• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI DAYA HASIL PENDAHULUAN (UDHP) GALUR GALUR PADI DIHAPLOID

DI LAHAN NON-SALIN

9 UJI DAYA HASIL PENDAHULUAN (UDHP) GALUR GALUR PADI DIHAPLOID

Abstrak

Uji daya hasil pendahuluan merupakan salah satu tahapan dalam program perakitan varietas unggul baru. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui daya hasil 32 galur dihaploid padi dengan tiga varietas pembanding di lahan sawah. Percobaan dilaksanakan di lahan sawah irigasi di Sukabumi, Jawa Barat pada bulan Mei – September 2015. Materi yang digunakan adalah 32 galur padi dihaploid (DH) hasil kultur antera dan tiga varietas pembanding yaitu Ciherang, Inpara 4 dan Inpara 5. Percobaan menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan tiga ulangan. Percobaan terkena cekaman kekeringan yang dimulai pada saat tanaman berumur 8 minggu setelah tanam. Kekeringan ini menyebabkan penurunan pada karakter agronomi dan hasil gabah. Hasil percobaan menunjukkan bahwa seluruh galur dihaploid mempunyai hasil gabah yang sebanding dengan Ciherang, satu galur dihaploid (galur HS4-13-1-1) mempunyai produktivitas lebih dari 4 ton ha-1.

Abstract

Preliminary yield trial is one step in rice breeding program to obtain new varieties. The purpose of this research was to determine the agronomic and yield characters of 32 doubled haploid lines and three rice varieties in lowland rice field. The experiment was conducted in the irrigated field in Sukabumi, West Java from May to September 2015. The materials used in this experiment were 32 doubled haploid lines of rice (DH) obtained from anther culture and three check varieties namely Ciherang, Inpara 4 and Inpara 5. The experiment was conducted using completely randomised block design (RCBD) with three replications. The experiment experience drought starting at eight weeks after planting. The drought led to a reduction in agronomic characters and grain yield. The results showed that all doubled haploid lines had grain yield equal to Ciherang. One of doubled haploid line (HS4-13-1-1) had grain yield more than 4 ton ha-1.

Pendahuluan

Padi (Oryza sativa L.) merupakan bahan pangan utama di Indonesia. Produksi padi di Indonesia sulit untuk ditingkatkan lagi, salah satu penyebabnya adalah konversi lahan pertanian yang subur untuk tanaman padi menjadi lahan non-pertanian atau ditanaman tanaman selain padi. Oleh sebab itu diperlukan pendekatan lain untuk meningkatkan produksi padi. Lestari et al. (2007) menyatakan bahwa penggunaan varietas unggul merupakan teknologi yang paling tepat dalam meningkatkan produksi padi di Indonesia.

Potensi hasil padi varietas unggul yang telah dilepas oleh pemerintah Indonesia cukup tinggi yaitu berkisar 6-11 ton/ha (BB Padi 2015). Hasil yang diperoleh suatu varietas perpotensi hasil tinggi bervariasi tergantung dari lingkungan tumbuhnya. Oleh sebab itu diperlukan varietas yang adaptif dan stabil pada berbagai lingkungan tumbuh.

Proses pembentukan suatu varietas unggul umumnya berlangsung empat hingga lima tahun (Harahap et al.1982). Pemuliaan padi secara konvensional membutuhkan enam sampai delapan generasi dalam satu siklus pemuliaan untuk memperoleh galur murni. Teknik kultur antera dapat menjadi solusi dalam mempersingkat proses pemuliaan tersebut. Tanaman homozigos yang dihasilkan pada keturunan pertama akan memudahkan seleksi fenotipe bagi karakter-karakter yang bersifat kuantitatif tanpa disukarkan oleh hubungan dominan resesif seperti pada tanaman heterozigos. Tanaman-tanaman dihaploid yang dihasilkan melalui kultur antera bersifat homozigos penuh dan breed true, karena kedua kopi informasi genetik pada tanaman-tanaman tersebut identik. Individu tanaman yang dihasilkan oleh mikrospora yang sama tentu akan mempunyai karakter agromorfologi yang sama pada generasi selanjutnya (Dewi dan Purwoko 2011).

Pelepasan varietas padi memerlukan beberapa tahapan yang harus dilalui. Galur-galur yang telah dihasilkan dari proses pemuliaan harus melalui serangkaian tahapan pengujian seperti karakterisasi atau observasi, uji daya hasil pendahuluan (UDHP), uji daya hasil lanjutan (UDHL), dan uji multilokasi (UML). Sebagai kelanjutan dari tahap evalusi karakter agronomi dan daya hasil pada generasi pertama, maka uji daya hasil pendahuluan terhadap galur-galur dihaploid terpilih perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya hasil 32 galur dihaploid padi dengan tiga varietas pembanding di lahan sawah.

Bahan dan Metode Waktu dan Tempat

Percobaan dilaksanakan di sawah irigasi di daerah Sukabumi, Jawa Barat, pada bulan Mei – September 2015.

Bahan dan Metode

Materi yang digunakan adalah 32 galur padi dihaploid (DH) hasil kultur antera dan tiga varietas pembanding yaitu Ciherang (varietas unggul berdaya hasil tinggi), Inpara 4 dan Inpara 5 (varietas unggul padi rawa). Galur-galur yang digunakan pada percobaan ini berasal dari percobaan sebelumnya yaitu“Evaluasi Karakter Agronomi dan Daya Hasil Galur-galur Padi Dihaploid” di Cianjur, Jawa Barat, dipilih berdasarkan potensi hasil dan penampilan galur (posisi daun bendera

tegak, eksersi malai keluar, dan tidak adanya ekor pada gabah). Percobaan menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan tiga ulangan. Benih padi dihaploid disemai pada pesemaian di lapangan (sawah) hingga berumur 21 hari. Sebelum bibit ditanam, terlebih dahulu dilakukan pembajakan tanah sebanyak dua kali. Bibit ditanam dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm, 1-2 bibit tiap lubang tanam. Setiap galur ditanam dalam satu plot berukuran 2 m x 3 m, sehingga setiap plot berisi 96 tanaman padi. Pemupukan diberikan dengan dosis 200 kg Urea, 200 kg SP18, dan 100 kg KCl ha-1. Setengah dosis pupuk Urea, seluruh pupuk TSP dan KCl diberikan seluruhnya pada sehari sebelum tanam sebagai pupuk dasar, sedangkan pupuk Urea sisanya akan diberikan pada saat tanaman berumur 60 hari. Penyiangan dan pengendalian hama dan penyakit akan dilakukan apabila diperlukan. Panen dilakukan bertahap sesuai umur panen dari masing-masing galur/varietas.

Pengamatan dilakukan terhadap karakter morfologi dan hasil padi yaitu umur tanaman berbunga, umur panen, tinggi tanaman, jumlah anakan per tanaman, panjang daun bendera, panjang malai, jumlah gabah isi dan hampa per malai, bobot 1000 butir gabah isi, dan hasil gabah per tanaman.

Hasil dan Pembahasan

Percobaan uji daya hasil galur-galur padi dihaploid di Sukabumi mengalami kendala kekeringan dimulai dari 8 minggu setelah tanam (MST) karena sudah tidak ada lagi hujan maupun air irigasi. Musim kemarau pada tahun 2015 yang datang lebih awal dan lebih lama membuat pertanaman terganggu. Pengairan diupayakan dengan cara memompa air sungai yang letaknya lebih rendah dari pertanaman yang hanya cukup untuk sekedar membasahi tanah (Gambar 9.1). Pertanaman padi milik petani yang berada di dekat percobaan dibiarkan kering dan puso (Gambar 9.2). Oleh sebab itu, penampilan dan hasil gabah galur-galur dihaploid pada UDHP ini mengalami penurunan.

Gambar 9.1 Kondisi pertanaman padi pada 12 minggu setelah tanam: (A) tanah kelihatan retak-retak karena kekeringan yang cukup lama, (B) usaha pengairan yang dilakukan dengan memompa air

Gambar 9.2. Pertanaman UHDP padi yang mendapat pengairan dengan pompanisasi dan lahan petani yang dibiarkan puso

Cekaman kekeringan menyebabkan umur tanaman menjadi lebih pendek. Umur panen varietas pembanding yang mengalami kekeringan menjadi lebih pendek 2-11 hari apabila dibandingkan dengan umur normalnya. Varietas Ciherang, Inpara 4 dan Inpara 5 mempunyai umur panen berturut-turut 113.7 hari, 123.7 hari dan 109.3 hari (Tabel 9.1), lebih pendek dibandingkan dengan umur normalnya, berturut-turut 116 hari, 135 hari dan 115 hari (Lampiran 3). Umur panen galur-galur dihaploid yang diuji berkisar 109.0-122.7 hari. Galur HS17-62- 1-1 mempunyai umur panen paling lama (122.7 hari), sedangkan galur-galur yang lain mempunyai umur panen kurang dari 120 hari (Tabel 9.1).

Tinggi tanaman galur-galur dan varietas yang diuji juga mengalami penurunan akibat cekaman kekeringan. Ciherang, Inpara 4 dan Inpara 5 mempunyai tinggi tanaman berturut-turut 76.6 cm, 68.0 cm dan 71.6 cm (Tabel 9.1). Tinggi tanaman varietas-varietas tersebut pada kondisi optimal (sesuai deskripsi) yaitu berturut-turut 91 cm, 94 cm dan 95 cm (Lampiran 3). Penurunan tinggi tanaman tersebut mengindikasikan adanya penghambatan pertumbuhan tanaman karena cekaman kekeringan. Tinggi tanaman galur-galur dihaploid yang diuji berkisar 53.6 – 99.4 cm. Galur HS1-15-1-1 dan HS18-17-1-1 mempunyai penampilan tanaman yang pendek, dengan tinggi tanaman berturut-turut 63.3 cm 53.6 cm, sedangkan galur-galur yang lain mempunyai tinggi tanaman lebih dari 70 cm (Tabel 9.1). Tanaman yang pendek sebenarnya mempunyai keunggulan, yaitu tidak mudah rebah. Tanaman yang pendek juga merupakan penciri varietas padi modern kaitannya dengan ketahanan terhadap rebah dan efisiensi partisi biomassa antara gabah dan jerami, sehingga memiliki indeks panen yang tinggi (Peng et al.

1994). Varietas berumur panjang dan berbatang tinggi tidak selalu disertai oleh hasil gabah yang tinggi, sebab hasil gabah lebih terkait dengan agihan bahan kering atau efisiensi fotosintesis (Manurung dan Ismunadji 1988). Dalam perakitan varietas, ketahanan terhadap kerebahan menjadi salah satu kriteria karena berhubungan dengan tingginya hasil gabah (Yoshida 1981).

Cekaman kekeringan pada saat pengujian tidak terlalu mempengaruhi jumlah anakan produktif galur-galur dihaploid dan varietas yang diuji. Hal ini terlihat pada jumlah anakan yang tidak produktif, yaitu hanya berkisar 1-2 batang (Tabel 9.1). Jumlah anakan produktif galur-galur yang diuji berkisar 12.7-22.6 batang. Varietas Ciherang, Inpara 4 dan Inpara 5 berturut-turut mempunyai jumlah anakan produktif 18.7, 26.1 dan 22.3 batang. Inpara 4 mempunyai jumlah

anakan yang banyak. Hal ini diduga karena Inpara 4 mempunyai fase vegetatif yang panjang, yang dapat diketahui dari umur panennya yang paling panjang dibandingkan dengan yang lain.

Panjang malai berhubungan dengan jumlah gabah per malai. Kekeringan juga berakibat pada panjang malai dan jumlah gabah per malai. Malai galur-galur dihaploid dan varietas yang diuji menjadi semakin pendek akibat kekeringan, yang berpengaruh pada penurunan jumlah gabah per malai. Panjang malai galur- galur dihaploid dan verietas yang diuji berkisar 19.1 – 26.6 cm, dengan jumlah gabah per malai-1 berkisar 74.3-151.5 butir. Ciherang dan Inpara 5 mempunyai jumlah gabah per malai yang sangat sedikit, berturut-turut 98.2 butir dan 84.2 butir. Delapan galur dihaploid juga menghasilkan jumlah gabah per malai kurang dari 100 butir. Meskipun demikian, tingkat pengisian gabah galur-galur dihaploid dan varietas yang diuji masih cukup baik (>70%), kecuali dua galur yaitu HS17- 31-1-2 dan HS17-62-1-1 (Tabel 9.2).

Kekeringan juga menyebabkan berkurangnya ukuran biji padi yang terlihat pada bobot 1000 butir gabah yang rendah. Ciherang, Inpara 4 dan Inpara 5 berturut-turut mempunyai bobot 1000 butir gabah 24.0 g, 17.5 g dan 21.7 g (Tabel 9.1). Bobot ini lebih rendah dibandingkan dengan bobot 1000 butir yang tercantum dalam deskripsi padi, yaitu berturut-turut 25 g , 27 g dan 27 g (BB Padi 2015, Lampiran 3). Bobot 1000 butir galur-galur dihaploid yang diuji juga rendah, berkisar 20.3 – 29.2 g dengan rata-rata 23.7 g, hanya galur dihaploid yang mempunyai ukuran biji besar (>27 g), yaitu galur HS2-5-1-1 (28.1 g), HS4-8-1-2 (29.2 g) dan HS4-15-1-10 (27.3 g) (Tabel 9.2).

Hasil tanaman adalah proses akumulasi dan distribusi bahan kering. Total hasil bahan kering terutama ditentukan oleh kanopi fotosintesis, dimana kanopi setiap tipe varietas padi berbeda (Wahyuti 2012). Hasil gabah sangat dipengaruhi oleh komponen hasil, yaitu bobot 1000 biji, jumlah anakan produktif, jumlah gabah per malai, dan tingkat pengisian malai (Ishimaru et al. 2005). Kekeringan berpengaruh pada penurunan komponen hasil galur-galur dihaploid dan varietas yang diuji sehingga hasil gabah juga rendah. Hasih gabah galur-galur dihaploid dan varietas yang diuji berkisar 2.9 – 4.1 ton ha-1. Ciherang sebagai varietas komersial berdaya hasil tinggi yang banyak dibudidayakan petani mempunyai hasil 3.4 ton ha-1, lebih rendah dibandingkan dengan dua varietas yang lain yaitu Inpara 4 dan Inpara 5 yang berturut-turut mempunyai hasil gabah 3.5 ton ha-1 dan 3.8 ton ha-1. Menurut deskripsi varietas (BB Padi 2015), Ciherang mempunyai rata-rata hasil dan potensi hasil yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kedua varietas yang lain (Lampiran 3). Hal ini berarti Inpara 4 dan Inpara 5 lebih toleran kekeringan dibandingkan dengan Ciherang. Sebagian besar galur-galur dihaploid yang diuji mempunyai hasil gabah lebih dari 3.0 ton ha-1, meskipun terdapat empat galur yang mempunyai hasil gabah kurang dari 3.0 ton ha-1. Satu galur dihaploid mempunyai hasil gabah lebih dari 4.0 ton ha-1 yaitu galur HS4-13-1-1 dengan hasil 4.1 ton ha-1. Apabila dibandingkan dengan dengan Ciherang, maka seluruh galur dihaploid yang diuji mempunyai hasil gabah yang tidak berbeda nyata, tiga galur yaitu HS14-15-1-2, HS17-3-1-3 dan HS17-21-1-5 adalah galur toleran salinitas berdasarkan skor kerusakan daun pada uji pot di tanah salin (EC = 6.2 dS m-1). (Tabel 9.2).

Usaha pompanisasi yang dilakukan pada tanaman percobaan menyebabkan penampilan tanaman galur-galur dihaploid yang diuji masih cukup baik sehingga

kelihangan hasil dapat ditekan. Beberapa galur dihaploid mempunyai penampilan tanaman lebih baik dibandingkan dengan Ciherang yang dapat dilihat dari ketegaran tanaman, bentuk tanaman dan daun bendera yang lebih tegak (Gambar 9.3).

Tabel 9.1 Karakter agronomi galur-galur padi dihaploid pada uji daya hasil pendahuluan di sawah irigasi di Sukabumi, Jawa Barat 2015

No. Galur/ varietas Umur berbunga (hari) Umur panen (hari) Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan total Jumlah anakan produktif Panjang malai (cm) 1 HS1-5-1-1 86.7 112.0 70.8 21.1 19.2 20.8 2 HS1-15-1-1 87.0 112.0 63.3 21.3 19.0 21.2 3 HS1-28-1-3 88.7 114.3 85.8 18.6 17.9 19.6 4 HS1-28-1-4 87.3 112.3 89.1 18.6 16.0 20.3 5 HS2-5-1-1 86.3 111.3 72.6 18.9 18.1 19.9 6 HS4-8-1-2 88.0 113.0 95.9 13.7 12.7 26.6 7 HS4-13-1-1 83.3 109.0 91.7 15.7 14.9 24.7 8 HS4-13-1-4 84.7 109.7 85.9 19.7 17.7 23.7 9 HS4-15-1-9 86.7 111.7 81.8 18.8 17.0 24.4 10 HS4-15-1-10 86.3 111.3 86.3 15.7 14.4 25.3 11 HS4-15-3-13 85.0 110.0 80.7 22.7 21.3 25.4 12 HS4-15-3-14 85.7 111.7 84.0 19.6 18.4 24.0 13 HS4-15-3-16 87.0 112.0 87.0 20.3 19.3 25.0 14 HS4-15-3-39 86.3 111.3 82.8 21.3 20.2 25.3 15 HS14-15-1-2 92.0 117.0 90.0 18.8 15.7 21.8 16 HS15-13-1-1 86.0 111.0 99.4 17.4 13.9 23.3 17 HS15-11-1-1 91.7 116.7 74.8 20.9 18.7 19.1 18 HS15-11-1-2 89.7 114.7 71.7 22.0 18.0 21.3 19 HS17-1-1-1 83.3 109.3 97.6 16.1 15.3 25.5 20 HS17-3-1-3 86.0 111.0 85.3 19.4 18.1 25.0 21 HS17-31-1-1 85.0 110.3 74.6 19.3 18.7 20.6 22 HS17-3-1-1 86.0 111.0 85.9 20.2 18.9 24.2 23 HS17-3-1-4 84.0 109.7 88.3 18.8 17.4 25.9 24 HS17-3-1-6 85.0 110.3 87.4 17.6 16.1 25.3 25 HS17-3-1-7 85.7 110.7 82.4 18.1 16.6 24.4 26 HS17-21-1-1 89.3 114.3 76.9 21.1 18.0 22.1 27 HS17-21-1-2 89.3 114.3 75.7 21.3 18.3 20.5 28 HS17-21-1-5 89.3 114.3 74.8 19.8 17.2 20.1 29 HS17-21-1-6 88.0 113.0 73.1 21.0 18.7 20.5 30 HS17-31-1-2 87.3 112.3 75.2 16.9 15.2 20.7 31 HS17-62-1-1 96.0 122.7 75.1 22.2 20.2 20.8 32 HS18-17-1-1 88.3 113.3 53.6 23.9 22.6 24.1 33 Ciherang 87.7 113.7 76.6 20.4 18.7 21.2 34 Inpara 4 98.3 123.7 68.0 27.8 26.1 19.0 35 Inpara 5 82.3 109.3 71.6 23.9 22.3 20.6 Rata-rata 87.4 112.7 80.4 19.8 18.0 22.6 KK (%) 1.2 0.9 5.8 9.7 10.2 9.2 BNT (5%) 1.7 1.6 7.6 3.1 3.0 3.4

Tabel 9.2 Komponen hasil dan hasil galur-galur padi dihaploid pada uji daya hasil pendahuluan di sawah irigasi di Sukabumi, Jawa Barat 2015 No. Galur/varietas Bobot 1000 butir gabah Gabah isi Gabah hampa Gabah total Hasil gabah

(g) (butir) (butir) (butir) (ton ha-1)

1 HS1-5-1-1 24.2 78.7 11.3 90.0 3.2 2 HS1-15-1-1 22.5 75.2 12.9 88.2 3.3 3 HS1-28-1-3 22.5 71.5 15.1 86.6 3.5 4 HS1-28-1-4 22.4 87.0 13.0 100.0 3.4 5 HS2-5-1-1 28.1 63.3 11.0 74.3 3.7 6 HS4-8-1-2 29.2 100.9 28.5 129.4 3.5 7 HS4-13-1-1 24.7 111.8 37.8 149.6 4.1 8 HS4-13-1-4 23.5 107.3 27.1 134.5 3.7 9 HS4-15-1-9 26.6 70.2 16.3 86.6 3.3 10 HS4-15-1-10 27.3 70.3 17.1 87.4 3.0 11 HS4-15-3-13 25.0 83.2 31.0 114.2 3.8 12 HS4-15-3-14 25.7 81.1 27.5 108.6 3.2 13 HS4-15-3-16 24.2 84.9 30.0 114.9 3.5 14 HS4-15-3-39 25.3 74.4 24.8 99.2 3.6 15 HS14-15-1-2* 21.7 91.9 23.3 115.2 3.1 16 HS15-13-1-1 25.1 117.4 19.3 136.6 3.4 17 HS15-11-1-1 20.3 76.7 26.8 103.4 3.1 18 HS15-11-1-2 20.3 89.6 34.6 124.2 3.8 19 HS17-1-1-1 24.7 92.8 21.5 114.3 3.8 20 HS17-3-1-3* 23.8 83.4 29.7 113.1 3.7 21 HS17-31-1-1 22.6 64.4 40.8 105.3 3.0 22 HS17-3-1-1 23.5 86.5 29.4 115.9 3.8 23 HS17-3-1-4 24.2 110.9 40.6 151.5 3.9 24 HS17-3-1-6 23.9 103.3 21.4 124.7 3.9 25 HS17-3-1-7 23.0 89.5 25.9 115.5 3.8 26 HS17-21-1-1 23.4 98.2 19.7 117.9 3.8 27 HS17-21-1-2 24.0 82.6 19.0 101.6 3.4 28 HS17-21-1-5* 23.6 89.6 21.7 111.3 3.9 29 HS17-21-1-6 23.0 90.0 13.0 103.0 3.9 30 HS17-31-1-2 23.1 71.8 32.6 104.4 3.0 31 HS17-62-1-1 22.6 53.6 42.5 96.1 2.9 32 HS18-17-1-1 20.5 72.6 29.8 102.4 3.2 33 Ciherang 24.0 83.6 14.5 98.2 3.4 34 Inpara 4 17.5 88.0 31.0 118.9 3.5 35 Inpara 5 21.7 75.9 8.3 84.2 3.8 Rata-rata 23.7 84.9 24.3 109.2 3.5 KK (%) 2.3 14.3 26.9 11.2 13.7 BNT (5%) 0.9 19.9 10.6 20.0 0.8

*Galur padi dihaploid toleran salinitas (skor 3) berdasar pengujian di tanah salin; KK = koefisien keragaman; BNT = beda nyata terkecil

Gambar 9.3 Penampilan galur-galur padi dihaploid dan varietas Ciherang pada uji daya hasil pendahuluan di Sukabumi pada 105 HSS

Simpulan

Uji daya hasil pendahuluan galur-galur dihaploid di Sukabumi mengalami cekaman kekeringan sehingga berakibat pada penurunan karakter agronomi dan hasil gabah. Seluruh galur dihaploid mempunyai hasil gabah yang sebanding dengan Ciherang, satu galur dihaploid mempunyai hasil lebih dari 4 ton ha-1 yaitu galur HS4-13-1-1. Galur-galur dihaploid perlu diuji kembali di lahan non-salin dan salin untuk mengetahui penampilan dan daya hasilnya di lingkungan optimum dan di lingkungan sub optimum dengan cekaman salinitas di lapangan. Tiga galur yaitu HS14-15-1-2, HS17-3-1-3 dan HS17-21-1-5 adalah galur toleran salinitas berdasarkan skor kerusakan daun pada uji pot di tanah salin (EC = 6.2 dS m-1) yang mempunyai hasil sebanding dengan Ciherang.

Dokumen terkait