• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Analisis Data

4) Tindak Tutur Komisif

Merupakan tindak tutur yang mengikat P untuk melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam ujaranya, misalnya: berjanji, bersumpah, atau mengancam.

A : Yen sesuk utangmu durung wok lunasi motormu takjipuk!

‘Kalau besok kamu belum melunasi hutangmu, motormu saya ambil!’

Tuturan A merupakan tindak tutur komisif mengancam. 5. Tindak Tutur Deklarasi

Merupakan tindak tutur yang dilakukan oleh P dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan dan sebagainya) yang baru, misalnya: memutuskan, membatalkan, melarang, mengijinkan, dan memberikan maaf.

A : Wis takngapura kabeh, aja dibaleni!

‘Sudah saya maafkan semua, jangan diulangi!’ B : Nuwun ya kang.

‘Terima kasih kak.’

I Dewa Putu Wijana (1996: 29) menyebutkan bahwa tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung, dan tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal.

1. Tindak Tutur Langsung dan Tindak Tutur Tidak Langsung

Secara formal berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interrogative), dan kalimat perintah (imperatif). Secara konvensional kalimat berita (deklaratif) digunakan untuk memberitahukan sesuatu (informasi); kalimat tanya (interrogative) menanyakan sesuatu; dan

xxxviii

kalimat perintah (imperative) untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan atau permohonan. Apabila kalimat berita difungsikan secara konvensional untuk mengatakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak, memohon, dan sebagainya, maka akan terbentuk tindak tutur langsung (direct speech). Sebagai contoh, Adhiku durung sekolah ‘Adikku belum sekolah’, Omahmu ngendi? ‘Rumahmu di mana?’, dan Lawange tutupen!

‘Pintunya ditutup!’. Ketiga kalimat tersebut merupakan tindak tutur langsung berupa kalimat berita, tanya, dan perintah.

Tindak tutur tidak langsung (indirect speech) ialah tindak tutur untuk memerintah seseorang, melakukan sesuatu secara tidak langsung. Tindakan ini dilakukan dengan memanfaatkan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah. Misalnya, seorang ibu yang menyuruh anaknya mengambilkan sapu, diungkapkan dengan Ndhuk, sapune ndi?

‘Nak, sapunya di mana?’ kalimat tersebut selain bertanya juga memerintah anaknya untuk mengambilkan sapu.

2. Tindak Tutur Literal dan Tindak Tutur Tidak Literal

Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Sedangkan tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan kata-kata yang menyusunnya. Sebagai contoh dapat dilihat kalimat berikut.

(a) : Swarane apik tenan.

‘Suaranya merdu sekali.’

(b) : Swaramu apik tenan, ning rasah nyanyi!

xxxix

Kalimat (a) jika diutarakan dengan maksud untuk memuji atau mengagumi suara orang yang dibicarakan, maka kalimat itu merupakan tindak tutur literal, sedangkan kalimat (b) P bermaksud mengatakan bahwa suara lawan tuturnya jelek, yaitu dengan mengatakan ‘tidak usah menyanyi’, maka kalimat (b) merupakan tindak tutur tidak literal.

Apabila tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung diintereaksikan dengan tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, maka akan tercipta tindak tutur sebagai berikut.

a.Tindak Tutur Langsung Literal (direct literal speech act)

Merupakan tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, dan menanyakan sesuatu dengan kalimat tanya. Misalnya, Tutupke lawange! ‘Tutup pintunya!’, Anakmu pira? ‘Anakmu berapa?’, dan

Kucingku manak telu ‘Kucingku beranak tiga’.

b.Tindak Tutur Tidak Langsung Literal (indirect literal speech act)

Merupakan tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh P. Misalnya, Jogane reged ‘Lantainya kotor’. Kalimat itu diucapkan oleh seorang ayah kepada anaknya, bukan saja menginformasikan, tetapi sekaligus menyuruh untuk membersihkannya.

xl

Tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Misalnya,

Sepedamu uapik tenan ‘Sepedamu bagus sekali’, P sebenarnya ingin mengatakan bahwa sepeda lawan tuturnya jelek.

d.Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal (indirect nonliteral speech act)

Tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang ingin diutarakan. Untuk menyuruh seorang pembantu menyapu lantai yang kotor, seorang majikan dapat saja mengutarakannya dengan kalimat Jogane kok resik men ? ‘lantainya kok bersih sekali?’.

F. Peristiwa Tutur

Peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan 2 pihak, yaitu penutur dan mitra tutur, dengan 1 pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Chaer dan Agustina, 2004: 47). Jadi interaksi yang berlangsung antara KP dan pihak lain di PLS pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur. Sebab percakapan baru dapat disebut sebagai sebuah peristiwa tutur harus memenuhi syarat 8 komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING (Dell Hymes dalam Chaer dan Agustina, 2004: 47). Kedelapan komponen itu adalah.

xli

S : setting and scene, mengacu pada situasi, tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan.

P : participants, pihak-pihak yang terlibat dalam tuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara dan pendengar.

E : ends, purpose and goal, maksud dan hasil percakapan. Suatu peristiwa tutur itu terjadi pasti ada maksud dari penutur maupun mitra tutur.

A : act sequences, hal yang menunjuk pada bentuk dan isi percakapan. Bentuk mencakup bagaimana topik itu dituturkan, sedangkan isi percakapan berkaitan dengan persoalan apa yang dikatakan oleh penutur.

K : key, tone or spirit of act, menunjuk pada cara atau semangat (nada atau jiwa) dalam melaksanakan percakapan. Tuturan tersebut akan berbeda antara serius dan santai, resmi dan tidak resmi.

I : instrumentalties, menunjuk pada jalur percakapan, apakah secara lisan atau bukan, jalur percakapan yang digunakan itu dapat melalui lisan, telegraf, telepon, dan surat. Percakapan secara lisan dapat seperti berbicara, menyanyi dan bersiul.

N : norms of interactional interpretation, menunjuk pada norma perilaku peserta percakapan, yang termasuk di dalamnya adalah semua kaidah yang mengatur pertuturan yang bersifat imperatif (memerintah).

G : genres, menunjuk pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan.

xlii

Dalam KBBI (2007: 610) kuli adalah 1) orang yang bekerja dengan mengandalkan kekuatan fisiknya (seperti membongkar muatan kapal, mengangkut barang dari stasiun satu ke tempat yang lain) pekerja kasar; 2) sosial penduduk desa keturunan pendiri atau sesepuh desa yang mempunyai kewajiban penuh melakukan pekerja desa. Sedangkan KP adalah buruh kasar yang menerima upah dari jasa memanggul barang.

Kuli berasal dari bahasa Mandarin hanyu pinyin ‘kuli atau pekerja kasar yang menggunakan tenaga dalam mengerjakan tugas yang biasanya berat (http://id.wikipedia.org/wiki/kuli.com). Menurut Royyan Ramdhani Djayusman (2009) KP merupakan salah satu pelaku ekonomi dalam bidang penyediaan jasa. Keberadaan KP di PLS sangat membantu kelancaran transaksi jual-beli, karena PLS terkenal dengan pasarnya para pedagang-pedagang besar.

KP di PLS terhimpun dalam suatu serikat yang diberi nama Serikat Pekerja Transport Indonesia (selanjutnya disingkat SPTI), sehingga para KP sudah terkoordinir. Keberadaan SPTI terlepas dari DPPL, dengan kata lain SPTI punya otonomi sendiri dalam pembentukan atau pemberhentian penggurus dan anggota. SPTI didirikan pada tahun 1965, kantornya berada di lantai 2 (dua) tenggara, dekat los sayuran, yang diketuai oleh Wagiman (Petruk). Hingga saat ini anggota SPTI berjumlah 1.000 orang, 500 orang wanita dan 500 orang laki-laki. Berdasarkan umur KP di PLS dapat digolongkan menjadi tiga yakni.

Tabel 1.

Penggolongan KP Berdasarkan Umur

Golongan Umur Laki-laki Perempuan

I 25-35 tahun 50 orang 50 orang

II 35-45 tahun 200 orang 230 orang III >45 tahun 250 orang 220 orang

xliii

(sumber: hasil wawancara dengan Ketua SPTI)

Layaknya sebuah organisasi, SPTI juga mengadakan rapat, namun rapat di sini hanya untuk pengurus saja yang diadakan setiap bulan pada minggu ketiga. Menurut Bapak Wagiman, untuk menjadi anggota SPTI tidaklah mudah, seorang calon anggota baru harus dibawa oleh anggota lama yang akan berhenti menjadi anggota. Dengan kata lain, calon anggota baru tersebut menggantikan anggota lama yang keluar.

KP di PLS dibagi menjadi 2 kelompok yakni kelompok putra dan kelompok putri. Untuk kelompok putra dibagi lagi menjadi 6 kelompok dengan masing-masing kelompok diketuai oleh seorang mandor. Sedang kelompok putri dibagi menjadi 9 kelompok yakni kelompok kumiyai, kelompok Jalan S. Parman, kelompok ketela, kelompok cabe, kelompok Karang Pandan, kelompok utara, kelompok kelapa, kelompok beng, dan kelompok Sukini. Untuk pembagian upahnya sendiri apabila ada barang datang 1 truk dan dikerjakan oleh 5 orang KP, maka hasilnya dibagi 6 orang yakni 5 orang KP dan seorang mandor. KP yang bekerja pada kios atau toko tertentu, penghasilannya ditentukan oleh pemilik kios atau toko tersebut.

KP di PLS langsung dapat kita kenali dari pakaian yang digunakannya yakni kaos seragam SPTI warna kuning, memakai celemek dan membawa selendang untuk menggendhong barang bawaan. Sedang KP laki-laki biasanya tidak membawa selendang.

xliv

PLS terletak di jalan S. Parman nomor 23 Kelurahan Setabelan Kecamatan Banjarsari Surakarta. PLS didirikan pada masa pemerintahan Mangkunegara I (Pangeran Sambernyawa).

Pasar yang menghadap ke barat ini pada tahun 1930 masih berupa pasar yang sangat tradisional dimana para pedagang membuka dasaran di tanah terbuka atau dengan kata lain masih terdiri dari pedagang oprokan semua. Di bawah pengelolaan Mangkunegaran, pada tahun 1935 berdiri sebuah bangunan pasar permanen tersusun dari tembok berwarna putih yang bila dilihat dari samping mirip sebuah benteng. Mulai saat itu pasar ini mengalami perkembangan, pada tahun 1992 mengalami pemugaran kembali oleh Pemkot Surakarta sehingga menjadi wujud PLS dengan dua lantai seperti sekarang.

PLS yang memiliki luas 16.640m2, terdiri dari 233 kios, 1425 los, dan ±700 pedagang oprokan (pelataran) yang sebagian besar berasal dari luar kota Surakarta (hasil wawancara dengan salah satu staf DPPL). PLS dibagi menjadi 9 blok yakni.

Tabel.2

Pembagian Blok di Pasar Legi Blok Jenis Barang Dagangan

1 A Cabe, bawang merah, bawang putih 1 B Gerabah, daun, arang

2 A Grabadan

2 B Ketela 3 A Grabadan

xlv

4 A Empon-empon, palen (pakaian) 5 Daging

T Ikan asin

(Sumber: hasil wawancara dengan salah satu staf DPPL)

Pasar ini resmi dibuka dari pukul 06.00 WIB sampai 18.00 WIB atau selama 12 jam namun dalam kenyataannya pasar ini beroperasi selama 24 jam. Ada rutinitas unik disini yakni setiap pukul 15.00 WIB ketika pasar di dalam bangunan utama sudah mulai berbenah datanglah para pedagang malam yang membuka pasaran di bagian luar bangunan utama (pelataran), ada yang memang khusus pedagang malam, ada juga yang siang harinya berdagang di bagian dalam bangunan lalu membawa dagangannya keluar dan berdagang sampai pagi. Sedangkan pedagang yang berdagang di bagian dalam bangunan pada malam hari hanya tinggal beberapa (http://labucyd.blog.uns.ac.id/2009/04/16/profil-pasar-legi/).

I. Kerangka Pikir

Kerangka pikir adalah bagian yang berisi tentang penggambaran secara jelas mengenai penelitian. Sesuai dengan objek penelitian yang berupa data lisan pemakaian bahasa Jawa yang digunakan oleh KP di PLS, maka masalah yang dikaji adalah penerapan prinsip kerjasama, prinsip kesantunan, dan daya pragmatik. Dengan demikian apabila dibagankan akan tampak pada bagan seperti di bawah ini.

xlvi Bagan 1

Kesantunan berbahasa Jawa KP di PLS

Penjual Kuli Panggul Pembeli

Kesantunan Berbahasa Jawa

1. Prinsip Kerja sama 2. Prinsip Kesantunan 3. Daya Pragmatik

xlvii

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan. Jenis penelitian ini deskriptif kualitatif. Pemilihan jenis penelitian deskriptif kualitatif supaya dapat mengungkapkan berbagai fenomena kebahasaan dengan pendeskripsian yang menggambarkan keadaan, gejala dan fenomena yang terjadi. Deskriptif dalam arti penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa perian bahasa yang biasa dikatakan sifatnya seperti potret: paparan seperti nyatanya (Sudaryanto, 1993: 62). Menurut D. Edi Subroto (1992: 5) kualitatif merupakan penelitian yang metode penelitian terhadap suatu masalah yang tidak didesain atau dirancang menggunakan prosedur-prosedur statistik.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di PLS yang lebih tepatnya di Jalan S. Parman nomor 23 Kelurahan Setabelan Kecamatan Banjarsari Surakarta, dengan pertimbangan letaknya yang tidak jauh dari pusat bahasa Jawa yaitu di Kota Surakarta dan dulunya merupakan tanah milik Mangkunegaran maka bahasa Jawa masih hidup dan berkembang serta mempunyai peranan penting dalam interaksi berkomunikasi dan interaksi sosial. Selain itu PLS merupakan salah satu pasar terbesar di Surakarta di mana transaksi jual-beli sering dilakukan dalam jumlah

xlviii

besar, sehingga banyak menggunakan jasa KP. PLS juga memiliki organisasi-organisasi seperti IKAPPAGI (Ikatan Penjual Pasar Legi), KAMUS (Keluarga Muslim Pasar Legi), dan SPTI (Serikat Pekerja Transport Indonesia).

C. Data dan Sumber Data

Data adalah bahan penelitian; dan bahan yang dimaksud bukan bahan mentah melainkan bahan jadi (Sudaryanto, 1990: 9). Data dalam penelitian ini berupa data lisan. Data lisan yaitu tuturan bahasa Jawa yang digunakan oleh para KP di PLS yang sesuai dengan tujuan penelitian ini yakni kesantunan berbahasa Jawa yang meliputi wujud prinsip kesantunan, prinsip kerja sama dan daya pragmatik tindak tutur bahasa Jawa. Tuturan yang diambil ialah tuturan yang alami atau wajar. Maksudnya bahwa data yang diambil adalah penggunaan bahasa yang berlangsung secara wajar di dalam komunikasi berbahasa sehari-hari secara lisan.

Sumber data lisan dalam penelitian ini berasal dari informan (dalam hal ini KP) yang terpilih, yaitu berupa tuturan bahasa Jawa yang mengandung prinsip kesantunan dan kerjasama. kriteria informan yang terpilih yaitu, (1) berprofesi sebagai KP di PLS, (2) berusia 25-50 tahun, (3) sehat jasmani dan rohani, (4) bisa berbahasa Jawa dan berbahasa Indonesia.

xlix

D. Populasi

Populasi adalah objek penelitian. Populasi pada umumnya ialah keseluruhan individu dari segi-segi tertentu bahasa (Edi Subroto, 1992: 32). Populasi dalam penelitian ini adalah semua tuturan bahasa Jawa oleh KP di PLS.

E. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang dijadikan objek penelitian yang mewakili atau dianggap mewakili populasi secara keseluruhan (Edi Subroto, 1992: 32). Sampel dalam penelitian ini adalah kesantunan berbahasa Jawa oleh KP di PLS. Penentuan sampel penelitian ini menggunakan teknik proposive sampling, pengambilan sampel secara selektif disesuaikan dengan kebutuhan dalam sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Pengambilan sampel oleh peneliti dilakukan pada bulan Maret-April 2010.

F. Alat Penelitian

Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Disebut alat utama karena alat tersebut paling dominan dalam penelitian, sedangkan alat bantu berguna memperlancar jalannnya penelitian. Alat utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri yang langsung melihat keadaan sosial dan kesantunan berbahasa Jawa para KPdi PLS. Alat bantu penelitian ini adalah alat tulis manual seperti ballpoint, penghapus, dan buku catatan. Alat bantu elektronik yang digunakan yaitu tape-recorder dan komputer.

l

Metode adalah (1) cara mendekati, mengamati, menganalisis, dan menjelaskan suatu fenomena; (2) sikap sekelompok sarjana terhadap bahasa atau linguistik; (3) berbagai teknik untuk menetapkan dan mengukur ciri bahasa; (4) prinsip-prinsip dan praktik pengajaran bahasa (Harimurti Kridalaksana, 2001: 136-137). Sedangkan menurut peneliti metode adalah cara untuk mendapatkan atau menghasilkan sesuatu melalui beberapa proses secara berurutan dan tepat.

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak (pengamatan/ observasi). Menurut Sudaryanto (1993: 133) metode simak adalah metode pengumpulan data dengan menyimak penggunaan bahasa, dalam penelitian ini peneliti menyimak tuturan bahasa Jawa yang digunakan oleh KPdi PLS.

Teknik dasar yang digunakan oleh peneliti adalah teknik sadap. Penelitian ini dilakukan dengan penyimakan yang dilanjutkan dengan menyadap pemakaian bahasa dari informan. Sedangkan teknik lanjutan yaitu teknik simak bebas libat cakap (SBLC), teknik simak libat cakap (SLC), teknik rekam, teknik wawancara dan teknik catat.

Teknik Simak Bebas Libat Cakap (SBLC) adalah teknik yang digunakan untuk memperoleh data dengan hanya berperan sebagai pengamat penggunaan bahasa informan. Peneliti tidak ikut campur dalam pembicaraan baik sebagai pembicara maupun lawan bicara, baik secara bergantian maupun tidak. Peneliti hanya menyimak pembicaraan dari informan yang dipilih.

Teknik Simak Libat Cakap (SLC) adalah teknik yang digunakan untuk memperoleh data dengan cara peneliti melakukan penyadapan dengan cara berpartisipasi dalam pembicaraan sambil menyimak pembicaraan informan.

li

Peneliti terlibat langsung dalam pembicaran dan ikut menentukan pembentukan dan pemunculan data.

Teknik wawancara merupakan teknik yang digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan data yang diinginkan oleh peneliti, misalnya menanyakan penjelasan mengenai sejarah PLS.

Teknik rekam dilakukan bersamaan dengan teknik SBLC, SLC dan wawancara yang digunakan untuk mengabadikan data. Teknik rekam ini dilakukan dengan cara direkam tanpa sepengetahuan penutur, sehingga tidak mengganggu kewajaran dari peristiwa tutur yang terjadi. Dilakukan juga teknik catat untuk mencatat hal-hal yang penting untuk mendukung data. Rekaman data sudah terkumpul kemudian ditranskripsikan dalam bentuk data tulis dan diklasifikasikan untuk dianalisis.

H. Metode Analisis Data

Untuk menganalisis data peneliti menggunakan metode padan yaitu analisis data dengan alat penentuan di luar bahasa yang merupakan konteks sosial terjadinya peristiwa penggunaan bahasa di dalam masyarakat (Sudaryanto, 1993: 13). Berdasarkan macam alat penentunya metode padan dapat dibedakan dalam lima subjenis. Pertama, alat penentunya adalah kenyataan atau segala sesuatu (yang bersifat luar bahasa) yang ditunjuk oleh bahasa. Kedua, alat penentunya organ atau alat ucap pembentuk bunyi bahasa. Ketiga, alat penentunya bahasa atau lingual lain. Keempat, alat penentunya perekam atau pengawet bahasa. Kelima, alat penentunya adalah lawan bicara.

lii

Metode padan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan pragmatik dengan penentunya adalah penutur dan mitra tutur. Metode padan digunakan untuk mengetahui kesantunan yaitu efek yang ditimbulkan oleh tuturan bagi mitra tutur dan digunakan untuk mengetahui reaksi yang dilakukan oleh mitra tutur. Adapun teknik-teknik yang digunakan di dalam metode padan menurut Sudaryanto (1993: 21) meliputi teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasar yang dimaksud disebut teknik pilah unsur penentu, alatnya adalah daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh penelitinya. Sedang teknik lanjutannya meliputi teknik hubung banding menyamakan, teknik hubung banding membedakan dan teknik hubung banding menyamakan hal pokok.

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai metode padan, maka penggunaan metode tersebut akan dipaparkan dalam data berikut ini .

Data (2)

P : Bu, nuwun sewu SPTI pundi nggih bu?

‘Bu maaf SPTI sebelah mana ya bu?’

MT : SPTI? O…mrika, mang ngidul, nggen kantor enggal nika mang mlebet mrika, pojok pasar enggal tengah nggen sayur.

‘SPTI? O…sana, ke selatan, di kantor yang baru itu masuk ke sana, sudut pasar baru tengah di tempat sayur.’

P : Maturnuwun nggih bu.

‘Terima kasih bu.’ MT : Nggih

‘Ya.’

(PLS/ D2 KP/ 10-03-2010) Tuturan antara dua orang yaitu P dan MT. P di sini adalah peneliti dan MT adalah KP di kios penjual cabe di lantai 2 (dua). Percakapan berlangsung dalam situasi yang tidak resmi. Interaksi antara peneliti dan KP tersebut terjadi di salah satu kios penjual cabe di lantai 2 (dua) PLS. Tuturan antara P dan MT tersebut terdapat penerapan prinsip kerjasama yakni maksim kualitas (kebenaran) yang dilakukan oleh MT kepada P seperti terdapat dalam tuturan SPTI? O…mrika,

liii

mang ngidul, nggen kantor enggal nika mang mlebet mrika, pojok pasar enggal tengah nggen sayur ‘SPTI? O…sana, ke selatan, di kantor yang baru itu masuk ke sana, sudut pasar baru tengah di tempat sayur’, tuturan MT tersebut mencerminkan suatu kebenaran tentang letak atau posisi atau tempat SPTI yang ditanyakan oleh P. Dengan menunjukkan letak SPTI kepada P maka MT telah melakukan tindak tutur representatif. Selain itu MT melakukan tindak tutur direktif dalam tuturan Mang ngidul, nggen kantor enggal nika mang mlebet mrika, ‘Ke selatan, di kantor yang baru itu masuk ke sana,’ dan tindak tutur langsung literal yakni tindak tutur yang modus dan maknanya sesuai dengan maksud pengutaraan. Selain maksim kualitas, dalam tuturan SPTI? O…mrika, mang ngidul, nggen kantor enggal nika mang mlebet mrika, pojok pasar enggal tengah nggen sayur ‘SPTI? O…sana, ke selatan, di kantor yang baru itu masuk ke sana, sudut pasar baru tengah di tempat sayur’, juga terdapat maksim kuantitas di mana MT memberikan informasi yang jelas dan sesuai dengan apa yang diminta oleh P.

Dari percakapan di atas mempunyai daya pragmatik atau tindak tutur ilokusi Bu, nyuwun sewu SPTI pundi nggih bu? ‘Bu maaf SPTI sebelah mana ya bu?’. Tuturan yang terdapat pada data (2) memiliki daya berupa maksud atau tujuan penutur agar mitra tutur menunjukkan di mana letak SPTI. Dari jawaban mitra tutur SPTI? O…mrika, mang ngidul, nggen kantor enggal nika mang mlebet mrika, pojok pasar enggal tengah nggen sayur ‘SPTI? O…sana, ke selatan, di kantor yang baru itu masuk ke sana, sudut pasar baru tengah di tempat sayur’, mitra tutur melakukan tindak tutur perlokusi dan ilokusi sekaligus yakni dengan memberikan petunjuk letak SPTI kepada P. Dengan tindak tutur ilokusi yang

liv

dilakukan oleh MT maka P melakukan tindak tutur perlokusi dengan mengucapkan terima kasih dan menuju ke SPTI sesuai dengan petunjuk dari MT.

Dokumen terkait