• Tidak ada hasil yang ditemukan

INFORMASI KONSUMSI ENERGI

C. Data dan informasi

1. Konsumsi energi transportasi

Sumber energi yang umum digunakan sektor transportasi di Indonesia adalah Bahan Bakar Minyak (BBM). Transportasi berwawasan lingkungan merupakan hal strategis, yaitu tata guna lahan yang diintegrasikan dengan transportasi, hingga meminimalkan biaya transportasi, mereduksi emisi gas buang dan pengurangan konsumsi BBM (Harun Al Rasyid et al, 2003). Energi fosil adalah jenis energi yang tak terbarukan, jenis energi ini dikenal sebagai Bahan Bakar Minyak (BBM). Cadangan BBM terbatas sifatnya, energi tak terbarukan, pada saatnya tidak dapat mencukupi kebutuhan/habis (Dephubdat, 2008). Perlu penghematan konsumsi BBM secara nasional terutama transportasi darat.

Konsumsi energi sektor transportasi biasanya diasosiasikan besarnya konsumsi BBM yang digunakan untuk produksi dan operasi kendaraan bermotor (United Nation Division for

II-9 Sustainable Development, 2003). Analisis konsumsi BBM transportasi penting dan strategis, sebagai upaya pengelolaan transportasi agar hemat BBM (Haryono Sukarto, 2006), juga bagi pengelolaan perekonomian negara dan pembangunan berkelanjutan.

Sektor transportasi tergantung BBM sekitar 50% dari konsumsi BBM dunia. Transportasi jalan raya mengkonsumsi 80% dari konsumsi transportasi. Tahun 2000, konsumsi BBM sektor transportasi dunia naik 25%, diproyeksikan kenaikkannya 90% sampai tahun 2030. Pertumbuhan ekonomi nasional, menyebabkan meningkatnya kepemilikan dan penggunaan kendaraan bermotor. Kepemilikan kendaraan pribadi meningkat secara tajam dibandingkan dengan kendaraan umum. Transportasi kota yang berkembang pesat adalah transportasi jalan raya dan paling banyak mengkonsumsi BBM, maka sub-sektor transportasi ini perlu mendapat perhatian dalam berbagai kebijakan, perencanaan, dan penelitian transportasi.

2. Parameter, Faktor dan Variabel Penting yang Berpengaruh

Konsumsi BBM untuk transportasi kota jalan raya dipengaruhi oleh faktor utama : karakteristik kendaraan; karakteristik jalan; aspek pengguna kendaraan; pengelolaan yang mengkoordinasikan ketiga unsur tersebut (Dephubdat, 2008).

Menurut Andry Tanara (2003), faktor yang mempengaruhi konsumsi BBM adalah: jumlah penduduk, panjang jalan, jumlah kepemilikan kendaraan, jumlah kendaraan berdasar bahan bakar, pendapatan perkapita. Sedangkan menurut Dail Umamil Asri, Budi Hidayat (2005), kebutuhan BBM dipengaruhi oleh atribut kendaraan, jalan, dan regional pengoperasiannya. Konsumsi BBM juga dipengaruhi oleh: efektifitas pemakaian kendaraan; rata-rata perjalanan per hari; frequensi pemakaian kendaraan; panjang perjalanan; konsumsi bahan bakar/jenis kendaraan. Selain menambah beban lalu lintas, kendaraan umur tua dapat meningkatkan penggunaan BBM.

Menurut Iskandar Abubakar (2001), pemborosan BBM disebabkan: pertambahan jumlah angkutan, tidak adanya angkutan umum yang nyaman dan terjangkau, terutama di kota besar, sehingga mendorong masyarakat menggunakan mobil pribadi, faktor perawatan kendaraan dan cara mengemudi yang benar tidak banyak diterapkan pengguna jalan dan pemilik kendaraan, akhirnya menimbulkan boros energi. Lebih rinci, sistem transportasi kota terhadap konsumsi BBM dipengaruhi oleh faktor-faktor:

1) Struktur kota dan demand: jumlah penduduk, kepadatan penduduk, tata guna lahan, PDRB;

2) Sistem transportasi dan supply : panjang jalan, pola jaringan jalan, pelayanan angkutan umum, kondisi jalan, kecepatan kendaraan, Demand : jumlah kendaraan, panjang perjalanan; dan

II-10 3) Konsumsi BBM : solar, premium, pertamax, pertamax.

3. Pengaruh Tata Guna Lahan

Menurut Mitchel (2003), pengaruh pola pertumbuhan kota yang berkembang dengan pola struktur konsentrik (pusat kota tunggal) lebih hemat dalam konsumsi BBM dibandingkan dengan struktur kota dengan banyak pusat kota. Tetapi terdapat pandangan konservatif yang mengatakan bahwa tata guna lahan sekarang tidak akan banyak berubah meskipun terjadi perubahan dalam sistem transportasi umum. Kenyataan empiris selalu membuktikan bahwa pola tata guna lahan memiliki korelasi yang kuat dengan transportasi kota karena tata guna lahan menentukan besaran dan distribusi pergerakan yang berpengaruh terhadap gerak perjalanan, moda angkutan yang digunakan dan konsumsi BBM.

Pengaruh tata guna lahan terhadap sistem transportasi kota (konsumsi BBM), tidak hanya terjadi dari jenis penggunaan lahan, tetapi juga dari kepadatan penduduk. Agar integrasi antara tataguna lahan dan trasportasi dapat berjalan dengan baik maka perlu peningkatan akses menuju ke angkutan publik, memperpendek perjalanan dan mengurangi kepemilikan kendaraan (Departement of Urban Affairs Planning, 2002; Ales Sarec, 1998). Peningkatan kepadatan penduduk lebih memungkinkan terjadi mix use. Pada daerah dengan kepadatan penduduk rendah, penggunaan BBM per kapita semakin tinggi, sebaliknya pada daerah dengan kepadatan penduduk tinggi, penggunaan BBM per kapita semakin rendah, (J. Kenworthy, 2002).

Jenis tata guna lahan di daerah perkotaan pada jam-jam tertentu menjadi tujuan dan asal gerakan transportasi dan arahnya akan berbalik pada jam-jam tertentu lain. Semakin beragam tata guna lahan di bagian wilayah kota semakin tinggi interaksi yang terjadi. Sedangkan kawasan pusat kota merupakan daerah padat, dengan jarak perjalanan relatif pendek dan umumnya dapat ditempuh dengan berjalan kaki (tidak tergantung dari kendaraan bermotor), sehingga konsumsi BBM semakin rendah Penggunaan kendaraan pada masyarakat dengan income lebih tinggi, cenderung lebih lama dan lebih banyak dibanding masyarakat lainnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Xiao Luo (2007). Pengaruh tata guna lahan tidak hanya pada jenis dan intensitasnya tetapi juga daya tarik dan daya dorong kegiatan lalu lintas sebagai wujud dari interaksi tata ruang sehingga menjadi daya bangkit lalu lintas. Untuk mengoptimasikan model lahan, maka harus diintegrasikan antara transportasi, tata guna lahan, dan lingkungannya.

II-11 4. Kebutuhan BBM Bidang Transportasi Nasional

Peran dominan minyak bumi (BBM) dalam memenuhi kebutuhan energi di Indonesia masih tetap besar dengan angka rata-rata di atas 60 % dari total konsumsi energi nasional. Secara sektoral, konsumsi energi di Indonesia yang terbesar adalah pada sektor transportasi, berikutnya adalah sektor industri, dan terakhir adalah sektor rumah tangga. Pada awal Pelita I (tahun 1969 / 1970), sektor rumah tangga merupakan pengguna energi terbesar di Indonesia. Pada perkembangan selanjutnya, sektor transportasi dan sektor industri telah melampaui sektor rumah tangga.

Peningkatan konsumsi energi pada sektor transportasi dan industri yang jauh lebih cepat dari pada sektor sektor rumah tangga disebabkan peningkatan industrialisasi di Indonesia. Peningkatan konsumsi energi ini mengakibatkan konsumsi BBM meningkat dengan pesat pula, terutama pada sektor transportasi. Kebijakan pengendalian harga BBM " pada tingkat yang terjangkau oleh masyarakat banyak " melalui instrumen subsidi telah menempatkan pemerintah pada posisi yang tidak menguntungkan. Krisis ekonomi, yang berdampak pada jatuhnya nilai tukar rupiah dan terpuruknya kemampuan ekonomi pemerintah, menyebabkan subsidi BBM menjadi beban berat dalam RAPBN.

Usaha menuju penghapusan subsidi BBM secara bertahap menghadapi tantangan dampak sosial, politik dan ekonomi yang besar, sehingga pertanyaan yang relevan saat ini bukan lagi perlu tidaknya subsidi BBM dihapus, melainkan bagaimana cara menghapuskan subsidi dengan meminimalkan dampak-dampak negatif yang timbul. Harga energi harus ditempatkan pada tempat yang proporsional, sesuai dengan harga ekonominya. Untuk itu, harga BBM di Indonesia harus memperhatikan:

a. Kepentingan produsen, b. Kepentingan konsumen, c. Kepentingan pemerintah.

Potensi untuk melakukan efisiensi energi di Indonesia, masih sangat terbuka. Indikasi besarnya potensi untuk melakukan efisiensi BBM atau konservasi BBM ada dua, yaitu perkembangan intensitas tingkat konsumsi BBM dan persentase pertumbuhan ekonomi. Apalagi pada waktu sebeluni krisis ekonomi, dimana tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai lebih dari 8 % pertahun dan pertumbuhan intensitas konsumsi energi 9 %. Selama krisis ekonomi penurunan konsumsi energi hanya terjadi pada tahun periode 1997 / 1998 akibat nenurunnya kegiatan di semua sektor ekonomi. Pada tahun berikutnya, konsumsi energi kembali meningkat dengan pesat, meskipun pertumbuhan ekonomi masih sangat kecil, seperti terlihat pada Tabel 2.1.

II-12 Tabel 2.1. Kebutuhan BBM Nasional Tahun 1996 - 2002.

Tahun Kebutuhan BBM (kiloliter)

1996 46.700.000 1997 45.300.000 1998 47.600.000 1999 49.200.000 2000 52.700.000 2001 54.800.000 2002 56.000.000

Sumber: Ditjen Migas 2001

5. Faktor Pengaruh Konsumsi BBM Moda Transportasi

Konsumsi BBM Moda Transportasi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut diidentifikasi berdasarkan moda transportasi:

Moda Jalan Raya dan Rel

- Rasio penggunaan BBM untuk berbagai tipe kendaraan - Kecepatan perjalanan

- Jarak perjalanan

- Penggunaan AC/non AC - Beban kendaraan dan muatan Moda Laut

- Rasio penggunaan BBM untuk berbagai tipe kapal - Ukuran mesin - Jumlah mesin - Tonage kapal - Kecepatan operasional - Jarak perjalanan Moda Udara

- Rasio penggunaan BBM untuk berbagai tipe pesawat - Ukuran mesin

- Jumlah mesin

- Maximum Take Off Weight (MTOW) - Kecepatan jelajah

II-13 6. Metoda Statistika

Statistika adalah ilmu yang mempelajari bagaimana merencanakan, mengumpulkan, menganalisis, menginterpretasi, dan mempresentasikan data. Singkatnya, statistika adalah ilmu yang berkenaan dengan data. Istilah 'statistika' (bahasa Inggris: statistics) berbeda dengan 'statistik' (statistics). Statistika merupakan ilmu yang berkenaan dengan data, sedang statistik adalah data, informasi, atau hasil penerapan algoritma statistika pada suatu data. Dari kumpulan data, statistika dapat digunakan untuk menyimpulkan atau mendeskripsikan data; ini dinamakan statistika deskriptif. Sebagian besar konsep dasar statistika mengasumsikan teori probabilitas. Beberapa istilah statistika antara lain: populasi, sampel, unit sampel, dan probabilitas.

Statistika banyak diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu, baik ilmu-ilmu alam (misalnya astronomi dan biologi maupun ilmu-ilmu sosial (termasuk sosiologi dan psikologi), maupun di bidang bisnis, ekonomi, dan industri). Statistika juga digunakan dalam pemerintahan untuk berbagai macam tujuan; sensus penduduk merupakan salah satu prosedur yang paling dikenal. Aplikasi statistika lainnya yang sekarang popular adalah prosedur jajak pendapat atau polling (misalnya dilakukan sebelum pemilihan umum), serta jajak cepat (perhitungan cepat hasil pemilu) atau quick count. Di bidang komputasi, statistika dapat pula diterapkan dalam pengenalan pola maupun kecerdasan buatan.

Dalam mengaplikasikan statistika terhadap permasalahan sains, industri, atau sosial, pertama-tama dimulai dari mempelajari populasi. Makna populasi dalam statistika dapat berarti populasi benda hidup, benda mati, ataupun benda abstrak. Populasi juga dapat berupa pengukuran sebuah proses dalam waktu yang berbeda-beda, yakni dikenal dengan istilah deret waktu. Dalam studi ini berupa populasi pemakai energi transportasi. Melakukan pendataan (pengumpulan data) seluruh populasi dinamakan sensus. Sebuah sensus tentu memerlukan waktu dan biaya yang tinggi. Untuk itu, dalam statistika seringkali dilakukan pengambilan sampel (sampling), yakni sebagian kecil dari populasi, yang dapat mewakili seluruh populasi. Analisis data dari sampel nantinya digunakan untuk menggeneralisasi seluruh populasi. Jika sampel yang diambil cukup representatif, inferensial (pengambilan keputusan) dan simpulan yang dibuat dari sampel dapat digunakan untuk menggambarkan populasi secara keseluruhan. Metode statistika tentang bagaimana cara mengambil sampel yang tepat dinamakan teknik sampling.

Analisis regresi linier berganda ialah suatu alat analisis dalam ilmu statistik yang berguna untuk mengukur hubungan matematis antara lebih dari 2 peubah. Bentuk umum persamaan regresi linier berganda dapat dilihat pada persamaan (1) :

II-14 2.2.2. Tahapan Survai Data dan Informasi

Pada tahap ini konsultan akan akan melakukan pencarian data dengan metode survei dan forum diskusi. Survei yang dilakukan berdasarkan area random sampling. Survei dilakukan di 26 propinsi di Indonesia, yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan Papua. Sedangkan analisis yang dilakukan didasarkan pada statistik inferensial.

Dokumen terkait