BAB IV HASIL ANALISA DATA
3. Data Wawancara Partisipan I
a. Gambaran Penyebab Pasangan Partisipan Mengidap HIV
Istri Sahrul mengidap HIV sejak bulan Agustus tahun 2008. Virus HI yang
diidap oleh istri Sahrul dikarenakan jarum suntik yang digunakan secara berganti-gantian. Istri Sahrul pernah menggunakan narkoba ketika suami pertama dari istri Sahrul meninggalkannya. Istri partisipan sudah memiliki anak dari hasil perkawinannya yang pertama yang berusia 2 tahun pada saat istri partisipan ditinggalkan oleh suaminya yang pertama. Pada saat itu, istri partisipan bekerja sebagai pelayan di suatu diskotik. Istri partisipan menceritakan masalahnya kepada orangtuanya, tetapi orangtuanya tidak memberikan jalan keluar atau memberikan dukungan moral kepada istri partisipan, melainkan menekan istri partisipan. Istri partisipan merasa tidak ada yang memberikan dukungan terhadapnya, sehingga istri partisipan mengalami stress yang berat dan mencoba
untuk menggunakan narkoba sebagai pelarian dari masalah yang sedang dihadapinya.
“…menikah, punya anak, bubaran. Ada masalah dalam rumah tangga,bubaran orang itu. Anak udah lahir, umur-umur 2 tahun, udah kerja-kerja-kerja dulu di diskotik. Stress dia kan, curhat sama orang tuanya, mamak angkatnya ini menekan dia. Iya, semua menekan dia, ya kan? Jadi, teman bicara dia gak ada untuk curhat dia, jadi dia lari ke narkoba. Udah ke narkoba, terus-terus-terus-terus-terus…”
(R1W1/b.323-334/hal 8).
Ketika Sahrul mengetahui bahwa istrinya mengidap HIV, sedangkan Sahrul sendiri tidak mengidap HIV, Sahrul bertanya kepada istrinya apa yang menjadi penyebab istrinya tertular virus tersebut. Sahrul berpikir bahwa istrinya hanya pernah melakukan hubungan seksual dengan Sahrul, tetapi mengapa Sahrul tidak mengidap HIV sedangkan istrinya mengidap HIV. Partisipan juga menanyakan apakah istrinya pernah bertukaran jarum suntik ketika menggunakan narkoba. “Tertular dari mana, kan gitu kan, sementara cuma saya aja. Kalau masalah dulu sama suaminya ya kan.”
(R1W1/b.255-258/hal 6)
“Memang saya pernah tanya sama dia, memang pernah dulu ganti-ganti jarum suntik, kadang make, dananya gak ada. Dananya untuk beli itu tertahan jadi kongsi-kongsian, ada 4 orang umpanya kan. Merekakan ganti-gantian, mungkin ada yang udah terjangkit virus HIV/AIDS dari make 4 orang itu ya kan. Jadi tertular dari orang itu.”
(R1W1/b.263-272/ hal 5-6)
Partisipan diberikan penjelasan oleh pihak rumah sakit bahwa penyebaran HIV lambat, sehingga disaat virus tersebut masuk ke dalam darah, virus tersebut tidak langsung dapat dideteksi. Virus HI dapat dideteksi dalam jangka waktu tertentu yang tidak dapat diprediksi oleh siapa pun.
“…karena gini kata orang ini, kalo penyakit ini memang lambat dia. Ada yang 10 tahun, ada yang 8 tahun, ada yang 3 tahun. Pas tahun 2008 ini dia baru
terasanya. Kalo dia berhenti udah 6 tahun, berhenti narkoba. Jadi selama 6 tahun ini baru jadi, jatuh dia.”
(R1W1/b.273-279/ hal 7)
Setelah Sahrul mendapat penjelasan oleh pihak rumah sakit mengenai perkembangan HIV, Sahrul mengetahui bahwa HIV tidak langsung dapat dideteksi. Sahrul akhirnya menerima kenyataan bahwa istrinya telah mengidap HIV.
b. Gambaran Masalah Psikologis pada Partisipan I (Sahrul)
Saat pertama kali mengetahui istrinya mengidap penyakit HIV, Sahrul merasa sangat terkejut akan apa yang terjadi pada istrinya. Sahrul sempat kehilangan semangat ketika mengetahui hal tersebut. Sahrul menjadi bimbang antara percaya dengan tidak percaya akan hasil pemeriksaan HIV di rumah sakit Hidayah tersebut. Sahrul merasa bahwa hasil tersebut tidaklah benar dan akurat. Sahrul memeriksakan dirinya dan istrinya di rumah sakit Hidayah Deli Tua dan hasilnya didapatkan pada hari itu juga, sedangkan di rumah sakit umum hasilnya baru dapat diketahui setelah dua hari.
“Saya pun terkejut ya kan. Tertular dari mana…” (R1W1/b.255-256/ hal 6)
“…cuma kita kan terkejut…” (R1W1/b.247/ hal 6)
“Semangat saya udah habis sebenarnya, saya antara percaya nggak percaya, pertamanya, waktu di Deli Tua. Saya nggak percayanya karena diperiksa darahnya satu hari itu, diambil pagi, siangnya udah tahu jenis penyakitnya. Jadi saya kan nggak percaya kan…”
“Apakah fasilitas di situ lengkap? Alatnya disitu ada semua? Sedangkan yang di rumah sakit besar aja 2 hari baru keluar hasilnya saya bilang gitu, hasilnya baru keluar 2 hari.”
(R1W1/b.237-242/ hal 6)
Sahrul merasa marah kepada dokter spesialis penyakit dalam yang memeriksakan Sahrul dan istrinya di rumah sakit Hidayah karena dokter tersebut sangat cepat mendiagnosa bahwa istrinya terinfeksi HIV. Sahrul tidak percaya akan hasil yang diberikan oleh dokter tersebut.
“…sempat marah juga saya pada malam itu. Mana dokternya saya bilang gitukan. Bisa-bisanyanya dia memvonis seperti itu, sementara dari tadi siang keluar hasilnya itu nggak mungkin.”
(R1W1/b.232-237/ hal 6) “…sempat emosi juga…” (R1W1/b.243/ hal 6)
Sahrul memiliki kesabaran yang cukup besar untuk menerima kenyataan bahwa istrinya telah mengidap HIV. Pada akhirnya Sahrul berusaha untuk tetap kuat dan tabah akan apa yang terjadi pada istrinya. Sahrul hanya bisa berpasrah diri.
“…cuma saya sabar…” (R1W1/b.246-247/ hal 6) “…cuma saya sabar.” (R1W1/b.243/hal 6)
“…kita ya pasrah aja, tetapi ya cuma berusaha aja, kuat, tabah.” (R1W1/b.283-285/ hal 7)
Pada saat ini, partisipan sudah dapat menerima kenyataan dan memberikan dukungan moral yang cukup kuat kepada istrinya yang tercinta untuk tetap berjuang dalam hidup karena istrinya sempat merasa putus asa dan berpikir dia akan pergi mendahului Sahrul.
“Dia bilang ginikan, ternyata bang aku duluan yang ninggalkan abang.” (R1W1/b.162-164/ hal 4)
“Saya kasih spirit-lah ya kan. Saya kasih semangat. Biar hidupku ada ya kan.” (R1W1/b.167-169/ hal 4)
“Kita harus semangat. Yang penting setelah keluar dari sini, kita harus lebih sabar. Kita harus berusaha, kalau harus dirawat, rawat.”
(R1W1/b.174-177/ hal 5)
“Kasihlah spirit, kasihlah semangat, makin naiklah semangatnya sampai saat ini.”
(R1W1/b.198-200/ hal 5)
Pada akhirnya, Sahrul dan istrinya memiliki semangat yang luar biasa dalam menjalani hidup walaupun HIV telah ada di dalam tubuh istrinya. Istrinya tetap menjalani aktivitasnya sehari-hari, hanya saja ia lebih menjaga kesehatan tubuhnya.
c. Gambaran Kepuasan Perkawinan Partisipan I (Sahrul)
Sahrul menikah dengan istrinya tiga tahun yang lalu setelah pacaran selama
setahun. Sahrul menikah diusia 28 tahun. Sebelum menikah, istri Sahrul sudah menikah dan mempunyai satu anak perempuan. Mereka bertemu di Seribu Dolok, partisipan bekerja di salah satu perusahaan di Seribu Dolok dan istrinya bekerja sebagai tukang masak di perusahaan tersebut. Setelah menikah, mereka berhenti dari pekerjaan mereka masing-masing dan pindah ke Deli Tua. Setelah pindah ke Deli Tua, Sahrul bekerja di suatu perusahaan yang bergerak di bidang layanan jasa bengkel dan istrinya bekerja sebagai penjual sayur di pajak. Istri Sahrul mengandung anak Sahrul, tetapi keguguran. Pada tahun 2006, istri Sahrul mengandung anak Sahrul yang kedua, tetapi anak yang kedua juga tidak dapat
dilahirkan karena janinnya berada di luar kandungan dan di kandungan istri Sahrul juga terdapat kista yang harus dikeluarkan. Istri Sahrul operasi pada tahun 2006 dan usia jabang bayi mereka pada saat itu sudah enam bulan.
“…udah 3 tahun kami berumah tangga kan belum ada keturunan. Pernah ada, jatuh. Lalu ada sekali lagi, ada pula kista, dia hamil, tapi di luar kandungan. Tahun 2006 tanggal 23 dia operasi kista, hamil di luar kandungan kan gitu. Udah hamil 6 bulan ada kista.”
(R1W1/b.37-44/hal 2)
Pada saat bulan puasa, istri Sahrul mengalami sariawan yang berkepanjangan. Ketika istri Sahrul sudah tidak dapat makan karena sariawannya dan berat badan istrinya semakin menurun, Sahrul membawa istrinya ke dokter dan pada hari itu juga dokter mengatakan kalau istrinya mengidap HIV. Sahrul tidak mempercayai diagnosa dokter karena hasilnya keluar sangat cepat, yaitu pada hari itu juga. Sahrul kemudian membawa istrinya ke RSU Pringadi atas saran seseorang jikalau Sahrul tidak mempercayai diagnosa dokter tersebut. Sahrul dan istrinya dites HIV. Setelah dua hari, hasil pemeriksaan dari Pringadi keluar dan mengatakan kalau istri Sahrul mengidap HIV, sedangkan Sahrul tidak mengidap HIV.
“…awal mulanya ya, seperti sariawan berkepanjangan…” (R1W1/b.52-53/hal 2)
“…kita ke dokter ajalah. Kita ke dokter, dia udah nggak bisa apa-apa itu, makan pun udah nggak bisa karena sariawan itu, lagian saya melihat berat badan dia udah makin berkurang. Berat badannya itu makin turun, makin turun terus.” (R1W1/b.78-84/hal 2-3)
“Saya nggak percayanya karena diperiksa darahnya satu hari itu, diambil pagi, siangnya udah tahu jenis penyakitnya.”
(R1W1/b.226-229)/ hal 6)
“Ada pula dia orang wartawan bagian LSM, kakak kalau kurang yakin kak, nggak usah takut, langsung ke Pringadi aja langsung ke bagian VCT…”
“Saya bawa ke sana, dua hari kemudian, saya ambil hasilnya. Dua-dua kami dicek kan, diambil hasilnya, ternyata dia positif, saya nggak.”
(R1W1/b.100-104/ hal 3)
Sahrul terkejut ketika mengetahui istrinya mengidap HIV dan ia tidak mengidap HIV. Sahrul berpikir kalau istrinya hanya melakukan hubungan seksual dengannya yang diketahui salah satu cara penularan HIV dengan melakukan hubungan seksual. Istri Sahrul mengidap HIV karena sebelum menikah dengan Sahrul, istrinya pernah menggunakan narkoba dengan jarum suntik. Sahrul bertanya kepada istrinya apakah istrinya pernah menggunakan jarum suntik secara bergantian ketika dulu ia menggunakan narkoba dan istrinya mengatakan kalau ia dulu memang pernah menggunakan jarum suntik secara bergantian. Istri Sahrul menggunakan narkoba karena ditinggal oleh suaminya yang pertama dan ibunya juga tidak memberikan semangat dan dukungan kepadanya, tetapi semakin menekan dia.
“Terkejut saya kan, loh dari mana datangnya, sementara kau cuma sama aku” (R1W1/b.139-141/ hal 4)
“Memang saya pernah tanya sama dia, memang pernah dulu ganti-ganti jarum suntik, kadang makai, dananya nggak ada. Dananya untuk beli itu tertahan jadi kongsi-kongsian, ada 4 orang umpanya kan. Mereka kan ganti-gantian, mungkin ada yang udah terjangkit virus HIV/AIDS dari makai 4 orang itu ya kan. Jadi tertular dari orang itu.”
(R1W1/b.263-272/hal 6-7)
“Nge-drop, ditinggal suami ya kan. Jadi dia, suntuk jadi makai narkoba. Dia kerja di diskotik bagian waitress. Aaa… gitu dia. Makai itu dia, makai-makai-makai-makai. Karena dia pun tertekan oleh ibunya, ya kan?”
(R1W1/b.305-311/hal 7-8)
“…udah kerja-kerja-kerja dulu di diskotik. Stress dia kan, curhat sama orangtuanya, mamak angkatnya ini menekan dia. Iya, semua menekan dia, ya
kan. Jadi, teman bicara dia nggak ada untuk curhat dia, jadi dia lari ke narkoba.”
(R1W1/b. 327-333/ hal 8)
Setelah hasil pemeriksaan di RSU Pringadi keluar dan menyatakan kalau istrinya mengidap HIV, istri Sahrul langsung dirawat di RSUP Adam Malik setelah mendapat surat rujukan dari RSU Pringadi. Selama istri Sahrul dirawat di RSUP Adam Malik, hanya Sahrul yang menjaga istrinya di rumah sakit. Keluarga istri Sahrul tidak ada yang mau menjaganya bahkan untuk menjenguknya, sehingga pada siang hari tidak ada yang menjaga istrinya dan pada malam hari hanya Sahrul yang menjaganya.
“Jadi dibuat rujukan ke rumah sakit Pringadi. Jadi pada malam itu juga, kira-kira jam 11.15 kita berangkat ke Adam Malik, malam-malam, langsung dirawat di sana…”
(R1W1/b.151-155/ hal 4)
“Saya di situ mulai yang jengkel sama sama keluarganya istri saya. Jenguk nggak ada, dari mulai masuk sampai pulang, sekalipun nggak ada jenguk.”
(R1W1/b702-706/ hal 16)
“…malam saya, siang nggak ada. Siang saya kerja, malam jagain dia.” (R1W1/b.732-734/ hal 17)
Sahrul merasa kehilangan semangat saat mengetahui istrinya mengidap HIV. Sahrul merasa antara percaya atau tidak percaya akan hasil pemeriksaan HIV. Sahrul merasa marah dan emosi pada dokter yang memeriksakan istrinya, tetapi kemudian Sahrul bersabar karena Sahrul berpikir kalau dokter tersebut lebih berpendidikan daripada dia. Pada saat sekarang ini, Sahrul sudah dapat pasrah akan apa yang terjadi pada istrinya.
“Semangat saya udah habis sebenarnya, saya antara percaya nggak percaya.” (W1R1/b.224-225/hal 6)
“…sempat marah juga saya pada malam itu. Mana dokternya saya bilang gitukan. Bisa-bisanyanya dia memvonis seperti itu, sementara dari tadi siang keluar hasilnya itu nggak mungkin. Apakah fasilitas di situ lengkap? Alatnya disitu ada semua? Sedangkan yang di rumah sakit besar aja 2 hari baru keluar hasilnya saya bilang gitu, hasilnya baru keluar 2 hari. Saya tanya mana dokternya, sempat emosi juga cuma saya sabar. Dokter mungkin lebih tahu daripada saya, gitu kan. Dia lebih berpendidikan daripada saya cuma saya sabar, cuma kita kan terkejut, ya kan. Namanya secepat itu dia memvonis, ya kan.”
(W1R1/b.232-249/hal 6)
Setelah keadaan istri partisipan semakin membaik, partisipan dan istri partisipan semakin baik dalam menjalani hidup, khususnya dalam kehidupan rumah tangga mereka. Istri partisipan juga meninggalkan pekerjaannya sebagai penjual sayur di pajak karena takut kalau fisiknya tidak kuat. Istri partisipan sekarang bekerja di salah satu LSM di kota Medan untuk mengisi aktivitasnya sehari-hari.
1) Komunikasi
Komunikasi dalam perkawinan Sahrul berubah. Komunikasi antara Sahrul dan istrinya menjadi semakin membaik. Sahrul jarang berbicara dengan suara keras atau memarahi istrinya karena jika Sahrul memarahi istrinya, istrinya langsung sakit hati dan merasa kalau Sahrul memarahinya karena sekarang ia sudah mengidap HIV.
“Malah lebih enak lagi.” (R1W1/b.359/hal 9)
“kalau namanya rumah tangga kan udah biasa cek-cokkan. Yang dulunya ada cek-cok, ribut, berantam, apa, sekarang udah nggak. Udah makin enaklah gitu.” (R1W1/b.362-366/hal 9)
“Kalau kita ngomong kasar dikit, dia langsung sakit hati. Cuma gitu kan, yang namanya manusia kan ada kan ucapan tadi yang tanpa sengaja keluar, ya kan gitu kan. Nggak mungkin kita meludah, kita jilat lagi. Namanya ada udah divonis
penyakit seperti itu ya kan, pikiran negatif terus ya kan. Maunya kita ada ngomong agak kasar sedikit ya kan. Ntah membentaklah, gitulah kan, dia merasa tersinggung. Iyalah aku udah kena penyakit kayak gini, malah diginiin, malah senang.”
(R1W1/b.453-466/hal 11)
2) Kegiatan di Waktu Luang
Waktu luang Sahrul semakin membaik karena waktu senggang Sahrul dihabiskan dengan bergotong royong membersihkan rumah membantu istrinya. Sahrul juga terkadang mengisi waktu luang dengan mengajak istrinya pergi ke rumah teman mereka jika mereka mempunyai uang.
“…gotong royong di rumahlah. Saling mengisi waktu luanglah” (R1W1/b.376-378/hal 9)
“Ntah kalau mau pergi, kalau ada duit, ya pergi main-main tempat kawan.” (R1W1/b.378-380/hal 9)
Pengsisian waktu luang dihabiskan Sahrul dengan lebih banyak bekerja sama dengan istrinya, sehingga waktu mereka untuk bersama-sama lebih banyak. Sahrul sangat mencintai istrinya, oleh karena itu Sahrul lebih suka menghabiskan waktu luangnya dengan membantu istrinya bekerja membersihkan rumah, Sahrul mengetahui kalau tenaga istrinya sekarang sudah berkurang. Sahrul ingin menghibur istrinya dengan mengajaknya ke rumah teman-teman mereka agar istrinya tidak merasa bosan selalu di rumah dan bekerja, sehingga istrinya memiliki hiburan.
Kegiataan keagamaan Sahrul semakin membaik. Sahrul lebih mendekatkan diri dengan Tuhan dengan lebih banyak sholat. Sahrul tidak memenuhi sholat lima waktu, tetapi dalam satu hari Sahrul tidak pernah melewatkan sholat, walaupun hanya satu waktu atau dua waktu.
“Kita lebih banyak berdoalah. Lebih mendekatkan dirilah gitu. Yang dulunya nggak pernah, contohlah ya, yang dulunya nggak pernah sama sekali, sekarang walaupun sewaktu dua waktu, itu pasti terisi.”
(R1W1/b.400-405/hal 9-10)
Sahrul lebih mendekatkan diri pada Tuhan dengan lebih banyak berdoa. Istri Sahrul juga lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Sholat dalam satu hari pasti ada yang terisi. Sahrul dan istrinya lebih mendekatkan diri pada Tuhan karena mereka mengetahui hanya Tuhan yang dapat membantu mereka dan hanya Tuhan tempat mereka mengadu.
4) Penyelesaian Konflik
Sebelum istri Sahrul mengidap HIV, Sahrul dan istrinya lebih banyak
menjalan aktivitas mereka masing-masing. Mereka jarang bertengkar karena Sahrul merupakan orang yang penyabar. Sahrul merasa kebanyak perempuan memang suka cerewet, sehingga Sahrul lebih menerima apa yang dikatakan istrinya daripada bertengkar. Sahrul tidak mau bertengkar dengan istrinya karena takut malu didengar tetangga dan lebih memilih untuk mengalah. Sahrul pernah juga tidak dapat menahan emosinya, sehingga Sahrul marah kepada istrinya. “…kita itu ya cemana kita itu bekerja, cemana dia bekerja.”
(R1W1/b.418-419/hal 10)
“…nggak-nggak ada masalahlah, malah lebih kegiatan masing-masing. Nggak ada kendala, ribut, apa.”
(R1W1/b.444-447/hal 10) “Dari dulu saya udah bersabar.” (R1W1/b.483/ hal 11)
“Kalau saya, dia kayak gitu, ribut, merepet, apa segala macam, saya ikut merepet, kan ujung-ujungnya jadi pertengkaran daripada kita timbul pertengkaran didengar tetangga kan nggak enakkan. Bagusnya kan diam. Ngalah bukan berarti kalah, malah ngalah untuk menangkan nggak salah daripada dia merepet, kita pun merepet, ujung-ujungnya ribut kan nggak enak ya kan. Jadi masalah pun nggak selesai, jadi makin besar kan gitu.”
(R1W1/b.498-510/hal 12)
“…lebih baik diam daripada ribut, walaupun saya ikut merepet. Namanya perempuan kan, wajar sih ya kan, mau merepet, apa segala macam, ada aja. Kita maklumi ajalah…”
(R1W1/b.485-490/hal 11)
“Saya pun nggak-nggak sadar waktu saya ngucapkan seperti itu. Namanya kita itu manusia. Mana tahu, mana sadari kita kalau ucapan kita itu nyinggung perasaan orang.”
(R1W1/b.468-472/hal 11)
Sahrul semakin banyak bersabar dalam menghadapi istrinya karena istrinya mudah tersinggung atas apa yang dikatakan Sahrul jika itu menyinggung perasaannya semenjak istrinya mengidap HIV.
“Namanya ada udah divonis penyakit seperti itu ya kan, pikiran negatif terus ya kan. Maunya kita ada ngomong agak kasar sedikit ya kan. Ntah membentaklah, gitulah kan, dia merasa tersinggung. Iyalah aku udah kena penyakit kayak gini, malah diginiin, malah senang.”
(R1W1/b.459-466/hal 11)
“Ya walaupun kita itu ngomongnya nggak sadar, dia tersinggung. Kan saya kan nggak-nggak-nggak mikir ke situ, kan gitu. Namanya penyakit seperti itu, kan pikirannya negatif aja. Jadi, ya udahlah disabar-sabari aja.”
(R1W1/b.472-478/hal 11)
Setelah menikah, Sahrul pindah ke Medan dan melamar kerja di suatu perusahaan, tetapi Sahrul tidak puas dengan penghasilan dari pekerjaannya tersebut. Penghasilan yang diterima Sahrul setiap bulan sangat kurang dan biaya transportasinya sangat mahal hingga melebihi penghasilannya tersebut. Sahrul berhenti bekerja di perusahaan tersebut dan kemudia melamar kerja di perusahaan yang bergerak di bidang layanan jasa bengkel.
“Saya dari kampung kemari ngelamar kerja SBB (Sarana Baja Perkasa), bekerja disana. Itulah dorongan saya cuma tak termakan murah kali kan nggak sesuai dengan transportasi saya, jadi saya nggak kerja lagi di sana, kerja di sini di PT Alas Jaya…”
(R1W1.b.567-574/hal 13)
Setelah istri Sahrul mengidap HIV, Sahrul tetap bekerja dengan baik di perusahaan tersebut karena menurutnya penghasilan di perusahaan itu lumayan untuk biaya kehidupannya. Pendapatan yang dihasilkan oleh Sahrul sangat sesuai dengan kebutuhan mereka sehari-hari, sehingga rumah tangga Sahrul tidak memiliki simpanan untuk masa depan dan terkadang kurang mencukupi untuk menyewa rumah. Istri Sahrul berhenti bekerja sebagai penjual sayur di pajak semenjak mengidap HIV karena Sahrul merasa tenaga istrinya sudah berkurang. Istri Sahrul sekarang bekerja sebagai sukarelawan di salah satu LSM di kota Medan untuk mengisi aktivitasnya sehari-hari.
“Sebetulnya ya, masalah keuangan, masalah ekonomi ini kalau saya, keluarga sayalah memang kuranglah kurang mencukupi. Kenapa saya bilang kurang mencukupi? Satu selama ini pun tempat tinggal saya pun belum ada, di Medan ini.”
(R1W1/b.514-520/hal 12)
“Sekarang ini pun kita masih sewa-sewa, kendaraan pun kita nggak ada. Jadi, kalau kita mau pergi kerja itu, harus mengeluarkan biaya, untuk ongkos angkot. Belanja rumah sekian, ekonomi sekarang, taulah yang sekarang, nggak ada yang murah. Minimal sekarang 2 ribu. Itupun, nggak tahulah, belum rokok kita lagi.”
(R1W1/b.523-531/hal 12)
“Jadi kalau menurut saya itu pas, nggak ada lebih nggak ada kurang bahkan bisa nombok.”
(R1W1/b.544-546/hal 13)
“Jadi itulah belum ada tabungan apa segala macam jadi pas-pas aja. Pemasukan dengan pengeluaran sama, jadi nggak ada simpanan sama sekali kan.” (R1W1/b.581-585/hal 13)
Saat Sahrul bekerja di perusahaan tersebut selama setengah bulan, istri Sahrul harus operasi kista dan biayanya sangat besar. Sahrul meminjam uang kepada keluarganya di kampung untuk menutupi biaya operasi istrinya.
“…baru kerja setengah bulan dapat musibah dia operasi, kita nggak ada duit, operasi dia waktu itu kenalah 3 setengah juta. Jadi adalah minjam uang di kampung sama abang-abang. Karena kendala itulah saya harus menutupi itu jadi ekonomi sampai saat inilah belum membaik.”
(R1W1/b.574-581/hal 13)
Sahrul dapat menutupi kekurangan biaya kehidupan mereka dengan mencari pekerjaan sampingan. Menurut Sahrul, hasil dari pekerjaan sampingannya dapat menutupi biaya kehidupannya.
“…kalau nggak ada di sini harus mencari duit sampingan juga…” (R1W1/b.551-553/hal 13)
“Cari job sampingan juga. Pokoknya saya per 1 hari di pekerjaan saya, saya dapat job, uang lebih besar dari sana…”
(R1W1/b.555-558/hal 13)
6) Hubungan Seksual
Setelah istri Sahrul mengidap HIV, terjadi perubahan dalam melakukan hubungan seksual. Sahrul dan istrinya menggunakan alat kontrasepsi dalam melakukan hubungan seksual untuk mencegah penularan HIV dari istri Sahrul
kepada Sahrul. Sahrul berpikir kalau mereka berdua mengidap HIV, bagaimana kehidupan mereka nantinya karena kesehatan mereka berdua sudah terganggu. “Tapi setelah-setelah dia divonis penyakit ini, karena dia positif, saya nggak