• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gatot Soemartono KASUS KARAHA BODAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gatot Soemartono KASUS KARAHA BODAS"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

KASUS KARAHA BODAS

A. Latar Belakang

1. Para Pihak Proyek Karaha Bodas

Dari hasil penelitian, ditemukan adanya 3 pihak yang terkait dengan proyek Karaha Bodas sebagai berikut:

a. Karaha Bodas Company (KBC)

KBC adalah Perseroan Terbatas yang didirikan dan bergerak berdasarkan hukum Kepulauan Cayman yang berkedudukan di gedung Plaza Aminta Suite 901, Jl. TB Simatupang, Kav. 10, Jakarta 12310, Indonesia. KBC diberi kuasa berdasarkan kontrak pengembangan proyek geo-termal (sumber panas bumi) Karaha Bodas,51 dengan kewajiban untuk mengembangkan energi geo-termal berkapasitas 400 MW (empat ratus mega watt) dengan membangun serta menjalankan fasilitas pembangkitan tenaga listrik, yang selanjutnya menjual tenaga listrik tersebut kepada PLN atas nama Pertamina.

Disebutkan dalam putusan akhir (final award) Arbitrase UNCITRAL bahwa pihak yang mewakili KBC sebagai penggugat adalah Jonathan D. Schiller (claimant, represented by Mr. Jonathan D. Schiller, Boies & Schiller, 5301 Wisconsin Avenue, NW, Suite 570, Washington DC 20015, USA).52

b. Perusahaan Pertambangan Minyak & Gas Bumi Negara (Pertamina)

Pertamina adalah suatu perusahaan minyak dan gas bumi yang didirikan dan bergerak berdasarkan hukum Indonesia, yang berkedudukan di Jl. Kramat Raya No. 59, Lantai 4, Jakarta 10450, Indonesia. Pertamina didirikan berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1971 dan dimiliki oleh

51

Proyek tersebut melingkupi terutama dua wilayah, yaitu: wilayah Karaha dan wilayah Telaga Bodas, di Jawa Barat, sehingga dikenal sebagai Proyek Karaha Bodas.

52

Measley’s International Arbitration Report (2001) Final Award in An Arbitration Procedure under the UNCITRAL Arbitration Rules, New Jersey: LexisNexis, Vol. 16, hlm. 1.

(2)

Pemerintah Republik Indonesia. Pertamina dipercaya untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber daya panas bumi dan menghasilkan listrik di Indonesia.

Dalam putusan akhir (final award) Arbitrase UNCITRAL disebutkan pihak yang mewakili Pertamina, yaitu: Adnan Buyung Nasution dan Edwin Mishkin (respondent, represented by Adnan Buyung Nasution & Partners, Wisma Danamon Aetna Life, 18th Floor, JL. Jend. Sudirman Kav. 45-46, Jakarta 12930, Indonesia, and by Mr. Edwin Mishkin, Clearly Gottlieb & Hamilton, One Liberty Plaza, New York, NY 1006-1470, USA).53

c. PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (disingkat PLN)

PLN adalah sebuah perusahaan yang didirikan dan bergerak berdasarkan hukum Indonesia, yang berkedudukan di Jl. Trunooyo No. 135, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12160, Indonesia. Sebagai perusahaan negara yang tunduk pada Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998, PLN adalah pemakai tenaga listrik yang mengusahakan penyediaan listrik kepada umum di Indonesia.

Catatan: Dalam kasus ini PLN bersama-sama dengan Pertamina diwakili oleh para pengacara dari kantor hukum yang sama.

2. Gambaran Umum Kasus Karaha Bodas

Tentang kasus karaha Bodas tersebut, dari hasil penelitian secara kronologi dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Kontrak-kontrak

Pada 28 November 1994, KBC dan Pertamina menandatangani sebuah perjanjian, yaitu kontrak operasi bersama atau Joint Operation Contract (JOC). Di dalam kontrak tersebut ditentukan bahwa Pertamina bertanggung

53

(3)

jawab untuk mengelola pengoperasian geo-termal di dalam proyek, sedangkan KBC bertindak sebagai kontraktor. Dalam kontrak dengan tegas disebutkan bahwa KBC diwajibkan untuk mengembangkan enerji geo-termal di daerah proyek, serta to build, own and operate generating facilities (untuk membangun, memiliki, dan mengoperasikan pembangkit tenaga listrik).

Pada tanggal tersebut PLN di satu pihak dan KBC dengan Pertamina di lain pihak juga menandatangani sebuah kontrak yaitu Energy Sales Contract (ESC) yang isinya menentukan bahwa PLN setuju untuk membeli dari Pertamina tenaga listrik yang berasal dari fasilitas pembangkitan tenaga listrik yang dihasilkan oleh KBC (sebagai kontraktor dari Pertamina berdasar JOC).

b. Pelaksanaan awal proyek

Sejak penanda-tanganan kontrak tersebut, khususnya antara tahun 1995 dan 1997, KBC telah mulai serta menyelesaikan sebagian program eksplorasi dan pemboran.54 Khususnya pada 12 Agustus 1997, dalam pertemuan Komite Bersama diputuskan bahwa KBC harus menyerahkan Notice of Resource Confirmation (NORC) atau pemberitahuan pembenaran adanya sumber daya alam dengan kapasitas sebesar 55 MW di wilayah Karaha pada atau sekitar 15 September 1997, dan kapasitas sebesar 55 MW untuk Telaga Bodas pada 1 November 1997. KBC juga diminta untuk menyerahkan Notice of Intent to Develop (NOID) atau pemberitahuan untuk melakukan pengembangan kapasitas listrik sebesar 110 MW pada tanggal 20 Desember 1997. Atas kewajiban-kewajiban tersebut, pada tanggal 18 September KBC telah menyerahkan kepada Pertamina NORC yang pertama untuk kapasitas sebesar 60 MW di Karaha.

54

Hal ini didasarkan pada Notulen Rapat dari beberapa pertemuan Komite Bersama yang dihadiri oleh KBC, Pertamina, dan PLN, di mana KBC menyampaikan rencana kerja dan anggaran secara teratur kepada Pertamina pada 1995, 1996, dan 1997.

(4)

c. Penangguhan proyek

Atas saran International Monetary Fund (IMF), pada tanggal 20 September 1997, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997 tentang Penangguhan Proyek Pemerintah, yang isinya: “… untuk memelihara kelangsungan ekonomi dan secara umum kemajuan ekonomi nasional, perlu dilakukan langkah penanggulangan fluktuasi keuangan dan akibat yang ditimbulkan.”

Dalam rangka penanggulangan masalah tersebut, Pasal 5 Keppres menyatakan bahwa, “… perlu diambil langkah penundaan/peninjauan kembali sejumlah proyek, sebanyak 75 proyek, termasuk proyek Karaha Bodas.” Namun demikian, para pihak menganggap bahwa penangguhan proyek Karaha Bodas tidak akan berlangsung lama, bahkan Pertamina dan PLN dalam pertemuan Komite Bersama 14 Oktober 1997 menyatakan keyakinannya bahwa status proyek akan dipulihkan kembali.

Prediksi yang mencerminkan sikap optimis tersebut akhirnya terbukti pada 1 November 1997, yaitu pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 47 Tahun 1997 tentang Tata Ruang Wilayah Nasional yang berisi perintah agar beberapa proyek yang tertunda termasuk proyek Karaha Bodas dapat diteruskan lagi. Dengan adanya Keppres No. 47 Tahun 1997 tersebut, KBC melanjutkan kembali aktivitas eksplorasi dan pengembangan proyek Karaha Bodas tersebut.

Pada 16 Desember 1997, KBC menyerahkan NORC kepada Pertamina yang menunjukkan kemungkinan adanya kapasitas sebesar 210 MW sumber daya alam di wilayah Karaha dan Telaga Bodas. KBC menyampaikan pemberitahuan tersebut dengan maksud untuk mengembangkan pembangkit tenaga listrik sebesar jumlah tersebut, yang hal ini dilanjutkan dengan aktivitas eksplorasi dan pengembangan oleh KBC.

Namun demikian, pada tanggal 10 Januari 1998 proyek Karaha Bodas kembali ditunda dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun

(5)

1998 tentang Pembatalan Proyek Pemerintah. Keppres tersebut membatalkan Keppres No. 47 Tahun 1997 dan mengkonfirmasikan penundaan proyek Karaha Bodas.

Dengan dikeluarkannya Keppres No. 5 Tahun 1998 tersebut, KBC dengan pertimbangan bahwa proyek Karaha Bodas akan tertunda untuk jangka waktu yang tidak pasti, pada tanggal 30 April 1998 menyampaikan gugatan arbitrase (Notice of Arbitration) kepada Pertamina, PLN dan Pemerintah Indonesia (Departemen Pertambangan dan Energi) untuk mengadakan proses pemeriksaan arbitrase di Jenewa, Swiss.

Antara dikeluarkannya Keppres No. 5 Tahun 1998 (pada 10 Januari 1998) dan pemberitahuan untuk arbitrase (pada 30 April 1998) terdapat beberapa peristiwa yang perlu mendapat perhatian sebagai berikut:

a. Pada Januari 1998 KBC dan Pertamina memutuskan untuk secara bersama-sama melakukan usaha untuk meyakinkan pemerintah Indonesia agar membebaskan proyek Karaha Bodas dari keputusan Keppres No. 5 Tahun 1998. Atas permohonan Pertamina, KBC mengirim surat pada tanggal 23 Januari 1998, yang isinya argumentasi untuk mendukung pembatalan keputusan penangguhan proyek tersebut. Selain itu, Pertamina menyampaikan kepada Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 11 Februari 1998, yang isinya meminta pemerintah mempertimbangkan kembali kelanjutan proyek “dalam waktu dekat.”

b. Sementara itu sebelumnya, 10 Februari 1998, KBC telah mengirim pemberitahuan kepada Pertamina dan PLN bahwa pemberlakuan Keppres No. 5 Tahun 1998 dan No. 39 Tahun 1997 merupakan keadaan memaksa (force majeur) berdasarkan kontrak JOC dan ESC. Untuk itu KBC menyarankan untuk mengadakan pertemuan segera dengan pihak Pertamina dan PLN, di mana KBC memiliki hak untuk menyampaikan klaim.

(6)

Catatan: Pertemuan antara tiga pihak, sebagaimana yang diminta oleh KBC

tersebut, tidak pernah berlangsung.55

c. Pada 5 Maret, KBC mengirim kepada Pertamina program kerja dan anggaran yang telah diperbaiki untuk tahun 1998 yang memperhitungkan penangguhan proyek didasarkan pada perkiraan bahwa pekerjaan akan dilanjutkan pada kuartal ke-4 tahun tersebut. Pertamina menyetujui program kerja dan anggaran yang disampaikan oleh KBC tersebut pada 11 Maret 1998, sesuai dengan perbaikan yang telah dilakukan.

d. Pada 6 Maret 1998, PLN menulis kepada Pertamina dan KBC yang isinya adalah: “Berdasarkan Keputusan Presiden tersebut di atas (No. 39/1997 dan No. 5/1998) proyek geo-termal Karaha dikategorisasikan sebagai proyek yang ditangguhkan. Oleh sebab itu, Pertamina dan Perusahaan sebagai pihak yang dikontrak di bawah kontrak penjualan energi (ESC) harus tunduk kepada Keputusan Presiden tersebut. Akibatnya, seluruh aktivitas yang telah dimulai atau dilaksanakan oleh anda yang tidak tercantum di dalam keputusan presiden tersebut sehubungan dengan proyek geo-termal Karaha harus menjadi tanggungan dan risiko anda.” e. Pada 30 April 1998, KBC mengajukan pemberitahuan untuk penyelesaian

melalui Arbitrase.

d. Proses arbitrase

Proses arbitrase didahului dengan membentuk majelis arbitrase pada 24 Juli 1998, dengan dipilihnya Mr. Yves Derains sebagai ketua arbitrator oleh Prof. Piero Bernardini (yang dipilih oleh KBC sebagai arbitrator pertama pada 30 April 1998) dan Dr. Ahmed S.EL Kosheri (sebagai arbitrator kedua yang dipilih oleh Secretary General of ICSID pada 15 Juli 1998).

55

(7)

Catatan: Penunjukkan arbitrator kedua yang dipilih oleh Sekjen ICSID

tersebut disebabkan Pertamina tidak menggunakan hak pilihnya untuk memilih arbitrator yang akan memutuskan sengketa Pertamina melawan KBC. Meskipun demikian, Pertamina membantah telah diberitahu secara layak untuk memilih arbitrator.56

Pemberitahuan untuk melakukan arbitrase (notice of arbitration) pada 30 April 1998 yang diajukan oleh KBC tersebut tidak hanya ditujukan kepada Pertamina dan PLN, tetapi juga kepada Pemerintah Indonesia.

Pada tahap awal, ketiga tergugat mengajukan keberatan sehingga pada 30 September 1998 pengadilan arbitrase mengeluarkan putusan pendahuluan sebagai berikut:

a. Pengadilan arbitrase tidak memiliki yurisdiksi terhadap Pemerintah Indonesia. (Di sini pemerintah Indonesia dikeluarkan dalam proses pemeriksaan selanjutnya.)

b. Keberatan Pertamina dan PLN terhadap yurisdiksi pengadilan arbitrase ditolak.

c. KBC berhak menyampaikan gugatan, berdasarkan JOC dan ESC, melalui prosedur arbitrase tunggal (satu dan tidak terpisah), sehingga keberatan Pertamina dan PLN dalam hal ini ditolak.

56

Secara terpisah Simson Panjaitan, koordinator pengacara Pertamina mengatakan bahwa situasi di dalam organisasi Pertamina saat itu sangat sibuk (karena Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi), sehingga tidak ada koordinasi penanganan kasus tersebut. Lebih lanjut, menurut Simson, di kalangan Pertamina sendiri terdapat perbedaan penafsiran tentang pengertian “Notice OF Arbitratiton” yang diartikan sekedar pemberitahuan akan digunakannya lembaga arbitrase. Pemberitahuan tersebut hanya sebuah informasi untuk memperingatkan, tetapi belum masuk kepada proses pelaksanaan arbitrase sendiri. Menurutnya, jika telah masuk pada proses arbitrase maka seharusnya digunakan “Notice FOR Arbitration” (bukan OF tapi FOR). Akibatnya, Pertamina terlambat mengantisipasi dalam penunjukkan arbitrator. Simson berkesimpulan bahwa dengan tidak diangkatnya arbitrator oleh Pertamina tersebut, sebenarnya sejak awal Pertamina telah kalah 50% dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase UNCITRAL di Jenewa. (Hasil wawancara dengan penulis 21 Maret 2005 di Kantor Pertamina, Jakarta.)

(8)

d. Pertamina dan PLN secara bersama-sama dan masing-masing diharuskan membayar sejumlah US$16,666 dan US$350,416.56 kepada KBC. Sementara itu, KBC diharuskan membayar US$203,833.04 kepada Pemerintah Indonesia.

e. Hal-hal yang belum ditangani di dalam putusan pendahuluan masih belum dapat dinyatakan.

Oleh pengadilan arbitrase telah dikeluarkan Procedural Order No. 1 atau prosedur penanganan perkara pada 19 November 1998 yang memberi KBC waktu selama satu bulan untuk memperbaiki berkas tuntutan tertanggal 11 November 1998 sebagai tanggapan atas putusan pendahuluan tersebut. Untuk Pertamina diberi waktu selama dua bulan untuk memberikan tanggapan terhitung sejak diterimanya berkas perkara yang telah diperbaiki atau diterimanya pemberitahuan dari KBC bahwa berkas perkara tidak memerlukan perbaikan.

Pada 24 November 1999, KBC menyerahkan perbaikan berkas tuntutan bersama dengan bukti dan pernyataan saksi. Tetapi, setelah melalui beberapa kali surat pemberitahuan untuk minta pengunduran, penasihat hukum Pertamina melalui surat tertanggal 9 Desember 1999 memberitahu pengadilan arbitrase bahwa mereka belum dapat menyampaikan berkas tanggapannya sebelum tanggal 24 Januari 2000 dan ada kemungkinan mereka masih membutuhkan perpanjangan waktu. Bahkan Pertamina tidak dapat memberikan jawaban mengenai tanggal pemeriksaan dan meminta perpanjangan waktu selama sepuluh hari untuk memberi jawaban.

Melalui surat tertanggal 13 Desember 1999, penasihat hukum KBC menyampaikan keberatannya terhadap permohonan Pertamina untuk perpanjangan waktu. Melalui surat tertanggal 7 Januari 2000, majelis arbitrase mewajibkan Pertamina untuk menyatakan putusan mereka selambat-lambatnya tanggal 12 Januari 2000.

(9)

Pada tanggal 14 Januari 2000, penasihat hukum Pertamina memberitahu majelis arbitrase bahwa mereka memerlukan perpanjangan waktu untuk memasukkan berkas tanggapan sampai tanggal 24 Maret 2000. (Bahkan dengan alasan karena terjadi perubahan organisasi di dalam tubuh PLN, mereka meminta jadwal yang baru.) Melalui surat 14 Januari 2000 majelis arbitrase meminta KBC mengirim komentar mereka selambat-lambatnya tanggal 18 Januari 2000.

Pada tanggal 18 Januari 2000 penasihat hukum KBC mengirim surat kepada majelis arbitrase yang isinya menyatakan keberatan mereka terhadap penundaan dan perpanjangan waktu yang diminta oleh Pertamina dan menekankan bahwa “…sebagaimana majelis arbitrase meninjau kembali permohonan perpanjangan waktu yang disampaikan oleh Pertamina, maka KBC menyampaikan permohonan agar tanggal pemeriksaan telah dipastikan sehingga pemeriksaan dapat selesai sebelum liburan musim panas, dan diharapkan bahwa putusan majelis arbitrase telah keluar selambat-lambatnya pada kuartal ke empat tahun ini”.

Di dalam Procedural Order No. 3 tertanggal 12 Januari 2000, majelis arbitrase menyatakan bahwa:

a. Pertamina memasukkan berkas tanggapan mereka pada 24 Maret 2000. b. KBC memasukkan berkas bantahan mereka pada 24 April 2000.

c. Pertamina memasukkan berkas replik mereka, jika ada, pada 19 Juni 2000.

Pemeriksaan berdasarkan fakta-fakta akan dilakukan di Paris dari tanggal 19 Juni sampai dengan 30 Juni 2000.

(10)

Majelis arbitrase menekankan bahwa kecuali jika ada alasan yang kuat, jadwal tersebut di atas tidak akan dirubah dan majelis arbitrase tidak akan memberikan ijin bagi para pihak untuk membuat perpanjangan waktu.57

Berdasarkan kesepakatan para pihak, dan dikonfirmasikan oleh Procedural Order No. 4 tertanggal 14 Maret 2000 jadwal prosedur telah diperbaiki sebagai berikut:

a. Pertamina akan memasukkan Berkas Tanggapan mereka 7 April 2000. Saksi yang diajukan KBC, penunjukan saksi dan laporan-laporan (termasuk laporan saksi ahli) jika tidak termasuk di dalam Berkas Tanggapan akan dimasukkan pada 14 April 2000.

b. KBC akan memasukkan Berkas Bantahan mereka jika ada, (termasuk bukti-bukti, penunjukan saksi dan laporan) pada tanggal 8 Mei 2000.

c. Pertamina akan memasukkan Berkas Replik, jika ada (termasuk bukti-bukti, penunjukan saksi dan laporan) pada tanggal 9 Juni 2000.

d. Pemeriksaan berdasarkan fakta yang diajukan tetap dilaksanakan pada tanggal yang sudah ditetapkan yaitu dari tanggal 19 Juni 2000 sampai 30 Juni 2000.

Atas kesepakatan tersebut, Pertamina pada tanggal 7 April 2000 memasukkan berkas tanggapan mereka bersama dengan bukti-bukti dan pernyataan saksi. KBC memasukkan berkas bantahan mereka pada tanggal 8 Mei 2000.

57

Kantor Hukum Clearly Gottlieb Steen & Hamilton (dengan surat tertanggal 6 Maret 2000) memberitahu majelis arbitrase dan KBC bahwa para pengacara dari kantor tersebut telah ditunjuk oleh Pertamina untuk bersama-sama Adnan Buyung Nasution & Partners menjadi penasihat hukum Arbitrase di dalam proses Arbitrase.

(11)

Pada tanggal 31 Mei 2000, majelis arbitrase mengeluarkan Procedural Order No. 5 yang menyatakan sebagai berikut:

a. Majelis arbitrase telah dengan seksama mempertimbangkan pembicaraan di antara para pihak mengenai pengaturan pemeriksaan di pengadilan yang akan dilaksanakan di Paris dari tanggal 19 Juni sampai dengan 30 Juni 2000.

b. Para pihak secara umum sepakat dan hanya beberapa masalah yang akan diputuskan oleh majelis arbitrase.

Selama sidang pemeriksaan disepakati hal-hal sebagai berikut:

a. Para pihak menyatakan bahwa mereka membatalkan permintaan masing-masing untuk pengadaan pemeriksaan prapersidangan.

b. KBC membatalkan keberatan mereka bagi pengajuan Putusan Sela walaupun mereka tetap berkeyakinan bahwa pembatalan tersebut tidak seharusnya diajukan dan menekankan bahwa seharusnyalah hal itu tidak diperlakukan sebagai preseden.

c. KBC setuju bahwa putusan tersebut tidak lebih bernilai dari Putusan Arbitrase lainnya, meskipun mereka menekankan pula bahwa putusan tersebut tidak bisa dianggap remeh.

Hal-hal di atas dicantumkan di dalam Procedural Order No. 6 pada tanggal 28 Juni 2000. Sebagai jawaban terhadap pertanyaan Ketua Majelis Arbitrase, para pihak mengkonfirmasikan bahwa mereka tidak memiliki keberatan terhadap pelaksanaan di dalam proses persidangan.

Di dalam Procedural Order No. 6 majelis arbitrase memutuskan bahwa: a. Selambat-lambatnya tiga minggu setelah menerima transkrip sidang

pemeriksaan, para pihak secara bersama-sama menyerahkan surat permohonan sehubungan dengan sidang perkara selanjutnya; perlu

(12)

diperhatikan bahwa berkas permohonan tersebut tidak ditambah fakta-fakta yang baru.

b. Permintaan masing-masing pihak untuk mengadakan pemeriksaan prapersidangan ditarik kembali.

c. Putusan sela diberlakukan di dalam arbitrase ini dan dianggap sama pentingnya dengan berkas putusan lainnya.

Berkas berisi fakta (sesudah pemeriksaan) akan dimasukkan selambat-lambatnya pada 27 Agustus 2000 oleh Pertamina dan KBC. Pada tanggal 10 Agustus 2000 Pertamina mengirim surat kepada majelis arbitrase bahwa di dalam berkas berisi fakta pemeriksaan yang dikirim oleh KBC terdapat dua pernyataan yang salah. Melalui fax pada hari yang sama, KBC meminta bahwa surat Pertamina tersebut dan argumen selanjutnya ditolak. Di dalam berkas berisi fakta perkara tertanggal 7 Agustus 2000 KBC dan Pertamina meminta untuk diberi kuasa memasukkan daftar biaya yang telah mereka tanggung selama proses sidang perkara berlangsung.

Di dalam Procedural Order No. 7 tertanggal 31 Agustus 2000, majelis arbitrase membuat keputusan sebagai berikut:

a. Berhubung Procedural Order No. 6 tidak lagi mencantumkan surat Pertamina tanggal 10 Agustus 2000 dan majelis arbitrase akan memeriksa ketepatan setiap pernyataan para pihak sehubungan dengan keputusan ini, maka surat tersebut tidak akan dipertimbangkan oleh majelis arbitrase.

b. Sidang perkara ditutup dan segala argumentasi atau penyerahan bukti tidak akan diterima lagi, kecuali diijinkan atau diminta oleh majelis arbitrase sendiri.

c. Para pihak dianjurkan untuk menyerahkan Laporan Biaya masing-masing selama proses sidang perkara, termasuk seluruh biaya dan pengeluaran serta ongkos pengacara selambat-lambatnya tanggal 15 September 2000 jam 6 sore waktu Paris.

(13)

Pada tanggal 15 September 2000 para pihak menyerahkan Laporan Biaya mereka. KBC dalam hal ini meminta sebesar US $2.510.658 (dua juta lima ratus sepuluh ribu enam ratus lima puluh delapan) dolar ditambah dengan US $365,244.35 (tiga ratus enam puluh lima ribu dua ratus empat puluh empat dan tiga puluh lima sen) dolar Amerika berikut bunga sebesar 4,53% per tahun. Biaya ini mewakili biaya yang dicantumkan di dalam putusan awal, walau belum dibuktikan kebenarannya, yaitu sebesar US $ 350.415,56 (tiga ratus lima puluh ribu empat ratus lima belas dan lima puluh enam sen) dolar. Biaya yang ditanggung oleh Pertamina adalah sebesar US $ 2.823.621,18 (dua juta delapan ratus dua puluh tiga ribu enam ratus dua puluh satu dan delapan belas sen) dolar.

e. Gugatan dan ringkasan putusan arbitrase

Di dalam berkas gugatan yang sudah diperbaiki, tertanggal 24 November 1999, KBC menuntut ganti kerugian sebagai berikut:

1. Ganti kerugian akibat pelanggaran kontrak a. kerugian tersebut termasuk:

1) pembayaran atas kerugian sebesar US $96 juta (sembilan puluh enam juta) dolar;

2) kompensasi akibat kehilangan keuntungan sebesar US$512.5 juta (lima ratus dua belas dan lima sen) juta dolar

3) sebagai alternatif untuk ganti kerugian akibat kehilangan keuntungan, diperhitungkan jumlah pembayaran yang harus dikirim adalah sebesar US$ 437 (empat ratus tiga puluh tujuh) juta dolar; b. secara alternatif, pembatalan kontrak dan kerugian-kerugian; dan c. secara alternatif, pelaksanaan secara khusus.

2. Kerugian akibat perolehan harta dengan tidak wajar/adil.

(14)

puluh delapan koma enam) juta dolar Amerika pada tanggal 24 November 1999 dari denda yang harus dibayarkan kepada KBC sejumlah US$608,5 juta dolar (US$ 96 juta + USS $ 512.5 juta) atau secara alternatif sebesar US$51.3 juta dolar apabila majelis arbitrase menyampaikan bahwa KBC berhak memperoleh US$532.9 juta dolar (US$96 juta + US$437 juta dolar).

KBC menjelaskan bahwa permohonan pembatalan kontrak bukan merupakan alternatif terhadap permohonan untuk ganti kerugian dan bahwa KBC mengajukan permohonan atas pembatalan dan penggantian kerugian. Di samping itu, Pertamina diminta untuk membayar biaya arbitrase.

Dalam semua berkas yang dimasukkan, Pertamina telah mengajukan permohonan agar tuntutan KBC ditolak dan KBC dikenakan ongkos dan biaya arbitrase.

Dalam penyelesaian melalui arbitrase ini, majelis arbitrase mengeluarkan 2 (dua) putusan yaitu putusan pendahuluan (Preliminary Award) pada 30 September 1999 dan putusan akhir (Final Award) pada 18 Desember 2000. Dalam Preliminary Award, intinya majelis arbitrase menyatakan bahwa arbitrase Jenewa memiliki yuridiksi terhadap Pertamina dan PLN, berdasarkan perjanjian arbitrase dalam JOC dan ESC. Selanjutnya dalam final award, arbitrase Jenewa menyatakan agar Pertamina dan PLN membayar ganti rugi sebesar US$ 261.100.000 termasuk bunga sebesar 4% pertahun, terhitung tanggal 1 Januari 2001 sampai lunas.

Atas putusan arbitrase Jenewa tersebut, Pertamina dan PLN tidak bersedia melaksanakannya. Sebagai upaya hukum Pertamina mengajukan gugatan pembatalan putusan arbitrase Jenewa, kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) pada 14 Maret 2002. Pada 27 Agustus 2002, majelis hakim mengeluarkan putusan yang membatalkan Preliminary Award dan Final Award yang dihasilkan oleh Majelis Arbiatrase di Jenewa, Swiss.

(15)

B. Pembahasan

1. Penyelesaian Sengketa di Arbitrase UNCITRAL

Penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di Jenewa melalui persidangan arbitrase UNCITRAL memeriksa beberapa hal terkait, yaitu pelanggaran atas kontrak ESC dan JOC yang dilakukan oleh Pertamina, masalah pengakhiran kontrak, perdebatan mengenai ganti kerugian atas kehilangan modal dan hilangnya keuntungan yang diharapkan. Berdasarkan hasil pemeriksaan para pihak yang bersengketa, majelis arbitrase memutuskan penggantian kerugian yang timbul, disertai bunga dan biaya arbitrase.

a. Pelanggaran atas Kontrak ESC dan JOC

Dari dokumen-dokumen yang diperolah dari hasil penelitian diketahui bahwa pertanyaan pertama yang diangkat oleh Arbitrase UNCITRAL adalah mengenai posisi Pertamina, yaitu: “Apakah ia telah melanggar kewajiban berdasarkan baik kontrak ESC maupun kontrak JOC?” Untuk itu sebelum sampai pada keputusan majelis arbitrase, perlu diuraikan posisi KBC dan Pertamina lebih dahulu sebagai berikut:

1) Posisi KBC sebagai penggugat

KBC menuduh bahwa Pertamina telah melanggar beberapa kewajiban berdasarkan kontrak ESC dan JOC dengan cara, antara lain, mencegah KBC untuk menyelesaikan pembangunan unit-unit pembangkit tenaga listrik dengan kapasitas maksimum 400 MW. KBC menyatakan bahwa PLN tidak akan membeli dan Pertamina tidak akan menjual tenaga listrik yang dihasilkan oleh KBC.

Secara khusus, KBC menekankan bahwa Pertamina melalui kontrak ESC dan JOC setuju untuk menanggung risiko atas tindakan Pemerintah. Dengan demikian Keputusan Presiden No. 30 Tahun 1997 dan No. 5 Tahun 1998

(16)

bukan merupakan alasan untuk tidak memenuhi kontrak. Jadi Pertamina tetap harus menjalankan kewajiban mereka dan tidak melanggarnya.58

KBC menyatakan bahwa hubungan dekat antara Pertamina dan Pemerintah Republik Indonesia adalah alasan yang cukup untuk pengalokasian risiko. Menurut pandangan KBC, Keputusan Presiden tidak ada sangkut pautnya dengan pembatalan oleh Pertamina.

KBC menambahkan bahwa dengan melakukan berbagai tindakan dan usaha untuk menghindari dan atau menolak kontrak, Pertamina telah melanggar kewajiban untuk melaksanakan kontrak dengan itikad baik, seperti ditentukan di dalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat (3). KBC menganggap sikap Pertamina tersebut sebagai penolakan secara sengaja atas pelaksanaan kewajiban mereka yang hal ini sama dengan pelanggaran kewajiban untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad baik.

Selanjutnya, KBC menuduh bahwa Pertamina (dan PLN) telah melanggar kewajiban mereka sebagaimana tercantum di dalam kontrak ESC, yaitu: "… untuk menjalankan dan melakukan tindakan dan hal-hal lainnya, yang diperlukan atau yang dapat memperlancar pelaksanaan ketentuan dalam Perjanjian ini."59

2) Posisi Pertamina sebagai tergugat

Pertamina telah memposisikan dirinya sebagai pihak yang tidak dapat dipersalahkan dan sebaliknya menyatakan bahwa, KBC dengan cara yang tidak benar telah mencoba untuk membuat Pertamina bertanggungjawab atas tindakan yang diambil oleh Pemerintah Republik Indonesia walaupun majelis arbitrase telah mengeluarkan putusan awalnya pada 30 September

58

KBC menyimpulkan dari kontrak ESC [Pasal 9.2 (e)] dan JOC [Pasal 5.2 (e)] bahwa tindakan yang dilakukan Pemerintah merupakan suatu keadaan memaksa jika hal itu berkenaan kepada KBC saja.

59

(17)

1999 bahwa “… tindakan Pemerintah tersebut bukan merupakan pelanggaran kontrak yang dilakukan oleh PLN atau Pertamina.”

Pertamina menjelaskan bahwa secara tidak jujur KBC telah membedakan antara Keputusan Presiden dan kewajiban Pertamina untuk mentaati Keputusan Presiden tersebut. Pertamina menekankan bahwa tidak seorangpun di antara mereka yang bertanggungjawab terhadap keluarnya keputusan tersebut.

Sebaliknya, Pertamina dengan itikad baik telah berusaha untuk membujuk Pemerintah agar membebaskan proyek Karaha Bodas dari Keputusan No. 5 Tahun 1998. Berbagai upaya tersebut dilakukan oleh Pertamina sejak proyek masih dalam taraf awal pembangunan; proyek pembangkit tenaga listrik belum dibangun sehingga belum ada kewajiban membayar. Pertamina menekankan bahwa usaha tersebut tetap dilanjutkan⎯bahkan setelah KBC menghentikan pelaksanaan pekerjaannya yang sudah tercantum di dalam kontrak⎯sebagaimana ditulis di dalam surat yang dikirim kepada Pemerintah pada tanggal 11 Juni 1998.

Di samping itu, sebelumnya Pertamina juga berusaha untuk dapat membatalkan Keputusan Pemerintah No. 39 Tahun 1997, dan hal itu telah berhasil dilakukan dengan dikeluarkannya Keppres No. 47 Tahun 1997. Kenyataan bahwa usaha Pertamina telah terbukti gagal dengan dikeluarkannya Keputusan No. 5 Tahun 1998 memperlihatkan bahwa tuntutan KBC tidaklah didasarkan atas perbuatan (upaya) Pertamina namun berdasarkan keputusan itu sendiri.

Pertamina menilai KBC telah mencoba untuk mempengaruhi majelis arbitrase agar membatalkan putusan awal, dengan menggunakan Keputusan Presiden sebagai alasan bahwa Pertamina telah melanggar kontrak. Tindakan ini tidak sejalan dengan prosedur yang telah ditentukan oleh majelis

(18)

arbitrase sendiri yang, di dalam putusan awalnya, membatasi masalah-masalah yang harus diselesaikan dalam waktu ini.

Menurut Pertamina, di dalam putusan awal, majelis arbitrase telah memutuskan dengan benar bahwa keadaan memaksa yang timbul sebagai akibat tindakan Pemerintah bukanlah tindakan pelanggaran kontrak JOC dan ESC. Keadaan memaksa tersebut juga mengampuni KBC untuk tidak melakukan pekerjaannya.

Pertamina menyatakan pula bahwa tindakannya dan PLN untuk menolong KBC dengan cara mendorong Pemerintah Indonesia mengambil tindakan merupakan bukti bahwa ia tidak memiliki kewajiban kontrak akibat tindakan Pemerintah mengeluarkan keputusan pemberhentian proyek.

Pertamina menolak tuduhan bahwa ia telah melanggar kewajiban karena telah memberikan jaminan kepada KBC untuk tetap melaksanakan proyek. Sebaliknya, KBC-lah yang melanggar kewajiban karena secara sepihak memutuskan untuk tidak meneruskan kontrak dalam waktu sebulan setelah keputusan presiden tertanggal 10 Januari 1998 keluar.

Berlawanan dari pernyataan KBC, Pertamina tidak melanggar atau membatalkan kontrak. Secara khusus, surat PLN tertanggal 6 Maret 1998 kepada KBC dan Pertamina yang menyatakan bahwa seluruh pihak harus tunduk kepada Keputusan Presiden, dan jika tidak, segala tindakan masing-masing adalah tanggungan sendiri, pada prinsipnya menyampaikan bahwa KBC dapat terus melanjutkan proyek, namun karena penundaan tidak diketahui akan berlangsung berapa lama, tidak jelas bentuk risiko yang harus ditanggung. Hal ini bukanlah penolakan terhadap kontrak.

Tambahan pula, KBC tidak dapat berpatokan pada surat tanggal 6 Maret 1998 untuk menuduh PLN melanggar kontrak karena melalui surat tanggal 10 Februari 1998, KBC telah mengumumkan bahwa pihaknya tidak melanjutkan proyek. Sebaliknya, persetujuan yang dikeluarkan Pertamina terhadap Rencana Kerja dan Anggaran KBC yang dikeluarkan pada tanggal 11 Maret

(19)

1998, menunjukkan bahwa Pertamina masih berharap proyek tersebut dapat dilanjutkan kembali.60

Akhirnya di dalam surat tertanggal 30 April 1998 (yang menurut Bapak Sulaiman, salah satu saksi Pertamina, sesungguhnya ditulis pada tanggal 25 Juni 1998)61 dan pada tanggal 4 Desember 1998, KBC mengkonfirmasikan bahwa tidak terdapat konflik antara KBC dan Pertamina "pada tanggal tersebut ataupun sebelumnya".

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Pertamina menekankan dalam hal apapun, KBC telah gagal membuktikan bahwa pihak tersebut siap, bermaksud dan sanggup melaksanakan perjanjian karena pihak tersebut tidak memiliki dan tidak dapat memenuhi pembiayaan yang diwajibkan dan tidak menunjukkan bahwa pihak tersebut sanggup membangun pembangkit tenaga listrik berkapasitas 210 MW. Dengan demikian, pihak KBC tidak dapat menuntut ganti kerugian atas tuduhan pelanggaran kontrak serta tidak memiliki dasar untuk menerima pengiriman uang seperti yang diperkirakan.

3) Dasar dan putusan majelis arbitrase

Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1998 pada 10 Januari 1998, maka para pihak tidak sanggup melaksanakan kewajiban utamanya untuk melaksanakan kontrak. Ketidakmungkinan untuk melaksanakan kontrak tersebut telah disampaikan oleh KBC melalui surat tertanggal 10 Februari 1998 yang ditujukan kepada Pertamina dan PLN, yang di dalamnya dicantumkan peringatan bahwa Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 dan No. 39 Tahun 1997 merupakan bagian dari keadaan memaksa (force majeure) berdasarkan perjanjian ESC dan JOC. KBC

60

Tindakan lain yang dinilai oleh Pertamina sebagai pelanggaran tersebut dilakukan setelah KBC menghentikan pelaksanaan proyek dan bahkan setelah dimulainya arbitrase.

61

Sayfi Sulaiman bersama dengan John Norris dan Assistia Semiawan adalah saksi dari Pertamina, sedangkan saksi-saksi dari KBC adalah: Christopher McCallin, Leslie Gelber, Robert McGrath, dan Barbara Bishop Gollan.

(20)

menyebutkan bahwa: "... keadaan memaksa seperti yang disebut di atas telah menyebabkan ditangguhkannya perjanjian yang tercantum di dalam ESC dan JOC, yang bersamaan dengan penangguhan waktu berdasarkan perjanjian tersebut menyangkut juga hal-hal lain sejauh memang sudah dicantumkan."

Namun demikian, Pertamina tidak pernah mengajukan penilaian terhadap situasi tersebut. Sebaliknya, pada tanggal 11 Maret 1998, Pertamina menyetujui perbaikan Rencana Kerja dan Anggaran 1998 yang disusun oleh KBC untuk menanggulangi situasi akibat Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998, dan Pertamina meminta KBC untuk melakukan penyesuaian sebagaimana diperlukan karena situasi tersebut.

Dalam kaitan itu, tidak diragukan bahwa penundaan proyek yang menimbulkan keprihatinan di kalangan para pihak ini merupakan suatu keputusan yang harus dihormati. Akan tetapi, konsekuensi hukum dari situasi ini tidak sama terhadap KBC di satu pihak, dan kepada Pertamina dan PLN di lain pihak. Para pihak maklum bahwa Keputusan Presiden untuk menunda proyek Karaha Bodas merupakan Government Related Event sebagaimana didefinisikan di dalam ESC dan JOC, yang menyatakan bahwa: “Kejadian-kejadian yang disebabkan oleh keadaan memaksa mencakup, tetapi tidak terbatas pada hal-hal: … (e) setiap tindakan yang berhubungan dengan Pemerintah berhubungan dengan Kontraktor saja.”62

Oleh sebab itu, melalui dua kontrak tersebut dinyatakan bahwa Keputusan Presiden adalah keadaan memaksa bagi KBC, dan bukan bagi Pertamina dan PLN. Konsekuensi hukumnya adalah, bahwa KBC berhak untuk memakai keputusan presiden sebagai alasan untuk tidak melaksanakan kewajibannya, sedangkan Pertamina dan PLN tidak berhak

62

Pernyataan yang sama terdapat di dalam Pasal 9.2 (e) ESC, kata "Kontraktor” diganti dengan kata '”Company”, di mana keduanya mengacu kepada KBC.

(21)

untuk melakukan hal yang sama, yaitu melepaskan diri dari tanggungjawabnya. Pernyataan sebaliknya adalah dengan tidak melaksanakan kewajibannya, maka Pertamina telah mencoba untuk menghindar dari kewajiban [sebagaimana tercantum di dalam Pasal 15.2 (e) JOC dan Pasal 9.2 (e) ESC yang menyatakan bahwa Government Related Event bukanlah keadaan memaksa bagi Pertamina dan PLN].63

Mengingat Pertamina dan PLN tidak dapat menggunakan Keputusan Presiden sebagai alasan yang sah untuk tidak melakukan kewajiban mereka di bawah ESC dan JOC, maka tindakan Pertamina dan PLN untuk tidak melakukan kewajiban tersebut adalah pelanggaran kontrak sehubungan dengan tanggungjawab mereka, kecuali jika mereka dapat menunjukkan keadaan yang dapat membebaskan mereka dari tuduhan pelanggaran tersebut. Dalam hal ini, pernyataan Pertamina bahwa KBC telah gagal membuktikan kesiapan dan kesanggupan dalam melaksanakan Perjanjian Proyek dianggap tidak penting.

Kesimpulan tersebut tidak bertentangan dengan penemuan majelis arbitrase yang dicantumkan di dalam putusan awal tertanggal 30 September 1999, yang menyatakan bahwa "Keputusan Pemerintah yang menghalangi KBC untuk melakukan kewajibannya tidak dipertimbangkan sebagai pelanggaran yang dilakukan Pertamina dan PLN terhadap kontrak tersebut namun sebagai keadaan memaksa yang mendasari KBC untuk tidak melakukan pekerjaannya." Penemuan tersebut menekankan bahwa Pemerintah bukanlah pihak yang berkepentingan di dalam kontrak tersebut.

Berbeda dengan pandangan Pertamina, kenyataan bahwa mereka tidak bertanggungjawab terhadap keluarnya Keputusan Presiden yang

63

Menurut Simson Panjaitan, perlu diteliti secara kronologis mengapa perjanjian (yang jelas-jelas melemahkan Pertamina) tersebut tetap ditanda-tangani. Perjanjian yang menyatakan force majeure hanya berlaku bagi KBC, dan tidak bagi Pertamina, merupakan suatu kelemahan yang nyata. Menurutnya secara substansi Keppres tersebut merupakan hal di luar kekuasaan kedua belah pihak, sehingga seharusnya force majeure berlaku pula bagi kedua belah pihak.

(22)

menghalangi pelaksanaan kontrak tidaklah membebaskan mereka dari tanggungjawab jika mereka tidak melaksanakan kewajiban mereka dalam rangka tunduk kepada keputusan tersebut. Karena Government Related Event tidaklah termasuk keadaan memaksa bagi Pertamina dan PLN, maka bukanlah alasan yang tepat bagi mereka untuk tidak melaksanakan kontrak, sehingga hal ini dianggap pelanggaran kontrak.

Perbedaan penerapan tersebut bukanlah sesuatu yang dibuat-buat, sebagaimana dinyatakan oleh Pertamina. Hal ini juga berlaku bagi setiap pihak yang terhalang untuk melaksanakan kewajiban kontrak dikarenakan situasi yang bukan termasuk keadaan memaksa. Misalnya, pemogokan kerja dapat atau tidak dapat dikategorisasikan sebagai keadaan memaksa. Apabila tidak, maka walaupun perusahaan dihalangi untuk melaksanakan kewajibannya karena pemogokan tersebut, namun bisa saja dengan tidak melaksanakan kewajibannya, perusahaan tersebut dapat dianggap melanggar kontrak. Begitu pula penjual, menurut ketentuan perdagangan (misalnya CIF; Cost Insurance Freight) tidak mempunyai alasan yang sah untuk tidak mengirim barang dengan alasan karena adanya pembatalan ijin ekspor; walaupun pembatalan tersebut disebabkan oleh keputusan pemerintah dimana si penjual sesungguhnya tidak bertanggungjawab, namun dengan tidak melakukan kewajiban mengirim barang, maka penjual sudah melanggar kontrak.

Dengan menunjuk Pasal 15.2 (e) JOC dan Pasal 9.2 (e) ESC, KBC secara tepat mencantumkan perihal alokasi risiko, dan menyebutkan bahwa konsekuensi akibat Keputuan Pemerintah yang menghalangi pelaksanaan kontrak adalah menjadi tanggungan Pertamina dan PLN.

Majelis arbitrase tidak dapat mengerti maksud Pertamina ketika mereka menyatakan bahwa: “KBC dapat terus melanjutkan proyek, namun karena penundaan tidak diketahui akan berlangsung berapa lama, maka tidak jelas bentuk risiko yang harus ditanggung." Surat tersebut menyatakan bahwa:

(23)

"PLN, Pertamina dan Company (KBC) harus tunduk kepada Keputusan Presiden," dan memperingatkan konsekuensi yang timbul jika tidak melaksanakan kewajiban tersebut, bahwa "harus menjadi tanggungan dan risiko anda, seluruh aktivitas yang telah dimulai atau dilaksanakan oleh anda sehubungan dengan Proyek Geo-termal Karaha, yang tidak tercantum di dalam Keputusan Presiden tersebut."

Bertentangan dengan pendapat Pertamina, bahwa hal itu bukan merupakan kondisi agar KBC dapat meneruskan proyek. Namun, pernyataan tersebut justru merupakan saran untuk tidak melaksanakan proyek dengan mengacu pada pernyataan: "… jika saran tersebut tidak diikuti oleh KBC dan/atau Pertamina, mereka akan menanggung risiko mereka sendiri.”64

Dalam kaitan itu pada 30 April 1998, KBC menyatakan tidak ada perselisihan dengan Pertamina dan tidak ada hubungannya sama sekali, dan pernyataan tersebut dikonfirmasikan lagi pada bulan Juni 1998 dan bulan Desember 1998. Tentu saja, pernyataan ini muncul sebagai usaha untuk memelihara hubungan baik dengan Pertamina dan mengandung pengharapan bahwa akan ditemukan penyelesaian untuk masalah ini.

Di pihak lain dalam suratnya tertanggal 6 Maret 1998, PLN nampak dengan jelas berusaha untuk tidak melaksanakan kewajiban kontrak, dengan peringatan tambahan bahwa pelaksanaan kewajiban oleh KBC dan Pertamina tidaklah dianggap sebagai bagian dari ESC dan JOC. Berdasarkan penjelasan tersebut, PLN bermaksud untuk melanggar kontrak dan hal ini merupakan hasutan kepada Pertamina untuk melakukan pelanggaran yang sama. Dengan tidak adanya sikap keberatan dari Pertamina terhadap pernyataan PLN yang tegas dan sikap setuju dengan

64

Di sini Pertamina dinilai hanya mencari alasan untuk melimpahkan risiko kepada KBC yang bertalian dengan Government Related Event; suatu risiko yang sesungguhnya hanya meliputi Pertamina dan PLN menurut kontrak.

(24)

instruksi PLN, maka dapat dianggap bahwa keduanya memiliki pendapat yang sama, dan hal ini adalah pelanggaran kewajiban di bawah JOC.

Pertamina tidak meyakinkan ketika ia mengacu pada suratnya tertanggal 11 Maret 1998 yang isinya menyetujui "Rencana Kerja dan Anggaran 1998" yang sudah diperbaiki sebagai bukti bahwa Pertamina setuju dengan pekerjaan dan rencana KBC sehubungan dengan proyek tersebut; dengan harapan bahwa proyek akan dilanjutkan kembali. Surat tersebut dikirim sebagai jawaban terhadap surat KBC tertanggal 5 Maret 1998 yang isinya menyatakan bahwa: "Karena Keputusan Presiden, KBC tidak dapat menyelesaikan rencana sebelumnya yang pernah diajukan untuk tahun 1998."65

Pertamina menerima keputusan KBC (yang berhak menyatakan diri berada dalam keadaan memaksa). Namun demikian Pertamina cukup tanggap untuk mendorong KBC agar "segera melakukan penyesuaian yang diperlukan untuk Rencana Kerja dan Anggaran 1998". Pertamina sama sekali tidak bermaksud menyetujui KBC melanjutkan pelaksanaan proyek, namun mendukung penangguhan proyek tersebut dan memperingatkan KBC untuk sepenuhnya tunduk kepada Keputusan Presiden. Majelis arbitrase menilai bahwa surat tersebut sejalan dengan instruksi yang diberikan PLN di dalam surat tertanggal 6 Maret 1998 dan tidak dapat diartikan sebaliknya.

Kenyataan yang disampaikan Pertamina bahwa, surat PLN tertanggal 6 Maret 1998 dikirim setelah KBC memberitahu pada tanggal 10 Februari 1998 mengenai penangguhan pelaksanaan proyek, tidaklah membebaskan Pertamina dari kewajiban-kewajibannya. Hal ini karena Keputusan Presiden merupakan suatu keadaan memaksa bagi KBC, sehingga KBC berhak

65

Sebagaimana diketahui bahwa berkenaan dengan alasan yang sah untuk membatalkan pekerjaan, yang diberitahukan melalui surat tanggal 10 Februari 1998, KBC menyusun rencana baru dalam rangka pelaksanaan proyek tersebut untuk kuartal keempat 1998 dengan asumsi bahwa pada saat itu proyek akan dilanjutkan kembali.

(25)

menangguhkan aktivitas pekerjaannya. Sebaliknya, keadaan tersebut bukan keadaan memaksa bagi PLN dan Pertamina, sehingga keduanya tidak memiliki dasar hukum untuk melakukan penangguhan.

Tindakan dengan dasar hukum oleh pihak yang dikontrak tidak dapat membenarkan tindakan pihak lainnya sehingga PLN dan Pertamina dapat menjadikan pemberitahuan KBC perihal keadaan memaksa sebagai pembenaran untuk tidak melakukan kewajibannya pada saat itu. Terlebih lagi melalui surat tertanggal 10 Februari 1998, KBC telah meminta dengan sangat kepada Pertamina dan PLN untuk "berusaha sebaik mungkin melanjutkan proyek." Tetapi surat PLN tertanggal 6 Maret 1998 dan surat Pertamina 11 Maret 1998 dalam hal ini, telah membuat KBC kehilangan harapan.

Menurut majelis arbitrase, perlu dipertimbangkan mengenai tuntutan KBC yang berkenaan dengan pelanggaran kontrak di bawah ESC Pasal 15.1 tentang ketentuan “perihal kelanjutan asuransi,” yang isinya: "Masing-masing Pihak sepakat untuk melaksanakan dan menyerahkan perangkat-perangkat lain, dan untuk menjalankan dan melakukan tindakan dan hal-hal lainnya, yang diperlukan atau yang dapat memperlancar pelaksanaan ketentuan dalam Perjanjian ini.” Dalam hal ini PLN ataupun Pertamina tidak menyediakan KBC jaminan bahwa mereka akan memenuhi kewajiban mereka berdasarkan ketentuan tersebut. Sebaliknya dari sikap mereka nampak bahwa mereka tidak melaksanakan kewajiban karena mereka hanya tunduk kepada Keputusan Presiden.

Meskipun surat Pertamina tertanggal 11 Februari 1998 kepada Bappenas telah menunjukkan usaha yang serius pada tahap awal untuk meyakinkan Pemerintah Indonesia agar mempertimbangkan kembali kedudukannya, kenyataannya tidak ada tindak lanjut. Khususnya, tidak ada pertemuan di antara PLN, Pertamina dan KBC, yang dapat memberikan jaminan kepada KBC bahwa telah dilakukan cukup usaha agar proyek dilanjutkan kembali. Sebaliknya surat PLN 6 Maret 1998, yang ditentang oleh Pertamina,

(26)

menyatakan dengan jelas bahwa tidak ada hal apapun yang telah dilakukan atau diharapkan akan dilakukan. Di dalam pertemuan pada tanggal 8 Mei 1998, bertempat di kantor Pertamina, KBC diberitahu bahwa: "…menurut Bappenas, langkah-langkah yang harus diambil untuk kelanjutan proyek geo-termal diharapkan akan diputuskan pada bulan Juni 1998.”. Di dalam pertemuan tersebut, dinyatakan pula bahwa: "Pertamina mendapatkan prakarsa dari perusahaan industri swasta untuk mengatur suatu seminar para pengusaha industri dan Menteri Pertambangan dan Energi yang baru dengan tujuan memberitahu Menteri tersebut mengenai posisi dan pentingnya industri geo-termal." Adapun waktu yang diajukan untuk pengadaan seminar tersebut adalah bulan Oktober 1998, yang mendorong wakil KBC memberikan tanggapan bahwa "bulan Oktober tampaknya terlalu terlambat dan dapat membuat para investor kehilangan kesabaran."

Majelis arbitrase menghargai fakta bahwa Pertamina telah mengirim surat pada tanggal 11 Juni 1998 kepada Direktur Jenderal Minyak dan Gas. Meskipun demikian surat tersebut tidak memperlihatkan usaha keras untuk membuat proyek Karaha Bodas dilanjutkan kembali. Surat tersebut merupakan permohonan untuk mendapatkan penjelasan perihal situasi 6 bulan setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 dan 5 bulan setelah dikeluarkannya surat Pertamina tertanggal 11 Februari 1998.

Surat tersebut isinya adalah sebagai berikut:

Sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 5 pada tahun 1998 tertanggal 10 Januari 1998 sampai sekarang ini tidak ada tanda-tanda apapun dari Pemerintah yang menunjukkan bahwa proyek akan dilanjutkan kembali, sementara PT PLN (Persero) melalui surat Presiden Direktur bernomor n.107/037/DIRUT/1998-R/M dan n.114/037/DIRUT/1998-R/M tertanggal 6 Maret 1998 telah memberitahu seluruh kontraktor JOC bahvva seluruh risiko yang muncul akibat aktivitas pelaksanaan JOC yang tunduk pada Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997 dan Nomor 5 Tahun 1998 harus ditanggung dan dipertanggungjawabkan masing-masing.

(27)

Kondisi yang tidak dikonfirmasi ini mengakibatkan kesulitan bagi para kontraktor JOC untuk membuat rencana selanjutnya, karena menurut pernyataan PT PLN (Persero), komunikasi di dalam Forum JCM telah terhenti. Sementara itu pertemuan JCM sangatlah penting untuk mengantisipasi apa yang sebelumnya harus dilakukan, apabila proyek dilanjutkan kembali.

Lebih lanjut lagi kondisi ini memiliki dampak langsung untuk menghentikan setiap aktivitas sehubungan dengan negosiasi kontraktor proyek geo-termal yang memiliki Surat Izin Utama dari Menteri Pertambangan dan Energi.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, kami ingin mengajukan permohonan kepada Pemerintah untuk sedini mungkin memberikan penjelasan dan bimbingan sehubungan dengan kelanjutan proyek geo-termal berdasarkan Keppres No. 39/1997 dan No. 5/1998 dan negosiasi selanjutnya JOC dan ESC yang telah memiliki Surat lzin Utama.

Untuk pertimbangan anda dan peninjauan kembali, bersama ini kami lampirkan status proyek geo-termal di daerah di mana JOC dan ESC ditugaskan, dan laporan kemajuan yang telah dicapai di dalam prospek negosiasi JOC dan ESC yang sudah mendapatkan Surat Izin dari Menteri Pertambangan dan Energi.

Menurut majelis arbitrase surat tersebut menyatakan bahwa Pertamina dalam pertemuan tanggal 8 Mei telah menyinggung mengenai KBC dan keputusan tentang hal itu diharapkan akan diambil pada bulan Juni 1998, sehingga hal ini seolah-olah hanya mengemukakan harapan-harapan yang tidak ada dasarnya. Surat ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa Pertamina tidak melakukan apa-apa sejak tanggal 10 Februari 1998 untuk melanjutkan proyek, dan PLN masih berpegang teguh dengan isi surat tertanggal 6 Maret 1998.

Di dalam situasi ini, majelis arbitrase berkesimpulan bahwa Pertamina telah melanggar kewajiban masing-masing berdasarkan ESC Pasal 15.1 dan JOC Pasal 21.1. Pelanggaran tersebut menjadi berat berdasarkan keputusan

(28)

untuk tidak memenuhi kontrak sebagai akibat dari Keppres dan pelanggaran kewajiban atas pelaksanaan kontrak dengan itikad baik. Tidak memenuhi kontrak untuk sementara waktu karena keputusan pemerintah merupakan satu hal yang tergantung pada alokasi risiko di antara para pihak, di mana itikad baik tidak dipersoalkan. Akan tetapi sebaliknya, jika pihak pelanggar kontrak lalai melakukan usaha sebaik mungkin untuk membatalkan keputusan pemerintah, sedangkan menurut kontrak pihak itu berkewajiban untuk melakukan usaha tersebut, serta mereka dalam kedudukan untuk ikut campur secara efisien (sebagaimana halnya PLN dan Pertamina), maka kegagalan atas kewajiban pemenuhan kontrak dengan itikad baik dan kewajiban berdasarkan hukum yang harus dilaksanakan oleh pihak tersebut membuat kedua pelanggaran tersebut sangat berhubungan.

Demikian pula, meskipun Pertamina telah melakukan usaha yang terbaik demi kelanjutan proyek Karaha Bodas, menurut Kontrak mereka tetap telah melakukan pelanggaran terhadap kewajiban melaksanakan kontrak, karena Keppres tidak dapat dijadikan alasan yang sah untuk tidak melaksanakan kewajiban mereka. Kesimpulan ini dikuatkan oleh kenyataan bahwa Pertamina selanjutnya wajib untuk menolong KBC dalam hubungannya dengan Pemerintah.66

Dengan beberapa dasar argumentasi di atas, tanpa perlu membuat pertimbangan atas pelanggaran lainnya dari Pertamina, majelis arbitrase memutuskan bahwa Pertamina sebagai tergugat telah melanggar kewajiban mereka menurut ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam ESC dan JOC.

66

Lihat Pasal 11.2 (c) dan (d) JOC; dan Pasal 4.3 ESC, sebagaimana diacu oleh majelis arbitrase melalui Putusan Awal bahwa di dalam kontrak, Pertamina dan Pemerintah Indonesia adalah dua pihak yang berbeda. Dengan tidak memenuhi tanggungjawab menolong KBC tersebut, hal ini menambah berat pelanggaran akibat kegagalan memenuhi kedua kontrak akibat dikeluarkannya Keppres.

(29)

b. Masalah Pengakhiran Kontrak

Persoalan lainnya yang mendapatkan putusan Arbitrase UNCITRAL adalah: “Apakah kontrak/perjanjian perjanjian jual beli energi (ESC) dan/atau perjanjian kerja sama operasional (JOC) harus diakhiri?” Untuk itu, perlu diketahui lebih dahulu argumentasi KBC dan posisi Pertamina dalam kaitannya dengan pengakhiran kontrak.

1) Argumentasi KBC

Menurut KBC, tindakan Pertamina dan PLN merupakan penolakan yang sudah dipersiapkan, terhadap kewajiban masing-masing untuk membeli dan menjual listrik yang dihasilkan oleh KBC sesuai dengan harga berdasarkan kontrak. Dengan mengetengahkan bukti yang disampaikan oieh saksi ahli Bapak Dermawan yang menyatakan bahwa di dalam hukum Indonesia tidak ada konsep "anticipatory repudiation" (penolakan pembayaran hutang yang sebelumnya sudah direncanakan), KBC menekankan bahwa maksud pernyataan untuk tidak lagi terikat dengan kontrak merupakan pelanggaran terhadap kewajiban untuk melaksanakan kontrak atau perjanjian dengan itikad baik. hukum Indonesia mengijinkan pemutusan kontrak apabila salah satu pihak secara material telah melanggar kontrak.

KBC menunjuk isi Pasal 12.1 ESC dan Pasal 20 JOC sebagai berikut: "Para pihak dengan ini mengabaikan ketentuan dalam Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata bekenaan dengan Perjanjian ini untuk memberikan keleluasaan yang diperlukan untuk mengakhiri Perjanjian ini tanpa melalui persetujuan Pengadilan." Sebagai alternatif dari pemutusan atau pemberhentian kontrak tersebut, di dalam Pernyataan Tuntutan yang teiah diperbaiki tertangal 24 Nopember 1999, KBC meminta pelaksanaan perjanjian khusus.

(30)

2) Posisi Pertamina

Pertamina tidak mengakui bahwa mereka telah menolak kontrak yang sudah disepakati dan menekankan bahwa konsep penolakan kontrak yang sudah diantisipasi tidak ada di dalam hukum Indonesia. Walaupun mereka mengakui bahwa pemutusan kontrak yang berdasarkan hukum dapat saja terjadi dalam kasus pelanggaran, akan tetapi mereka menekankan bahwa satu pihak tidak dapat mempercepat pelaksanaan kewajiban pihak lainnya. Selanjutnya mereka menyatakan bahwa pemutusan kontrak bukanlah tuntutan atas tindakan yang berhubungan dengan pemerintah sesuai dengan isi Kontrak.

3) Dasar dan putusan majelis arbitrase

Dengan membahas berbagai konsep perihal penolakan dan pemutusan kontrak, KBC sesungguhnya telah memberikan masukan yang cukup lengkap sehubungan dengan hal ini. Lebih jauh majelis arbitrase mengacu pada Bapak Dermawan, saksi ahli Pertamina, bahwa berdasarkan hukum Indonesia, konsep penolakan kontrak di dalam hukum adat tidak cocok apabila dimasukkan di dalam hukum perdata. Sebaliknya, di dalam sistem hukum perdata terdapat konsep pemutusan akibat pelanggaran.

Namun demikian, apabila konsep penolakan tersebut diterima di dalam sistem hukum Indonesia, maka majelis arbitrase tetap memutuskan hahwa PLN ataupun Pertamina sesungguhnya telah melanggar Kontrak. PLN secara langsung, Pertamina secara tidak langsung telah menyatakan bahwa mereka menangguhkan pelaksanaan kontrak untuk sementara waktu sebagai akibat dari Keputusan Presiden Tahun 1998. Karena mereka tidak memiliki alasan sah untuk melakukan hal tersebut, tindakan ini merupakan pelanggaran kontrak. Kegagalan untuk berusaha sebaik mungkin demi dilanjutkannya kembali proyek Karaha Bodas memperberat pelanggaran pertama yaitu pelanggaran untuk melakukan pelaksanaan kontrak dengan

(31)

itikad baik. Pelanggaran-pelanggaran tersebut memberikan hak bagi KBC untuk memutuskan kontrak. Pelanggaran kontrak merupakan alasan yang mendasar untuk pemutusan kontrak berdasarkan hukum Indonesia.67

Sehubungan dengan klausula-klausula yang ditulis di dalam kontrak, majelis arbitrase memiliki kekuasaan perihal pemutusan Kontrak. Dalam kedua kontrak para pihak telah menerima bahwa kontrak dapat diputuskan oleh salah satu pihak tanpa melalui persetujuan pengadilan.68

Karena itu, mereka menerima bahwa pengakhiran dapat diputuskan oleh Pengadilan Arbitrrase. Jadi meskipun tidak ada ketentuan-ketentuan di dalam kontrak tersebut, majelis arbitrase berkuasa mengakhiri kontrak cukup dengan menunjuk pada kesepakatan para pihak untuk mengajukan sengketa-sengketa mereka agar diputuskan melalui arbitrase. Dengan melakukan hal ini, para pihak telah memberikan wewenang hukum kepada majelis arbitrase untuk memutuskan kontrak.

Majelis arbitrase berpendapat bahwa tidak ada satupun ketentuan dari kedua Kontrak yang dapat dianggap menghalangi pemutusan kontrak. Pasal 11.3 ESC mengharuskan agar pihak yang lalai mengirim pemberitahuan perihal kelalaian tersebut sebelum pihak lainnya memutuskan kontrak, dan pihak yang lalai tersebut diberi "jangka waktu yang cukup untuk memperbaiki kesalahan tersebut sesuai dengan kesepakatan bersama." Mekanisme tersebut yang disusun berkenaan dengan pemutusan kontrak tidak dapat diterapkan di dalam pemutusan yang dilakukan oleh majelis arbitrase. Hal ini pada dasamya diterapkan terhadap kasus-kasus di mana para pihak setuju

67

Meskipun majelis arbitrase selalu mengacu pada peraturan hukum Indonesia, koordinator pengacara Pertamina kepada penulis (dalam wawancara 21 Maret 2005) menyatakan bahwa majelis arbitrase telah salah menerapkan hukum karena tidak menggunakan hukum Indonesia sebagai governing law; padahal pilihan hukumnya (choice of law) yaitu: hukum Indonesia telah ditentukan secara tegas di dalam perjanjian. Dikatakannya bahwa mereka justru menggunakan hukum Swiss, dan hanya hukum acaranya (procedural law) menggunakan ketentuan UNCITRAL.

68

(32)

bahwa kelalaian dapat diperbaiki, karena mereka harus menyetujui tenggang waktu yang diperlukan untuk memperbaiki kelalaian tersebut.

Hal ini tidak berlaku apabila salah satu pihak menyampaikan tuntutan akibat pelanggaran pihak lain yang kemudian pihak lain tersebut tidak mengakuinya. Di dalam kasus ini, peraturan pemutusan kontrak yang diterapkan adalah peraturan berdasarkan hukum yang berlaku.

Selanjutnya majelis arbitrase menggarisbawahi fakta berikut ini, yaitu enam tahun telah lewat setelah pelaksanaan kontrak dan hampir tiga tahun sejak dikeluarkannya Keppres No. 5 Tahun 1998 yang memutuskan kontrak. Karena itu, dengan menimbang bahwa Pertamina telah gagal melakukan usaha sebaik mungkin demi diteruskannya proyek tersebut dalam waktu dekat, tidaklah masuk akal untuk tetap mempertahankan ikatan para pihak dengan kontrak yang juga bertolakbelakang dengan kepentingan semua pihak, pokok dasar kontrak, dan tujuan yang sah dari masing-masing pihak yang semuanya ini harus dihormati oleh majelis arbitrase berdasarkan Pasal 13.2 JOC dan Pasal 8.2 (h) ESC.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka majelis arbitrase menyatakan bahwa kontrak JOC dan ESC diputuskan atau diberhentikan. Dengan demikian tuntutan KBC terhadap pelaksanaan tertentu, yang disampaikan di dalam alternatif, sebaiknya diabaikan.

c. Ganti Kerugian atas Kehilangan Modal

Perlu digarisbawahi bahwa dalam kasus pelanggaran kontrak, pihak yang dirugikan berhak untuk menuntut ganti kerugian. Prinsip hukum umum ini juga merupakan bagian dari hukum Indonesia dan tidak dibantah oleh para pihak. Jadi, Pertamina berkewajiban membayar ganti kerugian terhadap KBC karena Pertamina telah melanggar kewajiban yang tercantum di dalam kontrak. Namun demikian, jumlah ganti kerugian tersebut harus diperhitungkan dan dinyatakan.

(33)

KBC mengajukan permohonan untuk memperoleh ganti kerugian atas biaya yang telah dikeluarkan dan sebagai alternatif terhadap ganti kerugian akibat kehilangan modal, KBC minta agar Pertamina secepatnya mengirimkan sejumlah uang.

1) Argumentasi KBC

KBC terutama menuntut untuk mendapatkan ganti kerugian atas sejumlah uang yang telah dipakai untuk modal ditambah bunga sebesar 15–16 persen dari jumlah tersebut. Menurut KBC tuntutan ini didasarkan pada konsep pendekatan ganti kerugian berdasarkan kontrak yang dinamakan damnum emergens (kerugian yang sebenarnya dan bukan yang diantisipasi), yang sesungguhnya telah diterapkan oleh berbagai arbitrase internasional. Demikian pula berdasarkan asumsi bahwa hukum Indonesia dan prinsip yang dipakai di dalam arbitrase internasional (yang telah diterima dengan baik) memberikan ijin bagi KBC sebagai pengugat untuk menerima ganti kerugian sesuai dengan prinsip keadilan.

KBC berpatokan pada bukti yang memperlihatkan bahwa ia telah menggunakan uang sejumlah 94,6 (sembilan puluh empat koma enam) juta dolar Amerika demi mencapai tujuan yang tercantum di dalam kontrak atau perjanjian. KBC menyatakan bahwa berdasarkan dokumen dan kesaksian Mr. Dan Campbell dan Mrs. Barbara Bishop Gollan, yang telah diuji di dalam pemeriksaan silang saksi, ditetapkan bahwa ongkos yang telah dikeluarkan oleh KBC adalah sehubungan dengan pembiayaan yang secara khusus berhubungan dengan eksplorasi dan pembangunan proyek. Akibatnya, jumlah 94,6 juta dolar tidak selayaknya dibantah dan harus dibayar bersama dengan bunganya.

Sehubungan dengan hukum Indonesia yang membahas pula masalah damnum emergens, maka menurut KBC, tidaklah menjadi masalah apabila proyek tersebut tidak diselesaikan sesegera mungkin untuk memperoleh

(34)

keuntungan; KBC tidak dapat diasumsikan sebagai pihak yang harus menanggung biaya pelaksanaan proyek sebagai akibat dari kegagalan pelaksanaan karena hal-hal di luar kekuasaan pihak tersebut.

KBC bersamaan dengan ini menolak argumentasi Pertamina yang mempertanyakan kepatutan jumlah biaya KBC. Dari sudut pandang KBC, tanpa perlu harus menetapkan kepatutan jumlah biaya yang dikeluarkan KBC, jumlah tersebut adalah bukti pengeluaran yang dipakai untuk proyek, bukan untuk maksud lainnya. Selanjutnya, KBC menyatakan bahwa seluruh kesaksian para saksi dari KBC menunjukkan bahwa biaya tersebut dikeluarkan berdasarkan keputusan yang hati-hati dan wajar.

2) Argumentasi Pertamina

Karena menyangkut masalah prinsip, Pertamina menolak bahwa KBC berhak memperoleh ganti rugi atas ongkos yang dikeluarkan untuk pembangunan proyek. Pertamina yakin bahwa KBC sendiri mengakui dengan suratnya kepada Pertamina tertanggal 9 September 1997 dan Laporan Keuangan, bahwa pada saat kontrak JOC dan ESC disepakati bersama, pihak ini telah mengasuransikan risiko yang mungkin terjadi; risiko tersebut yaitu, apabila belum ada keuntungan yang cukup dari hasil penjualan listrik kepada PLN, yang dapat menutupi ongkos pembiayaan, maka mereka tidak dapat memperoleh ganti rugi atas biaya yang telah dikeluarkan.

Pertamina tetap berkeyakinan bahwa sebagai pihak yang mengajukan permohonan pemberhentian proyek, KBC harus menanggung sendiri konsekuensi dari tidak adanya keuntungan yang dihasilkan untuk menutupi biaya yang sudah dikeluarkan. Pertamina menuduh bahwa KBC telah mengeluarkan ongkos yang sia-sia karena tidak tepat dan tidak efisien dalam melakukan eksplorasi sehingga Pertamina sendiri tidak memperoleh keuntungan apapun.

(35)

Berdasarkan laporan ahli yang diajukan oleh Pertamina dinyatakan bahwa KBC selama dua tahun melakukan eksplorasi di utara Karaha, daerah yang tidak produktif, dan mereka tidak mendapat manfaat apa-apa dari program penelitian geologi yang mengukur kadar konduktivitas listrik pada batu yang apabila tidak dilakukan sesungguhnya dapat menghemat jutaan dolar. KBC pada tahap berikutnya telah salah memilih daerah proyek yaitu daerah kawah di Telaga Bodas, yang disinyalir mengandung zat-zat kimia yang membuat daerah tersebut tidak aman untuk pengolahan sumber panas bumi, akibatnya, dari segi komersialisasi usaha pembangunan tersebut tidak praktis.

Meskipun Pertamina menyatakan bahwa tidak seharusnya ada ganti rugi atas biaya yang dikeluarkan untuk eksplorasi dan pembangunan, Pertamina mengajukan permohonan berikut: "putusan apapun harus dikurangi, sedikit-dikitnya sebesar 32,2 (tigapuluh dua koma dua) Juta Dolar Amerika sebagai biaya yang dikeluarkan sia-sia sesuai dengan dokumentasi yang diserahkan oleh Mr. Layman."

Pertamina juga tetap berkeyakinan bahwa biaya yang diklaim KBC termasuk jutaan dolar yang telah dikeluarkan oleh Pertamina dengan tujuan pembangunan dan infrastruktur serta untuk pelatihan para teknisi tidak lagi bermanfaat apa-apa sebagaimana diakui oleh KBC sendiri di dalam upaya pendekatannya dengan pemerintah Indonesia pada September 1997.

Pertamina menyampaikan pula masalah pengeluaran tertentu yang dikeluarkan oleh pemegang saham KBC yaitu PT Sumarah. Pengeluaran tersebut dinyatakan sebagai "ongkos pembiayaan" dan "pengeluaran kantor pusat” yang jumlahnya sebesar beberapa persen yang telah disetujui dari pengeluaran total KBC. Pertamina seharusnya tidak mengganti pembayaran kepada PT Sumarah dalam bentuk apapun yang disebutnya sebagai "pembayaran tidak tercatat dan tidak beralasan."

(36)

Akhimya, Pertamina menolak dengan menyatakan bahwa putusan apapun terhadap KBC sehubungan dengan biaya pembangunan tersebut adalah dalam bentuk Rupiah Indonesia, dan bukan Dolar Amerika, serta harus berdasarkan pengeluaran dalam nilai uang Rupiah sesuai dengan nilai tukar uang pada saat biaya tersebut dikeluarkan.

Dengan mempertimbangkan turunnya nilai uang Rupiah terhadap Dolar Amerika secara drastis setelah hampir seluruh biaya dikeluarkan, Pertamina menyatakan bahwa sangat melampaui batas dan tidak adil apabila putusan ganti rugi dihitung dalam Dolar Amerika.

3) Penilaian majelis arbitrase dan putusan

Berdasarkan permasalahan yang dibahas di dalam Arbitrase sekarang ini, hubungan kontrak di antara para pihak dikategorikan ke dalam Long Term International Development Agreements (Perjanjian Pembangunan Internasional Jangka Panjang), di mana penanam modal asing berasumsi pada pelaksanaan awal mengenai kewajiban pokok bahwa pembiayaan, tahap perencanaan, konstruksi, dan pengoperasian alat-alat teknologi modern untuk membangun sarana industri dalam rangka pendayagunaan sumber alam yang tersedia di dalam wilayah Indonesia adalah demi kepentingan masyarakat umum. Dengan melakukan komitmen tersebut, penanam modal asing selama ketentuan di dalam kontrak masih berlaku yang pada akhirnya memberikan hasil kepada masyarakat umum, berhak tidak saja memperoleh kembali modal yang ditanam pada tahap awal, namun juga keuntungan tertentu yang telah dijamin di mana laba bersih telah ditetapkan dan disetujui bersama di dalam analisis keuangan.

Hubungan antara hak dan kewajiban para pihak tercermin di dalam struktur kontrak tersebut yang membawa pada kesimpulan yang logis dan tidak dapat dihindari bahwa pada saat penanam modal terhalangi untuk melaksanakan kontrak yang mengikat yang disebabkan oleh hal-hal di luar

(37)

kekuasaannya, penanam modal tidak menanggung konsekuensinya. Di sini, penanam modal asing berhak memperoleh ganti rugi dari seluruh modal yang ditanam sebagai bagian penting dari kompensasi tersebut. Artinya, akibat pembatalan atas pekerjaan yang sebelumnya telah diselesaikan, yang hal ini telah diantisipasi di dalam kontrak, maka penanam modal harus mendapat ganti rugi atas pengeluaran yang telah dibuktikan.

Perlu dicatat bahwa Pasal 1.1 JOC mewajibkan KBC mengatur keuangan untuk pembiayaan “berbagai aspek” dalam rangka "pengoperasian geo-termal” yang didefinisikan sebagai “seluruh aktivitas apapun dalam bentuk eksplorasi, penemuan, pembangunan, dan produktivitas, pembangunan Fasilifas Lapangan dan Pembangkit Tenaga Listrik," dan juga "pemasokan dan penjualan Energi Geo-termal (Panas Bumi) dan Listrik yang kemudian dihasilkan."

Sehubungan dengan pelaksanaan aktivitas tersebut di atas dan dengan adanya pembiayaan penuh oleh KBC, sesuai dengan ketentuan Pasal 5.1, telah diberikan kepada KBC "lisensi dan hak tersendiri dan yang tidak dapat dibatalkan selama ketentuan kontrak berlaku untuk menggarap daerah yang dicantumkan di dalam kontrak." Hal ini mengandung pengertian bahwa KBC mendapatkan ijin untuk selama 30 tahun memperoleh Iaba bersih. Bersamaan dengan jaminan dasar lainnya yang diberikan kepada KBC, bentuk-bentuk jaminan yang tercantum di dalam Pasal 6.3 JOC adalah berkaitan dengan "Listrik yang Dihasilkan".

Dalam kaitan dengan masalah ini, ESC yang disusun oleh PLN berisi berbagai ketentuan yang memberikan hak dan kewajiban yang sama, dan juga jaminan atas pembelian listrik yang dihasilkan menurut harga yang telah dijamin yang dihitung berdasarkan ongkos dalam nilai uang yang dari awal telah ditentukan oleh KBC; yaitu dalam Dolar Amerika (Pasal 1, 2 dan 5 ESC).

(38)

Terkait dengan keseluruhan masalah, majelis arbitrase terikat untuk menghormati ketentuan yang tercantum di dalam kontrak yang menggambarkan filosofi keseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak, khususnya berdasarkan pedoman yang disusun dan diberikan di antara para pihak di dalam Pasal 13.2 (b) JOC dan Pasal 8.2 (b) ESC. Di dalam peraturan telah ditentukan dengan jelas dan langsung, di satu pihak, bahwa pemahaman dan penerapan hukum yang dipilih, yang adalah hukum Indonesia, harus dilaksanakan dengan sikap "konsisten sesuai dengan jiwa Kontrak dan hal-hal yang mendasari keinginan para pihak," dan sikap pelaksanaan hukum tersebut di pihak lain mensyaratkan "harus mencerminkan penilaian atas penafsiran yang benar atas semua ketentuan-ketentuan yang berkaitan serta pelaksanaan yang adil dan tepat atas isi Perjanjian sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut." Oleh sebab itu, pemberian mandat tertinggi untuk memilih cara penyelesaian perkara bertujuan mencapai keinginan mendasar dan keinginan sah para pihak secara tepat, sebagaimana dimengerti melalui struktur teks secara keseluruhan dari dokumen kontrak atau perjanjian.

Bersamaan dengan hal tersebut, perlu diperhatikan pendapat hukum yang disampaikan oleh para ahli dari kedua pihak.69 Hal ini sehubungan dengan fakta yang tertulis di dalam KUHPerdata Pasal 1423 - 1252, yaitu hukum yang telah dipilih untuk diterapkan, yang memberikan hak kepada pihak yang tidak melanggar kontrak untuk menuntut uang damnum emergens, ganti rugi atas ongkos yang dikeluarkan untuk pelaksanaan yang tercantum di dalam kontrak.

Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, majelis arbitrase berpendapat bahwa KBC harus mendapatkan ganti rugi damnum emergens bersama-sama dengan ganti rugi atas pengeluaran dalam rangka pelaksanaan kedua

69

Ahli hukum yang diminta kesaksiannya dari Pertamina adalah Didi Dermawan, sedangkan Robert Hornick adalah saksi ahli KBC.

(39)

kontrak yang disusun bersama Pertamina, yaitu melalui perolehan kembali modal yang telah ditanam untuk melaksanakan kegiatan yang tercantum di dalam JOC bersama dengan Pertamina dengan pertimbangan akan ada keuntungan yang dihasilkan di masa mendatang sebagaimana tercantum di dalam ESC bersama-sama dengan PLN.

Bertolakbelakang dengan keberatan yang diajukan oleh Pertamina, karena apabila KBC meragukan haknya untuk memperoleh kembali sejumlah uang yang telah ditanam untuk pelaksanaan proyek (yang didasarkan pada bukti-bukti pribadi sampai pada kesimpulan), maka hal ini berarti KBC menolak haknya dalam bentuk apapun yang tercantum di dalam kontrak atau peraturan hukum.

Dalam bentuk pernyataan yang lebih konkrit, pandangan Pertamina dalam hal ini tidak konsisten dengan surat KBC kepada Pertamina tertanggal 9 September 1997, maupun Laporan Keuangan atau dokumen berikutnya yang terkait dengan pendekatan KBC terhadap Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Amerika Serikat. Sementara itu, KBC sendiri secara terus-menerus telah menekankan perihal risiko yang timbul akibat perpanjangan penangguhan proyek dalam bentuk kerugian uang serta akibat biaya yang sebelumnya telah dikeluarkan untuk proyek.

Di bawah ini adalah jawaban terhadap argumentasi Pertamina yang menyatakan bahwa sebesar 32,2 (tigapuluh dua koma dua) juta dolar Amerika yang dikeluarkan oleh KBC adalah sia-sia karena program eksplorasi yang dilakukan KBC tidak tepat dan tidak efisien sehingga tidak memberikan manfaat apa-apa bagi Pertamina. Berdasarkan laporan ahli dari Pertamina yang diserahkan di dalam sidang pemeriksaan, majelis arbitrase yang bertugas setuju sepenuhnya terhadap putusan yang disampaikan oleh majelis arbitrase dalam kasus Himpurna California Energy yang dengan jelas menyatakan bahwa: "Di dalam kasus pelanggaran kontrak, ongkos yang dikeluarkan oleh Penggugat adalah sia-sia jika biaya yang dikeluarkan tidak

Referensi

Dokumen terkait

Dari pertimbangan hukum tersebut, maka pada akhirnya Majelis Hakim pemeriksa perkara menjatuhkan putusan yang inti amarnya: pertama, mengabulkan gugatan Penggugat untuk

Merujuk pada Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-192/PJ./2002 tanggal 15 April 2002 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan dan/Pemungutan Pajak

a) Putusan bebas, dalam hal ini terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan hukum. Bedasarkan Pasal 191 ayat 1 KUHAP putusan bebas terjadi apabila pengadilan

Surabaya pada putusan No.31/ARB/BANI-SBY/l/2012, dimana amar putusannya adalah: (a) Mengabulkan untuk sebagian atas permohonan yang diajukan oleh Pemohon telah sesuai

Untuk SBI dengan jangka waktu 1 ( satu ) bulan sebagaimana contoh diatas, jangka waktu yang dinyatakan dalam hari dihitung dari tanggal 5 April 2002 atau satu hari sejak

Tuntutan yang tak dipenuhi, membuat DPRD Tingkat I Kalimantan Timur mengeluarkan sebuah resolusi tanggal 25 Februari 1959 dengan No. Res/3/DP- RD.1/59 yang isinya mendesak

18/PUU-XVII/2019 Terhadap kewenangan lembaga peradilan dalam memutuskan eksekusi jaminan fidusiaAMAR PUTUSAN Mengadili : 1.Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

Hakim dalam putusan ini mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian, menyatakan bahwa tergugat I dan II bukan sebagai ahli waris yang sah dan berhak menerimanya adalah merupakan