• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan: Kepribadian Kaum Beriman

Dalam dokumen Membaca Nurcholish Madjid (Halaman 110-114)

“Demi diri manusia dan Dia (Allah) yang menyempurnakannya,

ke-mudian Dia ilhamkan kepadanya kejahatan dan ketakwaannya. Maka sungguh bahagia orang yang menjaga kebersihannya, dan sungguh ce-laka orang yang mengotorinya.” (Q., 91: 7-10)

Apa yang diuraikan di atas, sebenarnya hanya ingin melukiskan bagaimana, menurut Cak Nur, nilai-nilai Islam itu—penghayatan dan pengamalannya—sangat mendasar sekali, dan akan menentukan dan bahkan menjadi sumber dari keinsafan akan makna dan tujuan hidup sebagai seorang Muslim. Cak Nur menyebut apa yang perlu dicapai dalam “Kepribadian Kaum Beriman”.

“Berbagai penuturan [tentang kepribadian kaum beriman, misal-nya] … terdapat dalam Al-Quran surat al-Furqân (Q., 25: 63-74). Pertama-tama disebutkan bahwa hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih (‘ibâd Al-Rahmân) itu ialah mereka yang jika berjalan di atas bumi, berjalan dengan rendah hati. Dan jika diajak berbicara oleh orang-orang yang bodoh, mereka menjawab atau mengucapkan “salam!” Mereka itu rajin beribadat kepada Allah. Mereka menyadari bahwa dirinya selalu terancam oleh kesengsaraan, maka dengan tu-lus memohon kepada Allah untuk dihindarkan dari padanya. Dalam menggunakan harta, mereka itu tidak bersikap boros, juga tidak kafir,

melainkan pertengahan antara keduanya. Mereka tulus dalam beriba-dat kepada Allah semata (tidak melakukan syirik, yang dapat meme-cah tujuan hidup hakikinya), dan menghormati hak hidup orang lain yang memang dilindungi oleh Allah itu, dan senantiasa menjaga kehormatan dirinya. Mereka tidak membuat kesaksian palsu, dan jika bertemu dengan hal-hal yang tidak berguna, mereka menghin-dar dengan harga diri. Kemudian, jika diingatkan akan ajaran-ajar-an Tuhajaran-ajar-an, mereka tidak bersikap masa bodoh, seolah-olah tuli dajaran-ajar-an buta. Mereka juga mempunyai tanggung jawab keluarga yang tinggi (mencintai teman hidupnya, yaitu suami atau istri, serta anak ketu-runannya). Mereka mempunyai rasa tanggung jawab sosial, dengan keinginan kuat, yang dinyatakan dalam doa kepada Allah, untuk dapat melakukan sesuatu yang bersifat kepemimpinan, yakni sikap hidup dengan memperhatikan kepentingan orang banyak.

[...] Kalau kita renungkan lebih mendalam, maka penuturan da-lam Kitab Suci itu bersangkutan dengan rasa kemanusiaan yang amat tinggi dari kaum beriman. Karena rasa kemanusiaan itu, mereka tidak sombong, sedemikian rupa bahkan ketika harus berurusan dengan orang “bodoh” pun, tidak kehilangan kesabaran, tetapi malah mengha-rapkan kebaikan atau kedamaian atau kesentosaan (salâm) untuknya. Seolah-olah dia mengatakan, “Ya, barangkali kita memang tidak bisa bertemu pendapat sekarang. Akan tetapi, semogalah kita tetap damai, aman, dan sentosa dalam pergaulan kita.” Tidak secara berlebihan ataupun berkekurangan dalam menggunakan hartanya adalah jenis rasa kemanusiaan dan tanggung jawab sosial yang tinggi. Sebabnya jika berlebihan, seperti yang terjadi pada gaya hidup konsumerisme dan “demonstration effect”, hal itu akan mengundang masalah sosial. Akan tetapi, begitu pula sebaliknya kalau orang hanya menumpuk ke-kayaan tanpa mau menggunakannya: kelancaran ekonomi masyarakat akan terganggu. Rasa kemanusiaan itu juga dicerminkan dalam sikap menghormati hak hidup orang lain serta dalam menjaga kehormatan diri sendiri. Kesaksian palsu adalah tindakan yang amat tak bertang-gung jawab karena akan mencelakakan orang lain, maka tidak akan

dilakukannya. Bahkan jika harus berurusan dengan hal-hal yang

mus-pra, seperti “gosip” omong kosong lainnya, dia akan menolak untuk

terlibat, karena dia hendak menjaga harga dirinya. Rasa kemanusiaan-nya yang tinggi itu juga membuatkemanusiaan-nya bersikap serius dalam keinginan belajar dan menemukan kebenaran. Dan juga menunjukkan “genuine

concern” terhadap kebahagiaan keluarganya, begitu pula

masyarakat-nya.1

Kepribadian Kaum Beriman ini tumbuh bersama dengan yang di atas sudah dibicarakan—dan mendapat banyak porsi dalam entri-entri Cak Nur dalam ensiklopedi ini—sebagai Kesadaran Ketuhanan. Kesadaran Ketuhanan (hasil dari iman) ini begitu mendasar dalam agama apa pun, sebabnya pengalaman inilah yang akan membim-bing manusia ke arah kebajikan dan amal saleh, yang dapat memba-wa kebahagiaan.

… Iman tidak cukup hanya “percaya” kepada Allah … tetapi harus pula “mempercayai” Allah itu dalam kualitas-Nya sebagai satu-satu-nya yang bersifat keilahian atau ketuhanan, dan sama sekali tidak me-mandang adanya kualitas serupa kepada apa pun yang lain … Sebagai konsekuensinya, karena kita mempercayai Allah, maka kita harus ber-sandar sepenuhnya kepada-Nya: Dialah tempat menggantungkan ha-rapan. Kita optimistis kepadanya, berpandangan positif kepada-Nya, “menaruh kepercayaan” kepada-Nya, dan “bersandar” (tawakal)….2

Disebutkan dalam Kitab Suci Al-Quran bahwa takwa—kesadar-an Ketuhtakwa—kesadar-antakwa—kesadar-an ytakwa—kesadar-ang mendalam seperti sudah digambarktakwa—kesadar-an di atas, dan terefleksi dalam banyak entri ensiklopedi ini—merupakan asas bangunan kehidupan yang benar. Asas bangunan kehidupan selain takwa dalam istilah agama “bagaikan fondasi gedung di tepi jurang yang goyah, yang kemudian runtuh ke dalam neraka”. Al-Quran

menguraikan soal ini, “Manakah yang terbaik? Mereka yang mendi-rikan bangunannya atas dasar takwa dan keridlaan Allah, ataukah yang mendirikan bangunannya di atas tanah pasir di tepi jurang lalu runtuh bersamanya ke dalam api neraka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada mereka yang zalim,”128 Abdullah Yusuf Ali, membe-ri komentar:

“… Orang yang membangun hidupnya atas dasar ketakwaan (yang berarti juga keikhlasan dan niat hati yang suci) dan harapannya hanya keridhaan Allah, ia membangun di atas fondasi batu yang kuat, yang takkan pernah goyah. Kebalikannya dari orang yang membangun di tanah pasir di tepi jurang, yang tidak terlihat bawahnya yang sudah rapuh. Jurang dan fondasi-fondasi itu semua akan runtuh berkeping-keping bersama dia, dan dia tersungkur ke dalam api kesengsaraan, yang tak mungkin lagi dapat melepaskan diri.”

Dalam pemikiran Cak Nur, perkataan takwa tersebut diterje-mahkan sinonim dengan “kesadaran Ketuhanan”, yang aslinya dalam bahasa Al-Quran adalah “rabbâniyah” dan “ribbiyah.”3 Kesadaran ketuhanan ini merupakan wujud terpenting dari nilai keagamaan— yang sudah seharusnya selalu menjadi dasar dari usaha-usaha apa pun, yang mau menyajikan Islam sebagai sumber keinsafan hidup, yang sebenarnya merupakan tema inti ensiklopedi ini. Dan dalam konteks penyajian Islam sebagai sumber keinsafan hidup itu, Al-Qu-ran dinyatakan—oleh Al-QuAl-Qu-ran sendiri—sebagai petunjuk bagi me-reka yang bertakwa. “Inilah Kitab yang tiada diragukan; suatu petun-juk bagi mereka yang bertakwa.”4 Sehingga, menurut Cak Nur, takwa adalah “hasil akhir” dari seluruh amalan keagamaan.5

Nah, amalan keagamaan, dalam pandangan Cak Nur, adalah cara untuk mengalami kesadaran ketuhanan yang bersifat perenni-al. Dalam pasal 2, sudah disebutkan berbagai bentuk kesadaran yang

akan membawa kepada pengalaman ketuhanan ini. Di bawah ini akan dibicarakan hal yang lebih detail daripada amalan keagamaan yang akan membawa seseorang kepada keinsafan akan makna dan tujuan hidup: yaitu istighfar, syukur, dan doa. Rajutan simpul keaga-maan ini, akan memberikan makna hidup, sekaligus menempa ke-pribadian seseorang.

Simpul Keagamaan yang Membawa Makna Hidup:

Dalam dokumen Membaca Nurcholish Madjid (Halaman 110-114)