BAB II KAJIAN PUSTAKA
D. Daya Pragmatik
D1 : Data 1
DPPL : Dinas Pengelola Pasar Legi IKAPPAGI : Ikatan Penjual Pasar Legi KAMUS : Keluarga Muslim Pasar Legi KAPAS : Keluarga Pengamen Surakarta KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia KP : Kuli Panggul
MT : Mitratutur
P : Penutur
PLS : Pasar Legi Surakarta
SasDa’06 : Sastra Daerah angkatan 2006 SBLC : Teknik Simak Bebas Libat Cakap SLC : Teknik Simak Libat Cakap
SPTI : Serikat Pekerja Transport Indonesia TT L : Tindak Tutur Langsung
TT LLt : Tindak Tutur Langsung Literal TT Lt : Tindak Tutur Literal
TT LTLt : Tindak Tutur Langsung Tak Literal TT TL : Tindak Tutur Tak Langsung
TT TLLt : Tindak Tutur Tak Langsung Literal TT TLt : Tindak Tutur Tak Literal
xvii
TT TLTLt : Tindak Tutur Tak Langsung Tidak Literal WIB : Waktu Indonesia bagian Barat
Daftar Tanda
. : tanda titik digunakan pada akhir kalimat yang bukan pertanyaan atau seruan.
, : tanda koma digunakan untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat setara berikutnya.
: : tanda titik dua dapat digunakan pada akhir suatu penyataan lengkap jika diikuti rangkaian atau pemerian. Selain itu tanda titik dua juga digunakan sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan pemerian.
? : tanda Tanya digunakan pada akhir kalimat tanya.
! : tanda seru digunakan sesudah ungkapan atau pernyataan yang berupa seruan atau perintah yang menggambarkan kesungguhan, ketidakpercayaan, ataupun rasa emosi yang kuat.
( ) : tanda kurung mengapit tambahan keterangan atau penjelasan. (…) : ada bagian kalimat yang dilesapkan
“ ” : tanda petik dobel digunakan untuk mengapit terjemahan / : tanda garis miring digunakan sebagai pengganti kata, atau.
xviii ABSTRAK
Wiji Nurkayati. C0106058. 2010. Kesantunan Berbahasa Jawa Para Kuli Panggul di Pasar Legi Surakarta (Suatu Kajian Pragmatik). Skripsi: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu (1) bagaimanakah wujud kesantunan berbahasa Jawa para kuli panggul di Pasar Legi Surakarta? (2) bagaimanakah prinsip kerja sama yang dilakukan oleh kuli panggul di Pasar Legi Surakarta? (3) bagaimanakah daya pragmatik tindak tutur bahasa Jawa para kuli panggul di Pasar Legi Surakarta?
Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan wujud kesantunan berbahasa Jawa para kuli panggul di Pasar Legi Surakarta. (2) mendeskripsikan prinsip kerja sama yang dilakukan oleh kuli panggul di Pasar Legi Surakarta. (3) mendeskripsikan daya pragmatik tindak tutur bahasa Jawa para kuli panggul di Pasar Legi Surakarta.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini berupa data lisan yaitu tuturan bahasa Jawa yang digunakan kuli panggul di Pasar Legi Surakarta, dan sumber data lisan berasal dari informan. Populasi penelitian mencakup semua tuturan bahasa Jawa oleh kuli panggul di Pasar Legi Surakarta yang mengandung prinsip kesantunan, prinsip kerja sama, dan daya pragmatik. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling. Metode analisis data yang digunakan adalah metode padan pragmatik dengan penentunya penutur dan mitratutur.
Dari analisis ini dapat disimpulkan beberapa hal: (1) ditemukan penerapan keenam wujud prinsip kesantunan berbahasa Jawa yang dilakukan oleh kuli panggul di Pasar Legi yakni maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim penerimaan, maksim kerendahan hati, maksim kesetujuan, dan maksim kesimpatian, selain itu ditemukan pelanggaran terhadap maksim penerimaan dan maksim kesetujuan. (2) penerapan prinsip kerja sama yang dilakukan oleh KP di Pasar Legi Surakarta meliputi empat maksim yakni maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim cara. Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan ditemukan penerapan keempat maksim tersebut dan pelanggaran terhadap maksim kuantitas. (3) analisis daya pragmatik tindak tutur bahasa Jawa yang dilakukan oleh KP di Pasar Legi Surakarta dianalisis dengan menggunakan tiga kategori tindak tutur, yakni kategori tindak tutur menurut Austin, kategori tindak tutur menurut Searle, dan kategori tindak tutur menurut Wijana. Dari pengamatan di lapangan ditemukan adanya penerapan tindak tutur dari ketiga kategori di atas. Namun untuk tindak tutur lokusi (kategori Austin), dan tindak tutur langsung (kategori Wijana) tidak menggambarkan adanya daya pragmatik sebuah tuturan, karena makna tuturan tersebut sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya.
xix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Interaksi sosial merupakan sarana pokok bagi masyarakat untuk menafsirkan peristiwa sehari-hari dan menggunakan makna sebagai sumber pemahaman terhadap berbagai kegiatan dalam kehidupan sehari-hari. Semua manusia disosialisasikan melalui bahasa. Pemakaian bahasa tidak terpisah dari interaksi sosial, kebudayaan, dan kepribadian. Analisis perilaku manusia memperhatikan struktur dan fungsi percakapan yang muncul bersamaan dengan apa yang sedang ditelusurinya. Namun dalam kegiatan dan dalam teori bahasa posisi kekuasaanlah yang mendominasi. Terbukti ada berbagai hal yang mampu membentuk atau mengontrol bahasa. Siapa yang menguasai bahasa, juga menguasai makna kehidupan (Laine Berman dalam Prembayun Miji Lestari, 2006).
Setiap kelompok kecil atau besar dalam masyarakat Jawa memiliki cara tersendiri untuk menyampaikan pendapatnya. Masyarakat Jawa sebagai kelompok besar memiliki cara yang santun untuk mengemukakan pendapatnya, baik lisan maupun tertulis. Namun setiap keluarga maupun paguyuban itu memiliki kesantunan yang berbeda. Perbedaan-perbedaan itu ada yang besar, tetapi ada pula yang kecil, sehingga memungkinkan wujudnya hampir sama tetapi mungkin saja maknanya yang berbeda. Sri Fafina dalam skripsinya menyebutkan bahwa kesantunan tersebut terlihat dalam konsep patrap dan pagus atau konkritnya dalam gerak fisik dan tutur katanya (2005: 1).
xx
Bagi orang Jawa terdapat pedoman yang bersifat konvensional yang dipahami oleh orang Jawa pada umumnya. Antara lain, berupa peribahasa seperti
ajining dhiri saka lathi, ajining raga saka busana ‘penghargaan terhadap diri seseorang dilihat dari cara berbicara dan berpakaian’. Hal ini dimaksudkan apabila seseorang ingin dihormati oleh orang lain harus bertutur serta bertingkah laku dan berkata secara sopan yang tidak terlepas dengan bahasa. Begitu pula dengan kuli panggul (selanjutnya disingkat KP) dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari, menggunakan bahasa yang santun untuk menawarkan jasanya kepada orang lain.
KP menurut Royyan Ramdhani Djayusman (2009) merupakan salah satu pelaku ekonomi dalam bidang penyediaan jasa. Masyarakat KP merupakan salah satu dari sekian masyarakat yang ada, membutuhkan interaksi sosial. Dalam berinteraksi sosial dengan orang lain, kelompok ini juga tidak terlepas dari kegiatan kebahasaan. Dalam studi kebahasaan, pemakaian suatu bahasa di kelompok masyarakat menjadi kajian yang cukup penting. Pemakaian bahasa dalam kelompok masyarakat menjadi kajian yang penting karena antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain memiliki ciri atau karakteristik yang berbeda. Adapun alasan pemilihan objek, jika dipandang dari sudut linguistik bahasa yang digunakan oleh KP merupakan salah satu sistem lambang yang digunakan sebagai alat kerjasama kelompok sosial tersebut yang menunjukkan fakta sosial tempat bahasa itu digunakan penuturnya. Selain itu, bahasa yang digunakan KP berfungsi sebagai alat komunikasi untuk interaksi sosial, baik dengan sesama KP ataupun dengan orang lain.
Keberadaan KP merupakan fenomena sosio-ekonomik yang tidak dapat dihindari. Mereka adalah sekian banyak manusia yang harus mempertahankan
xxi
hidupnya dengan berprofesi sebagai KP. Para KP di Pasar Legi Surakarta (selanjutnya disingkat PLS) menggunakan bahasa Jawa untuk berkomunikasi. Tuturan bahasa Jawa yang digunakan secara pragmatik terdapat wujud kesantunan yang di dalamnya banyak mengandung maksud yang perlu pemahaman secara komprehensif.
Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam komunikasi (Wijana, 1996: 2). Ilmu pragmatik mempunyai cakupan yang luas sehingga kadang-kadang batasan-batasannya pun sulit ditentukan, meliputi analisis wacana, komunikasi, kata sapaan, kerjasama, dan kesantunan. Menurut Leech (dalam Oka, 1993: 206) prinsip kesantunan dapat dikelompokkan menjadi enam prinsip yakni maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kesetujuan, maksim kemurahhatian, maksim kerendahhatian, dan maksim kesimpatian. Sedangkan menurut Grice (dalam Kunjana Rahardi, 2003: 26) ada empat maksim kerjasama yakni maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan. Salah satu maksim tersebut, yakni maksim kebijaksanaan dapat dilihat dari contoh tuturan bahasa Jawa berikut.
Data (1):
P : Ni…Ni…esku ki tulung pecahna Ni!
‘Ni..Ni..es ku ini tolong dipecahkan Ni!’ MT : O…nggih jeng, sekedhap.
‘O…ya jeng, sebentar.’
(PLS/ D1 KP/ 10-03-2010) Tuturan antara dua orang yaitu penutur (P) dan mitratutur (MT). Penutur adalah seorang penjual es dan mitratuturnya adalah KP. Percakapan berlangsung dalam situasi yang tidak resmi. Interkasi antara penjual es dan KP tersebut terjadi
xxii
di PLS tepatnya di angkringan sebelah timur Kantor Dinas Pengelola Pasar Legi (selanjutnya disingkat DPPL). Dari tuturan antara P dan MT terdapat salah satu dari enam prinsip kesantunan yaitu maksim kebijaksanaan yang dilakukan oleh P kepada MT seperti terdapat dalam tuturan Ni…Ni…esku ki tulung pecahna Ni!
‘Ni…Ni…es ku ini tolong dipecahkan Ni!’, tuturan tersebut merupakan suatu tindakan memerintah maksud tuturan tersebut dapat diterima oleh KP. Adapun tuturan yang dikatakan oleh MT setelah mendengar perintah dari P, KP menjawab
O…nggih jeng, sekedhap ‘O…ya jeng, sebentar’ merupakan tindak lanjut dari tuturan yang sebelumnya yang mengandung maksim penerimaan yang ditandai kata nggih ‘ya’. Maksim kebijaksanaan memerintah yang disampaikan oleh P pada kalimat pertama lebih santun jika dibandingkan dengan tuturan yang selanjutnya yaitu pecahna esku! ‘pecahkan es-ku!’, yang ditandai dengan adanya penggunaan kata tulung ‘tolong’. Selain maksim kuantitas, P juga melakukan tindak tutur direktif dalam tuturan Ni…Ni…esku ki tulung pecahna Ni!
‘Ni…Ni…es-ku ini tolong dipecahkan Ni!’.
Dari percakapan di atas mempunyai daya pragmatik atau tindak tutur ilokusi esku ki tulung pecahna ‘es-ku ini tolong dipecahkan’. Tuturan yang terdapat pada data (1) memiliki daya berupa maksud atau tujuan P yaitu MT agar memecahkan (balok) esnya menjadi ukuran yang lebih kecil. Dari jawaban MT bahwa MT melakukan tindak perlokusi dengan melakukan kegiatan yaitu mulai memecahkan (balok) es dengan hati-hati.
Penelitian yang berjudul “Kesantunan Berbahasa Jawa Para Kuli Panggul di Pasar Legi Surakarta” menggunakan singkatan P untuk penutur dan MT untuk mitratutur. Penggunaan P dan MT bertujuan untuk menghindari penumpukan
xxiii
peran dalam sebuah tuturan yang dimiliki partisipan aktif lebih dari 2 orang. Penumpukan peran yang dimaksud adalah jika terdapat 2 P dan 1 MT dalam sebuah tuturan, penggunaan O1 dan O2 akan menimbulkan kerancuan. Apabila P kedua disebut sebagai O3, padahal yang dimaksud dalam tuturan tersebut adalah P yang secara bersama-sama ikut dalam percakapan bukan sebagai orang yang dibicarakan dalam pertuturan tersebut, maka antara P2 dan O3 tersebut memiliki peran yang berbeda. Oleh karena itu, penggunaan P dan MT dirasa lebih tepat digunakan dalam penelitian ini.
Peneliti yang telah melakukan penelitian mengenai kesantunan bahasa antara lain.
1. Hartono (1991) dengan judul “Pemakaian Kata-Kata Kasar dalam Bahasa Jawa (Sebuah Analisis Sosiolinguistik)”, mengkaji bentuk, makna, jenis kata, dan suasana yang mendukung pemakaian kata-kata kasar tersebut dalam bahasa Jawa. Dalam skripsi ini disebutkan bahwa kuli termasuk dalam golongan masyarakat miskin yang biasa memakai atau mengucapkan kata-kata tersebut.
2. Sri Fafina Lestiyaningsih (2005) dengan judul “Kesopansantunan Berbahasa Jawa dalam Tindak Tutur Direktif Masyarakat Tutur Jawa Kecamatan Prambanan Kabupaten Klaten (Kajian Pragmatik)”, mengkaji bentuk kesopansantunan, faktor penentu kesopansantunan, dan strategi komunikasi yang ditempuh untuk mencapai kesopansantunan suatu ujaran.
3. Dyah Ayu Nur Ismayawati (2009) dengan judul “Kesantunan Berbahasa Jawa oleh Pedagang Keturunan Arab di Pasar Beteng Surakarta (
xxiv
Suatu Kajian Pragmatik)”, mengakaji tentang wujud, faktor penentu dan fungsi kesantunan berbahasa Jawa oleh pedagang keturunan Arab di Pasar Beteng Surakarta.
selain dalam skripsi penelitian tentang kesantunan berbahasa juga ditemukan dalam bentuk tesis yakni.
1. Prembayun Miji Lestari (2006) dengan judul “Karakteristik Bahasa Pengamen: Studi Pemakaian Bahasa pada Keluarga Pengamen Surakarta (KAPAS) (Suatu Kajian Sosio-Pragmatik)”, mengkaji tentang karakteristik pemakaian bahasa pengamen di KAPAS, bentuk-bentuk register yang digunakan pengamen di KAPAS, penerapan prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan yang digunakan pengamen di KAPAS, dan tindak tutur yang digunakan pengamen di KAPAS. Tesis ini memberikan gambaran kepada peneliti tentang cara menganalisis data sesuai dengan permasalahan yang diangkat.
2. Royyan Ramdhani Djayusman (2009) dengan judul “Dimensi Keberagamaan Kuli Angkut Barang (Studi Kasus Kuli Angkut Barang di Terminal Giwangan Yogyakarta), mengkaji tentang seberapa besar peran serta agama dalam kehidupan kuli angkut barang dalam melaksanakan kegiatannya sehari-hari. Penelitian ini memberikan gambaran kepada peneliti tentang KP itu sendiri (http://ekonomikeadilan.wordpress.com/2010/01/23/dimensikeberagamaa-kuli-angkut-barang/).
Penelitian kesantunan berbahasa Jawa masih perlu dilakukan, maka penulis tertarik untuk meneliti salah satu bidang pragmatik tentang kesantunan
xxv
berbahasa Jawa para KP di Pasar Legi Surakarta. Dalam hal ini, peneliti mengambil judul Kesantunan Berbahasa Jawa para Kuli Panggul di Pasar Legi Surakarta (Suatu Kajian Pragmatik). Adapun alasan pemilihan judul adalah sebagai berikut.
1. Di wilayah Surakarta, khususnya di PLS, sebagian besar KP masih menggunakan bahasa Jawa untuk melakukan komunikasi dan berinteraksi, baik dengan sesama KP maupun dengan orang lain.
2. Lingkungan pasar memiliki hubungan kekeluargaan yang sangat erat, antara anggota pasar yang satu dengan yang lainnya. Rasa kekeluargaan mereka tercermin dalam penggunaan bahasa dalam berkomunikasi sehari-hari. Bahasa Jawa yang digunakan oleh KP di PLS mencerminkan adanya kesantunan berbahasa.
3. Kesantunan berbahasa Jawa yang digunakan oleh KP di PLS tercermin dalam penawaran jasa memanggul barang, hal ini yang membedakan antara KP dan anggota PLS yang lain seperti pedagang.
4. Berdasarkan penelitian terdahulu tentang kajian pragmatik yang pernah dilakukan, penelitian tentang kesantunan berbahasa Jawa KP di PLS belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian dengan kajian pragmatik.
B. Pembatasan Masalah
Masalah dalam penelitian ini perlu dibatasi supaya masalahnya tidak meluas. Dalam penelitian ini masalahnya dibatasi pada prinsip kesantunan, prinsip kerjasama dan daya pragmatik tindak tutur bahasa Jawa para KP di PLS.
xxvi
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka secara rinci masalah yang diteliti adalah sebagai berikut.
1) Bagaimanakah wujud kesantunan berbahasa Jawa para KP di PLS ? 2) Bagaimanakah prinsip kerja sama yang dilakukan oleh KP di PLS ?
3) Bagaimanakah daya pragmatik tindak tutur bahasa Jawa para KP di PLS ?
D. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah tersebut, tulisan ini bertujuan untuk memaparkan kesantunan berbahasa Jawa para KP di Pasar Legi Surakarta. Tujuan tersebut dirinci sebagai berikut.
1) Mendeskripsikan wujud kesantunan berbahasa Jawa para KP di PLS. 2) Mendeskripsikan prinsip kerja sama yang dilakukan oleh KP di PLS. 3) Mendeskripsikan daya pragmatik tindak tutur bahasa Jawa para KP di PLS.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dibedakan menjadi dua macam yakni manfaat teoretis dan manfaat praktis.
1. Manfaat Teoretis
Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoretis yaitu hasil penelitian ini dapat menambah dan memperkaya teori linguistik, khususnya teori pragmatik bahasa Jawa.
xxvii 2. Manfaat Praktis
Secara praktis manfaat penelitian ini dapat memberikan informasi tentang kesantunan berbahasa Jawa yang dipakai para KP di PLS dan memberi sumbangan terhadap pengembangan dan pembinaan bahasa Jawa. Selain itu, dapat digunakan sebagai acuan penelitian berikutnya.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini meliputi lima bab dan diuraikan sebagai berikut.
Bab I adalah Pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II adalah Kajian Pustaka, meliputi pengertian pragmatik, prinsip kerjasama, prinsip kesantunan, tindak tutur, peristiwa tutur, KP, sejarah PLS, dan kerangka pikir.
Bab III adalah Metode Penelitian, meliputi jenis penelitian, lokasi penelitian, data dan sumber data, populasi, sampel, alat penelitian, metode dan teknik pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data.
Bab IV adalah Hasil Analisis dan Pembahasan, merupakan hasil analisis dari keseluruhan data mengenai kesantunan berbahasa Jawa oleh para KP di PLS.
Bab V adalah Penutup, berisi tentang kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan.
xxviii
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Pragmatik
Menurut Geoffrey Leech (dalam Oka, 1993: 8) pragmatik adalah studi mengenai makna ujaran di dalam situasi-situasi tertentu. Definisi pragmatik yang selanjutnya menurut beliau bahwa pragmatik merupakan studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations). Kunjana Rahardi berpendapat bahwa pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari pemakaian atau penggunaan bahasa, yang pada dasarnya selalu harus ditentukan oleh konteks situasi tutur di dalam masyarakat dan wahana kebudayaan yang mewadahi dan melatarbelakanginya (Kunjana Rahardi, 2003: 15).
George Yule (dalam Indah, 2006: 3) menyebutkan bahwa pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penulis dan ditafsirkan oleh MT (pendengar). Selanjutnya studi ini lebih banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan-tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri.
Wijana menjelaskan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam komunikasi (Wijana, 1996: 2). Menurut Harimurti Kridalaksana (2001: 176) pragmatik adalah 1) syarat yang mengakibatkan serasi-tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi; 2) aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran.
xxix
Dari pengertian pragmatik yang telah dipaparkan tersebut mempunyai garis besar mengenai pengertian pragmatik yakni salah satu cabang linguistik yang mengkaji maksud penutur yang terikat konteks.
B. Prinsip Kerja Sama
Menurut Grice (dalam Wijana, 1996, Kunjana Rahardi, 2003, dan Muhammad Rohmadi, 2004) untuk memenuhi komunikasi secara wajar dan terjadi kerja sama yang baik, maka dalam berkomunikasi harus memenuhi empat prinsip (maksim) yakni :
1. Maksim Kuantitas
Di dalam maksim kuantitas dijelaskan bahwa seorang P diharapkan dapat memberikan pesan atau informasi yang sungguh-sungguh memadai, dirasa cukup, tidak kekurangan dan tidak berlebihan, dan dipandang seinformatif mungkin kepada MT.
A : Jenengmu sapa?
‘Namamu siapa?’ B : Putri Kusuma.
‘Putri Kusuma.’
jawaban B memenuhi maksim kuantitas, karena memberikan kontribusi sesuai yang diinginkan A.
2. Maksim Kualitas
Di dalam maksim kualitas dijelaskan bahwa seseorang peserta tutur diharapkan akan dapat menyampaikan sesuatu yang benar-benar nyata dan sesuai dengan fakta yang sebenarnya di dalam aktivitas bertutur sapa. Fakta demikian harus didukung dan benar-benar didasarkan pada bukti-bukti yang jelas dan nyata. Misalnya, seorang guru bertanya, ibukota RI
xxx
ngendi? ‘Ibukota RI di mana?’ kemudian salah seorang muridnya menjawab, “Semarang”. Murid tersebut tidak berkata benar, karena ibukota RI adalah Jakarta. Dengan demikian, murid tidak memenuhi maksim kualitas.
3. Maksim Relevansi
Di dalam maksim relevansi dinyatakan dengan cukup jelas bahwa agar dapat terjalin kerjasama yang benar-benar baik antara P dan MT, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dituturkan.
A : Iki jam pira?
‘Sekarang jam berapa?’ B : Jam 3.’
‘Jam 3.’
Jawaban B atas pertanyaan A akan tidak relevan jika dijawab dengan klambimu neng lemari ‘bajumu di lemari’.
4. Maksim Pelaksanaan (Cara)
Di dalam maksim pelaksanaan diharuskan agar setiap peserta pertuturan selalu bertutur sapa secara langsung, secara jelas, dan isi pesan dari tuturan tersebut tidak boleh bersifat ambigu atau kabur isinya. Perhatikan contoh berikut.
A : Sepedhaku rusak, ketabrak mobil, isa didandani ora?
‘Sepeda saya rusak, tertabrak mobil, bisa diperbaiki tidak?’ B : Isa, ning nunggu rong taun.
‘Bisa, tapi menunggu dua tahun.’
Jawaban B yang mengatakan bisa tetapi waktunya dua tahun lagi bersifat melebih-lebihkan. Hal itu memang disengaja untuk menciptakan suasana humor.
xxxi
C. Prinsip Kesantunan
Rumusan kesantunan berbahasa yang sampai saat ini dianggap paling lengkap, paling mapan, dan paling komprehensif yakni yang telah dirumuskan oleh Leech (dalam Oka, 1993). Rumusan prinsip kesantunan itu selengkapnya tertuang di dalam enam maksim yakni :
1. Maksim Kebijaksanaan (tact maxim)
Maksim kebijaksanaan diungkapkan dengan tuturan imposif dan komisif yang menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain (kurangi kerugian orang lain), atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain (tambahi keuntungan orang lain). Hal ini dapat dikatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap santun kepada lawan bicaranya. Misalnya :
A : Kula betane bu.
‘Saya bawakan bu.’ B : Boten sah, ra papa.
‘Tidak perlu, tidak apa-apa.’
Tuturan A dan B disebut pragmatik paradoks yakni suatu paradoks yang mengacu pada sikap bertentangan antara A dan B.
2. Maksim Kedermawanan / Kemurahhatian (generosity maxim)
Maksim kedermawanan diungkapkan dengan penggunaan kalimat ekspresif dan asertif untuk menghormati orang lain dengan benar-benar baik. Penghormatan terhadap orang lain akan dapat terjadi hanya apabila orang dapat mengurangi kadar keuntungan bagi dirinya sendiri, dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lainnya. Contoh, Omahmu jane
xxxii
apik, emane cedhak pabrik ‘Rumahmu bagus, tapi sayang berdekatkan dengan pabrik.’
3. Maksim Penghargaan / Penerimaan (approbation maxim)
Maksim penghargaan dapat diutarakan dengan kalimat komisif dan imposif. Di dalam maksim ini dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun di dalam suatu masyarakat bahasa apabila di dalam praktik bertutur selalu berusaha untuk memberikan penghargaan dan penghormataan kepada pihak lain secara optimal. Misalnya :
A : Takterke!
‘Saya hantar!’ A : Tulung aku terna!
‘Tolong saya dihantar!’ A : Tak-ewangi.