﻨﺑو ﻊﺒﺳ وا ﺖﺳ ﺖﻨﺑ ﺎﮭﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر ﺔﺸﺋ ﺎﻋ جوﺰﺗ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر نا

ﮫﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر ﺎﮭﯿﺑا ﺮﻜﺑ ﻲﺑا حﺎﻜﻧءﺎﺑ ﺢﺴﺗ ﺖﻨﺑ

.

“Bahwa Rasulullah S.A.W. memperistri Aisyah r.a. pada usia 6 (enam) tahun atau 7 (tujuh) tahun, dan beliau menggaulinya pada usia 9 (sembilan) tahun, melalui pengawinannya Abu Bakar r.a., ayahnya.” (HR. Bukhari)41.

Dan para fuqaha sepakat bahwa seorang ayah boleh memaksa kawin terhadap

anak laki-lakinya yang belum dewasa. Demikian pula terhadap anak perempuannya

yang masih gadis dan belum dewasa, tanpa dimintai pendapatnya42.

40

Ibid., h. 92

41

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, analisis fiqih para mujtahid jilid II, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), cet III. h. 405

42

(47)

Perlu dikemukakan juga beberapa pandangan imam madzhab (madzhab Syafi’i,

Maliki, dan Hanbali) tentang hak ijbar bagi wali mujbir. Sedangkan yang disebut dengan wali mujbir ialah ayah, atau kalau tidak ada ayah-kakek. Hak ijbar sendiri ialah hak seorang ayah atau kakek untuk mengawinkan anak perempuannya, baik

yang sudah dewasa maupun yang masih muda, tanpa harus mendapatkan persetujuan

atau izin terlebih dahulu dari anak perempuan yang akan dikawinkan, asal anak

perempuan tersebut tidak berstatus janda43. Jadi menurut madzhab ini, hak ijabar

hanya diberlakukan kepada perempuan yang masih di bawah umur dan tidak terhadap

perempuan yang sudah dewasa.

Walaupun demikian, hak ijbar ayah atau kakek tidak serta-merta dapat dilaksanakan dengan sekehendak sendiri. Ulama syafi’i (para pengikut imam asy-syafi’i) mengatakan bahwa untuk mengawinkan anak laki-laki di bawah umur disyaratkan adanya kemaslahatan (kepentingan yang baik). Sedangkan untuk anak perempuan diperlukan beberapa syarat, antara lain44:

1. Tidak ada permusuhan yang nyata antara si anak perempuan dengan

walinya, yaitu ayah atau kakek;

2. Tidak ada permusuhan (kebencian) yang nyata antara dia dengan calon

suaminya;

3. Calon suami harus kufu’ (sesuai/setara), dan

43

Husein Muhammad, Fiqih Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LkiS, 2009), cet. V, h. 93

44

(48)

4. Calon suami mampu memberikan mas kawin yang pantas.

B. Pengertian Anak danBatas Usia 1. Perspektif Hukum Positif

Dalam setiap negara mempunyai pendefinisian tersendiri tentang anak, dan

mungkin tidak sama dengan negara lain. Dalam convention on the raight of the child

(CRC), mendefinisikan anak:

Anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun kecuali menurut Undang-Undang yang berlaku pada anak-anak, kedewasaan dicapai lebih awal”.45

Pengertian dan batas usia anak dapat dilihat dalam berbagai perundang-undangan.

Batas usia anak sendiri untuk memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk

dapat disebut sebagai seorang anak. Batas usia anak adalah pengelompokan batas

maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak

tersebut beralih menjadi usia dewasa atau sudah bisa menjadi sebagai seorang subjek

hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan atau

tindakan hukum.

Dalam pandangan Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

juga disebutkan hal yang sama dalam KHA namun dalam Undang-Undang ini

disisipkan kalimat anak yang masih dalam kandungan yaitu: ”anak adalah seseorang

45

(49)

yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

Seharusnya setelah lahir Undang-Undang perlindungan anak yang dikategorikan

lex specialis semua ketentuan definisi anak harus disesuaikan, namun dalam kenyataannya yang dikemukakan oleh (Hadi Supeno: kriminalisasi anak, 2010),

masih banyak disharmonisasi perundang-undangan yang berkaitan dengan anak.

Beberapa Undang-Undang disebutkan46:

a. Undang-Undang no. 1 tahun 1974, misalnya, mensyaratkan usia

perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.

b. Undang-Undang nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak

mendefinisikan anak berusia 21 tahun dan belum kawin.

c. Undang-Undang nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak

mendefinisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah

berusia 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum

pernah kawin.

d. Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia

menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun

dan belum kawin.

e. Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan

membolehkan usia bekerja 15 tahun.

46

(50)

f. Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan

nasional memberlakukan wajib belajar 9 tahun, yang dikonotasikan

menjadi anak berusia 7 tahun sampai 15 tahun, dan ketentuan lainnya.

Dengan penetapan batas umur anak, seseorang yang umurnya belum mencapai

batas yang ditetapkan harus dianggap belum matang secara seksual karena itu harus

dianggap belum mampu memberikan atau menerima persetujuan secara matang untuk

melakukan kontak seksual.

2. Perspektif Hukum Islam

Ketika berbicara batas usia/umur kapan seseorang diperbolehkan untuk menikah

maka, inilah diperlukan ijtihad ulama karena dalam hukum islam tidak adanya dalil

yang membatasi secara jelas pada usia berapa seorang boleh menikah, dan banyak

para ulama yang berbeda pendapat mengenai masalah ini. Maka dari situ dalam

hukum Islam tidak adanya penjelasan secara spesifik mengenai pengertian dari

perkawinan di bawah umur secara pasti.

Apabila kedewasaan di nilai dari segi balighnya anak dalam hukum Islam di tandai dengan ihtilam (mimpi yang mengakibatkan keluarnya sperma pada anak laki-laki), dan bagi perempuan balighnya ditandai dengan menstruasi atau haid47. Jika batasan baligh itu ditentukan dengan hitungan tahun menurut pendapat Asy-Syafi’i minimal menstruasi dapat terjadi pada usia 9 tahun bagi anak perempuan, sedangkan

47

(51)

Abu Hanifah berpendapat bahwa usia baligh bagi anak laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan bagi anak perempuan adalah usia 17 tahun. Sementara Abu Yusuf,

Muhammad bin Hasan, dan Asy-Syafi’i menyebutkan usia 15 tahun sebagai tanda

baligh, baik untuk anak laki-laki maupun anak perempuan48.

Namun pendapat para imam madzhab di atas berbeda dengan hadis yang

diriwayatkan dari Aisyah yaitu:

تﺎﻗ ﺔﺸﺋ ﺎﻋ ﻦﻋ

:

ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر ﻰﻨﺟوﺰﺗ

,

ﻊﺒﺳ ﺖﻨﺑ ﺎﻧاو

,

ﻦﺑ نﺎﻤﯿﻠﺳ لﺎﻗ

بﺮﺣ

:

ﺖﺳ وا

,

ﻊﺴﺗ ﺖﻨﺑ ﺎﻧاو ﻰﺑ ﻞﺧدو

.

“Dari Aisyah r.a berkata: Rasulullah S.A.W telah mengawiniku pada saat usia 7 tahun. Kata sulaiman bin Harb: “enam tahun”. dan mengumpuli aku, sedang aku berusia 9 (sembilan) tahun.” (H.R. al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)49.

Hukum islam, dalam hal ini al-Qur’an dan al-Hadis memang tidak menyebutkan

secara spesifik tentang usia minimum untuk melangsungkan perkawinan. Menurut

penulis masalah usia Aisyah ketika dikawinkan dengan Rasulullah dengan Aisyah

merupakan pengecualian.

48

Ibid., h. 90 yang dikutip dari al-Kasani, Bada’i Ash-Shana’i, juz VII, h. 171-172

49

(52)

44

A. Kebijakan Hukum Pada Saat ini Dalam Rangka Menanggulangi Perkawinan

di Bawah Umur

Secara prinsip pada saat ini belum ada kebijakan hukum sacara khusus dan

spesifik yang melarang adanya perkawinan di bawah umur. Berdasar undang-undang

R.I yang berlaku pada saat ini hal yang mengatur tentang perkawinan adalah

undang-undang no. 1 Tahun 1974. Dalam penjelasannya, dalam undang-undang ini

tidak terdapat ketentuan pidana yang melarang perkawinan di bawah umur, hal ini

dikarenakan pada dasarnya permasalahan perkawinan masuk dalam ranah hukum

perdata. Sedangkan peraturan atau undang-undang yang dianggap sebagai upaya

penanggulangan pada saat ini adalah:

1. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

Dalam undang-undang perkawinan ini memang sudah ada semangat

pendewasaan umur bagi orang yang hendak melaksanakan perkawinan namun dalam

undang-undang ini tidak menyebutkan adanya sangsi pidana bagi orang yang

melanggarnya, disitu hanya menyebutkan perihal yang berkaitan dengan batasan

(53)

a. Izin orang tua bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan yang belum

mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun50.

b. Perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita 16 (enam belas) tahun51. Dan ayat (2) yang menyebutkan dalam hal penyimpangan ayat (1) pasal ini dapat meminta

dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang d

Referensi

Dokumen terkait

Pengembangan masyarakat pesisir harus didasarkan pada pengelolaan wilayah pesisir, daerah aliran sungai dan laut yang komperehensif, sehingga menuntut (1) perhatian yang lebih

Malik Sulaiman Syah adalah raja yang adil dan disegani oleh raja-raja negeri lain. Dalam menjalankan pemerintahannya ia didampingi oleh seorang wazir yang sangat

Subyek pada penelitian ini berjumlah 5 orang guru PAUD Terang Bangsa yang memiliki kepribadian sesuai dengan tugas dan tanggunjawabnya sebagai seorang guru serta berdedikasi untuk

Dari hasil tabel persepsi responden terhadap variabel kompetensi Danramil ada beberapa hal yang dapat menunjang peningkatan variable kompetensi sehingga kinerja

Untuk permohonan pengangkatan anak oleh seorang WNA terhadap anak WNI atau oleh seorang WNI terhadap anak WNA (Pengangkatan Anak Antar Negara Inter Country Adoption) hanya

Penelitian ini mengkaji histokimia senyawa metabolit sekunder (flavonoid, tannin, alkaloid, saponin, terpen), sel-sel sekretori dan anatomi organ vegetatif (akar, batang,

Tidak bervariasinya metode yang digunakan oleh guru pembimbing dalam pemberian layanan informasi akan mengakibatkan peserta didik tidak termotivasi, bahkan merasa

Perancangan jaringan indoor jaringan HSDPA pada provider 3 pada Gedung C Fakultas Teknik Universitas Riau menggunakan propagasi COST 231 MultiWall dimana dalam