• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesantunan berbahasa jawa para kuli panggul di Pasar Legi Surakarta (suatu kajian pragmatik)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kesantunan berbahasa jawa para kuli panggul di Pasar Legi Surakarta (suatu kajian pragmatik)"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

Kesantunan berbahasa jawa

para kuli panggul di Pasar Legi Surakarta

(suatu kajian pragmatik)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Jurusan Sastra Daerah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh Wiji Nurkayati

C.0106058

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

ii

KESANTUNAN BERBAHASA JAWA

PARA KULI PANGGUL DI PASAR LEGI SURAKARTA

(SUATU KAJIAN PRAGMATIK)

Disusun Oleh WIJI NURKAYATI

C0106058

Telah disetujui oleh pembimbing

Pembimbing I

Drs. Y. Suwanto, M.Hum. NIP 196110121987031002

Pembimbing II

Dr. Sumarlam, M.S. NIP 196203091987031001

Mengetahui

Ketua Jurusan Sastra Daerah

(3)

iii

KESANTUNAN BERBAHASA JAWA

PARA KULI PANGGUL DI PASAR LEGI SURAKARTA

(SUATU KAJIAN PRAGMATIK)

Disusun Oleh: WIJI NURKAYATI

C0106058

Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal . . . .. . .

Ketua Dra. Dyah Padmaningsih, M.Hum. NIP 195710231986012001

Penguji II Dr. Sumarlam, M.S. NIP 196203091987031001

(4)

iv

PERNYATAAN

Nama : Wiji Nurkayati NIM : C0106058

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul Kesantunan Berbahasa Jawa Para Kuli Panggul di Pasar Legi Surakarta (Suatu Kajian Pragmatik) adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda

citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi ini.

Surakarta, Juli 2010 Yang Membuat Pernyataan

(5)

v MOTTO

Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah

(cerita motivasi).

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan kepada:

Ayah dan Ibu, yang selalu memberikan kasih sayang tulus tanpa mengharapkan imbalan, yang selalu memberikan bimbingan untukku, dan yang selalu

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT. atas rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi dengan judul

Kesantunan Berbahasa Jawa Para Kuli Panggul di Pasar Legi Surakarta (Suatu Kajian Pragmatik) tersebut merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra pada Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Proses penyusunan skripsi ini tidak bisa lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada:

1. Drs. Sudarno, M.A., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang memberikan kesempatan untuk menyusun skripsi ini.

2. Drs. Imam Sutardjo,M.Hum., selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan ilmunya serta kesempatan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.

3. Dra. Dyah Padmaningsih, M.Hum., selaku Sekretaris Jurusan dan Koordinator Bidang Linguistik Jurusan Sastra Daerah yang telah memberikan ilmunya serta kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

(8)

viii

5. Dr. Sumarlam, M.S., selaku pembimbing kedua yang telah berkenan untuk mencurahkan perhatian, memberikan bekal ilmu, dan membimbing penulisan skripsi ini sampai selesai.

6. Siti Muslifah, S.S., M.Hum., selaku pembimbing akademik yang telah berkenan untuk mencurahkan perhatian, memberikan nasihat kepada penulis selama studi di Jurusan Sastra Daerah.

7. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen Jurusan Sastra Daerah yang telah memberikan bekal ilmu yang berharga.

8. Seluruh staf bagian Tata Usaha Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan pelayanan dalam hal urusan perijinan.

9. Kepala dan staf Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa maupun Pusat Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan kemudahan dalam pelayanan kepada penulis, khususnya selama menyelesaikan skripsi ini.

10.Seluruh staf bagian Dinas Pengelolaan Pasar Surakarta, Kesbang dan Limas, Bapedda, yang telah memberikan pelayanan dalam hal perijinan.

11.Seluruh staf Kantor Pengelolaan Pasar Legi Surakarta, SPTI, yang telah memberikan informasi dan peirjinan dalam hal penelitian.

12.Ayah, Ibu dan adikku tercinta, terima kasih untuk doa, dukungan, dan semangatnya karena selalu memberi dorongan semangat supaya cepat menyelesaikan skripsi ini.

(9)

ix

skripsi. Terima kasih sekali atas persahabatan dan kebersamaan yang telah kalian berikan kepadaku.

14.Semua informan yang sangat baik dan ramah sehingga mempermudah penulis dalam memperoleh data, dan semua pihak yang telah berjasa dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan keterbatasan ilmu dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis berharap saran dan kritik yang dapat membangun guna penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Surakarta, Juli 2010

(10)

x DAFTAR ISI

JUDUL . . . i

PERSETUJUAN . . . ii

PENGESAHAN . . . .. iii

PERNYATAAN . . . .... iv

MOTTO . . . v

PERSEMBAHAN . . . .... vi

KATA PENGANTAR . . . vii

DAFTAR ISI . . . ix

DAFTAR LAMPIRAN . . . .. xiv

DAFTAR BAGAN DAN TABEL . . . xv

DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA . . . xvi

ABSTRAK . . . xvii

BAB I PENDAHULUAN . . . 1

A. Latar Belakang Masalah . . . .. 1

B. Pembatasan Masalah . . . 7

C. Rumusan Masalah . . . 8

D. Tujuan Penelitian . . . 8

E. Manfaat Penelitian . . . 8

F. Sistematika Penulisan . . . 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA . . . 10

A. Pengertian Pragmatik . . . 10

B. Prinsip Kerja Sama . . . 11

(11)

xi

D. Daya Pragmatik . . . 15

E. Tindak Tutur . . . 16

F. Peristiwa Tutur . . . 22

G. Kuli Panggul . . . 24

H. Pasar Legi Surakarta. . . 26

I. Kerangka Pikir . . . 28

BAB III METODE PENELITIAN . . . 29

A. Jenis Penelitian . . . 29

B. Lokasi Penelitian . . . 29

C. Data dan Sumber Data . . . 30

D. Populasi . . . 31

E. Sampel . . . 31

F. Alat Penelitian . . . 31

G. Metode dan Teknik Pengumpulan Data . . . 32

H. Metode Analisis Data . . . 33

I. Metode Penyajian Hasil Analisis Data . . . 36

BAB IV HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN . . . 37

A. Hasil Analisis Data . . . 37

1.Wujud Prinsip Kesantunan Berbahasa Jawa Para Kuli Panggul di Pasar Legi Surakarta . . . 37

a. Maksim Kebijaksanaan . . . 37

b. Maksim Kedermawanan . . . 40

c. Maksim Penerimaan . . . 42

(12)

xii

e. Maksim Kesepakatan . . . . . . 44

f. Maksim Simpati . . . .. . . 45

2.Prinsip Kerja Sama para Kuli Panggul di Pasar Legi Surakarta . . 46

a. Maksim Kuantitas . . . . . . . 46

b. Maksim Kualitas . . . 48

c. Maksim Relevansi . . . . . . 50

d. Maksim Pelaksanaan/ Cara . . . 52

3.Daya Pragmatik Tindak Tutur Bahasa Jawa para Kuli Panggul di Pasar Legi Surakarta . . . 54

a. Tindak Tutur Menurut Austin . . . 54

1) Lokusi . . . 54

2) Ilokusi . . . 56

3) Perlokusi . . . . . . 58

b. Tindak Tutur Menurut Searle . . . 59

1) Tindak Tutur Representatif . . . .. . . 60

2) Tindak Tutur Direktif . . . 61

3) Tindak Tutur Ekspresif . . . 62

4) Tindak Tutur Komisif . . . 66

5) Tindak Tutur Deklaratif . . . 66

c. Tindak Tutur Menurut Wijana . . . 68

1) Tindak Tutur Langsung . . . 68

2) Tindak Tutur Tidak Langsung . . . 69

3) Tindak Tutur Literal . . . . . . 71

(13)

xiii

5) Tindak Tutur Langsung Literal . . . 73

6) Tindak Tutur Tidak Langsung Literal . . . 74

7) Tindak Tutur Langsung Tidak Literal . . . .75

8) Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal . . . 76

B. Pembahasan . . . 77

BAB V SIMPULAN DAN SARAN . . . 81

A. Simpulan . . . 81

B. Saran . . . 82

DAFTAR PUSTAKA . . . 83

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

(15)

xv

DAFTAR BAGAN DAN TABEL

Bagan 1 Kesantunan Berbahasa Jawa para Kuli Panggul di Pasar Legi Surakarta. . . 28

(16)

xvi

DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA

Daftar Singkatan

D : Daya

D1 : Data 1

DPPL : Dinas Pengelola Pasar Legi IKAPPAGI : Ikatan Penjual Pasar Legi KAMUS : Keluarga Muslim Pasar Legi KAPAS : Keluarga Pengamen Surakarta KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia KP : Kuli Panggul

MT : Mitratutur

P : Penutur

PLS : Pasar Legi Surakarta

SasDa’06 : Sastra Daerah angkatan 2006 SBLC : Teknik Simak Bebas Libat Cakap SLC : Teknik Simak Libat Cakap

SPTI : Serikat Pekerja Transport Indonesia TT L : Tindak Tutur Langsung

TT LLt : Tindak Tutur Langsung Literal TT Lt : Tindak Tutur Literal

TT LTLt : Tindak Tutur Langsung Tak Literal TT TL : Tindak Tutur Tak Langsung

(17)

xvii

TT TLTLt : Tindak Tutur Tak Langsung Tidak Literal WIB : Waktu Indonesia bagian Barat

Daftar Tanda

. : tanda titik digunakan pada akhir kalimat yang bukan pertanyaan atau seruan.

, : tanda koma digunakan untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat setara berikutnya.

: : tanda titik dua dapat digunakan pada akhir suatu penyataan lengkap jika diikuti rangkaian atau pemerian. Selain itu tanda titik dua juga digunakan sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan pemerian.

? : tanda Tanya digunakan pada akhir kalimat tanya.

! : tanda seru digunakan sesudah ungkapan atau pernyataan yang berupa seruan atau perintah yang menggambarkan kesungguhan, ketidakpercayaan, ataupun rasa emosi yang kuat.

( ) : tanda kurung mengapit tambahan keterangan atau penjelasan. (…) : ada bagian kalimat yang dilesapkan

(18)

xviii ABSTRAK

Wiji Nurkayati. C0106058. 2010. Kesantunan Berbahasa Jawa Para Kuli Panggul di Pasar Legi Surakarta (Suatu Kajian Pragmatik). Skripsi: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu (1) bagaimanakah wujud kesantunan berbahasa Jawa para kuli panggul di Pasar Legi Surakarta? (2) bagaimanakah prinsip kerja sama yang dilakukan oleh kuli panggul di Pasar Legi Surakarta? (3) bagaimanakah daya pragmatik tindak tutur bahasa Jawa para kuli panggul di Pasar Legi Surakarta?

Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan wujud kesantunan berbahasa Jawa para kuli panggul di Pasar Legi Surakarta. (2) mendeskripsikan prinsip kerja sama yang dilakukan oleh kuli panggul di Pasar Legi Surakarta. (3) mendeskripsikan daya pragmatik tindak tutur bahasa Jawa para kuli panggul di Pasar Legi Surakarta.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini berupa data lisan yaitu tuturan bahasa Jawa yang digunakan kuli panggul di Pasar Legi Surakarta, dan sumber data lisan berasal dari informan. Populasi penelitian mencakup semua tuturan bahasa Jawa oleh kuli panggul di Pasar Legi Surakarta yang mengandung prinsip kesantunan, prinsip kerja sama, dan daya pragmatik. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling. Metode analisis data yang digunakan adalah metode padan pragmatik dengan penentunya penutur dan mitratutur.

Dari analisis ini dapat disimpulkan beberapa hal: (1) ditemukan penerapan keenam wujud prinsip kesantunan berbahasa Jawa yang dilakukan oleh kuli panggul di Pasar Legi yakni maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim penerimaan, maksim kerendahan hati, maksim kesetujuan, dan maksim kesimpatian, selain itu ditemukan pelanggaran terhadap maksim penerimaan dan maksim kesetujuan. (2) penerapan prinsip kerja sama yang dilakukan oleh KP di Pasar Legi Surakarta meliputi empat maksim yakni maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim cara. Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan ditemukan penerapan keempat maksim tersebut dan pelanggaran terhadap maksim kuantitas. (3) analisis daya pragmatik tindak tutur bahasa Jawa yang dilakukan oleh KP di Pasar Legi Surakarta dianalisis dengan menggunakan tiga kategori tindak tutur, yakni kategori tindak tutur menurut Austin, kategori tindak tutur menurut Searle, dan kategori tindak tutur menurut Wijana. Dari pengamatan di lapangan ditemukan adanya penerapan tindak tutur dari ketiga kategori di atas. Namun untuk tindak tutur lokusi (kategori Austin), dan tindak tutur langsung (kategori Wijana) tidak menggambarkan adanya daya pragmatik sebuah tuturan, karena makna tuturan tersebut sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya.

(19)

xix

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Interaksi sosial merupakan sarana pokok bagi masyarakat untuk menafsirkan peristiwa sehari-hari dan menggunakan makna sebagai sumber pemahaman terhadap berbagai kegiatan dalam kehidupan sehari-hari. Semua manusia disosialisasikan melalui bahasa. Pemakaian bahasa tidak terpisah dari interaksi sosial, kebudayaan, dan kepribadian. Analisis perilaku manusia memperhatikan struktur dan fungsi percakapan yang muncul bersamaan dengan apa yang sedang ditelusurinya. Namun dalam kegiatan dan dalam teori bahasa posisi kekuasaanlah yang mendominasi. Terbukti ada berbagai hal yang mampu membentuk atau mengontrol bahasa. Siapa yang menguasai bahasa, juga menguasai makna kehidupan (Laine Berman dalam Prembayun Miji Lestari, 2006).

(20)

xx

Bagi orang Jawa terdapat pedoman yang bersifat konvensional yang dipahami oleh orang Jawa pada umumnya. Antara lain, berupa peribahasa seperti

ajining dhiri saka lathi, ajining raga saka busana ‘penghargaan terhadap diri seseorang dilihat dari cara berbicara dan berpakaian’. Hal ini dimaksudkan apabila seseorang ingin dihormati oleh orang lain harus bertutur serta bertingkah laku dan berkata secara sopan yang tidak terlepas dengan bahasa. Begitu pula dengan kuli panggul (selanjutnya disingkat KP) dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari, menggunakan bahasa yang santun untuk menawarkan jasanya kepada orang lain.

KP menurut Royyan Ramdhani Djayusman (2009) merupakan salah satu pelaku ekonomi dalam bidang penyediaan jasa. Masyarakat KP merupakan salah satu dari sekian masyarakat yang ada, membutuhkan interaksi sosial. Dalam berinteraksi sosial dengan orang lain, kelompok ini juga tidak terlepas dari kegiatan kebahasaan. Dalam studi kebahasaan, pemakaian suatu bahasa di kelompok masyarakat menjadi kajian yang cukup penting. Pemakaian bahasa dalam kelompok masyarakat menjadi kajian yang penting karena antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain memiliki ciri atau karakteristik yang berbeda. Adapun alasan pemilihan objek, jika dipandang dari sudut linguistik bahasa yang digunakan oleh KP merupakan salah satu sistem lambang yang digunakan sebagai alat kerjasama kelompok sosial tersebut yang menunjukkan fakta sosial tempat bahasa itu digunakan penuturnya. Selain itu, bahasa yang digunakan KP berfungsi sebagai alat komunikasi untuk interaksi sosial, baik dengan sesama KP ataupun dengan orang lain.

(21)

xxi

hidupnya dengan berprofesi sebagai KP. Para KP di Pasar Legi Surakarta (selanjutnya disingkat PLS) menggunakan bahasa Jawa untuk berkomunikasi. Tuturan bahasa Jawa yang digunakan secara pragmatik terdapat wujud kesantunan yang di dalamnya banyak mengandung maksud yang perlu pemahaman secara komprehensif.

Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam komunikasi (Wijana, 1996: 2). Ilmu pragmatik mempunyai cakupan yang luas sehingga kadang-kadang batasan-batasannya pun sulit ditentukan, meliputi analisis wacana, komunikasi, kata sapaan, kerjasama, dan kesantunan. Menurut Leech (dalam Oka, 1993: 206) prinsip kesantunan dapat dikelompokkan menjadi enam prinsip yakni maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kesetujuan, maksim kemurahhatian, maksim kerendahhatian, dan maksim kesimpatian. Sedangkan menurut Grice (dalam Kunjana Rahardi, 2003: 26) ada empat maksim kerjasama yakni maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan. Salah satu maksim tersebut, yakni maksim kebijaksanaan dapat dilihat dari contoh tuturan bahasa Jawa berikut.

Data (1):

P : Ni…Ni…esku ki tulung pecahna Ni!

‘Ni..Ni..es ku ini tolong dipecahkan Ni!’ MT : O…nggih jeng, sekedhap.

‘O…ya jeng, sebentar.’

(22)

xxii

di PLS tepatnya di angkringan sebelah timur Kantor Dinas Pengelola Pasar Legi (selanjutnya disingkat DPPL). Dari tuturan antara P dan MT terdapat salah satu dari enam prinsip kesantunan yaitu maksim kebijaksanaan yang dilakukan oleh P kepada MT seperti terdapat dalam tuturan Ni…Ni…esku ki tulung pecahna Ni!

‘Ni…Ni…es ku ini tolong dipecahkan Ni!’, tuturan tersebut merupakan suatu tindakan memerintah maksud tuturan tersebut dapat diterima oleh KP. Adapun tuturan yang dikatakan oleh MT setelah mendengar perintah dari P, KP menjawab

O…nggih jeng, sekedhap ‘O…ya jeng, sebentar’ merupakan tindak lanjut dari tuturan yang sebelumnya yang mengandung maksim penerimaan yang ditandai kata nggih ‘ya’. Maksim kebijaksanaan memerintah yang disampaikan oleh P pada kalimat pertama lebih santun jika dibandingkan dengan tuturan yang selanjutnya yaitu pecahna esku! ‘pecahkan es-ku!’, yang ditandai dengan adanya penggunaan kata tulung ‘tolong’. Selain maksim kuantitas, P juga melakukan tindak tutur direktif dalam tuturan Ni…Ni…esku ki tulung pecahna Ni!

‘Ni…Ni…es-ku ini tolong dipecahkan Ni!’.

Dari percakapan di atas mempunyai daya pragmatik atau tindak tutur ilokusi esku ki tulung pecahna ‘es-ku ini tolong dipecahkan’. Tuturan yang terdapat pada data (1) memiliki daya berupa maksud atau tujuan P yaitu MT agar memecahkan (balok) esnya menjadi ukuran yang lebih kecil. Dari jawaban MT bahwa MT melakukan tindak perlokusi dengan melakukan kegiatan yaitu mulai memecahkan (balok) es dengan hati-hati.

(23)

xxiii

peran dalam sebuah tuturan yang dimiliki partisipan aktif lebih dari 2 orang. Penumpukan peran yang dimaksud adalah jika terdapat 2 P dan 1 MT dalam sebuah tuturan, penggunaan O1 dan O2 akan menimbulkan kerancuan. Apabila P

kedua disebut sebagai O3, padahal yang dimaksud dalam tuturan tersebut adalah P

yang secara bersama-sama ikut dalam percakapan bukan sebagai orang yang dibicarakan dalam pertuturan tersebut, maka antara P2 dan O3 tersebut memiliki

peran yang berbeda. Oleh karena itu, penggunaan P dan MT dirasa lebih tepat digunakan dalam penelitian ini.

Peneliti yang telah melakukan penelitian mengenai kesantunan bahasa antara lain.

1. Hartono (1991) dengan judul “Pemakaian Kata-Kata Kasar dalam Bahasa Jawa (Sebuah Analisis Sosiolinguistik)”, mengkaji bentuk, makna, jenis kata, dan suasana yang mendukung pemakaian kata-kata kasar tersebut dalam bahasa Jawa. Dalam skripsi ini disebutkan bahwa kuli termasuk dalam golongan masyarakat miskin yang biasa memakai atau mengucapkan kata-kata tersebut.

2. Sri Fafina Lestiyaningsih (2005) dengan judul “Kesopansantunan Berbahasa Jawa dalam Tindak Tutur Direktif Masyarakat Tutur Jawa Kecamatan Prambanan Kabupaten Klaten (Kajian Pragmatik)”, mengkaji bentuk kesopansantunan, faktor penentu kesopansantunan, dan strategi komunikasi yang ditempuh untuk mencapai kesopansantunan suatu ujaran.

(24)

xxiv

Suatu Kajian Pragmatik)”, mengakaji tentang wujud, faktor penentu dan fungsi kesantunan berbahasa Jawa oleh pedagang keturunan Arab di Pasar Beteng Surakarta.

selain dalam skripsi penelitian tentang kesantunan berbahasa juga ditemukan dalam bentuk tesis yakni.

1. Prembayun Miji Lestari (2006) dengan judul “Karakteristik Bahasa Pengamen: Studi Pemakaian Bahasa pada Keluarga Pengamen Surakarta (KAPAS) (Suatu Kajian Sosio-Pragmatik)”, mengkaji tentang karakteristik pemakaian bahasa pengamen di KAPAS, bentuk-bentuk register yang digunakan pengamen di KAPAS, penerapan prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan yang digunakan pengamen di KAPAS, dan tindak tutur yang digunakan pengamen di KAPAS. Tesis ini memberikan gambaran kepada peneliti tentang cara menganalisis data sesuai dengan permasalahan yang diangkat.

2. Royyan Ramdhani Djayusman (2009) dengan judul “Dimensi Keberagamaan Kuli Angkut Barang (Studi Kasus Kuli Angkut Barang di Terminal Giwangan Yogyakarta), mengkaji tentang seberapa besar peran serta agama dalam kehidupan kuli angkut barang dalam melaksanakan kegiatannya sehari-hari. Penelitian ini memberikan gambaran kepada peneliti tentang KP itu sendiri (http://ekonomikeadilan.wordpress.com/2010/01/23/dimensikeberagamaa-kuli-angkut-barang/).

(25)

xxv

berbahasa Jawa para KP di Pasar Legi Surakarta. Dalam hal ini, peneliti mengambil judul Kesantunan Berbahasa Jawa para Kuli Panggul di Pasar Legi Surakarta (Suatu Kajian Pragmatik). Adapun alasan pemilihan judul adalah sebagai berikut.

1. Di wilayah Surakarta, khususnya di PLS, sebagian besar KP masih menggunakan bahasa Jawa untuk melakukan komunikasi dan berinteraksi, baik dengan sesama KP maupun dengan orang lain.

2. Lingkungan pasar memiliki hubungan kekeluargaan yang sangat erat, antara anggota pasar yang satu dengan yang lainnya. Rasa kekeluargaan mereka tercermin dalam penggunaan bahasa dalam berkomunikasi sehari-hari. Bahasa Jawa yang digunakan oleh KP di PLS mencerminkan adanya kesantunan berbahasa.

3. Kesantunan berbahasa Jawa yang digunakan oleh KP di PLS tercermin dalam penawaran jasa memanggul barang, hal ini yang membedakan antara KP dan anggota PLS yang lain seperti pedagang.

4. Berdasarkan penelitian terdahulu tentang kajian pragmatik yang pernah dilakukan, penelitian tentang kesantunan berbahasa Jawa KP di PLS belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian dengan kajian pragmatik.

B. Pembatasan Masalah

(26)

xxvi

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka secara rinci masalah yang diteliti adalah sebagai berikut.

1) Bagaimanakah wujud kesantunan berbahasa Jawa para KP di PLS ? 2) Bagaimanakah prinsip kerja sama yang dilakukan oleh KP di PLS ?

3) Bagaimanakah daya pragmatik tindak tutur bahasa Jawa para KP di PLS ?

D. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah tersebut, tulisan ini bertujuan untuk memaparkan kesantunan berbahasa Jawa para KP di Pasar Legi Surakarta. Tujuan tersebut dirinci sebagai berikut.

1) Mendeskripsikan wujud kesantunan berbahasa Jawa para KP di PLS. 2) Mendeskripsikan prinsip kerja sama yang dilakukan oleh KP di PLS. 3) Mendeskripsikan daya pragmatik tindak tutur bahasa Jawa para KP di PLS.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini dibedakan menjadi dua macam yakni manfaat teoretis dan manfaat praktis.

1. Manfaat Teoretis

(27)

xxvii 2. Manfaat Praktis

Secara praktis manfaat penelitian ini dapat memberikan informasi tentang kesantunan berbahasa Jawa yang dipakai para KP di PLS dan memberi sumbangan terhadap pengembangan dan pembinaan bahasa Jawa. Selain itu, dapat digunakan sebagai acuan penelitian berikutnya.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini meliputi lima bab dan diuraikan sebagai berikut.

Bab I adalah Pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II adalah Kajian Pustaka, meliputi pengertian pragmatik, prinsip kerjasama, prinsip kesantunan, tindak tutur, peristiwa tutur, KP, sejarah PLS, dan kerangka pikir.

Bab III adalah Metode Penelitian, meliputi jenis penelitian, lokasi penelitian, data dan sumber data, populasi, sampel, alat penelitian, metode dan teknik pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data.

Bab IV adalah Hasil Analisis dan Pembahasan, merupakan hasil analisis dari keseluruhan data mengenai kesantunan berbahasa Jawa oleh para KP di PLS.

(28)

xxviii

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Pragmatik

Menurut Geoffrey Leech (dalam Oka, 1993: 8) pragmatik adalah studi mengenai makna ujaran di dalam situasi-situasi tertentu. Definisi pragmatik yang selanjutnya menurut beliau bahwa pragmatik merupakan studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations). Kunjana Rahardi berpendapat bahwa pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari pemakaian atau penggunaan bahasa, yang pada dasarnya selalu harus ditentukan oleh konteks situasi tutur di dalam masyarakat dan wahana kebudayaan yang mewadahi dan melatarbelakanginya (Kunjana Rahardi, 2003: 15).

George Yule (dalam Indah, 2006: 3) menyebutkan bahwa pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penulis dan ditafsirkan oleh MT (pendengar). Selanjutnya studi ini lebih banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan-tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri.

(29)

xxix

Dari pengertian pragmatik yang telah dipaparkan tersebut mempunyai garis besar mengenai pengertian pragmatik yakni salah satu cabang linguistik yang mengkaji maksud penutur yang terikat konteks.

B. Prinsip Kerja Sama

Menurut Grice (dalam Wijana, 1996, Kunjana Rahardi, 2003, dan Muhammad Rohmadi, 2004) untuk memenuhi komunikasi secara wajar dan terjadi kerja sama yang baik, maka dalam berkomunikasi harus memenuhi empat prinsip (maksim) yakni :

1. Maksim Kuantitas

Di dalam maksim kuantitas dijelaskan bahwa seorang P diharapkan dapat memberikan pesan atau informasi yang sungguh-sungguh memadai, dirasa cukup, tidak kekurangan dan tidak berlebihan, dan dipandang seinformatif mungkin kepada MT.

A : Jenengmu sapa?

‘Namamu siapa?’ B : Putri Kusuma.

‘Putri Kusuma.’

jawaban B memenuhi maksim kuantitas, karena memberikan kontribusi sesuai yang diinginkan A.

2. Maksim Kualitas

(30)

xxx

ngendi? ‘Ibukota RI di mana?’ kemudian salah seorang muridnya menjawab, “Semarang”. Murid tersebut tidak berkata benar, karena ibukota RI adalah Jakarta. Dengan demikian, murid tidak memenuhi maksim kualitas.

3. Maksim Relevansi

Di dalam maksim relevansi dinyatakan dengan cukup jelas bahwa agar dapat terjalin kerjasama yang benar-benar baik antara P dan MT, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dituturkan.

A : Iki jam pira?

‘Sekarang jam berapa?’ B : Jam 3.’

‘Jam 3.’

Jawaban B atas pertanyaan A akan tidak relevan jika dijawab dengan klambimu neng lemari ‘bajumu di lemari’.

4. Maksim Pelaksanaan (Cara)

Di dalam maksim pelaksanaan diharuskan agar setiap peserta pertuturan selalu bertutur sapa secara langsung, secara jelas, dan isi pesan dari tuturan tersebut tidak boleh bersifat ambigu atau kabur isinya. Perhatikan contoh berikut.

A : Sepedhaku rusak, ketabrak mobil, isa didandani ora?

‘Sepeda saya rusak, tertabrak mobil, bisa diperbaiki tidak?’ B : Isa, ning nunggu rong taun.

‘Bisa, tapi menunggu dua tahun.’

(31)

xxxi

C. Prinsip Kesantunan

Rumusan kesantunan berbahasa yang sampai saat ini dianggap paling lengkap, paling mapan, dan paling komprehensif yakni yang telah dirumuskan oleh Leech (dalam Oka, 1993). Rumusan prinsip kesantunan itu selengkapnya tertuang di dalam enam maksim yakni :

1. Maksim Kebijaksanaan (tact maxim)

Maksim kebijaksanaan diungkapkan dengan tuturan imposif dan komisif yang menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain (kurangi kerugian orang lain), atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain (tambahi keuntungan orang lain). Hal ini dapat dikatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap santun kepada lawan bicaranya. Misalnya :

A : Kula betane bu.

‘Saya bawakan bu.’ B : Boten sah, ra papa.

‘Tidak perlu, tidak apa-apa.’

Tuturan A dan B disebut pragmatik paradoks yakni suatu paradoks yang mengacu pada sikap bertentangan antara A dan B.

2. Maksim Kedermawanan / Kemurahhatian (generosity maxim)

(32)

xxxii

apik, emane cedhak pabrik ‘Rumahmu bagus, tapi sayang berdekatkan dengan pabrik.’

3. Maksim Penghargaan / Penerimaan (approbation maxim)

Maksim penghargaan dapat diutarakan dengan kalimat komisif dan imposif. Di dalam maksim ini dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun di dalam suatu masyarakat bahasa apabila di dalam praktik bertutur selalu berusaha untuk memberikan penghargaan dan penghormataan kepada pihak lain secara optimal. Misalnya :

A : Takterke!

‘Saya hantar!’ A : Tulung aku terna!

‘Tolong saya dihantar!’ A : Tak-ewangi.

‘Saya bantu.’

4. Maksim Kesederhanaan (modesty maxim)

Maksim kesederhanaan ini juga diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Di dalam maksim kesederhanaan, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian atau penghormatan terhadap dirinya sendiri dan memaksimalkan penghormatan atau pujian terhadap orang lain. Misalnya:

A : Pinter men kowe.

‘Pandai sekali kamu.’ B : Ah…biasa wae.

‘Ah…biasa saja.’

5. Maksim Permufakatan/ Kesetujuan/ Kecocokan (agreement maxim)

(33)

xxxiii

peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Misalnya:

A : Omah kuwi apik.

‘Rumah itu bagus.’ B : Iya…apik banget.

‘Ya, bagus sekali.’ 6. Maksim Kesimpatian (symphaty maxim)

Maksim kesimpatian ini juga diungkapkan dengan tuturan ekspresif dan asertif. Di dalam maksim kesimpatian ini diharapkan agar para peserta tutur selalu memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Misalnya:

A : Bapake wingi seda.

‘Ayahnya kemarin meninggal.’ B : Innalillahi wa innaillaihi roji’un

‘Sesungguhnya segala sesuatu yang datang dari Allah, akan kembali kepada-Nya.’

D. Daya Pragmatik

Leech (dalam Oka, 1993: 52) menyebutkan bahwa daya pragmatik adalah ‘makna’. ‘Makna’ sebagaimana digunakan dalam pragmatik (yaitu dalam rumus P bertujuan D melalui tuturan X) merupakan suatu maksud refleksif yaitu suatu maksud yang hanya bias dicapai bila maksud tersebut diketahui oleh MT.

(34)

xxxiv

dasarnya bersifat nonkategorial dan beragam konteks, selain itu daya pragmatik dimotivasi oleh prinsip-prinsip umum mengenai perilaku sosial dan rasional.

E. Tindak Tutur

Tindak tutur (speech act) adalah gejala individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu (Chaer dalam Muhammad Rohmadi, 2004: 29). Tindak tutur atau tindak ujaran (speech act) mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pragmatik karena tindak tutur adalah satuan analisisnya. Austin (1962) mengemukakan bahwa mengujarkan sebuah kalimat tertentu dapat dipandang sebagai melakukan tindakan (act), di samping memang mengucapkan kalimat tersebut. Ia membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan ujaran, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi.

1. Tindak Tutur Lokusi

Lokusi adalah semata-mata tindak berbicara, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna kata itu (di dalam kamus) dan makna kalimat itu sesuai dengan kaidah sintaksisnya. Di sini maksud atau fungsi ujaran itu belum menjadi perhatian. Misalnya:

A : Aku lara.

‘Saya sakit.’

A : Kucing sikile papat.

(35)

xxxv

Ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu. Di sini kita mulai berbicara tentang maksud dan fungsi atau daya ujaran yang bersangkutan, untuk apa ujaran itu dilakukan.

A : Kula nyuwun sekilo.

‘Saya minta satu kilogram’ maksudnya membeli sebanyak 1 kilogram.’

A : Bapake galak.

‘Ayahnya galak’ maksudnya jangan pergi ke rumahnya.’ A : Adoh lho le!

‘Jauh nak!’ maksudnya melarang untuk pergi.’ 3. Tindak Tutur Perlokusi

Perlokusi mengacu ke efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh penutur. Secara singkat, perlokusi adalah efek dari tindak tutur itu bagi mitra-tutur. Misalnya: Omahe adoh ‘Rumahnya jauh.’

Omahe adoh.

‘Rumahnya jauh.’

Menurut Searle (dalam Muhammad Rohmadi, 2004: 32) tindak tutur atau tindak ujar dapat dikategorikan menjadi lima jenis yakni.

1. Tindak Tutur Representatif

Lokusi Ilokusi Perlokusi

(36)

xxxvi

Merupakan tindak tutur yang mengikat P kepada kebenaran atas hal yang dikatakannya, misalnya: menyatakan, melaporkan, menunjukkan, dan menyebutkan.

A : Bu, susuke blanja wau kalih ewu.

‘Bu, kembalian uang belanja tadi dua ribu.’ B : Gawanen, nggo jajan.

‘Ambil saja, buat jajan.

Tuturan A merupakan tindak tutur representatif melaporkan, yakni melaporkan sisa uang belanjaan kepada B.

2. Tindak Tutur Direktif

Merupakan tindak tutur yang dilakukan oleh P dengan maksud agar lawan tutur melakukan tindakan yang disebutkan dalam ujaran itu, misalnya: menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang.

A : Mbak tulung iki diguwakke!

‘Mbak tolong ini dibuangkan!’ B : Nggih.

‘Ya.’

Tuturan A merupakan contoh penerapan tindak tutur direktif menyuruh, yakni menyuruh B untuk membuang barang-barang yang sudah tidak dipergunakan lagi.

3. Tindak Tutur Ekspresif

Merupakan tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam ujaran itu, misalnya: memuji, mengucapkan terima kasih, mengkritik, dan mengeluh.

A : Ibu kok yen masak mesthi kurang asin.

‘Ibu kalau masak pasti kurang asin.

B : Ya gari ditambahi uyah!

(37)

xxxvii

Tuturan A merupakan tindak tutur ekspresif mengkritik masakan B karena masakan B selalu kurang garam.

4. Tindak Tutur Komisif

Merupakan tindak tutur yang mengikat P untuk melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam ujaranya, misalnya: berjanji, bersumpah, atau mengancam.

A : Yen sesuk utangmu durung wok lunasi motormu takjipuk!

‘Kalau besok kamu belum melunasi hutangmu, motormu saya ambil!’

Tuturan A merupakan tindak tutur komisif mengancam. 5. Tindak Tutur Deklarasi

Merupakan tindak tutur yang dilakukan oleh P dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan dan sebagainya) yang baru, misalnya: memutuskan, membatalkan, melarang, mengijinkan, dan memberikan maaf.

A : Wis takngapura kabeh, aja dibaleni!

‘Sudah saya maafkan semua, jangan diulangi!’ B : Nuwun ya kang.

‘Terima kasih kak.’

I Dewa Putu Wijana (1996: 29) menyebutkan bahwa tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung, dan tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal.

1. Tindak Tutur Langsung dan Tindak Tutur Tidak Langsung

(38)

xxxviii

kalimat perintah (imperative) untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan atau permohonan. Apabila kalimat berita difungsikan secara konvensional untuk mengatakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak, memohon, dan sebagainya, maka akan terbentuk tindak tutur langsung (direct speech). Sebagai contoh, Adhiku durung sekolah ‘Adikku belum sekolah’, Omahmu ngendi? ‘Rumahmu di mana?’, dan Lawange tutupen!

‘Pintunya ditutup!’. Ketiga kalimat tersebut merupakan tindak tutur langsung berupa kalimat berita, tanya, dan perintah.

Tindak tutur tidak langsung (indirect speech) ialah tindak tutur untuk memerintah seseorang, melakukan sesuatu secara tidak langsung. Tindakan ini dilakukan dengan memanfaatkan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah. Misalnya, seorang ibu yang menyuruh anaknya mengambilkan sapu, diungkapkan dengan Ndhuk, sapune ndi?

‘Nak, sapunya di mana?’ kalimat tersebut selain bertanya juga memerintah anaknya untuk mengambilkan sapu.

2. Tindak Tutur Literal dan Tindak Tutur Tidak Literal

Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Sedangkan tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan kata-kata yang menyusunnya. Sebagai contoh dapat dilihat kalimat berikut.

(a) : Swarane apik tenan.

‘Suaranya merdu sekali.’

(b) : Swaramu apik tenan, ning rasah nyanyi!

(39)

xxxix

Kalimat (a) jika diutarakan dengan maksud untuk memuji atau mengagumi suara orang yang dibicarakan, maka kalimat itu merupakan tindak tutur literal, sedangkan kalimat (b) P bermaksud mengatakan bahwa suara lawan tuturnya jelek, yaitu dengan mengatakan ‘tidak usah menyanyi’, maka kalimat (b) merupakan tindak tutur tidak literal.

Apabila tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung diintereaksikan dengan tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, maka akan tercipta tindak tutur sebagai berikut.

a.Tindak Tutur Langsung Literal (direct literal speech act)

Merupakan tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, dan menanyakan sesuatu dengan kalimat tanya. Misalnya, Tutupke lawange! ‘Tutup pintunya!’, Anakmu pira? ‘Anakmu berapa?’, dan

Kucingku manak telu ‘Kucingku beranak tiga’.

b.Tindak Tutur Tidak Langsung Literal (indirect literal speech act)

Merupakan tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh P. Misalnya, Jogane reged ‘Lantainya kotor’. Kalimat itu diucapkan oleh seorang ayah kepada anaknya, bukan saja menginformasikan, tetapi sekaligus menyuruh untuk membersihkannya.

(40)

xl

Tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Misalnya,

Sepedamu uapik tenan ‘Sepedamu bagus sekali’, P sebenarnya ingin mengatakan bahwa sepeda lawan tuturnya jelek.

d.Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal (indirect nonliteral speech act)

Tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang ingin diutarakan. Untuk menyuruh seorang pembantu menyapu lantai yang kotor, seorang majikan dapat saja mengutarakannya dengan kalimat Jogane kok resik men ? ‘lantainya kok bersih sekali?’.

F. Peristiwa Tutur

(41)

xli

S : setting and scene, mengacu pada situasi, tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan.

P : participants, pihak-pihak yang terlibat dalam tuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara dan pendengar.

E : ends, purpose and goal, maksud dan hasil percakapan. Suatu peristiwa tutur itu terjadi pasti ada maksud dari penutur maupun mitra tutur.

A : act sequences, hal yang menunjuk pada bentuk dan isi percakapan. Bentuk mencakup bagaimana topik itu dituturkan, sedangkan isi percakapan berkaitan dengan persoalan apa yang dikatakan oleh penutur.

K : key, tone or spirit of act, menunjuk pada cara atau semangat (nada atau jiwa) dalam melaksanakan percakapan. Tuturan tersebut akan berbeda antara serius dan santai, resmi dan tidak resmi.

I : instrumentalties, menunjuk pada jalur percakapan, apakah secara lisan atau bukan, jalur percakapan yang digunakan itu dapat melalui lisan, telegraf, telepon, dan surat. Percakapan secara lisan dapat seperti berbicara, menyanyi dan bersiul.

N : norms of interactional interpretation, menunjuk pada norma perilaku peserta percakapan, yang termasuk di dalamnya adalah semua kaidah yang mengatur pertuturan yang bersifat imperatif (memerintah).

G : genres, menunjuk pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan.

(42)

xlii

Dalam KBBI (2007: 610) kuli adalah 1) orang yang bekerja dengan mengandalkan kekuatan fisiknya (seperti membongkar muatan kapal, mengangkut barang dari stasiun satu ke tempat yang lain) pekerja kasar; 2) sosial penduduk desa keturunan pendiri atau sesepuh desa yang mempunyai kewajiban penuh melakukan pekerja desa. Sedangkan KP adalah buruh kasar yang menerima upah dari jasa memanggul barang.

Kuli berasal dari bahasa Mandarin hanyu pinyin ‘kuli atau pekerja kasar yang menggunakan tenaga dalam mengerjakan tugas yang biasanya berat (http://id.wikipedia.org/wiki/kuli.com). Menurut Royyan Ramdhani Djayusman (2009) KP merupakan salah satu pelaku ekonomi dalam bidang penyediaan jasa. Keberadaan KP di PLS sangat membantu kelancaran transaksi jual-beli, karena PLS terkenal dengan pasarnya para pedagang-pedagang besar.

KP di PLS terhimpun dalam suatu serikat yang diberi nama Serikat Pekerja Transport Indonesia (selanjutnya disingkat SPTI), sehingga para KP sudah terkoordinir. Keberadaan SPTI terlepas dari DPPL, dengan kata lain SPTI punya otonomi sendiri dalam pembentukan atau pemberhentian penggurus dan anggota. SPTI didirikan pada tahun 1965, kantornya berada di lantai 2 (dua) tenggara, dekat los sayuran, yang diketuai oleh Wagiman (Petruk). Hingga saat ini anggota SPTI berjumlah 1.000 orang, 500 orang wanita dan 500 orang laki-laki. Berdasarkan umur KP di PLS dapat digolongkan menjadi tiga yakni.

Tabel 1.

Penggolongan KP Berdasarkan Umur

Golongan Umur Laki-laki Perempuan

I 25-35 tahun 50 orang 50 orang

(43)

xliii

(sumber: hasil wawancara dengan Ketua SPTI)

Layaknya sebuah organisasi, SPTI juga mengadakan rapat, namun rapat di sini hanya untuk pengurus saja yang diadakan setiap bulan pada minggu ketiga. Menurut Bapak Wagiman, untuk menjadi anggota SPTI tidaklah mudah, seorang calon anggota baru harus dibawa oleh anggota lama yang akan berhenti menjadi anggota. Dengan kata lain, calon anggota baru tersebut menggantikan anggota lama yang keluar.

KP di PLS dibagi menjadi 2 kelompok yakni kelompok putra dan kelompok putri. Untuk kelompok putra dibagi lagi menjadi 6 kelompok dengan masing-masing kelompok diketuai oleh seorang mandor. Sedang kelompok putri dibagi menjadi 9 kelompok yakni kelompok kumiyai, kelompok Jalan S. Parman, kelompok ketela, kelompok cabe, kelompok Karang Pandan, kelompok utara, kelompok kelapa, kelompok beng, dan kelompok Sukini. Untuk pembagian upahnya sendiri apabila ada barang datang 1 truk dan dikerjakan oleh 5 orang KP, maka hasilnya dibagi 6 orang yakni 5 orang KP dan seorang mandor. KP yang bekerja pada kios atau toko tertentu, penghasilannya ditentukan oleh pemilik kios atau toko tersebut.

KP di PLS langsung dapat kita kenali dari pakaian yang digunakannya yakni kaos seragam SPTI warna kuning, memakai celemek dan membawa selendang untuk menggendhong barang bawaan. Sedang KP laki-laki biasanya tidak membawa selendang.

(44)

xliv

PLS terletak di jalan S. Parman nomor 23 Kelurahan Setabelan Kecamatan Banjarsari Surakarta. PLS didirikan pada masa pemerintahan Mangkunegara I (Pangeran Sambernyawa).

Pasar yang menghadap ke barat ini pada tahun 1930 masih berupa pasar yang sangat tradisional dimana para pedagang membuka dasaran di tanah terbuka atau dengan kata lain masih terdiri dari pedagang oprokan semua. Di bawah pengelolaan Mangkunegaran, pada tahun 1935 berdiri sebuah bangunan pasar permanen tersusun dari tembok berwarna putih yang bila dilihat dari samping mirip sebuah benteng. Mulai saat itu pasar ini mengalami perkembangan, pada tahun 1992 mengalami pemugaran kembali oleh Pemkot Surakarta sehingga menjadi wujud PLS dengan dua lantai seperti sekarang.

PLS yang memiliki luas 16.640m2, terdiri dari 233 kios, 1425 los, dan ±700 pedagang oprokan (pelataran) yang sebagian besar berasal dari luar kota Surakarta (hasil wawancara dengan salah satu staf DPPL). PLS dibagi menjadi 9 blok yakni.

Tabel.2

Pembagian Blok di Pasar Legi Blok Jenis Barang Dagangan

1 A Cabe, bawang merah, bawang putih 1 B Gerabah, daun, arang

2 A Grabadan

2 B Ketela 3 A Grabadan

(45)

xlv

4 A Empon-empon, palen (pakaian) 5 Daging

T Ikan asin

(Sumber: hasil wawancara dengan salah satu staf DPPL)

Pasar ini resmi dibuka dari pukul 06.00 WIB sampai 18.00 WIB atau selama 12 jam namun dalam kenyataannya pasar ini beroperasi selama 24 jam. Ada rutinitas unik disini yakni setiap pukul 15.00 WIB ketika pasar di dalam bangunan utama sudah mulai berbenah datanglah para pedagang malam yang membuka pasaran di bagian luar bangunan utama (pelataran), ada yang memang khusus pedagang malam, ada juga yang siang harinya berdagang di bagian dalam bangunan lalu membawa dagangannya keluar dan berdagang sampai pagi. Sedangkan pedagang yang berdagang di bagian dalam bangunan pada malam hari hanya tinggal beberapa (http://labucyd.blog.uns.ac.id/2009/04/16/profil-pasar-legi/).

I. Kerangka Pikir

Kerangka pikir adalah bagian yang berisi tentang penggambaran secara jelas mengenai penelitian. Sesuai dengan objek penelitian yang berupa data lisan pemakaian bahasa Jawa yang digunakan oleh KP di PLS, maka masalah yang dikaji adalah penerapan prinsip kerjasama, prinsip kesantunan, dan daya pragmatik. Dengan demikian apabila dibagankan akan tampak pada bagan seperti di bawah ini.

(46)

xlvi Bagan 1

Kesantunan berbahasa Jawa KP di PLS

Penjual Kuli Panggul Pembeli

Kesantunan Berbahasa Jawa

(47)

xlvii

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan. Jenis penelitian ini deskriptif kualitatif. Pemilihan jenis penelitian deskriptif kualitatif supaya dapat mengungkapkan berbagai fenomena kebahasaan dengan pendeskripsian yang menggambarkan keadaan, gejala dan fenomena yang terjadi. Deskriptif dalam arti penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa perian bahasa yang biasa dikatakan sifatnya seperti potret: paparan seperti nyatanya (Sudaryanto, 1993: 62). Menurut D. Edi Subroto (1992: 5) kualitatif merupakan penelitian yang metode penelitian terhadap suatu masalah yang tidak didesain atau dirancang menggunakan prosedur-prosedur statistik.

B. Lokasi Penelitian

(48)

xlviii

besar, sehingga banyak menggunakan jasa KP. PLS juga memiliki organisasi-organisasi seperti IKAPPAGI (Ikatan Penjual Pasar Legi), KAMUS (Keluarga Muslim Pasar Legi), dan SPTI (Serikat Pekerja Transport Indonesia).

C. Data dan Sumber Data

Data adalah bahan penelitian; dan bahan yang dimaksud bukan bahan mentah melainkan bahan jadi (Sudaryanto, 1990: 9). Data dalam penelitian ini berupa data lisan. Data lisan yaitu tuturan bahasa Jawa yang digunakan oleh para KP di PLS yang sesuai dengan tujuan penelitian ini yakni kesantunan berbahasa Jawa yang meliputi wujud prinsip kesantunan, prinsip kerja sama dan daya pragmatik tindak tutur bahasa Jawa. Tuturan yang diambil ialah tuturan yang alami atau wajar. Maksudnya bahwa data yang diambil adalah penggunaan bahasa yang berlangsung secara wajar di dalam komunikasi berbahasa sehari-hari secara lisan.

(49)

xlix

D. Populasi

Populasi adalah objek penelitian. Populasi pada umumnya ialah keseluruhan individu dari segi-segi tertentu bahasa (Edi Subroto, 1992: 32). Populasi dalam penelitian ini adalah semua tuturan bahasa Jawa oleh KP di PLS.

E. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang dijadikan objek penelitian yang mewakili atau dianggap mewakili populasi secara keseluruhan (Edi Subroto, 1992: 32). Sampel dalam penelitian ini adalah kesantunan berbahasa Jawa oleh KP di PLS. Penentuan sampel penelitian ini menggunakan teknik proposive sampling, pengambilan sampel secara selektif disesuaikan dengan kebutuhan dalam sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Pengambilan sampel oleh peneliti dilakukan pada bulan Maret-April 2010.

F. Alat Penelitian

Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Disebut alat utama karena alat tersebut paling dominan dalam penelitian, sedangkan alat bantu berguna memperlancar jalannnya penelitian. Alat utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri yang langsung melihat keadaan sosial dan kesantunan berbahasa Jawa para KPdi PLS. Alat bantu penelitian ini adalah alat tulis manual seperti ballpoint, penghapus, dan buku catatan. Alat bantu elektronik yang digunakan yaitu tape-recorder dan komputer.

(50)

l

Metode adalah (1) cara mendekati, mengamati, menganalisis, dan menjelaskan suatu fenomena; (2) sikap sekelompok sarjana terhadap bahasa atau linguistik; (3) berbagai teknik untuk menetapkan dan mengukur ciri bahasa; (4) prinsip-prinsip dan praktik pengajaran bahasa (Harimurti Kridalaksana, 2001: 136-137). Sedangkan menurut peneliti metode adalah cara untuk mendapatkan atau menghasilkan sesuatu melalui beberapa proses secara berurutan dan tepat.

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak (pengamatan/ observasi). Menurut Sudaryanto (1993: 133) metode simak adalah metode pengumpulan data dengan menyimak penggunaan bahasa, dalam penelitian ini peneliti menyimak tuturan bahasa Jawa yang digunakan oleh KPdi PLS.

Teknik dasar yang digunakan oleh peneliti adalah teknik sadap. Penelitian ini dilakukan dengan penyimakan yang dilanjutkan dengan menyadap pemakaian bahasa dari informan. Sedangkan teknik lanjutan yaitu teknik simak bebas libat cakap (SBLC), teknik simak libat cakap (SLC), teknik rekam, teknik wawancara dan teknik catat.

Teknik Simak Bebas Libat Cakap (SBLC) adalah teknik yang digunakan untuk memperoleh data dengan hanya berperan sebagai pengamat penggunaan bahasa informan. Peneliti tidak ikut campur dalam pembicaraan baik sebagai pembicara maupun lawan bicara, baik secara bergantian maupun tidak. Peneliti hanya menyimak pembicaraan dari informan yang dipilih.

(51)

li

Peneliti terlibat langsung dalam pembicaran dan ikut menentukan pembentukan dan pemunculan data.

Teknik wawancara merupakan teknik yang digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan data yang diinginkan oleh peneliti, misalnya menanyakan penjelasan mengenai sejarah PLS.

Teknik rekam dilakukan bersamaan dengan teknik SBLC, SLC dan wawancara yang digunakan untuk mengabadikan data. Teknik rekam ini dilakukan dengan cara direkam tanpa sepengetahuan penutur, sehingga tidak mengganggu kewajaran dari peristiwa tutur yang terjadi. Dilakukan juga teknik catat untuk mencatat hal-hal yang penting untuk mendukung data. Rekaman data sudah terkumpul kemudian ditranskripsikan dalam bentuk data tulis dan diklasifikasikan untuk dianalisis.

H. Metode Analisis Data

(52)

lii

Metode padan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan pragmatik dengan penentunya adalah penutur dan mitra tutur. Metode padan digunakan untuk mengetahui kesantunan yaitu efek yang ditimbulkan oleh tuturan bagi mitra tutur dan digunakan untuk mengetahui reaksi yang dilakukan oleh mitra tutur. Adapun teknik-teknik yang digunakan di dalam metode padan menurut Sudaryanto (1993: 21) meliputi teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasar yang dimaksud disebut teknik pilah unsur penentu, alatnya adalah daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh penelitinya. Sedang teknik lanjutannya meliputi teknik hubung banding menyamakan, teknik hubung banding membedakan dan teknik hubung banding menyamakan hal pokok.

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai metode padan, maka penggunaan metode tersebut akan dipaparkan dalam data berikut ini .

Data (2)

P : Bu, nuwun sewu SPTI pundi nggih bu?

‘Bu maaf SPTI sebelah mana ya bu?’

MT : SPTI? O…mrika, mang ngidul, nggen kantor enggal nika mang mlebet mrika, pojok pasar enggal tengah nggen sayur.

‘SPTI? O…sana, ke selatan, di kantor yang baru itu masuk ke sana, sudut pasar baru tengah di tempat sayur.’

P : Maturnuwun nggih bu.

‘Terima kasih bu.’ MT : Nggih

‘Ya.’

(53)

liii

mang ngidul, nggen kantor enggal nika mang mlebet mrika, pojok pasar enggal tengah nggen sayur ‘SPTI? O…sana, ke selatan, di kantor yang baru itu masuk ke sana, sudut pasar baru tengah di tempat sayur’, tuturan MT tersebut mencerminkan suatu kebenaran tentang letak atau posisi atau tempat SPTI yang ditanyakan oleh P. Dengan menunjukkan letak SPTI kepada P maka MT telah melakukan tindak tutur representatif. Selain itu MT melakukan tindak tutur direktif dalam tuturan Mang ngidul, nggen kantor enggal nika mang mlebet mrika, ‘Ke selatan, di kantor yang baru itu masuk ke sana,’ dan tindak tutur langsung literal yakni tindak tutur yang modus dan maknanya sesuai dengan maksud pengutaraan. Selain maksim kualitas, dalam tuturan SPTI? O…mrika, mang ngidul, nggen kantor enggal nika mang mlebet mrika, pojok pasar enggal tengah nggen sayur ‘SPTI? O…sana, ke selatan, di kantor yang baru itu masuk ke sana, sudut pasar baru tengah di tempat sayur’, juga terdapat maksim kuantitas di mana MT memberikan informasi yang jelas dan sesuai dengan apa yang diminta oleh P.

(54)

liv

dilakukan oleh MT maka P melakukan tindak tutur perlokusi dengan mengucapkan terima kasih dan menuju ke SPTI sesuai dengan petunjuk dari MT.

I.

Metode Penyajian Analisis Data

Penyajian hasil analisis ini menggunakan metode deskriptif, metode formal dan metode informal. Metode deskriptif merupakan metode yang semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena-fenomena yang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga yang dihasilkan adalah paparan apa adanya (Sudaryanto, 1993: 62)

(55)

lv BAB IV

HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Analisis Data

Hasil analisis data merupakan hasil analisis dari keseluruhan data mengenai kesantunan berbahasa Jawa para KP di PLS. Dalam bab IV ini dibahas mengenai 3 (tiga) hal, yaitu (1) prinsip kesantunan, (2) prinsip kerja sama, dan (3) daya pragmatik tindak tutur bahasa Jawa para KP di PLS.

1. Prinsip Kesantunan Berbahasa Jawa para KP di PLS.

Wujud kesantunan ada enam prinsip (maksim) yaitu maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim penerimaan, maksim kerendahan hati, maksim kesepakatan, dan maksim simpati. Dalam penelitian ini ditemukan keenam maksim tersebut dan pelanggaran maksim permufakatan. Analisis kesantunan berbahasa Jawa yang para KP di PLS dapat dilihat pada data-data berikut.

a. Maksim Kebijaksanaan (tact maxim)

Maksim kebijaksanaan menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain (kurangi kerugian orang lain), atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain (tambahi keuntungan orang lain). Penerapan maksim kebijaksanaan tampak pada tuturan berikut.

Data (3)

P : Didherekke bu?

(56)

lvi ‘Tidak.’

(PLS/ D3 KP/ 10-03-2010) Pada tuturan di atas terlihat KP bertindak sebagai P dan calon pembeli bertindak sebagai MT. Tuturan tersebut terjadi di sebelah timur Kantor DPPL, dalam situasi yang tidak formal. Dari tuturan P Didherekke bu? ‘Perlu diantar bu?’ nampak dengan jelas bahwa apa yang dituturkan oleh KP tersebut telah memaksimalkan keuntungan bagi calon pembeli, karena P memberitahukan kepada MT perihal dirinya yang akan membawakan barang belanjaan MT dengan menuturkan kalimat penawaran Didherekke bu? ‘Perlu diantar bu?’ dan ditanggapi secara langsung oleh MT dengan menuturkan kalimat penolakan Boten ‘Tidak’.

Dalam dunia KP, kata Mbeta boten ‘Ada yang dibawa tidak’, Didherekke ‘Diantarkan’, sering digunakan KP untuk menawarkan jasanya. Hal ini ada korelasi dengan maksud para KP yaitu bermaksud menawarkan jasa kepada orang yang dituju. Jika orang dimaksud menerima penawaran maka KP akan melakukan aktivitas mengikuti orang tersebut dan membawakan barang belanjaan, tetapi apabila orang yang bersangkutan menolak maka KP akan segera berlalu dan menawarkan pada orang lain.

Data (4)

P : Ni…Ni…esku ki tulung pecahna Ni!

‘Ni…Ni…es ku ini tolong dipecahkan Ni!’ MT : O…nggih Jeng, sekedhap.

‘O…iya jeng, sebentar.’

(57)

lvii

KP tersebut terjadi di PLS, tepatnya di angkringan sebelah timur Kantor DPPL. Dari tuturan antara P dan MT tersebut dapat dilihat adanya penerapan maksim kebijaksanaan yang dilakukan oleh P kepada MT, seperti terdapat dalam tuturan Ni…Ni…es ku ki tulung pecahna Ni!

‘Ni…Ni…es ku ini tolong dipecahkan Ni!, tuturan tersebut merupakan suatu tindakan memerintah, maksud tuturan tersebut dapat diterima dengan baik oleh KP. Adapun tuturan yang dikatakan oleh MT setelah mendengar perintah dari P, MT menjawab O..nggih bu sekedhap ‘O..iya bu sebentar’. Maksim kebijaksanaan memerintah yang disampaikan oleh P pada kalimat pertama lebih santun jika dibandingkan dengan tuturan yang selanjutnya yaitu pecahna esku! ‘pecahkan es ku’, yang ditandai dengan adanya penggunaan kata tulung ‘tolong’.

Data (5)

P : Ngga mbak, ditengga mriki.

‘Ini mbak, ditunggu di sini.’ MT : Nggih, lha njenengan?

‘Ya, lalu Anda?’

P : Pun boten napa-napa, kula ajeng mandhap. ‘Sudah tidak apa-apa, saya mau turun.’

(58)

lviii

kebijaksanaan karena P berupaya untuk mengurangi kerugan MT dan menambah keuntungan kepada MT dengan cara memberikan kursi dan mempersilahkan MT untuk duduk. Tuturan MT Nggih, lha njenengan?

‘Ya, lalu Anda?’ mengandung maksud rasa sungkan karena telah mengganggu kenyamanan P yang sedang beristirahat, namun P dalam tuturan yang selanjutnya Pun boten napa-napa, kula ajeng mandhap

‘Sudah tidak apa-apa, saya mau turun’ berusaha untuk memberikan kenyamanan kepada MT bahwa kehadiran MT sama sekali tidak mengganggu P.

b. Maksim Kedermawanan (generosity maxim)

Di dalam maksim kedermawanan para peserta tutur diharapkan agar menghormati orang lain dengan cara mengurangi keuntungan bagi diri sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi MT.

Data (6)

P : Pundi Nyah kula angkatke.

‘Mana bu biar saya angkat.’ MT : Ya…sing kae barang!

‘Ya…yang itu juga!’

(59)

lix

mengurangi kadar keuntungan bagi diri sendiri dan memaksimalkan kadar keuntungan bagi pihak yang lain. Dengan sikap KP yang dermawan kepada pembeli, menawarkan jasa untuk mengangkut barang belanjaan, KP mengutamakan dan mendahulukan kepentingan bagi pembeli, sehingga tuturan yang dituturkan oleh KP adalah tuturan yang santun.

Data (7)

P : Pundi bu, sekedhap kula suwunke krèsèk.

‘Mana bu, sebentar saya mintakan plastik.’ MT : Wis ra sah ngene wae.

‘Sudah tidak perlu, begini saja.’

(PLS/ D7 KP/ 23-03-2010) Tuturan antara P dan MT tersebut terjadi di halaman parkir sebelah barat, tepatnya di sebelah selatan Masjid. Tuturan yang terjadi antara P sebagai KP dan MT sebagai pembeli tersebut terjadi dalam situasi yang tidak resmi. Dalam tuturan Pundi bu, sekedhap kula suwunke krèsèk

(60)

lx

c. Maksim Penerimaan (approbation maxim)

Maksim penerimaan mengharapkan agar P selalu menghargai MT, tidak mengejek atau menghina MT. Sebaliknya P menambah pujian terhadap MT.

Data (8)

P : Matur nuwun bu, ngapunten sampun ngrusuhi.

‘Terima kasih bu, maaf sudah mengganggu’ MT : Nggih, boten napa-napa.

‘Ya, tidak apa-apa.’

(PLS/ D8 KP/ 10-03-2010) Tuturan tersebut terjadi antara peneliti sebagai P dan KP sebagai MT dalam situasi yang tidak resmi. Peneliti dalam tuturannya Matur nuwun bu, ngapunten sampun ngrusuhi ‘Terima kasih bu, maaf sudah mengganggu’ telah menerapkan maksim penghargaan atau penerimaan dengan memberikan penghargaan atau penghormatan pada pihak lain yakni KP. Penghargaan tersebut dilakukan karena KP telah bersedia menjadi informan bagi peneliti. Jawaban KP setelah mendengar tuturan dari peneliti adalah Nggih, boten napa-napa ‘Ya, tidak apa-apa’.

Data (9)

P : Lawangku takjebol meneh ki.

‘Pintuku saya lepas lagi.’

MT : Didandakke cedhak Luwes kana mas!

‘Diperbaiki di dekat Luwes sana mas!’ P : Ana ta? Terke ndang!

‘Ada? Hantarkan ke sana!’

(61)

lxi

sebagai P dan KP sebagai MT, dalam situasi yang tidak resmi. Tuturan P

Terke ndang ‘Hantarkan ke sana’ dirasa kurang sopan dan merupakan pelanggaran terhadap maksim penerimaan karena P berusaha memaksimalkan keuntungan dirinya sendiri dengan menyusahkan orang lain. Tuturan tersebut akan dirasa lebih sopan jika ditambah kata tulung

‘tolong’ menjadi Tulung aku diterke ndang! ‘Tolong saya dihantarkan’.

d. Maksim Kerendahan Hati (modesty maxim)

Maksim kerendahan hati mengharapkan agar P melakukan pujian kepada diri sendiri sesedikit mungkin, dan memuji MT sebanyak mungkin.

Data (10)

P : Sregepe yen kon mecah es.

‘Rajin sekali kalau disuruh memecah es.’ MT : Alah…biasa.

‘Alah…biasa.’

P : Awas tangane, mengko nangis jerit-jerit.

‘Awas tangannya, nanti menagis teriak-teriak.’ MT : Ya ora lah…kaya apa wae.

‘Ya tidak lah.. seperti apa saja.’

(62)

lxii

di sini juga berusaha untuk meminimalkan penghargaan terhadap dirinya sendiri.

e. Maksim Kesepakatan (agreement maxim)

Di dalam maksim kesepakatan ditekankan agar peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau permufakatan dalam tuturan. Dari penelitian lapangan yang dilakukan peneliti, ditemukan data-data yang memperlihatkan penerapan maksim kesepakatan yang dilakukan oleh KP.

Data (11) (…)

P : Alah…alah…kemayune pol!

‘Alah….alah…sok cantik!

MT : Ha’a kemayune pol, anake kae sadis kok, ditari ngono sajake mlengos.

‘Ya sok cantik, anaknya sadis, ditawari malah memalingkan muka.’

(PLS/ D11 KP/ 10-03-2010) Tuturan tersebut terjadi antara P dan MT. P adalah KP1 dan MT

adalah KP2. Tuturan tersebut masih terjadi di sebuah angkringan sebelah

timur Kantor DPPL, dalam situasi yang tidak resmi. Maksim kesepakatan dapat dilihat pada tuturan MT yakni Ha’a kemayune pol ‘Ya sok cantik’, sebagai tanggapan dari argumen yang dituturkan oleh P pada tuturan

Alah…alah…kemayune pol ‘Alah…alah…sok cantik’. Maksim kesepakatan disini ditandai dengan adanya kata ha’a ‘ya’. Dengan melakukan maksim kesepakatan maka MT membenarkan atau sependapat dengan argumen P bahwa pembeli yang ditawari jasa oleh KP tersebut

kemayu ‘sok cantik’.

(63)

lxiii Data (12)

P : Eh…kemakine pol…jik jaka ngono kaya ngapa?

‘Eh…sok tampan…waktu masih muda seperti apa?’ MT : Jik jaka kalem-kalem.

‘waktu muda kalem.’

P : Kalempit-lempit, wong jik jaka ngono wis ngicipi kok kandha kalem.

‘Kalempit-lempit (terlipat-lipat), waktu masih muda saja sudah pernah mencoba mengapa bilang kalem.’

(PLS/ D12 KP/ 10-03-2010) Tuturan yang terjadi antara P sebagai KP dan MT sebagai salah seorang staf DPPL. Antara P dan MT sudah terjalin hubungan kekeluargaan yang erat tanpa melihat kedudukan dan pekerjaannya, sehingga bahasa yang digunakan dalam berinteraksi menggunakan ragam bahasa Jawa ngoko. Tuturan tersebut terjadi di sebuah angkringan sebelah timur Kantor DPPL pada jam istirahat. Dari tuturan tersebut terlihat jelas bahwa P melakukan penyimpangan maksim kesepakatan atas jawaban yang diberikan oleh MT dalam tuturan Jik jaka kalem-kalem ‘Waktu muda kalem’. Kalimat sangkalan yang dituturkan P adalah Kalempit-lempit, wong jik jaka wis tau ngicipi kok kandha kalem ‘Waktu masih muda saja sudah pernah mencoba, mengapa bilang kalem’. Disini MT tidak percaya dengan jawaban yang diberikan oleh P.

f. Maksim Simpati (shympaty maxim)

Gambar

Tabel 1. Penggolongan KP Berdasarkan Umur

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk simulator yang dikembangkan dapat menampilkan karakteristik motor induksi tiga fase sesuai dengan hasil simulasi SIMULINK, dan

Sampel terbaik ditunjukan oleh sampel 207 (dengan proses steam 6 menit ) yang memiliki umur simpan terbaik yaitu selama 24 jam.. Kemudian dari hasil organoleptik sampel yang

tentang: nomor pendaftar, nama calon peserta didik, asal satuan pendidikan, jarak tempat tinggal peserta didik, nilai USBN SD atau bentuk lain yang sederajat,

Turunnya indeks yang diterima petani lebih dipengaruhi oleh penurunan pada subkelompok palawija sebesar 2,33 persen sedangkan turunnya indeks yang dibayar dominan

sebagai Bides Matang Cengai Kota Langsa, pada tahun 2006 saya lulus menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan di tempatkan pada Puskesmas Langsa Timur, kemudian pada tahun

5ntuk melakukan analisa data dengan menggunakan Minitab, kita terlebih dahulu harus memasukan data yang akan dianalisis ke dalam 'orksheet. Klik tanda entry arro' D E �

Petani mitra sebanyak 29,3 persen mempunyai tingkat kebutuhan modal yang tinggi, dalam hal ini mereka memenuhi kebutuhan tersebut dengan berinteraksi dengan pihak dari

Sedangkan untuk negara ASEAN tujuan ekspor komoditi non migas utama Jawa Timur adalah Malaysia dengan nilai ekspor mencapai USD 78,77 juta, diikuti Singapura dengan