• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat a. Gugatan Pertamina atas Putusan Arbitrase UNCITRAL

Dalam dokumen Gatot Soemartono KASUS KARAHA BODAS (Halaman 60-73)

Atas putusan majelis arbitrase UNCITRAL di Jenewa tersebut, Pertamina melakukan upaya hukum pembatalan putusan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Alasan-alasan yang digunakan Pertamina untuk meminta pembatalan putusan arbitrase luar negeri adalah, karena putusan melanggar ketentuan-ketentuan Konvensi New York 1958 (melalui Keppres No. 34 Tahun 1981) dan Ketentuan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, serta klausula arbitrase yang menjadi sumber utama wewenang majelis arbitrase yang bersangkutan.74

Menurut Pertamina, putusan arbitrase UNCITRAL 18 Desember 2000 memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut:

1. Majelis arbitrase telah melampaui wewenangnya karena tidak mempergunakan hukum Indonesia, padahal hukum Indonesia merupakan pilihan hukum (choice of law) yang harus dipergunakan. Untuk itu Pertamina menguraikan lebih jauh, yaitu:

a. Telah disebutkan dalam hal timbul sengketa antara Pertamina dan KBC, penyelesaiannya akan ditempuh dengan arbitrase berdasarkan ketentuan Arbitrase UNCITRAL (UNCITRAL Arbitration Rules). Hukum yang telah dipilih oleh Pertamina dan KBC adalah hukum Indonesia secara berturut-turut dalam Perjanjian JOC Pasal 20, dan dalam Perjanjian ESC Pasal 12.

b. Majelis arbitrase, berdasarkan UNCITRAL Arbitration Rules, Pasal 33 ayat (1) seharusnya mempergunakan hukum yang telah dipilih oleh Pertamina dan KBC, yang adalah hukum Indonesia.

c. Namun ternyata majelis arbitrase di Jenewa, dalam pertimbangan Putusan Arbitrase UNCITRAL tidak menghiraukan dan telah

74

Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST tanggal 19 Agustus 2002.

mengenyampingkan dan telah melanggar ketentuan-ketentuan hukum Indonesia yang seharusnya diperlukan.

d. Adapun ketentuan-ketentuan hukum Indonesia yang telah dilanggar oleh majelis arbitrase dalam Perjanjian JOC adalah sebagai berikut: 1) Putusan Arbitrase Jenewa tidak mengindahkan dan secara keliru

menafsirkan ketentuan tentang force majeure menurut hukum Indonesia. Beberapa argumentasi yang digunakan adalah:

a) Putusan arbitrase tertanggal 18 Desember 2000 secara keliru mempertimbangkan bahwa menurut Pasal 15.2 (e) JOC dan Pasal 9.2 (e) ESC maka suatu peristiwa yang berhubungan dengan pemerintah (Government Related Event) dianggap sebagai peristiwa force majeure (keadaan memaksa) yang hanya berlaku terhadap KBC dan tidak berlaku bagi Pertamina. b) Para arbitrator dalam memberikan pertimbangannya

berpendapat bahwa dikeluarkannya Keputusan Presiden RI No. 5 Tahun 1998 dianggap sebagai suatu keadaan force majeure hanya bagi KBC sehingga KBC dibenarkan untuk tidak melakukan dan memenuhi kewajibannya dari JOC dan ESC sedangkan bagi Pertamina Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 tidak dapat dijadikan alasan force majeure sehingga tetap harus melaksanakan segala kewajibannya dalam JOC dan ESC. Dalam kaitan itu, tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban oleh Pertamina tersebut, maka Pertamina dianggap telah melakukan wanprestasi dan karenanya dihukum untuk membayar kerugian kepada KBC kurang lebih sebesar US$ 270.000.000,- (dua ratus tujuh puluh juta dollar Amerika Serikat).

c) Pertimbangan putusan arbitrase tersebut adalah keliru karena adanya keharusan untuk menangguhkan proyek PLTP Karaha

(PLN Tahap I) sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Presiden adalah bukan karena kesalahan Pertamina tetapi adalah suatu tindakan kebijaksanaan pemerintah untuk mengatasi gejolak krisis moneter yang dihadapi oleh Indonesia yang berada di luar kemampuan Pertamina untuk dapat merubahnya.

d) Perintah penangguhan yang dikeluarkan oleh Keputusan Presiden tersebut bersifat memaksa dan merupakan suatu peristiwa force majeure yang berlaku baik bagi Pertamina maupun KBC.

e) Walaupun ketentuan dalam Perjanjian JOC dan Perjanjian ESC menyatakan bahwa suatu peristiwa yang berhubungan dengan pemerintah dianggap sebagai suatu peristiwa force majeure (keadaan memaksa) berkenaan dengan KBC tetapi pada kenyataannya Pertamina sebagai BUMN harus tunduk dan mematuhi Keputusan Presiden sehingga force majeure berlaku juga bagi Pertamina dan KBC.

f) Berdasarkan Pasal 1339 KUHPerdata maka suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Bahwa menurut rasa keadilan dan kebiasaan dan undang-undang maka suatu peristiwa force majeure terutama satu kebijaksanaan pemerintah berlaku terhadap semua pihak termasuk Pertamina.

2) Adanya peristiwa force majeure menurut hukum Indonesia membebaskan Pertamina dari kewajiban untuk membayar penggantian biaya, kerugian, dan bunga.

merupakan suatu peristiwa force majeure maka berdasarkan Pasal 1245 KUHPerdata tidak seharusnya putusan arbitrase menghukum Pertamina untuk membayar kerugian sebesar kurang lebih US$ 270.000.000,- (dua ratus tujuh puluh juta dollar Amerika Serikat).

2. Kelemahan lainnya adalah putusan Arbitrase UNCITRAL pelaksanaannya harus ditolak karena bertentangan dengan ketertiban umum Republik Indonesia. Penasihat hukum Pertamina dalam penjelasannya menggunakan beberapa argumentasi sebagai berikut:

a. Pasal 1337 menentukan bahwa suatu causa adalah terlarang apabila hal tersebut dilarang oleh Undang-undang atau bertentangan dengan ketertiban umum. Bahwa sebagaimana telah dikemukakan maka Perjanjian JOC dan Perjanjian ESC tidak dapat diteruskan pelaksanaannya karena telah ditangguhkan oleh Keputusan Presiden RI.

b. Sebagaimana dapat dibaca dari pertimbangan yang diberikan dalam Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 tersebut maka dalam upaya mengatasi gejolak moneter yang dihadapi oleh negara Indonesia yang timbul sejak tahun 1997 dan demi untuk penghematan di semua bidang maka pemerintah Indonesia menganggap perlu untuk menangguhkan proyek-proyek yang membutuhkan dana yang besar antara lain proyek PLTP Karaha (Tahap I PLN) yang diadakan berdasarkan perjanjian JOC dan ESC.

c. Dengan demikian Keputusan Presiden RI No. 5 Tahun 1998 tersebut dikeluarkan oleh Pemerintah RI demi kepentingan penyelamatan negara dan rakyat Indonesia yang sedang menghadapi krisis ekonomi khususnya yang diakibatkan antara lain oleh depresiasi mata uang rupiah terhadap nilai tukar US dollar yang pada saat itu mencapai lebih dari 30% sehingga apabila proyek PLTP tersebut diteruskan pasti

akan menimbulkan beban keuangan yang sangat berat bagi negara dan rakyat Indonesia. Oleh karenanya demi untuk menjaga ketertiban umum maka pemerintah Indonesia memandang perlu untuk menangguhkan proyek PLTP Karaha (Tahap PLN I) tersebut.

d. Oleh karena itu putusan arbitrase internasional tanggal 18 Desember 2000 tidak dapat dilaksanakan karena bertentangan dengan ketertiban umum Republik Indonesia. Alasan ketertiban umum juga ditentukan dalam Pasal 66 UU Arbitrase No. 30 Tahun 1999 sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh suatu putusan arbitrase internasional untuk dapat dilaksanakan.

3. Perjanjian JOC dan ESC tidak mempunyai kekuatan hukum karena pelaksanaannya mengandung suatu causa yang terlarang. Sebagai dasar alasannya, Pertamina menyatakan bahwa:

a. Dalam rangka pelaksanaan Perjanjian JOC dan ESC, yang tetap dilakukan KBC meskipun telah diterbitkan Keppres No. 39 Tahun 1997 dan Keppres No. 5 Tahun 1998 oleh pemerintah Republik Indonesia yang secara tegas telah menangguhkan pelaksanaan kontrak perjanjian JOC dan ESC, KBC ternyata telah berhasil memperoleh putusan arbitrase internasional terhadap Pertamina. Saat ini KBC sedang berusaha untuk melakukan sita eksekusi terhadap aset-aset yang menurut perkiraan KBC menjadi milik Pertamina, aset mana berupa rekening-rekening di bank yang berada dalam wilayah Amerika Serikat; padahal perjanjian JOC dan ESC, merupakan kontrak-kontrak yang tidak mempunyai kekuatan hukum karena adanya larangan pemerintah RI untuk meneruskan pelaksanaan kontrak melalui Keppres No. 39 Tahun 1997 tentang penangguhan proyek pemerintah dan Keppres No. 5 Tahun 1998.

untuk sahnya satu perjanjian harus dipenuhi antara lain syarat adanya suatu sebab yang halal sedangkan menurut Pasal 1337 KUHPerdata suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang undang-undang, bertentangan dengan kesusilaan yang baik atau dengan ketertiban umum, dan Pasal 1335 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian dengan sebab yang terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Oleh karena itu berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas semua bukti yang disampaikan oleh KBC tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga dapat dimintakan pembatalannya. Kontrak Joint Operation dan Energy Sales Contract juga tidak dapat dilanjutkan.

4. Putusan arbitrase seharusnya ditolak karena bertentangan dengan Pasal V (1) huruf B Konvensi New York 1958 dan dengan Pasal V (1) (D).75 Pertamina memberikan penjelasan lebih lanjut sebagai berikut:

a. Putusan arbitrase asing tidak dapat dijalankan karena Pertamina sebagai termohon eksekusi, tidak diberi pemberitahuan yang pantas (proper notice) tentang arbitrase ini. Pertamina sebagai termohon eksekusi, tidak diberi kesempatan untuk mengangkat arbitrator yang dipilihnya sesuai dengan perjanjian-perjanjian JOC dan ESC, padahal sesuai dengan ketentuan tentang arbitrase dalam perjanjian-perjanjian tersebut, Pertamina seharusnya diberi kesempatan mengajukan arbitrator yang dikehendakinya, hal mana tidak terjadi dalam hal ini.

b. Sesuai dengan ketentuan Konvensi New York 1958 Pasal V (1) (d),

75

Kedua pasal tersebut telah dilanggar, yaitu Pasal V (1) huruf B: Pertamina sebagai termohon eksekusi tidak diberitahukan secara layak tentang pengangkatan arbitrator; dan Pasal V (1) (D): susunan tim arbitrase tidak sesuai dengan perjanjian JOC dan ESC.

susunan para arbitrator ini harus menurut prosedur yang telah disetujui oleh para pihak dalam klausula arbitrase mereka, sedangkan dalam perkara arbitrase a quo para arbitrator telah dipilih tanpa adanya persetujuan atau pilihan dari Pertamina sebagai pihak dalam prosedur arbitrase ini sehingga susunan tim arbitrase dalam perkara arbitrase a quo bertentangan adanya dengan Pasal V (1) (d): …the composition of the arbitral authority of the arbitral procedure was not in accordance with the agreement of the parties.

5. Klausula arbitrase dinilai inoperating dan incapable of being performed sesuai dengan Pasal II (3) Konvensi New York 1958 Juncto Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981. Pertamina memberikan penjelasan lebih lanjut sebagai berikut:

a. Sesuai dengan ketentuan Pasal II (3), Konvensi New York 1958 yang melalui Keputusan Presiden No 34 Tahun 1981 telah menjadi hukum positif bagi RI, maka perjanjian-perjanjian JOC dan ESC dihentikan oleh pemerintah RI, dengan Keppres No. 39 Tahun 1997 dan Keppres No. 5 Tahun 1998. Dengan demikian perjanjian ini menurut hukum Indonesia menjadi null and void, inoperative of being performed, sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam Pasal II Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri.

b. Klausula arbitrase yang tercantum dalam perjanjian JOC dan Pasal ESC menjadi inoperative dan incapable of being performed sesuai dengan ketentuan hukum Indonesia karena perjanjian JOC dalam Pasal 20 dan ESC dalam Pasal 12 telah menentukan berlakunya hukum Indonesia. Tidak ada jalan lain, karena Keppres No. 39 Tahun 1997 dan No. 5 Tahun 1998 telah memerintahkan penghentian seluruh proses Perjanjian JOC dan ESC termasuk juga Klausula arbitrase

yang menjadi inoperative dan incapable of being performed (tidak dapat “dijalankan” dan “tidak dapat dilaksanakan”).

c. Wewenang para arbitrator yang didasarkan atas klausula arbitrase sebagaimana diuraikan di atas, menurut hukum Indonesia menjadi inoperative tidak dapat dijalankan, dan seharusnya tidak dapat dilanjutkan dengan menghasilkan putusan arbitrase a quo, yang kini ditentang pelaksanaannya dan dimintakan pembatalan.

6. Menurut Pasal V (1) huruf A pelaksanaan putusan arbitrase Jenewa seharusnya ditolak apabila para pihak tidak memiliki capacity berdasarkan hukum yang berlaku bagi mereka (hukum Indonesia). Penjelasannya adalah, menurut Pasal V (1) huruf A Konvensi New York 1958 pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase luar negeri dapat ditolak atas permohonan termohon eksekusi hanya apabila yang bersangkutan dapat menyerahkan kepada pengadilan pelaksana bukti bahwa para pihak dalam perjanjian JOC dan ESC berada dalam incapacity berdasarkan hukum Indonesia yang telah dipilih para pihak untuk berlaku.

7. Putusan arbitrase dilakukan berdasar tipu muslihat KBC dengan tidak mengindahkan hukum Indonesia sebagai hukum yang berlaku bagi JOC dan ESC, khususnya kerugian dan kehilangan keuntungan yang menurut majelis arbitrase telah diderita oleh KBC. Selanjutnya Pertamina menguraikan beberapa hal, yaitu:

a. Pasal 114 e JOC menyebutkan bahwa KBC berkewajiban untuk menyediakan semua dana yang dibutuhkan bagi operasi geo-termal dan risiko operasi geo-termal, dengan ketentuan kewajiban KBC menyangkut juga dana yang diperlukan untuk membangun fasilitas lapangan dan fasilitas pembangkit tenaga listrik dan harus selalu

memberikan laporan kepada Pertamina mengenai pendanaan tersebut.

b. Namun demikian selama persidangan arbitrase berlangsung KBC tidak dapat membuktikan dengan bukti-bukti yang sah bahwa KBC telah siap dan sanggup untuk melaksanakan kontrak-kontrak JOC dan ESC dengan menyediakan dana yang nyata dari sumber-sumber pembiayaan yang bonafide, sebagaimana disyaratkan untuk pelaksanaan proyek tersebut.

c. Di samping itu, proyek geo-termal yang harus dibangun berdasarkan kontrak JOC untuk menjual tenaga listrik sebagaimana diatur dalam kontrak JOC dan kontrak ESC baru mencapai tahap eksplorasi sehingga fasilitas-fasilitas tenaga pembangkit listrik dalam proyek tersebut belum berdiri dan sama sekali belum menghasilkan produksi tenaga listrik dan oleh karenanya KBC belum dapat dikatakan telah memenuhi kewajiban-kewajibannya dalam JOC dan ESC.

d. Kemampuan KBC untuk menghasilkan kapasitas tenaga listrik sebagaimana disyaratkan oleh JOC dan ESC belum teruji dan belum terpenuhi. Oleh karena itu besarnya biaya ganti rugi, kehilangan keuntungan dan bunga sebesar kurang lebih US$ 270 juta yang harus dibayar oleh Pertamina berdasarkan putusan arbitrase adalah tidak benar dan bersifat spekulatif dan fiktif tanpa disertai bukti-bukti yang nyata tentang kecurigaan sebenarnya yang diderita oleh KBC.

e. Menurut hukum Indonesia, suatu pembayaran ganti kerugian, harus didasarkan atas bukti-bukti kerugian yang nyata. Majelis arbitrase dalam membuat putusan a quo telah tidak memakai hukum Indonesia sehingga telah melampaui wewenangnya (exceeds its powers) dan sesuai ketentuan Konvensi New York 1958 batal adanya, atau harus dibatalkan.

8. Pertamina telah berusaha agar Pemerintah RI mencabut kembali perintah penangguhan perjanjian JOC dan ESC, meskipun tanpa hasil. Upaya Pertamina tersebut dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

a. Usaha Pertamina tersebut pada mulanya telah berhasil dengan dikeluarkannya Keppres No. 47 Tahun 1997 yang menyatakan proyek PLTP Karaha Bodas dapat diteruskan.

b. Namun usaha ini kemudian gagal lagi dengan dikeluarkannya Keppres No. 5 Tahun 1998 yang memerintahkan penangguhan ulang terhadap proyek yang sama. Namun kegagalan ini tidak berarti bahwa Pertamina tidak sudah berusaha secara maksimal akan tetapi dalam instansi terakhir semua juga tetap berada di luar kewenangannya. c. Dalam keadaan demikian sangat tidak adil jika majelis arbitrase yang

kini dimohonkan pembatalan putusannya hanya memberlakukan ketentuan force majeure terhadap KBC, tanpa memperhatikan segala upaya Pertamina yang telah maksimal dilakukan. Di sini hukum Indonesia yang selalu mengedepankan keseimbangan antara para pihak telah diabaikan untuk diterapkan, dengan demikian putusan tersebut perlu dibatalkan.

Kesimpulan dari argumentasi Pertamina adalah majelis arbitrase telah melampaui batas wewenang dalam menjatuhkan putusan arbitrase. Menurut hukum Indonesia seperti juga dengan lain-lain sistem hukum, pengadilan tetap mengawasi putusan arbitrase yang dibuat sesuai dengan hukum Indonesia. Banding tidak diperbolehkan, tetapi perlu diawasi integritas fundamental dari proses arbitrase itu sendiri. Menurut Pertamina, pembatalan dari suatu putusan arbitrase perlu dilakukan jika dilampaui batas-batas wewenang yang telah disetujui para pihak dalam perjanjian arbitrase, atau jika majelis arbitrase telah melampaui batas-batas wewenang (excess of power) yang telah diberikan oleh para pihak

atau telah terjadi “berat sebelah” dari majelis arbitrase, atau tidak dipenuhinya suatu asas berperkara yang prinsipil seperti harus memperlakukan para pihak secara sama dan tidak boleh berat sebelah seperti ditentukan Pasal 15 UNCITRAL Arbitration.

Lebih jauh Pertamina berargumentasi bahwa putusan arbitrase a quo didasarkan atas dua perjanjian:

a. Joint Operation Contract (JOC) antara Pertamina dan KBC b. Energy Sales Contract (ESC) antara Pertamina, KBC dan PLN.

Dalam kaitan itu, KBC belum memulai konstruksi fasilitas pembangkit listrik, tetapi tim arbitrase telah memberikan mereka ganti rugi US$ 111,1 juta untuk kerugian pembiayaan, US$ 150 juta untuk kerugian keuntungan (lost profit), bunga 4% setahun mulai 1 Januari 2001 sampai dibayar lunas dan US$ 687,737,48 untuk biaya arbitrase. Putusan Arbitrase ini melampaui batas wewenang para arbitrator (exceeded the power) yang diberikan kepada mereka menurut klausula arbitrase para pihak. Di samping itu sebagaimana telah dikemukakan di muka, majelis arbitrase tidak memakai hukum Indonesia dalam menafsirkan force majeure menurut ketentuan dalam kedua kontrak (JOC dan ESC) dan menentukan tanggung jawab Pertamina untuk kehilangan keuntungan (lost profit), secara spekulatif (tidak berdasar). Hal ini melanggar baik klausula arbitrase yang ditandatangani para pihak, maupun UNCITRAL Arbitration Rules, secara merugikan Pertamina. Walaupun telah diperjanjikan dua proses arbitrase tersendiri, satu di bawah JOC dan yang kedua menurut ESC, tetapi tim arbitrase telah menggabungkan kedua proses arbitrase dalam satu proses arbitrase.

Secara tegas para pihak telah sepakat dalam ESC, bahwa Pertamina dan KBC bersama-sama harus memilih satu arbitrator menurut ESC,

tetapi majelis arbitrase menyampingkannya dan memaksa Pertamina untuk “memakai” arbitrator bersama dengan PLN dan pemerintah padahal kewajiban Pertamina dan PLN berbeda sedangkan arbitrator sama telah dipilih oleh majelis arbitrase untuk pemerintah RI (yang kemudian telah dikesampingkan oleh tim arbitrase ini sebagai pihak). Dengan demikian majelis arbitrase telah melanggar prosedur yang secara tegas telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian arbitrase mereka dengan merugikan Pertamina dan PLN.

Dari uraian di atas terlihat dengan jelas bahwa para pihak telah tidak diperlakukan secara sama, karena suatu lembaga ICSID (International Centre For The Settlement of Investment Disputes) telah diminta memilih untuk tiga pihak, padahal KBC menurut perjanjian arbitrase harus diperbolehkan memilih sendiri arbitratornya. Hal ini juga melanggar hukum Indonesia.

Kesimpulan lainnya adalah putusan arbitrase ini juga melanggar ketertiban umum dari Republik Indonesia, karena menghukum Pertamina dan PLN sebagai yang bertanggung jawab untuk kepatuhan mereka terhadap hukum Indonesia dan para arbitrator dengan demikian melanggar tata cara berperkara yang layak (due process rights).

Sebagaimana diketahui bahwa sesungguhnya KBC telah membuat dua perjanjian terpisah, yakni (1) JOC antara KBC dan Pertamina serta ESC antara KBC, Pertamina dan PLN. Kontrak-kontrak ini mengatur eksplorasi (geo-termal) untuk pembangkit tenaga listrik di area concessie Karaha dan Telaga Bodas. Kedua kontrak ini, sekalipun ada hubungannya, tetapi jelas mengandung hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing pihak yang berbeda. Kedua kontrak ini menunjuk KBC yang harus menanggung risiko dan pembiayaan ekplorasi dan pembangunan pabrik pembangkit tenaga listrik ini. Dan baru jika kemudian ternyata bahwa KBC berhasil membangun sumber-sumber itu

dan telah berhasil dengan membangun fasilitas yang mampu membangkit listrik sesuai ketentuan kontrak, risiko biaya pengeluaran akan berpindah dari KBC ke PLN. Hal ini tidak pernah terjadi.

JOC tidak meletakkan kewajiban Pertamina untuk membeli listrik dari KBC, sebaliknya menyatakan bahwa listrik yang diproduksi oleh operasi pembangkitan bersangkutan akan dijual kepada pembeli (PLN) sesuai dengan ESC. Peranan Pertamina hanya sebagai agen penyaluran untuk pembayaran antara PLN dan KBC dan terhadap JOC ini dipakai hukum Indonesia.

Menurut ESC, PLN menyetujui untuk membeli dari Pertamina sesuai ketentuan dan syarat dalam ESC ini semua tenaga listrik yang akan dihasilkan oleh KBC. Juga di sini peranan Pertamina hanya sebagai agen perantara untuk pembayaran yang akan dilakukan oleh PLN. Jadi jelas Pertamina tidak ada kewajiban untuk membeli tenaga listrik menurut kontrak ESC dan Pertamina juga bukan penjamin untuk kewajiban-kewajiban PLN. Kewajiban PLN baru mulai setelah ada hasil tenaga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik KBC.

Dalam hal terjadi sengketa melalui arbitrase, di mana PLN di satu pihak dan KBC serta Pertamina di pihak lain, masing-masing mengangkat satu arbitrator, yang kemudian bersama-sama akan mengangkat arbitrator ketiga untuk bertindak sebagai ketua majelis arbitrase.

Sebagai akibat dari krisis ekonomi yang dialami pemerintah Indonesia sejak tahun 1997, maka IMF telah memaksa pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali secara menyeluruh semua proyek-proyek yang didasarkan pada kewajiban membayar dalam US dollar. Sebagai tindak lanjut saran IMF pemerintah menerbitkan Keppres No. 39 Tahun 1997 yang mengatur proyek mana dapat diteruskan, ditinjau kembali atau ditangguhkan, dan proyek Karaha Bodas termasuk yang ditangguhkan.

Setelah ditandatanganinya perjanjian-perjanjian di tahun 1994, sampai dengan ditangguhkannya proyek tersebut, KBC hanya melakukan eksplorasi dan pada saat ditangguhkannya proyek bersangkutan, KBC masih harus menambahkan US$ 500 juta (5 x lebih banyak daripada apa yang sudah dikeluarkannya) sebelum ada kemungkinan menghasilkan tenaga listrik yang diharapkan.

Tetapi pada 10 Februari 1998 KBC menyatakan telah terjadi force majeure dan menghentikan kontrak-kontrak, serta pada 30 April 1998 KBC mengajukan gugatan arbitrase terhadap Pertamina dan PLN dengan Notice of Claim dalam satu arbitrase berdasarkan dua kontrak JOC dan ESC.

b. Argumentasi KBC atas Gugatan Pertamina

Atas gugatan Pertamina di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, khususnya terhadap dalil-dalil yang diajukan di dalam gugatan tersebut, KBC menolaknya dengan memberikan alasan-alasan sebagai berikut:

Dalam dokumen Gatot Soemartono KASUS KARAHA BODAS (Halaman 60-73)