• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dasar dan putusan majelis arbitrase

Dalam dokumen Gatot Soemartono KASUS KARAHA BODAS (Halaman 30-34)

Dengan membahas berbagai konsep perihal penolakan dan pemutusan kontrak, KBC sesungguhnya telah memberikan masukan yang cukup lengkap sehubungan dengan hal ini. Lebih jauh majelis arbitrase mengacu pada Bapak Dermawan, saksi ahli Pertamina, bahwa berdasarkan hukum Indonesia, konsep penolakan kontrak di dalam hukum adat tidak cocok apabila dimasukkan di dalam hukum perdata. Sebaliknya, di dalam sistem hukum perdata terdapat konsep pemutusan akibat pelanggaran.

Namun demikian, apabila konsep penolakan tersebut diterima di dalam sistem hukum Indonesia, maka majelis arbitrase tetap memutuskan hahwa PLN ataupun Pertamina sesungguhnya telah melanggar Kontrak. PLN secara langsung, Pertamina secara tidak langsung telah menyatakan bahwa mereka menangguhkan pelaksanaan kontrak untuk sementara waktu sebagai akibat dari Keputusan Presiden Tahun 1998. Karena mereka tidak memiliki alasan sah untuk melakukan hal tersebut, tindakan ini merupakan pelanggaran kontrak. Kegagalan untuk berusaha sebaik mungkin demi dilanjutkannya kembali proyek Karaha Bodas memperberat pelanggaran pertama yaitu pelanggaran untuk melakukan pelaksanaan kontrak dengan

itikad baik. Pelanggaran-pelanggaran tersebut memberikan hak bagi KBC untuk memutuskan kontrak. Pelanggaran kontrak merupakan alasan yang mendasar untuk pemutusan kontrak berdasarkan hukum Indonesia.67

Sehubungan dengan klausula-klausula yang ditulis di dalam kontrak, majelis arbitrase memiliki kekuasaan perihal pemutusan Kontrak. Dalam kedua kontrak para pihak telah menerima bahwa kontrak dapat diputuskan oleh salah satu pihak tanpa melalui persetujuan pengadilan.68

Karena itu, mereka menerima bahwa pengakhiran dapat diputuskan oleh Pengadilan Arbitrrase. Jadi meskipun tidak ada ketentuan-ketentuan di dalam kontrak tersebut, majelis arbitrase berkuasa mengakhiri kontrak cukup dengan menunjuk pada kesepakatan para pihak untuk mengajukan sengketa-sengketa mereka agar diputuskan melalui arbitrase. Dengan melakukan hal ini, para pihak telah memberikan wewenang hukum kepada majelis arbitrase untuk memutuskan kontrak.

Majelis arbitrase berpendapat bahwa tidak ada satupun ketentuan dari kedua Kontrak yang dapat dianggap menghalangi pemutusan kontrak. Pasal 11.3 ESC mengharuskan agar pihak yang lalai mengirim pemberitahuan perihal kelalaian tersebut sebelum pihak lainnya memutuskan kontrak, dan pihak yang lalai tersebut diberi "jangka waktu yang cukup untuk memperbaiki kesalahan tersebut sesuai dengan kesepakatan bersama." Mekanisme tersebut yang disusun berkenaan dengan pemutusan kontrak tidak dapat diterapkan di dalam pemutusan yang dilakukan oleh majelis arbitrase. Hal ini pada dasamya diterapkan terhadap kasus-kasus di mana para pihak setuju

67

Meskipun majelis arbitrase selalu mengacu pada peraturan hukum Indonesia, koordinator pengacara Pertamina kepada penulis (dalam wawancara 21 Maret 2005) menyatakan bahwa majelis arbitrase telah salah menerapkan hukum karena tidak menggunakan hukum Indonesia sebagai governing law; padahal pilihan hukumnya (choice of law) yaitu: hukum Indonesia telah ditentukan secara tegas di dalam perjanjian. Dikatakannya bahwa mereka justru menggunakan hukum Swiss, dan hanya hukum acaranya (procedural law) menggunakan ketentuan UNCITRAL.

68

bahwa kelalaian dapat diperbaiki, karena mereka harus menyetujui tenggang waktu yang diperlukan untuk memperbaiki kelalaian tersebut.

Hal ini tidak berlaku apabila salah satu pihak menyampaikan tuntutan akibat pelanggaran pihak lain yang kemudian pihak lain tersebut tidak mengakuinya. Di dalam kasus ini, peraturan pemutusan kontrak yang diterapkan adalah peraturan berdasarkan hukum yang berlaku.

Selanjutnya majelis arbitrase menggarisbawahi fakta berikut ini, yaitu enam tahun telah lewat setelah pelaksanaan kontrak dan hampir tiga tahun sejak dikeluarkannya Keppres No. 5 Tahun 1998 yang memutuskan kontrak. Karena itu, dengan menimbang bahwa Pertamina telah gagal melakukan usaha sebaik mungkin demi diteruskannya proyek tersebut dalam waktu dekat, tidaklah masuk akal untuk tetap mempertahankan ikatan para pihak dengan kontrak yang juga bertolakbelakang dengan kepentingan semua pihak, pokok dasar kontrak, dan tujuan yang sah dari masing-masing pihak yang semuanya ini harus dihormati oleh majelis arbitrase berdasarkan Pasal 13.2 JOC dan Pasal 8.2 (h) ESC.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka majelis arbitrase menyatakan bahwa kontrak JOC dan ESC diputuskan atau diberhentikan. Dengan demikian tuntutan KBC terhadap pelaksanaan tertentu, yang disampaikan di dalam alternatif, sebaiknya diabaikan.

c. Ganti Kerugian atas Kehilangan Modal

Perlu digarisbawahi bahwa dalam kasus pelanggaran kontrak, pihak yang dirugikan berhak untuk menuntut ganti kerugian. Prinsip hukum umum ini juga merupakan bagian dari hukum Indonesia dan tidak dibantah oleh para pihak. Jadi, Pertamina berkewajiban membayar ganti kerugian terhadap KBC karena Pertamina telah melanggar kewajiban yang tercantum di dalam kontrak. Namun demikian, jumlah ganti kerugian tersebut harus diperhitungkan dan dinyatakan.

KBC mengajukan permohonan untuk memperoleh ganti kerugian atas biaya yang telah dikeluarkan dan sebagai alternatif terhadap ganti kerugian akibat kehilangan modal, KBC minta agar Pertamina secepatnya mengirimkan sejumlah uang.

1) Argumentasi KBC

KBC terutama menuntut untuk mendapatkan ganti kerugian atas sejumlah uang yang telah dipakai untuk modal ditambah bunga sebesar 15–16 persen dari jumlah tersebut. Menurut KBC tuntutan ini didasarkan pada konsep pendekatan ganti kerugian berdasarkan kontrak yang dinamakan damnum emergens (kerugian yang sebenarnya dan bukan yang diantisipasi), yang sesungguhnya telah diterapkan oleh berbagai arbitrase internasional. Demikian pula berdasarkan asumsi bahwa hukum Indonesia dan prinsip yang dipakai di dalam arbitrase internasional (yang telah diterima dengan baik) memberikan ijin bagi KBC sebagai pengugat untuk menerima ganti kerugian sesuai dengan prinsip keadilan.

KBC berpatokan pada bukti yang memperlihatkan bahwa ia telah menggunakan uang sejumlah 94,6 (sembilan puluh empat koma enam) juta dolar Amerika demi mencapai tujuan yang tercantum di dalam kontrak atau perjanjian. KBC menyatakan bahwa berdasarkan dokumen dan kesaksian Mr. Dan Campbell dan Mrs. Barbara Bishop Gollan, yang telah diuji di dalam pemeriksaan silang saksi, ditetapkan bahwa ongkos yang telah dikeluarkan oleh KBC adalah sehubungan dengan pembiayaan yang secara khusus berhubungan dengan eksplorasi dan pembangunan proyek. Akibatnya, jumlah 94,6 juta dolar tidak selayaknya dibantah dan harus dibayar bersama dengan bunganya.

Sehubungan dengan hukum Indonesia yang membahas pula masalah damnum emergens, maka menurut KBC, tidaklah menjadi masalah apabila proyek tersebut tidak diselesaikan sesegera mungkin untuk memperoleh

keuntungan; KBC tidak dapat diasumsikan sebagai pihak yang harus menanggung biaya pelaksanaan proyek sebagai akibat dari kegagalan pelaksanaan karena hal-hal di luar kekuasaan pihak tersebut.

KBC bersamaan dengan ini menolak argumentasi Pertamina yang mempertanyakan kepatutan jumlah biaya KBC. Dari sudut pandang KBC, tanpa perlu harus menetapkan kepatutan jumlah biaya yang dikeluarkan KBC, jumlah tersebut adalah bukti pengeluaran yang dipakai untuk proyek, bukan untuk maksud lainnya. Selanjutnya, KBC menyatakan bahwa seluruh kesaksian para saksi dari KBC menunjukkan bahwa biaya tersebut dikeluarkan berdasarkan keputusan yang hati-hati dan wajar.

Dalam dokumen Gatot Soemartono KASUS KARAHA BODAS (Halaman 30-34)