• Tidak ada hasil yang ditemukan

Debat Islam di Indonesia

Dalam dokumen Membaca Nurcholish Madjid (Halaman 27-50)

Tidak ada gagasan yang berdiri di atas angin. Setiap gagasan—apala-gi gagasan baru—selalu merupakan respons atas situasi sosial-histo-ris tertentu. Begitulah dengan gagasan pembaruan pada masa Orde Baru.12 Pada mulanya, muncul sebagai respons Islam atas gagasan modernisasi. Pembaruan Islam itu juga bukan sesuatu yang berdi-ri sendiberdi-ri dalam konteks lokal dan problem kontemporer. Tapi juga berkaitan erat dengan apa yang terjadi di dunia Islam internasional, maupun pembaruan-pembaruan yang sudah terjadi sebelum masa Orde Baru ini, khususnya tokoh-tokoh Masyumi (sebelum 1955).

Mereka semua adalah golongan yang biasa disebut “kaum modernis Islam”.13

Ciri kaum modernis ini adalah mengupayakan penghadiran Is-lam dan memberi isi, serta peranannya di tengah masyarakat yang sedang berubah. Maksudnya menghadirkan Islam dalam tuntutan kemodernan. Itu sebabnya tema-tema diskusi pemikiran pada awal-awal Orde Baru adalah di sekitar soal modernisasi, yang menjadi pilihan dari aktualisasi ide kemajuan pemerintahan Orde Baru.14 Maka dalam tahun-tahun terakhir 1960-an, pemikiran Islam di In-donesia diwarnai soal-soal di sekitar modernisasi dan implikasinya. Dalam bahasa Prof. Dr. Kuntowijoyo, pada saat ini terjadi pergeser-an orientasi keislampergeser-an dari periode sejarah Islam ypergeser-ang bersifat mitos dan ideologis, memasuki periode ide atau ilmu. Sehingga pada pe-riode inilah, mulai terlihat usaha yang disebutnya dengan, “meru-muskan konsep-konsep normatif Islam menjadi teori ilmiah”.15 Ka-rena itu, tidak heran jika respons terhadap modernisasi di kalangan umat Islam dimulai dengan membicarakan apa arti modernisasi itu bagi umat Islam. Cak Nur misalnya—dalam pandangannya sebelum tahun 1970—menganggap “modernisasi berarti berpikir dan beker-ja sesuai dengan hukum-hukum alam”. Maka dari itu, “modernisasi adalah suatu keharusan bahkan suatu kewajiban mutlak. Moder-nisasi merupakan suatu perintah dan ajaran Tuhan.” Karena itu mo-dernisasi—seperti pernah dikatakan Sidi Gazalba, yang pada saat itu juga ikut menyumbangkan respons Islam atas gagasan modernisa-si—adalah “proses reislamisasi” atas kaum Muslim, berdasarkan nilai-nilai pengetahuan dan perubahan sosial yang tepat. Bahkan Deliar Noer, dalam majalah Api (Oktober 1966, h. 10), menulis, masalah yang harus dijawab oleh kita adalah, “Bagaimana ummah kita mem-perlakukan, memfungsikan, dan menentukan sikap terhadap upaya-upaya modernisasi di dalam menghadapi tuntutan zaman, apabila

dengan jujur kita mengklaim bahwa ajaran-ajaran kita sebenarnya selalu dalam keadaan modern.”

Dalam buku Muslim Intellectual Responses to “New Orde” Mo-dernization in Indonesia (1982), Kamal Hasan menilai bahwa perso-alan nyata di balik perdebatan modernisasi sebelum tahun 1970-an ini bukanlah masalah-masalah substantif dan pragmatis yang me-nyangkut proses modernisasi itu, tapi lebih pada soal orientasi ideo-logis dari kaum elite modern Islam. Artinya menyangkut perjuang-an memperoleh hegemoni religio-politik, yperjuang-ang waktu itu elite Islam sedang dilanda frustrasi politik, karena kurang dilibatkan dalam pe-merintahan.

Dalam keadaan inilah—menyangkut tidak berfungsinya par-tai Islam dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam, dan orientasi yang masih mengeras dalam soal “negara Islam”, sebagai warisan dari Masyumi yang telah dibubarkan Soekarno, pada 1960—maka pada 1971, Mintaredja menulis sebuah buku, Renungan Pembaruan Pemikiran: Masyarakat Islam dan Politik di Indonesia, yang berisi analisis bahwa para tokoh Islam telah gagal memilih sifat-sifat yang dibutuhkan dalam menghadapi tantangan-tantangan internal, dan telah menaksir terlalu tinggi kekuatan politik umat. Ia mengatakan, untuk mengatasi masalah tersebut, “umat Islam hanya akan bisa me-ngejar ketinggalannya hanya dengan pola pemikiran baru, yang pe-nuh dengan dinamika dan romantika yang positif.” “Pola pemikiran baru” itulah yang segera dikembangkan oleh kelompok yang menye-but dirinya, “Kaum Pembaruan”, yang dalam istilah Tempo, “penarik gerbongnya”, adalah Cak Nur. Tentang peristiwa yang sangat penting dalam sejarah pemikiran Islam ini, Cak Nur bercerita panjang lebar yang akan dikutip di sini:

Tahun 1970 merupakan tahun yang benar-benar penting dalam kehi-dupan pribadi saya. Itu karena pada awal tahun itulah, saya

melontar-kan pemikiran tentang pembaruan pemikiran Islam yang kemudian menimbulkan kontroversi dan kehebohan. Sekalipun banyak unsur aksiden di dalamnya, unsur ketidaksengajaan, toh peristiwa itu saya rasakan amat besar pengaruhnya terhadap diri saya—sampai seka-rang.

Pembaruan (dulu sering disebut “pembaharuan”), atau yang lebih umum lagi modernisasi, waktu itu sebenarnya bukanlah isu baru di ta-nah air. Tetapi memang isu itu selalu merupakan isu yang kontrover-sial. Dan pada tahun tahun pertama dasawarsa 1970-an, isu itu mulai dibicarakan dengan intensitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya. Hal ini lebih terasa lagi di kalangan kaum Muslim.

Seperti sudah banyak kita ketahui, Bung Karno sendiri telah menyebarluaskan gagasan modernisasi Islam dalam Surat-Surat dari

Ende-nya yang sangat terkenal itu. Surat-surat itu ditulisnya ketika dia

dibuang ke pengasingan oleh pemerintah kolonial Belanda. Kemudian, pada tahun 1962, ketika Muhammadiyah merayakan mîlâd (ulang ta-hunnya) yang ke 50, dia menjadikan soal “Meremajakan Islam” sebagai tema pidatonya di hadapan ribuan orang yang memenuhi Istana Olah Raga Senayan yang besar itu. Ketika itu, dia memperkenalkan slogan “Menggali Kembali Api Islam”.

Sebenarnya, yang merupakan pusat perhatian Bung Karno bukan-lah modernisasi Islam atau pembaruan Islam itu sendiri, melainkan soal agama dan hubungannya dengan pembentukan bangsa Indone-sia. Saya kira, dia sedang mencari-cari sesuatu dalam Islam yang da-pat digunakan untuk mendukung konsepnya tentang pembangunan bangsa (nation building) melalui revolusi yang terus berkelanjutan. Dia juga ingin mempersatukan kaum Muslim dengan kaum nasionalis dan kaum komunis dalam wadah Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Ko-munis).

Lalu, persoalan modernisasi Islam atau modernisasi pada umum-nya, memperoleh dorongan baru sesudah masa Sukarno, dengan la-hirnya Orde Baru. Dalam era di bawah kepemimpinan Pak Harto ini,

pembangunan bangsa ingin dilakukan terutama melalui pemba-ngunan ekonomi. Pembapemba-ngunan ini mengandung banyak implikasi, dan salah satunya yang terpenting adalah modernisasi. Kemudian, modernisasi pada gilirannya melibatkan persoalan-persoalan seperti pendekatan pragmatis terhadap berbagai masalah (bukan lagi pende-katan ideologis seperti di zaman Orde Lama), rasionalisasi, dan yang terutama sekali sekularisasi bangsa.

Pada periode itu, Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar, dua warta-wan paling terkemuka di Indonesia, dan sebelumnya dikenal sebagai kader-kader PSI, berdiri di jajaran paling depan di antara orang-orang yang memberi dukungan kuat terhadap gagasan modernisasi. Hal itu tampak sangat jelas dalam surat kabar harian yang mereka pimpin, yakni Indonesia Raya dan Pedoman.

Sementara itu, kalangan Islam pada umumnya sangat menentang gagasan pragmatisme, rasionalisme, dan sekularisme. Mereka teruta-ma sangat peka terhadap gagasan sekularisme, yang mereka cap seba-gai kâfir. Karena itu, artikel-artikel orang seperti Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar dibaca dengan rasa curiga yang mendalam oleh orang orang Muslim, dan dikecam keras.

Pada mulanya saya termasuk di antara orang orang Muslim yang mengkritik Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar, walaupun secara ti-dak langsung. Hal itu, misalnya, saya lakukan dalam serangkaian arti-kel yang diterbitkan dalam majalah Mimbar Demokrasi, yang terbit di Bandung.

Dalam pandangan saya waktu itu, tampak jelas bahwa pesan-pe-san di balik retorika modernisasi di atas adalah memperkecil peran agama—kalau bukan sikap antiagama atau seruan ke arah sekularisme. Bayangkan, Rosihan Anwar, misalnya, waktu itu mengejek panggilan azan yang menggunakan pengeras suara sebagai “teror-teror elektro-nik”. Inilah yang saya kritik. Saya menegaskan bahwa modernisasi adalah rasionalisasi, bukan penerapan sekularisme dan bukan pula pengagungan nilai-nilai kebudayaan Barat.

Posisi intelektual seperti inilah, yang antara lain diperkuat oleh ri-salah saya berjudul Nilai-Nilai Dasar Perjuangan atau disingkat NDP, yang menjadikan saya memperoleh penerimaan luas di kalangan umat Islam. Waktu itu saya malah mendapat julukan “Natsir Muda”, meru-juk ke Bapak Mohammad Natsir di partai politik Masyumi dulu. Saya sendiri tidak terlalu mempedulikan julukan seperti itu.

Tetapi semua ini menjadi nggak karu-karuan setelah saya menya-jikan makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1970. Dalam makalah itu, secara terus terang saya mengatakan bahwa kaum Muslim Indonesia mengalami kemandekan dalam pemikiran keaga-maan mereka, dan telah kehilangan psychological striking force dalam perjuangan mereka.

Beberapa petunjuk atau indikasi saya kemukakan dalam makalah itu. Yang terpenting adalah ketidakmampuan mayoritas kaum Muslim untuk membedakan nilai-nilai transendental dari nilai-nilai tempo-ral. Malah, hierarki nilai-nilai itu, dalam pengamatan saya, seringkali diperlakukan terbalik: nilai-nilai yang transenden dipahami sebagai nilai-nilai yang temporal, dan sebaliknya. Akibat cara keberagama-an seperti ini, kata saya dalam makalah itu, Islam dipkeberagama-andkeberagama-ang senilai dengan tradisi, dan menjadi Islamis berarti sederajat dengan menjadi tradisionalis.

Nah, lanjut saya dalam makalah itu, kemandekan ini harus di-dobrak. Syaratnya adalah, kaum Muslim harus siap menempuh ja-lan pembaruan pemikiran Islam, sekalipun pilihan itu disertai risiko mengorbankan integrasi umat. Di sinilah terletak dilemanya, dan saya amat sadar akan hal itu. Di mana-mana, upaya pembaruan selalu saja berhadapan dengan kepentingan untuk mempertahankan integrasi.

Dalam pandangan saya waktu itu, agar dapat menjalankan pembaruan pemikiran keagamaan, kaum Muslim harus dapat mem-bebaskan diri mereka dari kecenderungan mentransendensikan nilai-nilai yang sebenarnya bersifat profan belaka. Dan sebagai konsekuensi dari keyakinan bahwa Islam itu kekal dan universal, maka ada

kewa-jiban inheren bagi kaum Muslim untuk menampilkan pemikiran kre-atif yang relevan dengan tuntutan zaman.

Dalam makalah itu juga, saya kemukakan upaya pembaruan pemikiran keagamaan ini hanya dapat dicapai apabila kaum Muslim memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi untuk membiarkan ga-gasan-gagasan apa pun, betapapun tidak konvensionalnya gagasan-gagasan itu untuk dikemukakan secara bebas. Dan yang lebih penting lagi, mengingat bahwa Islam memandang manusia secara alamiah berorientasi kepada kebenaran (hanîf), maka kaum Muslim harus ber-sikap terbuka. Ini berarti, mereka juga harus bersedia menerima dan menyerap gagasan-gagasan apa pun, tanpa menghiraukan asal-asul-nya, asal saja gagasan-gagasan tersebut secara objektif menyampaikan kebenaran.

Untuk menerangkan apa yang saya maksudkan, dalam makalah itu saya menggunakan beberapa konsep ilmu sosial dan filsafat yang waktu itu belum populer terutama di kalangan kaum Muslim. Misal-nya adalah liberalisasi, sekularisasi, intellectual freedom, the idea of

progress, dan lainnya.

Di luar dugaan saya, banyak reaksi disampaikan terhadap maka-lah saya itu. Reaksi-reaksi itu beragam. Kalangan di luar aktivis Islam tampaknya menyambut dengan senang isi makalah saya itu. Hal ini tampak, misalnya, dari reaksi orang seperti Mochtar Lubis. Koran yang dipimpinnya, Indonesia Raya, dengan antusias memuat makalah saya itu sepenuhnya pada edisi hari Minggu berikutnya. Mungkin karena dipersiapkan secara tergesa-gesa, maka sampai-sampai ada kalimat yang tidak terbaca dalam penerbitan itu. Untuk bagian-bagian yang tak terbaca itu, di situ ditulis saja “tidak terbaca”. Reaksi sejenis juga tampak pada Nono Anwar Makarim. Dia antara lain mengatakan, ka-lau tidak salah di harian KAMI yang dipimpinnya, bahwa makalah itu akan merupakan “the speech of the year”.

Sementara itu, reaksi kalangan Islam sifatnya tidak spontan. Yang saya rasakan, mereka hanya memasang tanda tanya besar terhadap saya: “Ada apa ini?” Tetapi juga cukup terasa bahwa mereka menaruh

sikap sangat curiga terhadap saya dan kawan-kawan saya. Misalnya, muncul desas-desus bahwa saya merupakan bagian dari sebuah kom-plotan yang menentang umat Islam. Kata desas-desus itu, komkom-plotan itu diorganisasikan oleh orang-orang mantan PSI yang sejak dulu di-pandang sebagai penganjur westernisasi dan sekularisasi. Mengingat bahwa makalah saya itu diterbitkan Indonesia Raya, maka kecurigaan itu menjadi tampak logis.

Sekalipun beragam, reaksi-reaksi itu didasarkan atas satu asumsi yang sebetulnya kurang lebih sama, yaitu bahwa saya sudah berubah bahwa Nurcholish sudah berubah. Demikianlah, beberapa kalangan kemudian berbicara mengenai “Nurcholish before Nurcholish” dan yang sejenis itu. Jadi ada Nurcholish yang sebelum penulisan makalah itu, dan ada Nurcholish yang sesudahnya.Terus terang, saya merasa aneh dengan penilaian seperti itu—sampai sekarang. Sebab, saya sendiri merasa bahwa tidak ada yang berubah dalam pemikiran saya sebelum dan sesudah penulisan makalah itu. Bagaimana saya berubah, wong makalah itu saya tulis hanya beberapa bulan sesudah saya menulis

NDP. Benar, hanya beberapa bulan! Dan kalau diamati secara hati-hati

dan mendalam, akan tampak jelas kesejalanan isi kedua tulisan saya itu. Tesis-tesis utama saya dalam makalah tahun 1970 itu didasarkan atas pemahaman saya mengenai dua prinsip dasar Islam, yaitu konsep mengenai al-tawhîd (keesaan Tuhan) dan gagasan bahwa manusia ada-lah khalifah Tuhan di atas bumi (khalîfah Allâh fî al-ardl).

Dari kedua prinsip tersebut, saya kemudian merumuskan premis-premis teologis yang menegaskan bahwa hanya Allah yang memiliki transendensi dan kebenaran mutlak. Dan sebagai konsekuensi dari penerimaan mereka terhadap prinsip monoteistik ini, sudah seharus-nya kaum Muslim memandang dunia ini dan masalah-masalah kedu-niaan yang temporal seperti apa adanya. Artinya, tidak usah disakral-kan. Karena, memandang dunia dan semua yang ada di dalamnya de-ngan cara yang sakral atau transendental dapat dianggap bertentade-ngan dengan inti paham monoteisme Islam.

Hanya saja, dan ini memang harus saya akui, berbeda dari tulis-an-tulisan saya yang sebelumnya, yang misalnya, banyak diwarnai oleh kutipan ayat-ayat Al-Quran, dalam makalah pembaruan itu saya justru menggunakan konsep-konsep yang sangat kontroversial. Salah satu konsep itu, dan yang terbukti paling kontroversial dan menghebohkan, adalah konsep “sekularisasi”.

Tetapi, penggunaan konsep itu pun sama sekali tidak mengim-plikasikan bahwa pandangan saya sudah berubah. Seperti saya tun-jukkan dalam makalah itu, sekularisasi saya bedakan dari sekularisme. Di situ saya tulis, bahwa “Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab secularism is the name for an ideology,

a new closed world view which functions very much like a new religion.

(‘Sekularisme adalah nama untuk suatu ideologi, suatu pandangan dunia baru yang tertutup yang berfungsi sangat mirip sebagai agama baru’). Dalam hal ini, yang dimaksudkan ialah setiap bentuk liberating

development (perkembangan yang membebaskan). Proses

pembebas-an ini diperlukpembebas-an karena umat Islam, akibat perjalpembebas-anpembebas-an sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal.”

Dalam makalah itu juga saya tegaskan bahwa “sekularisasi tidak-lah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslimin menjadi sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawi-kan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepas-kan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-melepas-kannya”.

Nah, saya menggunakan konsep sekularisasi itu untuk mengar-tikulasikan pandangan saya mengenai konsekuensi logis dari

al-taw-hîd. Sebagai “proses yang membebaskan,” sekularisasi memungkinkan

kaum Muslim membedakan antara nilai-nilai transendental dan ni-lai-nilai temporal. Di sini sekularisasi juga menjadi conditio sine qua

non yang memungkinkan kaum Muslim untuk melaksanakan upaya

mereka mengaitkan universalisme Islam dengan kenyataan-kenyataan Indonesia—sejalan dengan fungsi mereka sebagai khalîfah Allâh fî

Dari paparan di atas, mudah-mudahan menjadi jelas di mana persamaan dan perbedaan antara risalah NDP dan makalah pemba-ruan itu. Dilihat dari ide dasarnya, kedua tulisan itu persis sama. Yang membedakan keduanya hanyalah cara penuturannya. Karena dimak-sudkan sebagai dokumen yang awet untuk keperluan latihan perkade-ran sebuah organisasi, seperti sudah saya ceritakan pada bagian yang lalu, maka NDP ditulis dengan idiom-idiom dan pilihan kalimat yang standar. Dalam risalah itu juga, banyak dikutip ayat dari kitab suci Al-Quran. Makalah pembaruan tidak demikian duduk perkaranya. Makalah itu saya tulis dengan menggunakan format penulisan yang berbeda, yang lebih langsung ke jantung persoalan dan malah mena-warkan agenda setting. Hal itu sengaja ditulis demikian, karena ma-kalah itu memang dimaksudkan untuk mempertajam diskusi dalam pertemuan yang terbatas.

Tentu saja saya menyadari benar bahaya menggunakan istilah se-perti sekularisasi dan lainnya itu di muka umum, waktu itu. Tetapi apa boleh buat. Nasi sudah menjadi bubur. Saya merasa benar-benar kaget, tetapi tetap tidak dapat berbuat apa-apa. Kalau protes, saya khawatir akan muncul kesalahpahaman di antara saya dan kawan-kawan PII itu. Hal ini harus saya hindari, karena saya tidak mau menghancurkan se-mangat mereka yang menggebu untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan keislaman.

Apabila saya menoleh kembali pengalaman kami di atas, maka saya merasa alangkah baiknya seandainya saya tidak melakukan kesa-lahan taktis seperti yang saya lakukan dengan makalah pembaruan itu. Dari segi sosial, kesalahan itu terlalu mahal harganya. Reputasi kami di mata kalangan umat Islam mengalami kerugian yang hampir-hampir tidak dapat dipulihkan. Seandainya saya bisa melangkah surut dalam waktu, maka saya ingin meneruskan cara-cara saya yang sebelumnya, yakni cara penetration pacifiqué, cara “menyelundup” untuk mema-sukkan gagasan-gagasan baru. Sebenarnya, itulah yang saya lakukan ketika saya menulis risalah NDP yang mendapat penerimaan luas itu. Memang ada pepatah, “Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak

berguna.” Kalau dilihat dari sisi ini, memang saya merasa agak keco-longan.

Waktu itu, beberapa orang menyarankan agar saya “bertobat” dan minta maaf kepada umat Islam. Ini tidak mungkin saya lakukan. Wa-laupun saya tahu bahwa cara pendekatan yang saya gunakan itu salah, saya merasa yakin bahwa tujuannya benar. Tetapi, kalau dipikir-pikir lebih jauh, ketaksengajaan itu sedikit banyak toh ada hikmahnya juga. Kata beberapa kawan saya, bila makalah itu tidak muncul dalam for-mat yang demikian, mungkin tidak akan ada breakthrough, terobosan apa-apa. Barangkali mereka ada benarnya juga.

Dan Alhamdulillah, sang waktu pun saya rasakan sudah dapat menyembuhkan semua luka. Kini saya dan kawan-kawan telah dapat mengatasi kesulitan-kesulitan di atas. Kami juga sudah mulai memper-oleh kembali reputasi kami sebagai orang-orang yang dapat dipercaya oleh umat. Itu semua terjadi tanpa sesuatu perubahan dalam komit-men kami terhadap pembaruan pemikiran Islam. Pengalaman pahit itu justru makin mendewasakan kami.

Memang gagasan dasar kaum pembaru yang paling kontrover-sial, dan telah menyebabkan polemik berlarut-larut—bahkan masih sampai sekarang—adalah soal, “Islam, Yes; Partai Islam, No?” ini dan khususnya soal sekularisasi. Dalam hal yang pertama, Cak Nur me-ngatakan, “Jika partai-partai Islam merupakan wadah dari ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, maka jelaslah bahwa ide-ide itu sekarang dalam keadaan tidak menarik ... ide-ide dan pe-mikiran-pemikiran Islam itu sekarang sedang menjadi memfosil, ke-hilangan dinamika ... partai-partai Islam tidak berhasil membangun imej yang positif dan simpatik.” Dengan gagasan ini, Cak Nur hen-dak membuat pemisahan antara Islam dan partai Islam. Perjuangan Islam melalui partai Islam, hanyalah satu kemungkinan. Dan masih ada kemungkinan lain. Karena itu tidak absolut. Soal yang terakhir, inilah maksudnya dengan sekularisasi—seperti dikatakan Cak Nur

sendiri di atas—“memisahkan mana yang betul-betul sakral, mana yang profan saja.”

Penggunaan kata sekularisasi dalam sosiologi mengandung arti pembebasan, yaitu pembebasan dari sikap penyucian yang tidak pada tempatnya. Karena itu ia mengandung makna desakralisasi, yaitu pencopotan ketabuan dan kesakralan dari objek-objek yang semestinya tidak tabu dan tidak sakral. Jika diproyeksikan kepada situasi modern Islam sekarang, maka itu akan mengambil bentuk pemberantasan bid‘ah, khurafat, dan praktik syirik lainnya ... (maka) sekularisasi ... adalah konsekuensi dari tawhîd.”

Istilah “sekularisasi” inilah yang akhirnya menjadi pangkal kehe-bohan. Karena istilah (yang tidak menguntungkan ini), Cak Nur pun diberi cap “kaum sekularis”, karena dianggap mempromosikan sekularisme, padahal jelas-jelas ia mengatakan, “Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, dan mengubah kaum Muslim sebagai sekularis.”

Sehingga karena kesimpangsiuran pengertian istilah itu tidak kurang dari seratus tulisan artikel pada tahun 1970-an telah terbit menyambut gagasan Cak Nur ini, yang muncul dalam surat kabar Abadi, Kompas, Mercu Suar, Indonesia Raya, dalam majalah

Dalam dokumen Membaca Nurcholish Madjid (Halaman 27-50)