BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
B. Saran
sesuai dengan transportasi saya, jadi saya nggak kerja lagi di sana, kerja di sini di PT Alas Jaya…”
(R1W1.b.567-574/hal 13)
Setelah istri Sahrul mengidap HIV, Sahrul tetap bekerja dengan baik di perusahaan tersebut karena menurutnya penghasilan di perusahaan itu lumayan untuk biaya kehidupannya. Pendapatan yang dihasilkan oleh Sahrul sangat sesuai dengan kebutuhan mereka sehari-hari, sehingga rumah tangga Sahrul tidak memiliki simpanan untuk masa depan dan terkadang kurang mencukupi untuk menyewa rumah. Istri Sahrul berhenti bekerja sebagai penjual sayur di pajak semenjak mengidap HIV karena Sahrul merasa tenaga istrinya sudah berkurang. Istri Sahrul sekarang bekerja sebagai sukarelawan di salah satu LSM di kota Medan untuk mengisi aktivitasnya sehari-hari.
“Sebetulnya ya, masalah keuangan, masalah ekonomi ini kalau saya, keluarga sayalah memang kuranglah kurang mencukupi. Kenapa saya bilang kurang mencukupi? Satu selama ini pun tempat tinggal saya pun belum ada, di Medan ini.”
(R1W1/b.514-520/hal 12)
“Sekarang ini pun kita masih sewa-sewa, kendaraan pun kita nggak ada. Jadi, kalau kita mau pergi kerja itu, harus mengeluarkan biaya, untuk ongkos angkot. Belanja rumah sekian, ekonomi sekarang, taulah yang sekarang, nggak ada yang murah. Minimal sekarang 2 ribu. Itupun, nggak tahulah, belum rokok kita lagi.”
(R1W1/b.523-531/hal 12)
“Jadi kalau menurut saya itu pas, nggak ada lebih nggak ada kurang bahkan bisa nombok.”
(R1W1/b.544-546/hal 13)
“Jadi itulah belum ada tabungan apa segala macam jadi pas-pas aja. Pemasukan dengan pengeluaran sama, jadi nggak ada simpanan sama sekali kan.” (R1W1/b.581-585/hal 13)
Saat Sahrul bekerja di perusahaan tersebut selama setengah bulan, istri Sahrul harus operasi kista dan biayanya sangat besar. Sahrul meminjam uang kepada keluarganya di kampung untuk menutupi biaya operasi istrinya.
“…baru kerja setengah bulan dapat musibah dia operasi, kita nggak ada duit, operasi dia waktu itu kenalah 3 setengah juta. Jadi adalah minjam uang di kampung sama abang-abang. Karena kendala itulah saya harus menutupi itu jadi ekonomi sampai saat inilah belum membaik.”
(R1W1/b.574-581/hal 13)
Sahrul dapat menutupi kekurangan biaya kehidupan mereka dengan mencari pekerjaan sampingan. Menurut Sahrul, hasil dari pekerjaan sampingannya dapat menutupi biaya kehidupannya.
“…kalau nggak ada di sini harus mencari duit sampingan juga…” (R1W1/b.551-553/hal 13)
“Cari job sampingan juga. Pokoknya saya per 1 hari di pekerjaan saya, saya dapat job, uang lebih besar dari sana…”
(R1W1/b.555-558/hal 13)
6) Hubungan Seksual
Setelah istri Sahrul mengidap HIV, terjadi perubahan dalam melakukan hubungan seksual. Sahrul dan istrinya menggunakan alat kontrasepsi dalam melakukan hubungan seksual untuk mencegah penularan HIV dari istri Sahrul
kepada Sahrul. Sahrul berpikir kalau mereka berdua mengidap HIV, bagaimana kehidupan mereka nantinya karena kesehatan mereka berdua sudah terganggu. “Tapi setelah-setelah dia divonis penyakit ini, karena dia positif, saya nggak jadi saya harus jaga juga jangan sampai sama seperti dia. Kalau saya kena seperti dia, apa jadinya dua-duanya kan gitu kan. Jadi ya saya harus pakai pengaman. Dia pun kalau apa selalu mengingatkan. Kita pun harus jaga-jagalah, waspada kan gitu kan. Walaupun saya tahu, pernikahan seperti itu menularnya pun nggak gitu gampang. Hanya melalui hubungan seksual, jarum suntik bergantian, menyusui. Kalau umpamanya berjabat tangan, pakaian, alat-alat makan kan nggak bisa kan. Yang karena dia udah kena penyakit seperti ini, dan harus pakai pengaman, ya jadi pakailah..”
(R1W1/b.617-634/hal 15)
Penggunaan alat kontrasepsi dalam melakukan hubungan seksual antara Sahrul dengan istrinya bukan merupakan suatu permasalahan bagi Sahrul. Sahrul tetap merasakan kepuasan walaupun menggunakan alat kontrasepsi.
“Kalau menurut itu, tinggal kita sama istri kita aja. Masalah enak enggaknya itu kan masalah kedua…”
(R1W1/b.589-591/hal 14)
“Istilahnya, maaf cakaplah ya, bisa dikatakan puaslah gitu ya kan.” (R1W1/b.599-600/hal 14)
Menurut sahrul, kepuasan bukan terletak pada pengunaan alat kontrasepsi dalam melakukan hubungan seksual, tetapi terletak pada bagaimana hubungan antara suami dengan istri. Tidak adanya permasalahan dalam rumah tangga, maka penggunaan alat kontrasepsi bukan merupakan suatu halangan bagi kepuasan antara suami dengan istrinya.
“…sedangkan yang nggak kenalah sama-sama penyakit kayak gitu, kalau.. kalau kita sama pasangan kita itu nggak cocok atau cek-cok, nggak enak juga ya kan. Tapi kalau kita itu nggak ada masalah, walaupun satu kena penyakit itu, satu nggak, kalau kita nggak ada masalah, kan enak.”
“Nggak ada kenikmatan dalam berhubungan intim itu jadinya ya kan karena ada masalah antara suami dan istri itu tadi ya kan. Jadi kalau nggak ada masalah ya sama saja menurut saya ya, itu sama saja.”
(R1W1/b.606-611/hal 14)
“Itu lebih penting, kalau menurut saya kan gitu. Sama istri sendiri jadi nikmatlah ya kan, kalau nggak ada masalah ya sama aja ya kan.”
(R1W1/b.683-687/hal 15)
7) Keluarga dan Teman
Sahrul berhubungan baik dengan keluarganya sendiri dan tidak memiliki masalah dengan keluarganya. Keluarga Sahrul tidak mengetahui kalau istri Sahrul mengidap HIV. Keluarga Sahrul mau membantu jika Sahrul sedang membutuhkan mereka.
“Kalau saya sama keluarga saya nggak ada masalah. Memang selama ini belum tahu sampai saat ini…”
(R1W1/b.690-692/hal 16)
“…operasi dia waktu itu kenalah 3 setengah juta. Jadi adalah minjam uang di kampung sama abang-abang.”
(R1W1/b.576-578/hal 13)
Sahrul tidak mendapatkan dukungan dari keluarga istrinya baik dari segi moral maupun dari segi materi. Istri Sahrul cenderung didiskriminasi oleh keluarga dari pihak istri Sahrul. Keluarga istri Sahrul bahkan tidak mau membesuk istri Sahrul ketika istri Sahrul diopname selama 3 minggu.
“Diskriminasi. Maksudnya dijauhkan sama orang itu saat pertama dia kena…” (R1W1/b.698-699/hal 16)
“Itulah yang saya jengkelnya waktu saya dia dirawat di Adam Malik ya kan. Saya di situ mulai yang jengkel sama sama keluarganya istri saya. Jenguk nggak ada, dari mulai masuk sampai pulang, sekalipun nggak ada jenguk. Kan merasa kita sakit hati.”
Sahrul sangat kesal terhadap keluarga istri Sahrul karena tidak mau membantunya menjaga istrinya. Sahrul harus bekerja pada siang hari untuk membiayai pengobatan istrinya dan malam hari harus menjaga istrinya, tidak ada yang membantu Sahrul. Keluarga istri Sahrul tidak mau menjaga istri Sahrul dengan alasan mereka tidak mempunyai uang untuk transportasi.
“Saya telfon, tolonglah dijaga, aku mau kerja untuk biaya ini semua, kan gitu. Kalau aku nggak kerja-kerja, biayaku dari mana kan gitu. Alasannya nggak ada ongkos, mau berapa ongkosnya ku kasih yang penting ada yang jaga, kan saya bilang gitu. Ini nggak ada, malam saya, siang nggak ada. Siang saya kerja, malam jagain dia.”
(R1W1/b.725-734/hal 17)
“Siapa yang nggak jengkel kayak gitu ya. Jadi, datang adiknya, ini biaya 1 minggu, ongkos transportasi saya yang kasih ke adik ipar saya. Itupun saya yang telfon, saya paksa. Kalau kalian nggak mau jaga, ya udah nggak apa-apa.”
(R1W1/b.738-744/hal 17)
Keluarga istri Sahrul yang mau membantu mereka hanya pamannya. Pamannya membantu dari materi jika mereka membutuhkan bantuan. Mertua laki-laki Sahrul sajalah yang pernah mengantar istri Sahrul sewaktu pertama kali diopname. Mertua laki-laki Sahrul mau mengantar istri Sahrul ke rumah sakit karena dipaksa oleh bibi istri Sahrul. Dukungan moral lebih banyak diterima istri Sahrul dari teman-temannya.
“Cuma orangtuanya, orangtua yang, bapaknyalah. Bapaknya yang masih, itulah masih ada sedikit, kasih sayangnya.”
(R1W1/b.772-775/hal 18)
“…cuma ngantar ajalah itu mertua saya laki-laki karena pun diajak sama bule dia. Bapak ikut, pakde ikut karena ini anaknya. Nanti kalau ditanya di sana, apa pakde tega melihat anaknya terlunta-lunta di sana?”
(R1W1/b.752-758/hal 17)
“Kalau dukungan dari materi, dari sebelah sinilah, pakle-pakle dia. Kadang ada lah kami perlu bantuan kami sedikit, tapi setelah orang ini tahu bahwa saya itu, belakangan ini tapi ya bahwa orang itu agak mulai mendekatkan diri sama
kami. Nggak kayak pertama kali. Jauh sekali, drastis. Sekarang nggaklah. Drastislah.”
(R1W1/b.779-787/hal 18)
“Ada dukungan. Pokoknya Win, namanya Winda (nama samaran), semangat saja, semangat hidup. Apa yang mau dimakan, makan saja. Yang penting, kau sehat, kembali seperti semula. Masalah hidup dan mati itu sama seperti saya, bukan kita yang menentukan.”
(R1W1/b.813-820/hal 18-19)
8) Anak dan Pengasuhan Anak
Sahrul memiliki satu anak tiri yang merupakan hasil dari perkawinan pertama istri Sahrul. Anak tiri Sahrul saat ini berumur 13 tahun. Anak tiri Sahrul tidak diasuh oleh Sahrul dan istrinya, melainkan oleh mertuanya. Mertua Sahrul tidak mengijinkan Sahrul dan istrinya untuk mengasuh anak tersebut karena untuk mendapatkan pengasuhan anak tersebut, mereka harus membayar 17 juta rupiah. “Anak itu bukan kami yang ngasuh, anak itu sama neneknya…”
(R1W1/b.823-824/hal 19)
“Sampai saat ini bisa dibilang kalau kau mau ambil anakmu, bayar 17juta, kalau mau diambil. Jadi, sampai saat ini anak itu masih sama neneknya. Saya harus bayar 17juta dulu baru dikasih sama mertua saya. Ya, saya seolah-olah dia mau menjual anak, ya kan, sementara saya memang bapak tirinya”
(R1W1/b. 837-845hal 19)
Sahrul tidak mengasuh anak tirinya, tetapi seluruh biaya kehidupan anak tirinya ditanggung oleh Sahrul. Sahrul membiayai sekolah anak tirinya, tetapi pada akhir pengajaran, Sahrul dihubungi oleh pihak sekolah untuk membayar uang sekolah anak tirinya yang sudah nunggak padahal Sahrul selalu memberi uang untuk uang sekolah setiap bulan dan biaya-biaya lainnya.
“…biaya sekolah, apa segala macam semuanya dari saya. Semuanya saya, biaya sekolah. Jadi, seolah-olah dia mau mengambil uang saya aja, tapi dia nggak mau kasih anak saya. Jadi saya, kerugian saya aja, keuntungan dari saya apa, kan
gitu. Kerugian saya aja yang keluar, keuntungan dari saya apa.” (R1W1/b.846-854/hal 19)
“…biaya itu nggak pernah dimanfaatkan. Biaya yang saya kasih untuk anak itu, nggak pernah dimanfaatkan, katanya nggak pernah dikasih uang belanja, biaya sekolah, sementara saya selalu kasih tiap bulan. Begitu naik-naikan sekolah, masuk laporan, belum bayar uang sekolah. Jadi saya seharusnya berontak, ya kan. Selama ini mana uang yang saya kasih kan gitu. Datang laporan dari sekolah, datang saya ke sekolah, kok seperti ini bu? Belum ada bayar katanya. Saya juga yang menanggulangi. Apa yang ada, saya baru beli hp, langsung saya jual untuk anak sekolah. Kerja saya banting tulang untuk anak sekolah…”
(R1W1/b.941-957/hal 21-22)
Sahrul tidak mau selalu menanggung-jawabi anak tirinya, tetapi Sahrul tidak mendapatkan hak asuh anak tirinya sepenuhnya. Sahrul merasa kalau ia hanya mendapat kerugian, tetapi tidak mendapatkan keuntungan, sehingga Sahrul menghentikan memberikan uang untuk biaya hidup anak tirinya tersebut. Sahrul menginginkan mertuanya membiayai hidup anak tirinya jika mertuanya merasa sanggup untuk mengasuhnya.
“Aku nggak mau tahu urusan apa pun dengan dia, baik biaya sekolah, biaya lain-lain, saya nggak mau tahu.”
(R1W1/b.892-895/hal 20)
“Sampai saat ini saya nggak mau kasih belanja…” (R1W1/b.900-901/hal 20)
“…waktu mau ujian semalam ini kan ada uang..uang mau dilunasi uang buku ya kan. Saya nggak mau bayar.”
(R1W1/b.998-1000/hal 22)
“…kebingungan juga. Saya juga yang ditelfon-telfoni juga kan gitu. Saya bilang saya nggak ada duit.”
(R1W1/b.1005-1008/hal 23)
“Saya nggak ada duit, udah biar orang itu berusaha kalau memang orang itu mampu kan gitu karena ucapan mertua saya seolah-olah sombongkan diri.”
(R1W1/b.1011-1015/hal 23)
Pada saat sekarang ini, Sahrul tidak mau membiayai anak tirinya lagi. Sahrul tidak menghentikan biaya kepada anak tirinya sama sekali. Sahrul masih mau
memberikan uang saku kepada anak tirinya atau membelikan kebutuhan-kebutuhan anak tirinya, tapi tanpa sepengetahuan mertua Sahrul karena hubungan Sahrul dengan anak tirinya tidak memiliki masalah. Sahrul dengan anak tirinya masih berhubungan dengan baik.
“…anak sama orangtua kan nggak ada masalah. Kalau sandal nggak ada, ngelapor dia kan dibeliin sandal Kalau saya datang misalnya, lewat ntah apa, saya kasih uang jajan, 10, 20, asal terpenuhi aja ya, kan gitu. Sama saya nggak ada masalah itu, walaupun anak tiri yang pentingkan anak.”
(R1W1/b.905-913/hal 20)
“Jadi kan kalau kami pergi ke kampung, saya telfon aja, mau ikut ke kampung nggak, kayak tahun baru semalam, lebaran.”
(R1W1/b.922-925/hal )
9) Kepribadian
Semenjak istri Sahrul mengidap HIV, Sahrul mengatakan kalau istrinya tidak mengalami perubahan kepribadian. Sahrul mengatakan kalau istrinya dari dulu lebih suka terbuka, tetapi sekarang istri Sahrul lebih cenderung untuk menghibur dirinya sendiri.
“Dari dulu dia orangnya ceplas-ceplos lah gitu. Nggak perduli itu omongannya dia itu kasar nggaknya yang penting itu di dalam hati dia, itulah yang keluar dari mulut dia…”
(R1W1/b.1062-1067/hal 24))
“…dia lebih banyak menghibur diri lagi. Dia suka menghibur, bercanda sama-sama kawan, sama-sama-sama-sama saya kalau di rumah karena kan nggak mau suntuk dia.” (R1W1/b.1053-1057/hal 24)
10) Kesetaraan Peran
Pembagian peran dalam perkawinan Sahrul dan istrinya berjalan dengan baik. Sahrul berperan sebagai suami yang mencari nafkah untuk kebutuhan
keluarganya. Istri Sahrul juga berperan sebagai istri yang mengurus rumah tangga mereka. Istri Sahrul pergi ke LSM untuk mengisi aktivitasnya, tetapi ia juga tidak pernah melepaskan tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga.
“Derajat saya menjadi suami itu tetap. Posisi saya itu jadi kepala keluarga itu, tetaplah, nggak ada perubahan.”
(R1W1/b.1075-1078/hal 24)
Menurut Sahrul kesetaraan peran dalam rumah tangga benar-benar penting. Sahrul ingin ia dan istrinya menjalankan peran sesuai dengan perannya masing-masing, tetapi tidak membuat Sahrul tidak mau membantu istrinya dalam mengurusi rumah. Sahrul ikut membantu istrinya jika ia mempunyai waktu terutama jika istrinya sedang sakit.
“…posisi dia kalau dia kalau dia lagi sakitlah baru saya yang gantikan…” (R1W1/b.1085-1086/hal 24)
“Boleh kita mengerjakan pekerjaan rumah apabila istri kita itu sakit, nggak bisa apa-apa kan gitu.”
(R1W1/b.1089-1092/hal 24)
“Tapi kalau posisi dia itu sehat waalfiat, bugar seperti biasa kan nggak mungkin kalau kita yang ngerjakan kan gitu kan. Namanya kita kepala rumah tangga kan. Posisi kita itu udah ada sendiri ya kan. Itu kan bukan pekerjaan kita walaupun kita bisa. Tapi kalau dia repot, kita tolong kan nggak salah kalau kita bantu. Kalau lagi duduk-duduk nganggur kan gitu, ya kan.”
(R1W1/b.1101-1111/hal 25)
4. Interpretasi Data Partisipan I (Sahrul)
Perkawinan adalah salah satu aktivitas sentral dari manusia yang bertujuan untuk memperoleh suatu kehidupan yang bahagia (Domikus, 1999). Menurut
Walgito, perkawinan manusia dapat memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan religius (Domikus, 1999). Perkawinan selalu dianggap sebagai hal yang memuaskan dan berharga (Rini, 2001).
Partisipan merasakan perubahan dalam perkawinannya karena istri partisipan mengidap HIV yang disebabkan oleh penggunaan narkoba jarum suntik sebelum istrinya menikah dengannya. Perubahan yang dirasakan partisipan bukan perubahan yang semakin memburuk melainkan perubahan yang mengarah ke lebih baik. Tidak semua area dari kepuasan perkawinan yang dikemukakan oleh Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003) semakin membaik, tetapi kebanyakan dari area-area tersebut menuju ke arah yang lebih baik.
Kondisi fisik istri partisipan berpengaruh bagi partisipan karena partisipan mengurus istrinya dan juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Kondisi fisik istri partisipan yang menurun membuat partisipan megerjakan pekerjaan rumah untuk membantu istrinya.
Partisipan yang memiliki istri pengidap HIV saat pertama kali mengetahui bahwa istrinya mengidap HIV merasa terkejut dan tidak percaya. Partisipan tidak mengetahui darimana penularan HIV tersebut sedangkan partisipan sendiri tidak mengidap HIV. Partisipan akhirnya dapat menerima hal yang terjadi pada istrinya karena partisipan mengetahui kalau istrinya tertular HIV disebabkan oleh pemakaian jarum suntik yang bergantian.
Terdapat perubahan komunikasi semenjak istri partisipan mengidap HIV, dimana saat ini istri partisipan memiliki pemikiran negatif jika partisipan berbicara kasar kepada istri partisipan. Komunikasi yang terjadi antara partisipan
dengan istri partisipan semakin membaik. Partisipan jarang berbicara kasar kepada istri partisipan. Jika partisipan berbicara kasar kepada istri partisipan, istri partisipan merasa kalau partisipan sedang memojokkannya karena istri partisipan sedang mengidap HIV. Partisipan sesekali secara tidak sengaja berbicara kasar kepada istri partisipan dan partisipan meminta maaf karena partisipan tidak berniat untuk berbicara kasar kepada istrinya.
Waktu luang yang dirasakan partisipan juga berubah dimana partisipan dan istri partisipan sekarang ini lebih menghabiskan waktu luang bersama-sama. Kondisi istri partisipan membuat partisipan lebih mau menghabiskan waktu luang dengan bekerja sama. Partisipan dan istri partisipan lebih menginginkan kebersamaan. Partisipan juga membawa istri partisipan jikalau mereka mempunyai uang untuk mengunjungi teman-teman mereka agar menghilangkan suntuk istri partisipan dan dapat menghibur istri partisipan.
Orientasi keagamaan yang dirasakan partisipan juga berubah semenjak istri partisipan mengidap HIV. Partisipan mejadi lebih sering berdoa walaupun sholat lima waktu tidak selalu terpenuhi, tetapi setiap harinya partisipan dan istri partisipan selalu berdoa. Partisipan dan istri partisipan selalu memenuhi setidaknya sewaktu ataupun dua waktu dalam satu hari. Partisipan dan istri partisipan lebih banyak berdoa untuk meminta bantuan pada Tuhan agar mereka dapat menjalankan kehidupan mereka dengan baik dan istri partisipan mempunyai kondisi fisik yang sehat. Partisipan menemukan agama sebagai sumber kebahagiaan yang diperoleh dibandingkan dengan apa yang diperolehnya sebelumnya yang sejalan dengan pernyataan Hurlock (1999).
Partisipan menyelesaikan masalahnya dengan lebih baik semenjak istri partisipan mengidap HIV. Partisipan lebih banyak bersabar untuk menghadapi istri partisipan yang sekarang ini lebih mempunyai pemikiran negatif terhadap orang lain kepada dirinya sendiri. Partisipan lebih banyak untuk lebih menerima jika istri partisipan sedang marah-marah. Partisipan berpikir kalau istri partisipan marah-marak karena sudah merupakan kebiasaannya dan merupakan kebiasaan kebanyakan wanita.
Pengelolaan keuangan juga mengalami perubahan karena sebelum istri partisipan mengidap HIV, istri partisipan berjualan sayur di pajak yang dapat menambah penghasilan bagi rumah tangga mereka. Setelah istri partisipan mengidap HIV, istri partisipan berhenti berjualan dan menjadi sukarelawan di sutau LSM di kota Medan. Penghasilan yang dihasilkan oleh partisipan sangat sesuai dengan kebutuhan rumah tangga mereka sehari-hari, sehingga pada saat ini, partisipan dan istri partisipan tidak memiliki rumah ataupun kendaraan bermotor bahkan tidak memiliki tabungan untuk masa depan mereka.
Terjadi perubahan dalam hubungan seksual antara partisipan dengan istri partisipan semenjak istri partisipan mengidap HIV. Hubungan seksual merupakan salat satu aspek dalam kepuasan perkawinan. Partisipan merasakan kepuasan walaupun perubahan dalam melakukan hubungan seksual terjadi. Partisipan dan istri partisipan melakukan hubungan seksual dengan menggunakan alat kontrasepsi, tetapi partisipan tetap merasakan kepuasan. Partisipan mengatakan kalau kepuasan itu terletak pada hubungan suami dengan istri, bukan karena penggunaan alat kontrasepsi. Jikalau suami dan istri melakukan hubungan seksual,
tetapi suami dan istrinya sedang ada masalah, kepuasan tersebut tidak didapatkan walaupun tidak menggunakan alat kontrasepsi.
Hubungan antara partisipan dengan keluarga partisipan sendiri masih baik-baik saja, dimana keluarga partisipan juga tidak mengetahui kalau istri partisipan sedang mengidap HIV. Hubungan partisipan dengan keluarga istri partisipan tidak berjalan denga baik. Keluarga istri partisipan tidak ada yang mau memberikan dukungan kepada partisipan dan istri partisipan. Tidak hanya mau memberikan dukungan, tetapi juga keluarga istri partisipan tidak mau menjenguk istri partisipan ketika istri partisipan sedang dirawat di rumah sakit. Bapak dari istri partisipan sajalah yang pernah mengantarkan istri partisipan ketika akan dirawat di rumah sakit. Bapak dari istri partisipan mau mengantarkan istri partisipan ke rumah sakit karena diminta oleh bibi istri partisipan agar bapaknya tersebut ikut mengantar istri partisipan ke rumah sakit.
Dukungan yang didapatkan oleh partisipan dan istri partisipan dalam bentuk materi berasal dari paman dan bibi istri partisipan ketika partisipan dan istri partisipan meminta bantuan kepada mereka. Menurut Hurlock (1999), hubungan yang baik dengan keluarga dan teman akan menimbulkan perasaan bahagia. Teman-teman dari partisipan tidak ada yang mengetahui istri partisipan mengidap HIBV, tetapi teman-teman dari istri partisipan ada yang mengetahui kalau istri partisipan sedang mengidap HIV. Teman-teman dari istri partisipan baik teman dari LSM maupun dari luar LSM yang mengetahui istri partisipan mengidap HIV memberikan dukungan moral dengan memberikan semangat kepada istri
partisipan agar terus brjuang dalam hidup dan jangan menyerah apalagi berpikiran akan meninggal dunia.
Kehadiran anak merupakan aspek penting dalam perkawinan seseorang. Partisipan tidak mengasuh anat tirinya yang merupakan hasil perkawinan istri partisipan yang pertama. Anak tiri partisipan diasuh oleh keluarga dari pihak istri partisipan yaitu bapak dan ibunya. Partisipan dan istri partisipan ingin mengasuh anak tersebut, tetapi tidak diijinkan oleh keluarga istri partisipan. Keluarga istri partisipan akan memberikan pengasuhan anak kepada partisipan dan istri partisipan jika mereka mau membayar sebesar 17 juta rupiah kepada keluarga istri