• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kejatuhan Manusia dan Konsep Kekhalifahan

Dalam dokumen Membaca Nurcholish Madjid (Halaman 152-159)

Menurut Cak Nur, Kisah Adam dan kejatuhannya dari surga memi-liki arti yang penting dalam agama-agama wahyu, yaitu Yahudi, Kris-ten, dan Islam. Bagi agama Islam dan Yahudi, kisah Adam, walaupun penting, tidaklah menjadi fondasi pandangan teologis yang pokok. Agama Kristiani, sebaliknya, kisah Adam itu mencakup bagian yang menjadi tiang pancang teologi Kristiani, khususnya bagian tentang jatuhnya Adam dari surga ke bumi. Ini yang menjelaskan mengenai “Doktrin Kejatuhan dalam Dosa” (Doctrine of Fall in Sin) yang amat penting dalam sistem iman Kristiani.

Islam mengakui adanya kejatuhan (hubûth) manusia (Adam) dari surga, sebagaimana dituturkan dalam Al-Quran, namun tidak menjadikannya sebagai pangkal ataupun bagian dari sistem keiman-annya yang pokok.49 Tetapi walaupun demikian, menurut Cak Nur, dari kisah itu diharapkan kaum beriman dapat menarik pelajaran

dari “seberang” (i‘tibâr) kisah itu, sesuai dengan maksud dan tujuan semua kisah suci dalam agama. Usaha Hermeneutis seperti ini tam-paknya memang merupakan cara Cak Nur untuk memberikan arti kepada cerita-cerita dalam agama, seperti ia lakukan dalam banyak entri dalam ensiklopedi ini. Sebagai contoh kita akan lihat bagaima-na pandangan Cak Nur mengebagaima-nai kesamaan penuturan kisah Adam dalam Perjanjian Lama dan Al-Quran.

Menurut Cak Nur, secara garis besar kisah dari Kitab Kejadian itu memiliki persamaan dengan penuturan Kitab Suci Al-Quran, walaupun beberapa rincian sama sekali berbeda atau tidak terdapat dalam Al-Quran. Misalnya, menurut Al-Quran, yang tergoda rayu-an setrayu-an itu adalah sekaligus Adam drayu-an istrinya bersama-sama, drayu-an setan yang menggodanya tidak dilukiskan sebagai seekor ular. Kare-na Adam dan Hawâ melakukan pelanggaran secara bersama, maka beban akibat buruknya pun dipikul bersama, tanpa salah satu me-nanggung lebih daripada yang lain.

Menurut Cak Nur, dalam Al-Quran tidak ada semacam kutukan kepada kaum perempuan akibat tergoda itu, seperti kutukan bahwa perempuan akan mengandung dan melahirkan dengan sengsara dan akan ditundukkan oleh kaum lelaki, suami mereka. Juga dengan sen-dirinya tidak ada kutukan kepada binatang ular.

Cak Nur menggambarkan bahwa dalam Al-Quran, drama kos-mis yang menyangkut kejatuhan Adam itu dituturkan dengan pem-bukaan bahwa Allah memberi tahu para malaikat tentang telah di-tunjuknya seorang manusia, yaitu Adam sebagai khalifah di bumi. Para malaikat mempertanyakan, mengapa manusia yang ditunjuk sebagai khalifah, padahal ia bakal membuat kerusakan di bumi dan banyak menumpahkan darah, sementara mereka sendiri (para ma-laikat), selalu bertasbih memuji Allah dan mengkuduskan-Nya. Al-lah menjawab bahwa Dia mengetahui hal-hal yang para malaikat itu tidak tahu.

Kemudian Allah membekali Adam dengan ilmu segala nama dari objek-objek yang ada. Lalu objek-objek itu diketengahkan ke-pada para malaikat, dan Allah berfirman keke-pada mereka dengan maksud menguji, agar mereka menjelaskan nama objek-objek itu. Para malaikat tidak sanggup, dan mengaku tidak tahu apa-apa ke-cuali yang diajarkan Allah kepada mereka. kemudian Allah meme-rintah Adam untuk menjelaskan nama objek-objek itu, dan Adam pun melakukannya dengan baik. Maka Allah berfirman kepada ma-laikat, menegaskan bahwa Dia mengetahui hal-hal yang mereka ti-dak ketahui.

Setelah terbukti keunggulan Adam atas para malaikat, Allah memerintahkan mereka untuk bersujud kepada Adam. Mereka mua pun bersujud, kecuali iblis. Iblis ini digambarkan Al-Quran se-bagai bersikap menentang (abâ) dan menjadi sombong (istikbara), sehingga ia pun tergolong kelompok yang ingkar (kâfir). Dalam dra-ma selanjutnya, Allah memerintah Adam dan istrinya, Hawâ’, untuk tinggal di surga (jannah, kebun) dan menikmati segala fasilitas yang tersedia. Tetapi keduanya dipesan agar tidak mendekati sebuah po-hon tertentu. Jika mendekatinya, maka mereka akan tergolong seba-gai orang-orang yang berdosa (zhâlim). Rupanya setan menggoda mereka berdua (azallahumâ, membuat mereka tergelincir). Setan membujuk Adam dengan mengatakan bahwa ia hendak menunjuk-kan Adam adanya pohon keabadian (syajarat al-khuld) dan kekua-saan (mulk) yang tidak bakal sirna. Maka setelah Adam dan istrinya memakan buah pohon terlarang itu, keduanya pun menyadari bahwa aurat mereka tampak mata (telanjang), kemudian segera mengambil dedaunan surga untuk menutupinya. Dengan begitu, Adam ingkar kepada Tuhannya dan menyimpang.

Namun, walaupun begitu, Adam tetap terpilih, kemudian diam-puni dan diberi petunjuk. Adam dan istrinya Hawa diperintahkan untuk turun dari surga, karena memang Adam (dalam pandangan

Al-Quran) diproyeksikan sebagai khalifah di bumi, dengan peringat-an bahwa mereka (umat mperingat-anusia dperingat-an peringat-anak turun keduperingat-anya) akperingat-an bermusuhan di bumi. Allah menjanjikan akan memberi petunjuk lebih lanjut. Maka barang siapa mengikuti petunjuk itu, ia tidak sesat dan tidak akan sengsara hidupnya. Sebaliknya, yang berpaling dari petunjuk itu akan mengalami kehidupan yang sempit-sesak dan nanti di hari kiamat akan buta jalan.

Sejauh ini kisah Adam, menurut Cak Nur, dipercayai oleh kaum Muslim, juga oleh pengikut agama Yahudi dan Kristiani, sebagai ba-pak umat manusia (abî al-basyar). Ia diciptakan dari tanah yang di-buat menurut bentuk tertentu (masnîn), dan setelah lengkap bentuk-an itu ditiupkbentuk-an ke dalamnya sesuatu dari ruh kepunyabentuk-an Tuhbentuk-an.

Manusia diciptakan dari pribadi yang tunggal (min nafs wâhi-dah), kemudian daripadanya diciptakan berpasang-pasangan, dan dari pasangan-pasangan itu, diciptakanlah seluruh umat manusia, lelaki dan perempuan. Selanjutnya, keturunan Adam tidak lagi di-ciptakan dari tanah, melainkan dari “air yang menjijikkan” (sperma dan ovum), yang setelah proses pembentukan janin itu sudah leng-kap, lalu Allah meniupkan ruh miliknya ke dalamnya. Begitulah, menurut Cak Nur, bagaimana Al-Quran menggambarkan asal mula kejadian manusia.

Masalah kekhalifahan yang diangkat dari kisah Adam dan Hawa ini banyak dibahas dalam Al-Quran. Dari pendekatan bahasa, per-kataan Arab “khalîfah”, berarti orang yang datang kemudian atau di belakang, karena itu digunakan dalam makna “pengganti” atau “wa-kil” (dalam bahasa Ingris perkataan itu diterjemahkan dengan “vice-gerent”). Artinya, menurut Cak Nur, makna penunjukkan manusia, dimulai dengan Adam, sebagai khalifah Allah di bumi, di mana ia harus “meneruskan” ciptaan Allah di planet ini dengan mengurus-nya dan mengembangkanmengurus-nya sesuai dengan “mandat” yang telah di-berikan Allah.

Kisah Adam dan Hawa dalam Al-Quran ini, menyangkut para malaikat yang diperintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam. Me-nurut Cak Nur, kisah ini mencerminkan kesucian dan kebaktian malaikat yang penuh kepada Tuhan, namun hanya berhakikat satu sisi. Sisi lain yang tidak ada pada mereka ialah emosi. Emosi ini ha-nya ada pada manusia. Ibarat pisau bermata dua, begitu Nurcholish menggambarkan, emosi dapat membawa bencana, tapi juga dapat mendorong manusia mencapai puncak yang sangat tinggi. Maka, se-perti dikatakannya, ketika para malaikat mempertanyakan mengapa manusia yang bakal diangkat sebagai khalifah, padahal manusia itu akan membuat kerusakan saja di bumi dan menumpahkan darah, sementara mereka sendiri selalu berbakti kepada Tuhan—ini yang oleh para mufasir ditafsirkan sebagai bukti keadaan hakikat mereka yang hanya satu sisi itu. Dengan tepat, para malaikat itu melihat ke-kuatan emosi manusia sebagai sumber bencana, tetapi mereka gagal melihatnya sebagai sumber energi ke arah keluhuran, jika itu digu-nakan secara benar dan baik.

Sedangkan unsur keterlibatan iblis dalam kisah Adam, menurut Cak Nur, diproyeksikan sebagai pihak yang beroposisi terhadap kebi-jakan Tuhan. Ia tidak hanya menolak sujud kepada Adam, melainkan juga, ia menyombongkan diri di hadapan Tuhan dengan mengaku jauh lebih baik daripada Adam, dengan mengatakan, “Engkau cipta-kan aku dari api, dan Engkau ciptacipta-kan dia dari tanah yang hina.”

Tentang iblis ini, menurut Cak Nur, ada beberapa penafsiran. Ada yang beranggapan bahwa iblis merupakan salah satu dari para malaikat itu sendiri, yang kemudian mengalami “kejatuhan”. Tapi juga ada keterangan dalam Kitab Suci yang mengatakan bahwa iblis itu termasuk bangsa jin yang kemudian menentang perintah Tuhan. Dan jin sendiri, seperti halnya manusia, ada yang beriman dan ada yang kafir. Dan iblis adalah kafir, serta tergolong setan. Iblis, menu-rut Cak Nur, adalah setan yang menggoda Adam dan Hawa sehingga

tergelincir dan melanggar larangan Tuhan. Iblis adalah setan, musuh manusia.

Dalam surga, Adam dan istrinya diberi kebebasan memakan buah-buah apa saja, kecuali sebuah pohon tertentu. Dalam Kitab Ke-jadian, pohon terlarang itu adalah pohon pengetahuan tentang baik dan jahat. Sedangkan dalam Al-Quran ada gambaran bahwa pohon itu adalah pohon keabadian dan kekuasaan atau kerajaan (mulk) yang tidak akan sirna. Tetapi, menurut Cak Nur, karena pelukisan itu muncul ucapan setan yang hendak menyesatkan manusia, maka ha-rus dipahami itu sebagai penipuan dan dusta. Sebab, nyatanya setelah Adam dan Hawa memakan buah terlarang itu, keduanya mendapat murka Allah dan diusir dari tempat yang menyenangkan itu.50

Demikianlah makna pelanggaran Adam dan Hawa terhadap larangan Allah. Setelah melanggar, keduanya menjadi sadar bahwa mereka telanjang. Digambarkan dalam Kitab Suci:

“Maka setan pun menggoda keduanya, agar kepada keduanya dinampakkan apa yang (selama ini) tersembunyikan dari keduanya, yaitu aurat mereka. Dan setan itu berkata: ‘Tuhanmu tidaklah mela-rang kamu berdua dari pohon ini melainkan (agar kamu tidak) men-jadi dua malaikat atau kamu menmen-jadi abadi’. Setan pun bersumpah ke-pada keduanya: ‘Sesungguhnya aku termasuk mereka yang memberi nasihat.’ Maka keduanya itu pun digiringnya kepada penipuan. Ketika keduanya telah merasakan (buah) pohon itu, tampak pada keduanya aurat mereka, dan mulailah keduanya menutupi diri mereka dengan dedaunan surga ....”51

Menurut Cak Nur, kesadaran tentang diri sendiri sebagai telan-jang itu adalah akibat pelanggaran terhadap larangan Tuhan. Sebe-lum itu, manusia tidak menyadarinya. Ini berarti—seperti dikatakan Muhammad Asad—manusia menjadi sadar akan dirinya sendiri dan

kemungkinan harus membuat pilihan yang tidak gampang, antara berbagai jalan tindakan dengan godaan yang selalu hadir, untuk me-nuju kepada kejahatan dan kemudian mengalami derita kesengsa-raan akibat pilihan yang salah. Cak Nur menyimpulkan bahwa “hik-mah” dari kesadaran akan ketelanjangan diri adalah permulaan dari perjuangan ke arah perbaikan dan peningkatan menuju martabat kemanusiaan yang lebih sempurna.

Cak Nur menggambarkan bahwa sesungguhnya drama keja-tuhan manusia dari surga dapat dikatakan sebagai bagian dari Ran-cangan Besar (Grand Design) Ilahi. Ini adalah bagian dari skenario penobatan manusia sebagai penguasa bumi, yang bertugas memba-ngun dan mengembangkan bumi ini atas nama Allah (bismillâh), yakni dengan penuh tanggung jawab kepada Allah, dengan selalu mengikuti pesan-pesan Tuhan dalam menjalankan “mandat” yang diberikan kepadanya. Kelak manusia, akan dimintai pertanggungja-waban atas seluruh kinerjanya menjalankan mandat sebagai khalifah di muka bumi.

Sebagai penutup sub-pasal ini, dari apa yang dipaparkan di atas, menurut Cak Nur, doktrin mengenai kejatuhan manusia itu sebenar-nya mengatakan sebuah pesan, “Bahwa kutukan Tuhan kepada ma-nusia berupa kesengsaraan hidup di muka bumi ini, bukanlah sesua-tu yang tidak mungkin dicabut oleh-Nya. Dengan kasih-Nya, Allah menunjukkan kepada manusia jalan mengatasi ‘hidup yang sesak’, yaitu dengan mengikuti petunjuk yang diberikan-Nya kepada umat manusia melalui utusan-utusan atau rasul-rasul-Nya, yaitu ajaran-ajaran agama. Kehidupan sengsara hanya dialami oleh mereka yang berpaling dari ajaran-ajaran Tuhan.”52

Di sini menarik bahwa kehidupan dunia—tempat di mana manusia “terlempar” itu—dari sudut pandang agama akhirnya me-rupakan tantangan untuk mewujudkan sebuah negeri perdamaian (dâr al-salâm), sebagaimana digambarkan Al-Quran:

“Sesungguhnya perumpamaan hidup duniawi hanyalah bagaikan air hujan yang Kami turunkan dari langit, kemudian berpadu dengan tum-buhan bumi yang menjadi makanan manusia dan binatang; Sehingga tatkala bumi mulai berhias diri dan tampak indah menarik, dan peng-huninya menyangka bahwa mereka mempunyai kekuasaan atas bumi itu, tiba-tiba datang perintah Kami di malam, atau siang hari, kemu-dian Kami jadikan bumi itu gundul seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu apa pun hari kemarinnya. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat Kami untuk kaum yang berpikir. Dan Allah menyeru kepada Negeri Perdamaian, serta menunjukkan siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”53

Dalam dokumen Membaca Nurcholish Madjid (Halaman 152-159)